Share

Menikah

Leo, maafin Kakak yang tidak bisa menjaga kamu. Biasanya jika Ibu dan Bapak bertengkar, aku selalu membawa Leo keluar, atau menutup kupingnya agar dia tidak mendengar pertengkaran mereka.

"Kakak jangan nangis, sekarang Leo udah di kamar. Tadi ada Om Juragan dateng, dia langsung mukulin Bapak terus di bawa pergi. Leo juga di kasih ponsel, katanya Bapak gak boleh tau kalo Leo punya ponsel, ini buat Leo kalo kangen sama Kakak."

Aku mengusap kedua pipiku lalu menyunggingkan senyum ke arah adikku. "Leo di sana baik-baik yah, kalo ada apa-apa langsung telepon Kakak. Secepatnya, Kakak bakal jemput Leo!"

"Leo sayang Kakak!" Setelah itu telepon terputus.

Aku memeluk ponsel ini dengan erat, membayangkan jika benda kecil ini adalah Leo.

"Jingga."

Aku berbalik saat mendengar seseorang memanggil namaku. Ku lihat ada Tania dan Papah yang sudah berada di belakangku.

Buru-buru aku seka air mata ini, tidak Jingga, kamu tidak boleh memperlihatkan air matamu pada mereka.

"Tu--tuan besar, anda mencari saya?" tanyaku dengan terbata-bata.

"Jingga, selamat untuk kamu," ujar Tuan Besar dengan wajahnya yang terlihat sangat gembira.

"Selamat untuk apa Tuan?"

"Selamat, karna Dafa menyetujui pernikahan ini. Saya akan secepatnya mempersiapkan hari pernikahan kalian."

Aku tersenyum miris, entah harus bahagia atau sedih mendengar kabar ini.

***

Hari ini adalah hari pernihakanku dan juga Tuan Dafa.

Aku menatap ke arah cermin, tertegun melihat penampilanku sendiri. Perias itu benar-benar hebat merias wajahku yang sampai aku sendiri tercengang menatap wajahku yang begitu beda.

Gaun pengantin yang begitu indah membuat diriku hampir terlihat sempurna. Inilah impian setiap wanita, terutama jika menikah dengan pasangan yang begitu kita cintai. Namun, aku tidak tahu alasan sebenarnya mengapa Tuan Dafa ingin menikah denganku.

Aku tidak boleh terlalu bahagia karena tak tahu apa yang akan terjadi dengan pernikahan kami.

"Jingga."

Seorang wanita tiba-tiba datang, aku menatap heran saat dirinya terlihat tersenyum melalui pantulan kaca.

"Tania ... Ada apa?"

Tania memberikan isyarat dengan jarinya agar wanita yang meriasku pergi sejenak.

"Hm ... Ternyata jika didandani seperti ini, kamu cantik juga. Tapi kampunganya tetap keliatan," cibirnya membuatku mendelik.

"Mau apa kamu ke sini?" tanyaku to he point. Karna jika hanya untuk memujiku, tidak mungkin.

"Jingga, kau tau aja jika aku ada urusan denganmu," kekehnya. Ia lalu mengambil sesuatu dari tasnya, setelah itu menyodorkannya ke arahku. "Kamu tau apa ini?"

Keningku berkerut melihat cek yang tiba-tiba diberikannya padaku. "Untuk apa?"

"Jingga, Aku tau kalo kamu menerima pernikahan ini karna terpaksa."

Deg.

"Benarkan? Kamu menerima pernikahan ini karna ingin mendapatkan harta warisan milik keluarga ini?"

Mataku membola mendengar perkatannya, akan tetapi aku bernafas lega karna dia tidak tau masalah sebenarnya.

"Jingga kenapa kamu diam aja? Kamu merasa uang ini sedikit? Baiklah, nanti setelah ini aku akan mengirimkan sisanya sebanyak 400 juta. Tapi sekarang, terima dulu 100 juta ini."

"Kenapa kamu tiba-tiba memberikanku uang sebanyak itu?" tanyaku, sembari menatap curiga ke arahnya.

"Jingga, kita sesama wanita. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan sekarang, apalagi aku sudah mengenal Mas Dafa selama tujuh tahun. Aku sudah tau betul, bagaimana sikap dia yang sebenarnya. Jadi, daripada kamu disiksa oleh lelaki tidak punya hati itu, lebih baik ambil cek ini dan kabur dari pernikahan ini. Ingat Jingga, kalo bukan karna Mas Dafa lumpuh dan gila, Papah tidak akan menikahkannya denganmu."

Apakah benar yang dikatakan Tania? Aku menatap cek berisi uang yang tidak sedikit itu, dengan itu aku bisa membawa Ibu dan Leo pergi dari kota ini. Akan tetapi Tuan Dafa, aku tidak bisa. Entah kenapa rasanya tidak tega meninggalkannya di hari pernikahan kami, apalagi melihat sikapnya aku sadar jika Tuan Dafa tidak seburuk itu.

Aku menggelengkan kepala, lalu tersenyum ke arah Tania. "Maaf, Tania. Tapi aku tetap akan menikahi Tuan Dafa."

Ku lihat mata gadis itu melebar sempurna. "Kamu menolak pertolongan dariku?"

"Bukannya aku menolak, hanya saja lebih baik jika aku berjuang untuk pernikahan kami."

"Cih ... Ternyata bukan hanya miskin, kamu juga sangat bodoh, Jingga," umpatnya. Ia lalu pergi sembari menghentakan kakinya.

Aku menggelengkan kepala melihat tingkah wanita itu, apa yang dia mau? Kalo dia mau membantuku, bukannya harusnya senang, jika aku memilih untuk mengurus kakak iparnya.

"Jingga apa kamu sudah siap?"

Eh, di sana Hans sudah berdiri dengan matanya yang terus menatap diriku.

"Hans, iya aku udah siap," jawabku.

"Hm, ayok!" Hans mengulurkan tangannya padaku, aku meraih tangan itu sembari tersenyum kikuk.

***

Semua orang terlihat menatap kagum ke arahku dan juga Hans. Entah kenapa, rasanya begitu malu. Belum pernah aku ditatap seperti ini sebelumnya.

"Cantik banget yah pengantinnya."

"Iya, cocok yah mereka."

Apa, cocok? Jangan sampai mereka mengira jika pengantin pria nya itu Hans. Bagaimana perasaan Tuan Dafa jika mendengar hal itu.

"Menantu Papah cantik banget," puji Tuan Besar.

"Baru calon, Pah," jawab Hans sembari terkekeh.

"Yasudah, Hans. Di mana Dafa? Dia gak kabur kan?" Tuan Besar tampak menatap ke sekeliling.

"Mana mungkin dia kabur. Dia kan gak bisa jalan."

Aku menatap Satria yang sedang mendorong kursi roda Tuan Dafa. Wajah lelaki itu terlihat begitu tidak nyaman, apalagi terdengar beberapa orang yang berbisik-bisik.

"Itu calon suaminya?"

"Kirain sama yang tadi pegangan tangan pas di tangga."

"Ganteng sih tapi cacat."

"Gak cocok kalo sama yang itu, masa cantik-cantik mau sama yang lumpuh."

Dam!

Rasanya ingin sekali aku mengumpat, untungnya Tuan Besar yang juga mendengar hal itu langsung menegur mereka semua.

"Katakan sekali lagi!" teriak Tuan Besar, membuat mereka saling pandang dengan mulutnya yang langsung terkunci rapat.

"Kalian tau, yang sudah kalian hina ini adalah anak tertua saya. Jadi, jika ada yang berbicara seperti itu lagi, saya tidak akan segan-segan untuk membatalkan perjanjian kerja sama kita dan saya pastikan perusahan kalian bangkrut!"

Aku tersenyum saat melihat semuanya tampak menunduk.

Tuan Besar lalu beralih menatap Satria. "Sadar apa yang kamu katakan tadi?" tanyanya. Lelaki yang bersikap pongah itu hanya mengangguk sembari mengucapkan kata maaf dengan pelan.

Karna tidak ingin acara suasana semakin keruh, aku menyuruh Hans untuk berbicara dengan Bos Besar.

"Pah, lebih baik sekarang kita lakukan akadnya," ucap Hans.

Tuan besar menganggukan kepalanya, lelaki itu lalu mendekati Tuan Dafa. Ia mengambil alih mendorong kursi roda itu.

***

Aku menitikkan air mata, saat mencium tangan Tuan Dafa. Setelah ijab Qobul tadi, sekarang aku sudah sah menjadi seorang istri.

"Jingga selamat yah," ucap seorang lelaki yang menjadi wali nikahku. Lelaki yang dulu selalu membuang muka jika menatapku, lelaki yang hanya diam ketika aku dan ibu meminta pertolongan darinya. Pamanku, Lelaki yang ku anggap asing, sekarang tiba-tiba menjelma menjadi wali nikahku.

"Terimakasih, Paman," jawabku seadanya.

"Jingga, ayo poto!" Tiba-tiba Tania datang lalu menarik tanganku. Entah kenapa aku merasa wanita ini seperti Bunglon, beda tempat, beda sifat.

Ia lalu membawaku untuk bertemu teman-temannya, walau kesal tapi ada untungnya sih. Aku juga tidak usah berlama-lama mengobrol dengan paman.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status