Hari minggu biasanya paling seru rebahan sambil main PS. Atau bermain dengan Leon-Louis, anjing kembar itu sedang masa lucu-lucunya membuat siapa saja ingin bermain tanpa peduli waktu. Sorenya ke halaman GOR untuk latihan skateboard. Malamnya nyanyi di kafe.
Sayangnya itu semua tidak akan terjadi untuk hari minggu ini karena Jeno diajak ayahnya entah kemana. Semakin masuk, rumah-rumah mulai berkurang tergantikan hamparan lahan juga tebing-tebing bekas pengerukan padas. Masuk lebih dalam, hanya ada pohon di sisi kanan dan kiri.
"Sebenarnya kita mau kemana sih, Dadd?"
Dirgantara (ayah Jeno) menoleh sambil tersenyum "jemput momm baru."
Wajah Jeno langsung menyerngit "maksudnya?" Tanyanya bingung. "Ibu baru Jeno, calon istri daddy bukan tarzan kan?" Tanya Jeno serius karena mereka seperti ada di tengah hutan.
Seketika tawa Dirgantara meledak membuat mobil yang mereka tumpangi oleng karena setir tanpa sengaja bergerak karena tawa Dirgantara. Untung saja jalanan sepi, hanya mobil yang mereka tumpangi yang melintas "Lihat saja nanti."
Jeno menggeleng dengan wajah tidak menyangka. Semenjak ibunya menikah dengan pasangan baru, ayahnya jadi aneh. Apalagi saat mendapat tuntutan dari nenek untuk segera menikah karena keduluan Jesica (ibu Jeno, mantan istri Dirgantara) yang sudah menikah lebih dulu, ayahnya jadi kalang kabut seperti kejar setoran.
Langit menggelap karena mendung, rintikan hujan mulai turun di sertai kabut tipis membuat pemandangan di depan indah. Tidak mau melewatan momen, Jeno mengeluarkan ponsel. Dia merekam rintikan hujan, kabut dan pohon-pohon yang bergerak selama lima belas detik lalu di unggah ke instastory. "Ck! Enggak ada sinyal?!" Gerutunya.
"Memang enggak ada, Jen."
Jeno melempar ponselnya ke dashboard. Moodnya yang sudah hancur seketika bertambah buruk. Jeno membelakangi Dirgantara, menghadap jendela. Dia melipat kaki ke atas kursi jok, melipat tangan di depan dada dengan mulut mencuat menandakan kekesalannya.
Dirgantara yang melihat wajah Jeno dari pantulan jendela menoleh sambil tersenyum tipis.
Lengan Jeno terangkat menggambar di embun yang menempel di kaca mobil. Dia terkikik saat menggambar seseorang yang dia sukai yang menghilang entah kemana setelah skandal kakanya. Jeno memandangi gambar yang tidak jelas itu sampai akhirnya matanya berat dan dia tertidur.
⚠️⚠️⚠️
Dirgantara mematikan mesin mobil. Dia melepas seatbelt sambil melihat Jeno yang masih tidur membelakanginya. Tangannya terangkat ingin menepuk pundak Jeno untuk membangunkannya, tapi urung karena Dirgantara tidak tega. Jadi dia membiarkan Jeno tetap tidur di mobil. Toh hanya sebentar dan Jeno tidak akan hilang, fikirnya.
Dirgantara turun, reflek merapikan kaos polo dan celana pendek selututnya. Melihat sekitar yang nampak sepi, Dirgantara segera menuju rumah yang menjadi tujuannya. Rumah calon istrinya.
Tok...
Tok ... tok!
Terdengar suara-suara dari dalam rumah membuat Dirgantara urung untuk mengetuk pintu lagi. Dia melepas kaca mata hitamnya bertepatan dengan pintu terbuka. Seorang pria berusia sekitar 45 tahun dengan kepala plontos dan shirtless, keluar. Dia memandang Dirgantara beberapa detik lalu keningnya berkerut "ya? Cari siapa?"
Dirgantara menyimpan kaca mata hitamnya di leher, "cari Juwita, Juwi ada?"
"Dia anakku. Kamu siapa? Kenapa mencari Juwi?"
Dirgantara memberikan tangannya tapi ayah Juwi hanya memandang tangan Dirgantara tanpa berniat membalas menyalami "saya Dirgantara calon suami Juwi."
Wajah ayah Juwi cengo. Dia tidak membalas jabatan tangan Dirgantara malah memandang Dirgantara bingung. "Mas eh bapak salah orang? Juwi anakku masih kecil. Dia baru 15 tahun." Jawabnya memberi sepuluh jari menolak tangan dan kedatangan Dirgantara.
"Juwita Andini. Dia calon istri saya."
Ayah Juwi tertawa, "mana mungkin? Anda terlihat dari kota besar. Mana mungkin kalian saling mengenal. Sana pergi!"
"Saya benar calon suami Juwi." Ucap Dirgantara meyakinkan. "Kalau bapak tidak percaya, panggil saja Juwi."
"Tidak! Anda pasti penipu."
"Tidak, pak. Percaya saya. Saya Dirgantara calon suami Juwi." Dirgantara masih meyakinkan membuat ayah Juwi termundur hingga setengah badannya masuk. "Kalau bapak menyuruh saya pergi, tidak menyetujui hubungan kami, Juwi harus mengembalikan uang saya."
"Berapa?"
"20 juta."
"Astaga." Ayah Juwi reflek menggaruk kepala karena kaget, dia jadi seperti orang ling-ling bolak-balik keluar-masuk. Fikirannya menjadi kacau dan terbelah-belah. Di satu sisi percaya, di sisi lain tidak percaya. "JUWI! JU ... JUWITA!" Panggil Ayah Juwi berteriak. "Ju ... sini, Ju!"
Terdengar suara nyanyian sambalado dari speaker Hp mendekat hingga akhirnya muncul cewek berpakaian baju tidur lusuh dengan rambut ikat asal dan tidak memakai sandal keluar dengan mata membulat bertanya "kenapa, pak?"
Ayah Juwi langsung menoyor kepala Juwi sampai membuat Juwi hampir terpelanting "kenapa-kenapa ... kamu itu yang kenapa. Kenapa bisa sampai punya hutang 20 juta?"
"Hutang apa, Pak?" Mata Juwi beralih melihat ke arah Dirgantara yang menatapnya ilfeel (?) lalu melihat ayahnya dengan kening berkerut menanyakan siapa orang asing yang ada di rumahnya ini.
"Hello, Juwi."
Juwi menyerngit "siapa?"
"Kamu tidak kenal?" Tanya ayah Juwi yang mendapat gelengan membuat ayah Juwi melihat Dirgantara mendelik garang. "Kamu membohongi saya, ha?!!"
"I'm Mister D. Don't you remember me?"
Juwi menutup mulutnya, dia melihat Dirgantara dengan mata melebar karena kaget sekaligus tidak menyangka "bag-- bagaimana bisa kamu kesini?"
"Tidak ada yang tidak bisa untuk saya, Juwi." Dirgantara mengambil tangan Juwi membuat Juwi reflek menepis kasar. "Ayo ikut saya. Katanya kamu mau jadi istri saya."
"Benar?" Marah Ayah Juwi melihat Juwi menuntut.
Juwi menggeleng kaku membuat Dirgantara tertawa kecil "saya sudah menafkahi kamu."
"Apa maksudnya?"
Juwi bergerak bingung, seluruh tubuhnya keringat dingin dengan jantung berdegup kencang. Dia yang merasa terganggu dengan nyanyian sambalado di Hp memukul Hpnya sampai batre terlepas hingga akhirnya lagu berhenti.
"Tidak. Aku tidak mau. Aku hanya bercanda. Aku fikir itu hanya untuk seru-seruan. Aku akan mengembalikan semua uangmu. Aku belum mengambilnya sama sekali."
"Oke." Jawab Dirgantara remeh. "Uangnya berbunga karena saya anggap sebagai pinjaman. Kamu akan saya lepas kalau kamu sanggup membayar bunganya."
"Berapa?"
"Dua juta untuk kelipatan lima."
Juwi menjambak rambutnya. Dia melempar ponselnya ke meja pelan karena masih kawatir ponsel satu-satunya rusak.
Juwi sama sekali tidak menyangka kalau iseng mencari sugar daddy di twitter bisa membuat hidupnya serumit ini. Niat Juwi hanya untuk bersenang-senang. Karena tidak saling mengenal, Juwi fikir tidak ada yang perlu di kawatirkan.
Mengenai uang nafkah. Mulanya Juwi tidak mau menerima uang itu. Tapi karena Sari (tetangganya) memiliki ponsel yang lebih bagus dan lebih canggih dari ponselnya membuat Juwi berniat menyaingi. Tadinya uang dari Dirgantara akan Juwi digunakan untuk membeli ponsel apel keluaran terbaru biar bisa pamer ke satu desa, ternyata semua hanya angan.
"Dapat uang dari mana, Juwi? Kamu ini menyusahkan bapak! Kalau ibumu tahu, sakitnya bisa kambuh!" Ayah Juwi menyambar ponsel Juwi yang ada di meja lalu membatinya hingga tak berbentuk.
Juwi meratapi nasib ponselnya. Dia jongkok memungut pecahan ponsel sambil menangis. "Maaf, pak. Maafkan Juwi."
Dirgantara mengambil nafas panjang, muak dengan drama keluarga di depannya "saya tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi malam."
Ayah Juwi menghadap Dirgantara, mau senakal apapun, Juwi tetap anaknya. "Beri kami keringanan."
Dirgantara smirk, dia sengaja menyulitkan agar semuanya berjalan cepat. "Baiklah, saya turunkan jadi satu juta untuk kelipatan sepuluh."
"Jumlah itu masih besar untuk kami."
"Sekarang pilihannya ada dua. Juwi ikut saya atau saya panggil polisi."
"Jangan!" Mohon ayah Juwi. Dia menghembuskan nafas panjang lalu menoleh kearah Juwi dengan mata putus asa. "Oke. Juwi ikut anda."
Dirgantara meraih tangan Juwi, kali ini di genggamnya erat agar tidak lepas.
"Apa anda akan segera menikahi Juwi?"
Dirgantara melihat Juwi lamat-lamat, terbesit di benaknya untuk melepas Juwi setelah melihatnya secara langsung karena Juwi jauh dari kreterianya. Bahkan dengan seujung kuku Jesica saja tidak ada "tidak. Saya akan mentraining dia supaya pantas bersanding dengan saya."
"Juwi boleh pulang?"
"Of course."
Ayah Juwi melega, dia akhirnya pasrah membiarkan Juwi ikut Dirgantara karena tidak ingin berurusan dengan polisi. Walau dalam fikirannya masih was-was tapi berusaha untuk berpikir jernih. Dia akan mencari cara untuk menjelaskannya ke istrinya yang masih ada di sawah.
⚠️⚠️⚠️
Jeno menguap, matanya mengedar sambil menyipit menyesuaikan cahaya yang masuk. Dari tempatnya dia bisa melihat Dirgantara yang sedang mengobrol dengan laki-laki berusia sekitar 45 tahun. Entah apa yang mereka debatkan, Jeno tidak peduli, cowok itu lebih memilih keluar mobil untuk meregangkan badan yang rasanya kaku semua karena tidur dengan posisi tidak nyaman, melipat badan.
"Uahhhh ..." Jeno melenguh panjang, dia mengangkat tangan tinggi-tinggi membuat perutnya mengintip dari sela-sela kaos. Mata Jeno menyipit saat melihat seseorang yang tak asing di ingatannya yang juga sedang melihatnya. Cowok itu tersenyum lalu menghampiri dengan mengucek mata karena matanya masih butuh penyesuaian dengan cahaya sekitar karena menguap lebar.
"Mika?"
"Jeno?"
Ucap mereka bersama.
"Ini beneran elo? Heh? Kok bisa di sini?" Ucap Jeno memutar badan Mika yang tentu mendapat perlawanan dari cewek cantik yang sedang mengendong anjing jenis pomeranian itu "semua orang nyari lo sama bang Yama. Ternyata kabur kesini."
Masih dengan sisa perlawanan karena tubuhnya di putar-putar, Mika melihat Jeno sambil mendongak karena Jeno lebih tinggi darinya. "Lo sendiri ngapain kesini?" Tanyanya sedikit sewot. Sepertinya dendam habis di putar-putar Jeno.
"Jemput mom baru."
"Hah?" Bingung Mika.
Jeno terkekeh "bingung kan lo?! Apalagi gue. Tau tuh daddy ada-ada aja kelakuannya."
Mika memanjangkan kepala "ada om juga?" Tanyanya penasaran. Jeno mengangguk reflek melihat belakang membuat Mika juga ikut melihat arah belakang Jeno tapi tidak melihat apa-apa hanya melihat mobil yang terparkir gagah di sana. "Jeno ..." cicit Mika membuat sebelah alis Jeno reangkat. "Jangan kasih tahu siapapun kalau gue sama bang Yama di sini." Mohonnya dengan mata membulat.
Jeno merapatkan bibir "ya emangnya siapa yang mau gue kasih tahu?" Ucapnya menjengkelkan "tapi lo tinggal di mana? Kenapa kabur sih?" Tanya Jeno masih tidak habis fikir. Bisa-bisanya Mika meninggalkan gemerlap kota dengan milih bersembunyi di desa terpencil. Padahal semua masalah bisa di selesaikan tanpa harus kabur dari kenyataan.
Mata Jeno tanpa sengaja menangkan seorang cowok berdiri tak jauh dari Mika. Dia melirik dengan pandangan tidak suka. "Masa dia sainganku?" Batin Jeno mendecih.
Mika melihat mata Jeno dengan pandangan melamun. "Gue cuman ikut bang Yama, Jen."
"Terus kapan balik?"
Mika menggeleng.
Jeno menipiskan bibir, dia melihat Mika lekat lalu maju selangkah kemudian memeluknya secara tiba-tiba membuat anjing Mika yang bermama Thor itu kaget dan loncat. Cowok yang ada di dekat Mika secara naluri langsung menangkap Thor agar anjing kecil itu tidak lari.
"Gini dulu." Ucap Jeno nyaman memeluk Mika. Dia tidak berani mengatakan rindu karena takut Mika mengetahui perasaannya dan semua akan berubah. Jeno tidak mau mereka menjadi akward.
"Jen." Protes Mika. Dia mendorong lengan Jeno sekuat tenaga. "Ini di desa. Lo enggak bisa main peluk-peluk gue kayak gini di tempat umum. Di desa punya aturan yang tidak tertulis yang harus di patuhi siapapun yang datang ke sini."
Jeno menurut, dia melepas pelukannya. "Ayo lanjut di mobil." Ajak Jeno.
"Katanya mau pulang, ayo!"
Suara cowok yang sedang mengendong Thor membuat perhatian Jeno teralih. Dia menatap cowok itu sengit memberi sinya pertempuran. Sayangnya Jeno langsung menciut saat di tatap balik oleh cowok itu. Dari penampilannya sepertinya dia berandal desa.
"Please, Mika."
"Maaf Jeno. Gue harus pulang." Ucap Mika lalu pergi membuat Jeno segera membuntut tapi suara Dirgantara menghentikan langkahnya.
"Jeno ayo pulang!"
Jeno berbalik badan, dia melihat Dirgantara dengan pandangan memusuhi "bentar, dadd. Ada Mika."
"Ngaco kamu. Mika enggak ada di sini. Ayo pulang!"
"Ck! Ad--" ucap Jeno melayang di udara saat dia berbalik badan, Mika tidak ada di manapun. Dengan langkah berat hati Jeno tertarik pasrah Dirgantara yang mengambil bahunya.
Tadi itu hanya halusinasi atau nyata?
⚠️⚠️⚠️
Dirgantara melirik rear-vision mirror. Sejak masuk mobil dia diam saja sambil melamun. Wajahnya melihat depan dengan tatapan kosong, Dirgantara jadi takut kalau dia kerasukan karena sekarang sedang melewati hutan dan masuk jam magrib "kamu kenapa, Jeno?" Tegur Dirgantara.Jeno mengecap, dia melirik Dirgantara lalu kembali melamun. "Aku tadi ketemu Mika. Tadinya aku mau ngikuti dia tapi daddy panggil dan paksa aku masuk mobil.""Mana mungkin Mika ada di desa itu, Jeno."Jeno berdecak. Dia melipat kaki di jok lalu melihat ke arah jendela. "Ada! Dia dan bang Yama bersembunyi di desa itu. Aku mengobrol dengan Mika, aku memeluknya!"Dirgantara melirik, dia menghembuskan nafas panjang. Semenjak Mika menghilang, Jeno jadi kurang semangat menjalani hari-harinya. Salahnya karena sibuk bekerja dan bersaing dengan Jesica membuatnya membiarkan Jeno bermain dengan Mika seharian penuh hingga Jeno menga
Lagu Way Back Home milik Shaun mengalun indah di kafe prince menemani pengunjung yang datang malam ini. Jeno bernyanyi sambil bermain gitar milik Yedam di panggung mini tengah kafe menghibur pengunjung yang datang . Lebih tepatnya mengajak galau bersama.Tepuk tangan terdengar saat Jeno menyelesaikan lagu dengan akhiran yang menyayat hati. Jeno mengucap terima kasih pada penonton lalu turun menuju meja depan barista menghampiri Yedam dan Yosi (kakak Yedam) yang menjadi operator instagram live."Galau lo makin parah, Jen." Yosi meledek.Jeno yang baru selesai minum apple tea mengusap mulutnya dengan punggung tangan. "Mau gila aja rasanya." Ucapnya menyandarkan punggung di meja barista membelakangi barista. "Masa bokap gue--""Bentar!" Potong Yedam menjeda. "Gue pindah dulu tripot sama Hpnya, nanti penonton live music pada denger." Ucap Yedam sambil melakukan. Yedam memind
Jeno membanting tubuh di kasur. Dia menghembuskan nafas panjang sambil melihat langit-langit kamar, meraih guling lalu diletakan di bawah kepala. Jeno menghembuskan nafas berkali-kali. Hidupnya sungguh membosankan. Hari ini dia tidak berangkat sekolah karena belum mewarnai rambut menjadi hitam. Jeno terlalu malas karena lelah kemarin diajak pergi ke desa.Jeno mewarnai rambut menjadi warna blonde karena permintaan klien. Semenjak menjadi penganti model untuk produk baru milik perusahaan Dirgantara, Jeno jadi laris job karena wajahnya yang tampan juga status anak pengusaha. Tapi dia hanya mengambil job iklan agar waktunya tidak tersita untuk dunia entertaiment.Jeno merogoh ponsel yang ada di celana. Dia membuka room chat milik seseorang yang sampai sekarang belum membalas pesannya. Jeno menghembuskan nafas panjang, dia melempar ponsel sembarang ke kasur lalu keluar kearah balkon.Perhatian Jeno teralih saat melihat Juwi te
Yosi menyenggol Daniel yang ada di sebelahnya. Dia menggerakan kepala, berkode menanyakan kenapa dan ada apa gerangan dengan Jeno yang kerap kali gagal melakukan trik skateboard bahkan dengan trik yang paling dasar sepertikickflip Jeno gagal, padahal dia jagonya skateboard."Gak tau!" Ketus Daniel.Yosi melengos, dia mengangkat wajah saat Jeno dan Yedam kembali. "Main lo jelek banget, Jen. Kebanyakan galau!" Hardik Yedam duduk di sebelah Yosi lalu menyambar botol berisi rendalam air lemon kemudian meminumnya hingga setengah.Daniel melirik, Yosi merangkul bahu Jeno lalu menepuknya pelan "kenapa lagi, hm?"Jeno melihat ke arah lintasan dengan mata menyipit, tangannya merogoh botol yang tertindih jaket Daniel "Gak tau, perasaan gue gak enak terus dari tadi.""Gak enak, ya di enakin lah. Kasih garem kek."Jeno memukul kepala Daniel menggunakan botol yang isinya setengah
Jeno berhenti saat sampai di depan lobi apartmen. Tanpa kata dia langsung pergi membuat Yuna memandangnnya dengan hati ngedumel tapi tetap tahu diri untuk tidak menjulidi atau menyumpahi Jeno karena sudah mengantarnya ke apartmen kekasihnya."Sial! Gue lupa kasih tahu Jeno jangan bilang ke Daniel." Monolog Yuna lalu merogoh ponsel untuk mengirim pesan ke Jeno agar tidak melapor ke Daniel, kembarannya.Yuna masuk dengan riang. Dia segera masuk lift lalu menekan tombol untuk membawanya ke lantai 20 di mana apartmen kekasihnya berada. Sebenarnya itu apartmen milik Yuna, dia membelinya dari uang jajan yang di tabung selama kurang lebih sebulan.Yuna berikan pada kekasihnya karena tidak tega dengan kekasinya yang tinggal di kosan kecil. Bukan di berikan secara cuma-cuma tapi hanya untuk di tempati. Apartmen itu tetap atas nama Yuna Mananta.Di dalam lift sudah ada pasangan muda-mudi yang kira-kira beru
Juwi pusing. Matanya terasa juling saat melihat banyaknya pakaian, aksesoris, sepatu, tas dan lain sebagainya yang menunjuang penampilan, mengelilinginya. Rasanya mual saat melihat sepatu atau tas dengan model dan merek sama hanya beda warna berjejer rapih di lemari penyimpanan. Atau saat jam dan kaca mata berjejer rapih di dalam estalase. Atau pakaian yang di susun rapi berdasarkan warna dan penggunaan.Juwi terkekeh dalam hati, mengumpati dirinya 'anak kampung' karena hanya melihat pakaian dan aksesoris dirinya pusing dan mual.Miss Dara mengajak Juwi ke Dara's colection untuk praktik secara langsung. Miss Dara akan melihat selera fashion Juwi lalu memberi tahu atau mengoreksinya saat mix and match Juwi tidak cocok atau bertabrakan dengan selera fashion Dirgantara.Miss Dara mengajak Juwi duduk di sofa yang ada di depan fitting room, dia menjelaskan banyak hal. Mengulang pembelajaran saat di rumah agar
Yuna duduk di atas kasur sambil memeluk kakinya yang tertekuk. Dia memejamkan mata sambil mengepalkan tangan kuat-kuat sampai bisa merasakan kukunya menancap di telapak tangan dengan hati bergemuruh tidak tenang memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.Hembusan nafas berat berkali-kali berhembus dari hidung Yuna. Kepalanya tiba-tiba pening yang tak lama bahunya bergetar sambil menoleh pada Jonathan yang sedang tidur di sampingnya dengan badan polos yang hanya tertutup selimut hitam tebal.Yuna terisak, dia menutup wajahnya dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanan meremat selimut yang menutup badan polosnya. Yuna benar-benar menyesal. Dia ingin memutar waktu. Andai saja tadi bisa menahan diri. Andai saja tadi tidak terbawa suasana, andai saja saat Jonathan menawarkan untuk berhenti dia menurut. Andai saja dia tidak kabur dari Daniel. Andai saja ... arghh kenapa penyesalan selalu datang terlambat?"Sa
Yuna melangkah lebih dulu memasuki rumah. Nuansa Eropa klasik langsung terasa saat permainan piano dengan melodi lembut terdengar di seluruh penjuru ruang, yang berati ayahnya di rumah. Karena Mananta tidak suka kesepian. Bukan berati suka keributan. Lebih tepatnya suka musik yang menenangkan.Sedangkan Daniel memarkir motor di garasi hidrolik yang ada di bawah tanah.Seorang maid menghampiri Yuna, dia sedikit mendenguskan hidung membuat Yuna mengambil jarak. "Memang sebau itu?" Batin Yuna sambil membau dirinya sendiri."Nona, sudah di tunggu tuan dan nyonya di meja makan." Ucap maid memberi tahu dengan sopan.Yuna memanjangkan wajah ke arah ruangan yang terhalang akurium api besar sebagai pembatas ruangan. Dia melihat ke arah meja makan yang sudah ada ayahnya dan Jesica, dengan tatapan tak terbaca. Apalagi saat melihat mereka mengbrol sambi sesekali tertawa dan bermesraan. "Mau mandi. Suruh mereka makan duluan. Gue mandinya lama!"