Jantungku berdebar kencang saat mengetahui kemungkinan bahwa bisa jadi Haya adalah selingkuhan suamiku. Mengingat betapa pedulinya Dani padanya selama ini.
Aku jadi teringat Dani sering memintaku untuk mengirim masakan yang kumasak pada wanita itu. Kasihan katanya karena Haya wanita karier yang tinggal sendiri. Sering juga kulihat Dani mengajak berbincang Haya di teras rumah, walau hanya berbasa-basi, tapi menurutku intensitas kedekatan mereka lebih banyak dibanding denganku yang sesama perempuan.
Lalu tentang tas itu ..., pantas kan jika aku curiga?
Kulepas kepergian suamiku dan Haya dengan gemuruh di dada juga rasa penasaran yang teramat sangat. Aku harus segera membuktikan siapa yang ditelepon oleh suamiku semalam, lalu segera mengambil sikap padanya.
Tak mau pernikahanku yang baru berjalan empat tahun ini harus diwarnai dengan pengkhianatan. Aku memang belum bisa memberikan Dani, anak. Tapi apa pun itu, tak ada alasan untuk sebuah pengkhianatan janji suci pernikahan.
****
Seperti biasa, selepas Dani bekerja aktivitasku adalah berkutik dengan bisnis jualan onlineku. Bersama Salsa adikku, aku membuat sebuah brand pakaian wanita. Dengan memberdayakan penjahit lokal, dan beberapa industri makloon kami memproduksi daster-daster kekinian.
Berawal dari iseng, tak menyangka bisa menghasilkan. Alhamdulillah, aku bersyukur walaupun hanya di rumah saja, aku tetap bisa berpenghasilan. Bahkan kadang jika baru selesai masa produksi dan membuka open order penghasilanku bisa melebihi penghasilan Dani suamiku sendiri.
Karena belum memiliki kantor ataupun toko maka jadilah rumahku yang menjadi tempat bekerja. Ada lima orang karyawan yang datang setiap harinya. Tiga orang admin dan dua orang bagian produksi dan quality control. Salsa sendiri sama sepertiku, kami yang akan mencari ide desain dari baju dan motif kain yang akan kami produksi.
"Kak, kok pucet?" tanya Salsa saat ia baru saja datang ke rumahku. Disusul karyawan lainnya satu per satu.
"Iya nih, dari semalam gak enak badan. Masuk angin kayaknya!" jawabku sekenanya.
Ya, badanku kini memang sudah tidak demam lagi. Namun, kini berganti dengan mual di perutku yang terus kurasakan. Sepertinya aku masuk angin, karena semalaman aku tidak tidur memikirkan terkait perselingkuhan suamiku. Saat tadi pagi pun aku tidak bisa sarapan karena rasanya begitu mual, apa lagi harus melihat Dani di hadapanku.
"Sudah minum obat belum, Kak? Kalau mau tiduran, istirahatlah, sekarang kan kerjaan tidak terlalu banyak, tinggal packing untuk mengejar pengiriman segera!" ujar Salsa khawatir.
Sepertinya ide Salsa boleh juga, mungkin sebaiknya aku istirahatkan sebentar badanku ini agar bisa lebih segar.
Saat akan keluar dari kamar yang aku sulap menjadi kantor itu, pandanganku tiba-tiba tertuju pada sebuah tas yang persis dengan yang aku punya. Tas dengan harga sekitar 2 jutaan itu tergeletak begitu saja di salah satu meja adminku.
Kuambil tas tersebut, dan memerhatikannya, memastikan apa itu barang original atau palsu. Sepintas tas ini benar-benar mirip seperti aslinya. Tapi, tas milik siapa ini? Rasanya cukup janggal jika salah satu adminku memiliki tas branded originial seperti ini.
"Bu Shania, maaf ada apa ya dengan tas saya?" tanya Risa pelan sambil menatapku canggung.
"Tas ini punyamu, Risa?"
"I-iya betul, Bu," jawabnya ragu-ragu.
"Kamu hebat juga ya bisa beli barang branded seperti ini?" tanyaku menyelidik. Bukannya aku merendahkan kemampuan karyawanku ini. Tapi jelas sekali saat interview dia bilang dia adalah tulang punggung keluarga yang memiliki banyak tanggungan. Dan karena ini tas original kupastikan harga tas yang dia miliki hampir seharga gajinya sebulan bekerja di sini.
"Eh, itu barang kw, Bu. Harganya juga murah," ucap Risa sambil menarik tas tersebut dari tanganku dengan kasar.
"Maaf, Bu... saya harus kembali bekerja." Risa pun meninggalkanku begitu saja dengan sejuta tanya dalam benakku.
Jawaban dan sikap Risa sungguh membuatku jadi berpikir yang tidak-tidak padanya. Apa aku juga harus mencurigai seorang Risa?
Tiba-tiba aku teringat bahwa Risa kuterima kerja di sini adalah karena rekomendasi dari Dani. Risa katanya adalah tetangga dari sahabat Dani dulu.
Apa jangan-jangan Risa lah yang sebenarnya selingkuhan Dani? Karena Risa juga memang cukup dekat dengan suamiku dan sering kali kulihat mereka terlibat percakapan jika bertemu.
Memikirkan semua kemungkinan itu membuat perutku seketika terasa mual. Ada yang mengentak ingin keluar dari dalam sana. Gegas aku berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semuanya.
"Kak ..., kenapa kak?" tanya Salsa menghampiriku sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi. Ia pun lalu membawaku ke kamar tidur dan menyuruh untuk segera beristirahat.
Rasanya ingin kukatakan semua yang terjadi pada Salsa. Mengatakan tentang kecurigaanku pada Dani. Namun, karena belum memiliki bukti yang cukup kuat aku harus menahannya dulu kini.
"Istirahatlah, Kak! Atau mau kuantar ke dokter?" tawar Salsa saat ia telah memastikan aku beristirahat di kamar.
"Gak usah Salsa, aku hanya butuh tidur," jawabku sekenanya agar ia tak khawatir lagi.
****
Saat malam tiba, kudengar suara mobil Dani memasuki pekarangan. Dengan enggan kusambut ia, hanya agar ia tak merasa aneh pada diriku yang mulai mencurigainya.
Sebuah pemandangan mengesalkan lainnya terpampang jelas saat kulihat Haya turun dari mobil Dani dengan anggunnya. Ia mengucapkan terima kasih pada Dani sambil melambaikan tangannya dengan mesra layaknya akan berpisah dengan seorang kekasih..
Menyadari kehadiranku yang sedang memerhatikan mereka, Haya pun mengangguk, kikuk. Seraya berlalu ke rumahnya sendiri.
Tak lama Dani pun turun dari mobilnya dengan wajah yang berseri-seri, tampak jelas ia begitu bahagia.
"Kamu bareng sama Haya lagi, Mas? Jangan bilang kamu jemput dia ke kantornya?" sinisku sambil membawakan tasnya.
"Iya, tadi kebetulan saja, pas lewat depan kantornya aku ingat dia gak bawa mobil. Sekalian saja kujemput dia," jawabnya dengan tak merasa ada yang salah sama sekali.
"Baik banget kamu sama dia, Mas?"
"Loh, memang kenapa? Berbuat baik sama tetangga kan berpahala," jawab Dani sambil kemudian menjatuh badannya ke sofa ruang tamu, lalu meminum teh hangat yang sudah kusiapkan sebelumnya.
"Kalau mau berbuat baik sama tetangga, noh urusin Nenek Karsinah yang tinggal sendirian di ujung gang kita, Mas!" sindirku kesal akan pemikirannya itu. Bilang saja dia memang ingin dekat dengan perempuan kesepian itu.
"Kamu kok gitu, Shania?"
"Kamu sendiri Mas yang kok gitu, masa pilih-pilih menolong tetangga itu."
"Kamu cemburu, ya?" ejeknya. Sambil mencolek pipiku. Bukannya senang, rasa kesalku malah bertambah karenanya.
****
Malam harinya, setelah sempat terlelap beberapa saat, kembali kurasakan pergerakan dari samping kasurku lagi. Seperti kemarin, aku berpura-pura tidur kini. Namun tetap terus memerhatikan pergerakan suamiku. Lagi-lagi samar kulihat ia berjalan mengendap meninggalkan kamar, layaknya seorang maling.
Setelah beberapa saat Dani meninggalkan kamar, aku pun mengikutinya, tak lupa kali ini kubawa serta ponsel untuk merekam yang entah apa sedang dikerjakannya di luar sana, agar mendapat bukti.
Sama seperti kemarin, Dani kini berada di luar rumah sambil berbincang lewat telepon. Dari balik pintu aku mengupingnya. Kupasang juga sebuah rekaman di ponselku untuk merekam percakapannya.
"Iya sayang, nanti juga kita ketemu."
"Mungkin hari Sabtu aku bisa cari alasan untuk pergi menemuimu agar Shania tidak curiga."
Ah ... rupanya dia sedang merencanakan untuk membohongiku nanti agar bisa saling bertemu dengan bebas. Mengesalkan.
"Sayang, video call dong, masa teleponan gini saja sih? Oke siap, aku video call kamu ya, Sayang!"
Wah ..., kesempatan emas, aku bisa mengetahui langsung siapa orang itu dengan melihatnya di video.
Kulihat Dani tengah mengatur posisinya, beruntung layar ponselnya tepat terlihat dari tempatku mengintip lewat jendela. Jadi dengan mudah aku bisa mengetahui siapa gerangan yang tengah di teleponnya.
Tak lama sebuah gambar wanita terpampang jelas di layar ponselnya. Betapa aku terkejut ketika melihat siapa wanita itu. Dengan tangan gemetar karena tak percaya atas apa yang kulihat, aku tetap mencoba merekamnya, tak mau kehilangan momen untuk mengumpulkan bukti agar dia tak dapat mengelak nanti.
Namun, tiba-tiba ..., prak ....
Ponselku terlepas dari genggaman begitu saja, dan menimbulkan suara yang cukup nyaring.
Tiga bulan kemudian.Aku baru saja pulang dari persidangan pembacaan hukuman untuk Haya dan mulai berkutik kembali dengan pekerjaanku yang cukup menumpuk karena selalu terpotong karena kasus Haya ini. Tapi, selama mengikuti persidangan Haya, aku jadi tahu bahwa setelah bebas dari penjara kemarin ternyata Haya dan Dani masih berhubungan, bahkan saat Dani telah menikah dengan Salsa pun mereka masih sering bertemu. Menjijikan sekali.Lalu ternyata saat hari percobaan pembunuhan itu Haya yang memasang GPS pada ponsel Dani mengikutinya sampai ke Bogor. Ia marah besar saat mengetahui Dani malah menikah dengan wanita lain dan bukannya menepati janji untuk menikah dengan dirinya. Akhirnya Haya pun mengatur rencana untuk membunuh Dani. Pada malam setelah pernikahan, Haya memberikan minuman berisi obat tidur pada semua orang yang ada di rumah tempat berlangsungnya pernikahan Dani. Lalu setelah semuanya terlelap dia pun menyerang Dani dengan berbekal pistol yang didapatn
Setelah melepas semua emosinya akhirnya Salsa tertidur di kursi ruang tengah. Kini Ibu dan Bapak yang menemaninya karena aku harus menyusui Dewa.Ibu dan Bapak sangat terluka ketika mengetahui ulah Dani. Lagi, mereka harus menerima anaknya disakiti oleh lelaki yang sama. Seharusnya Salsa mengikuti ucapan kami yang melarangnya menikah dengan lelaki berengs3k itu agar semua ini tak terjadi.Saat sedang menyusui, tiba-tiba kulihat ada panggilan telepon dari Emil. Gegas aku mengangkatnya."Shania, kau tahu Haya sudah tertangkap?" tanya Emil.Ah ..., aku hampir saja melupakan kasus Haya. Meninggalnya Kayla dan kabar Dani menikah lagi membuat aku melupakan masalah yang satu itu."Syukurlah kalau dia sudah tertangkap. Di mana memang dia sembunyi?" tanyaku penasaran."Di Bogor.""Wah ..., jauh juga ya dia melarikan diri. Syukurlah polisi bisa menemukan dia," ucapku merasa lega. Setidaknya satu persatu masalah selesai."Tapi, Shania ...," ucap Emil terput
POV ShaniaRumah kini kembali sepi setelah Kayla dimakamkan dan para pelayat pun berangsur pulang. Suasana duka masih terasa menyelimuti seisi rumah.Rasanya ada yang aneh, setelah sebelumnya kami selalu mendengar celoteh Kayla yang mulai terdengar, kini semua tinggallah hening.Sedangkan Salsa, sejak pulang dari rumah sakit terus mengurung diri di kamar. Ia bahkan tak ikut dalam prosesi pemakaman, lebih memilih berdiam diri dan meratapi semuanya.Sejujurnya aku khawatir pada kondisinya. Sungguh aku akan merasa lebih tenang jika Salsa mengungkapkan emosinya, menangis, meraung-raung atau apa pun itu. Bukannya hanya berdiam diri seperti saat ini.Berulang kali Bapak dan Ibu memintanya keluar dan berkumpul bersama kami. Tapi sama sekali tak ada respon darinya.[Kak, apa Tuhan sedang menghukumku?]Sebuah pesan tiba-tiba masuk ke ponselku saat aku tengah membereskan perlengkapan Dewa. Dari Salsa.[Tapi kenapa harus K
Sungguh aku tak habis pikir apa yang ada di benaknya hingga Haya bisa berpikir seperti itu. Ia terus saja menagih janjinya agar aku mau menikahinya.Seperti saat ini, aku hanya bisa menarik nafas panjang atas permintaannya ini. Tak mungkin kan aku menikahinya di saat aku sudah menikah dengan Salsa lalu sebentar lagi saja aku akan menikahi Mirna?Aku memang suka bersama wanita, tapi tidak untuk menjadikan mereka istriku semuanya.[Aku ..., mencintaimu, Dani. Aku melakukan ini semua agar bisa segera hidup denganmu] ucapnya lagi melalui pesan.Mama yang melihat aku terus sibuk dengan ponselku, seketika mengambilnya paksa dari tanganku."Kamu jangan sibuk dengan ponsel terus, Dani! Sebentar lagi kamu menikah! Biar Mama saja yang pegang ponselmu ini. Agar nanti Salsa atau siapa pun tak akan mengganggumu!" ujar Mama sambil memasukkan ponselku dalan tasnya.****Keesokan harinya prosesi akad nikah dan resepsi berjalan lancar. K
Kadang terbersit rasa bersalah pada Salsa jika ingat sebentar lagi aku akan menduakannya. Dia saja belum aku bahagiakan dengan baik. Aku masih belum mendapat pekerjaan yang layak, dan harus membuatnya terus bertengkar dengan Shania karena belum bisa memberikannya rumah yang layak.Ya ..., walau memang rumah yang ditempatinya kini pun masih bisa dibilang rumahku juga sih, karena aku membelinya berdua dengan Shania. Salahnya aku waktu itu malah membiarkan sertifikat rumah ini atas namanya. Tapi ... toh nasi sudah menjadi bubur. Yang penting aku masih bisa tinggal di sini bersama anak dan istriku.Saat menikah dengan Salsa aku sempat berjanji menjadikan ia wanita satu-satunya. Tapi ternyata terpaksa kini aku harus menarik janjiku sendiri. Semua itu kulakukan demi baktiku pada kedua orang tuaku. Juga demi ... Mirna, gadis manis yang polos itu.Sesaat sebelum aku berangkat, Kayla terus menangis. Segala cara sudah aku dan Salsa coba agar anak itu terdiam dan bis
POV Dani[Dani, jangan lupa hari Kamis nanti kita akan ke Bogor. Keluarga Mirna sudah mempersiapkan segala keperluan untuk pernikahan kalian!]Kubaca ulang pesan yang dikirimkan oleh Mama beberapa saat yang lalu dan segera menghapus isi pesan tersebut sebelum Salsa membacanya.Ya, Mama terus memaksaku untuk menikah dengan Mirna, anak dari salah satu kolega Ayah."Mumpung masih ada yang mau menjadi istrimu, Dani! Kau tahu sepak terjangmu sangat parah sekali. Untung saja orang tuanya percaya pada ayahmu. Jadi mau saja menjadikanmu menantunya!" terang Mama saat memberitahukan perihal pernikahan ini."Bapaknya Mirna itu punya perternakan sapi yang besar. Kamu kalau sudah menikah dengan Mirna yang akan mengurusnya. Hidupmu akan kembali seperti dulu lagi jika menikah dengannya!" terang Mama tanpa kuminta sedikit pun.Tentu saja aku menolak ide wanita yang telah melahirkanku itu dengan keras. Aku kan sudah bertekad untuk bertobat, hanya ing