Share

Aku (bukan) sugar baby
Aku (bukan) sugar baby
Penulis: Anjar Putri

00. Prolog

Hari minggu biasanya paling seru rebahan sambil main PS. Atau bermain dengan Leon-Louis, anjing kembar itu sedang masa lucu-lucunya membuat siapa saja ingin bermain tanpa peduli waktu. Sorenya ke halaman GOR untuk latihan skateboard. Malamnya nyanyi di kafe.

Sayangnya itu semua tidak akan terjadi untuk hari minggu ini karena Jeno diajak ayahnya entah kemana. Semakin masuk, rumah-rumah mulai berkurang tergantikan hamparan lahan juga tebing-tebing bekas pengerukan padas. Masuk lebih dalam, hanya ada pohon di sisi kanan dan kiri.

"Sebenarnya kita mau kemana sih, Dadd?"

Dirgantara (ayah Jeno) menoleh sambil tersenyum "jemput momm baru."

Wajah Jeno langsung menyerngit "maksudnya?" Tanyanya bingung. "Ibu baru Jeno, calon istri daddy bukan tarzan kan?" Tanya Jeno serius karena mereka seperti ada di tengah hutan.

Seketika tawa Dirgantara meledak membuat mobil yang mereka tumpangi oleng karena setir tanpa sengaja bergerak karena tawa Dirgantara. Untung saja jalanan sepi, hanya mobil yang mereka tumpangi yang melintas "Lihat saja nanti."

Jeno menggeleng dengan wajah tidak menyangka. Semenjak ibunya menikah dengan pasangan baru, ayahnya jadi aneh. Apalagi saat mendapat tuntutan dari nenek untuk segera menikah karena keduluan Jesica (ibu Jeno, mantan istri Dirgantara) yang sudah menikah lebih dulu, ayahnya jadi kalang kabut seperti kejar setoran.

Langit menggelap karena mendung, rintikan hujan mulai turun di sertai kabut tipis membuat pemandangan di depan indah. Tidak mau melewatan momen, Jeno mengeluarkan ponsel. Dia merekam rintikan hujan, kabut dan pohon-pohon yang bergerak selama lima belas detik lalu di unggah ke instastory. "Ck! Enggak ada sinyal?!" Gerutunya.

"Memang enggak ada, Jen."

Jeno melempar ponselnya ke dashboard. Moodnya yang sudah hancur seketika bertambah buruk. Jeno membelakangi Dirgantara, menghadap jendela. Dia melipat kaki ke atas kursi jok, melipat tangan di depan dada dengan mulut mencuat menandakan kekesalannya.

Dirgantara yang melihat wajah Jeno dari pantulan jendela menoleh sambil tersenyum tipis.

Lengan Jeno terangkat menggambar di embun yang menempel di kaca mobil. Dia terkikik saat menggambar seseorang yang dia sukai yang menghilang entah kemana setelah skandal kakanya. Jeno memandangi gambar yang tidak jelas itu sampai akhirnya matanya berat dan dia tertidur.

⚠️⚠️⚠️

Dirgantara mematikan mesin mobil. Dia melepas seatbelt sambil melihat Jeno yang masih tidur membelakanginya. Tangannya terangkat ingin menepuk pundak Jeno untuk membangunkannya, tapi urung karena Dirgantara tidak tega. Jadi dia membiarkan Jeno tetap tidur di mobil. Toh hanya sebentar dan Jeno tidak akan hilang, fikirnya.

Dirgantara turun, reflek merapikan kaos polo dan celana pendek selututnya. Melihat sekitar yang nampak sepi, Dirgantara segera menuju rumah yang menjadi tujuannya. Rumah calon istrinya.

Tok...

Tok ... tok!

Terdengar suara-suara dari dalam rumah membuat Dirgantara urung untuk mengetuk pintu lagi. Dia melepas kaca mata hitamnya bertepatan dengan pintu terbuka. Seorang pria berusia sekitar 45 tahun dengan kepala plontos dan shirtless, keluar. Dia memandang Dirgantara beberapa detik lalu keningnya berkerut "ya? Cari siapa?"

Dirgantara menyimpan kaca mata hitamnya di leher, "cari Juwita, Juwi ada?"

"Dia anakku. Kamu siapa? Kenapa mencari Juwi?"

Dirgantara memberikan tangannya tapi ayah Juwi hanya memandang tangan Dirgantara tanpa berniat membalas menyalami "saya Dirgantara calon suami Juwi."

Wajah ayah Juwi cengo. Dia tidak membalas jabatan tangan Dirgantara malah memandang Dirgantara bingung. "Mas eh bapak salah orang? Juwi anakku masih kecil. Dia baru 15 tahun." Jawabnya memberi sepuluh jari menolak tangan dan kedatangan Dirgantara.

"Juwita Andini. Dia calon istri saya."

Ayah Juwi tertawa, "mana mungkin? Anda terlihat dari kota besar. Mana mungkin kalian saling mengenal. Sana pergi!"

"Saya benar calon suami Juwi." Ucap Dirgantara meyakinkan. "Kalau bapak tidak percaya, panggil saja Juwi."

"Tidak! Anda pasti penipu."

"Tidak, pak. Percaya saya. Saya Dirgantara calon suami Juwi." Dirgantara masih meyakinkan membuat ayah Juwi termundur hingga setengah badannya masuk. "Kalau bapak menyuruh saya pergi, tidak menyetujui hubungan kami, Juwi harus mengembalikan uang saya."

"Berapa?"

"20 juta."

"Astaga." Ayah Juwi reflek menggaruk kepala karena kaget, dia jadi seperti orang ling-ling bolak-balik keluar-masuk. Fikirannya menjadi kacau dan terbelah-belah. Di satu sisi percaya, di sisi lain tidak percaya. "JUWI! JU ... JUWITA!" Panggil Ayah Juwi berteriak. "Ju ... sini, Ju!"

Terdengar suara nyanyian sambalado dari speaker Hp mendekat hingga akhirnya muncul cewek berpakaian baju tidur lusuh dengan rambut ikat asal dan tidak memakai sandal keluar dengan mata membulat bertanya "kenapa, pak?"

Ayah Juwi langsung menoyor kepala Juwi sampai membuat Juwi hampir terpelanting "kenapa-kenapa ... kamu itu yang kenapa. Kenapa bisa sampai punya hutang 20 juta?"

"Hutang apa, Pak?" Mata Juwi beralih melihat ke arah Dirgantara yang menatapnya ilfeel (?) lalu melihat ayahnya dengan kening berkerut menanyakan siapa orang asing yang ada di rumahnya ini.

"Hello, Juwi."

Juwi menyerngit "siapa?"

"Kamu tidak kenal?" Tanya ayah Juwi yang mendapat gelengan membuat ayah Juwi melihat Dirgantara mendelik garang. "Kamu membohongi saya, ha?!!"

"I'm Mister D. Don't you remember me?"

Juwi menutup mulutnya, dia melihat Dirgantara dengan mata melebar karena kaget sekaligus tidak menyangka "bag-- bagaimana bisa kamu kesini?"

"Tidak ada yang tidak bisa untuk saya, Juwi." Dirgantara mengambil tangan Juwi membuat Juwi reflek menepis kasar. "Ayo ikut saya. Katanya kamu mau jadi istri saya."

"Benar?" Marah Ayah Juwi melihat Juwi menuntut.

Juwi menggeleng kaku membuat Dirgantara tertawa kecil "saya sudah menafkahi kamu."

"Apa maksudnya?"

Juwi bergerak bingung, seluruh tubuhnya keringat dingin dengan jantung berdegup kencang. Dia yang merasa terganggu dengan nyanyian sambalado di Hp memukul Hpnya sampai batre terlepas hingga akhirnya lagu berhenti.

"Tidak. Aku tidak mau. Aku hanya bercanda. Aku fikir itu hanya untuk seru-seruan. Aku akan mengembalikan semua uangmu. Aku belum mengambilnya sama sekali."

"Oke." Jawab Dirgantara remeh. "Uangnya berbunga karena saya anggap sebagai pinjaman. Kamu akan saya lepas kalau kamu sanggup membayar bunganya."

"Berapa?"

"Dua juta untuk kelipatan lima."

Juwi menjambak rambutnya. Dia melempar ponselnya ke meja pelan karena masih kawatir ponsel satu-satunya rusak.

Juwi sama sekali tidak menyangka kalau iseng mencari sugar daddy di twitter bisa membuat hidupnya serumit ini. Niat Juwi hanya untuk bersenang-senang. Karena tidak saling mengenal, Juwi fikir tidak ada yang perlu di kawatirkan.

Mengenai uang nafkah. Mulanya Juwi tidak mau menerima uang itu. Tapi karena Sari (tetangganya) memiliki ponsel yang lebih bagus dan lebih canggih dari ponselnya membuat Juwi berniat menyaingi. Tadinya uang dari Dirgantara akan Juwi digunakan untuk membeli ponsel apel keluaran terbaru biar bisa pamer ke satu desa, ternyata semua hanya angan.

"Dapat uang dari mana, Juwi? Kamu ini menyusahkan bapak! Kalau ibumu tahu, sakitnya bisa kambuh!" Ayah Juwi menyambar ponsel Juwi yang ada di meja lalu membatinya hingga tak berbentuk.

Juwi meratapi nasib ponselnya. Dia jongkok memungut pecahan ponsel sambil menangis. "Maaf, pak. Maafkan Juwi."

Dirgantara mengambil nafas panjang, muak dengan drama keluarga di depannya "saya tidak punya banyak waktu. Sebentar lagi malam."

Ayah Juwi menghadap Dirgantara, mau senakal apapun, Juwi tetap anaknya. "Beri kami keringanan."

Dirgantara smirk, dia sengaja menyulitkan agar semuanya berjalan cepat. "Baiklah, saya turunkan jadi satu juta untuk kelipatan sepuluh."

"Jumlah itu masih besar untuk kami."

"Sekarang pilihannya ada dua. Juwi ikut saya atau saya panggil polisi."

"Jangan!" Mohon ayah Juwi. Dia menghembuskan nafas panjang lalu menoleh kearah Juwi dengan mata putus asa. "Oke. Juwi ikut anda."

Dirgantara meraih tangan Juwi, kali ini di genggamnya erat agar tidak lepas.

"Apa anda akan segera menikahi Juwi?"

Dirgantara melihat Juwi lamat-lamat, terbesit di benaknya untuk melepas Juwi setelah melihatnya secara langsung karena Juwi jauh dari kreterianya. Bahkan dengan seujung kuku Jesica saja tidak ada "tidak. Saya akan mentraining dia supaya pantas bersanding dengan saya."

"Juwi boleh pulang?"

"Of course."

Ayah Juwi melega, dia akhirnya pasrah membiarkan Juwi ikut Dirgantara karena tidak ingin berurusan dengan polisi. Walau dalam fikirannya masih was-was tapi berusaha untuk berpikir jernih. Dia akan mencari cara untuk menjelaskannya ke istrinya yang masih ada di sawah.

⚠️⚠️⚠️

Jeno menguap, matanya mengedar sambil menyipit menyesuaikan cahaya yang masuk. Dari tempatnya dia bisa melihat Dirgantara yang sedang mengobrol dengan laki-laki berusia sekitar 45 tahun. Entah apa yang mereka debatkan, Jeno tidak peduli, cowok itu lebih memilih keluar mobil untuk meregangkan badan yang rasanya kaku semua karena tidur dengan posisi tidak nyaman, melipat badan.

"Uahhhh ..." Jeno melenguh panjang, dia mengangkat tangan tinggi-tinggi membuat perutnya mengintip dari sela-sela kaos. Mata Jeno menyipit saat melihat seseorang yang tak asing di ingatannya yang juga sedang melihatnya. Cowok itu tersenyum lalu menghampiri dengan mengucek mata karena matanya masih butuh penyesuaian dengan cahaya sekitar karena menguap lebar.

"Mika?"

"Jeno?"

Ucap mereka bersama.

"Ini beneran elo? Heh? Kok bisa di sini?" Ucap Jeno memutar badan Mika yang tentu mendapat perlawanan dari cewek cantik yang sedang mengendong anjing jenis pomeranian itu "semua orang nyari lo sama bang Yama. Ternyata kabur kesini."

Masih dengan sisa perlawanan karena tubuhnya di putar-putar, Mika melihat Jeno sambil mendongak karena Jeno lebih tinggi darinya. "Lo sendiri ngapain kesini?" Tanyanya sedikit sewot. Sepertinya dendam habis di putar-putar Jeno.

"Jemput mom baru."

"Hah?" Bingung Mika.

Jeno terkekeh "bingung kan lo?! Apalagi gue. Tau tuh daddy ada-ada aja kelakuannya."

Mika memanjangkan kepala "ada om juga?" Tanyanya penasaran. Jeno mengangguk reflek melihat belakang membuat Mika juga ikut melihat arah belakang Jeno tapi tidak melihat apa-apa hanya melihat mobil yang terparkir gagah di sana. "Jeno ..." cicit Mika membuat sebelah alis Jeno reangkat. "Jangan kasih tahu siapapun kalau gue sama bang Yama di sini." Mohonnya dengan mata membulat.

Jeno merapatkan bibir "ya emangnya siapa yang mau gue kasih tahu?" Ucapnya menjengkelkan "tapi lo tinggal di mana? Kenapa kabur sih?" Tanya Jeno masih tidak habis fikir. Bisa-bisanya Mika meninggalkan gemerlap kota dengan milih bersembunyi di desa terpencil. Padahal semua masalah bisa di selesaikan tanpa harus kabur dari kenyataan.

Mata Jeno tanpa sengaja menangkan seorang cowok berdiri tak jauh dari Mika. Dia melirik dengan pandangan tidak suka. "Masa dia sainganku?" Batin Jeno mendecih.

Mika melihat mata Jeno dengan pandangan melamun. "Gue cuman ikut bang Yama, Jen."

"Terus kapan balik?"

Mika menggeleng.

Jeno menipiskan bibir, dia melihat Mika lekat lalu maju selangkah kemudian memeluknya secara tiba-tiba membuat anjing Mika yang bermama Thor itu kaget dan loncat. Cowok yang ada di dekat Mika secara naluri langsung menangkap Thor agar anjing kecil itu tidak lari.

"Gini dulu." Ucap Jeno nyaman memeluk Mika. Dia tidak berani mengatakan rindu karena takut Mika mengetahui perasaannya dan semua akan berubah. Jeno tidak mau mereka menjadi akward.

"Jen." Protes Mika. Dia mendorong lengan Jeno sekuat tenaga. "Ini di desa. Lo enggak bisa main peluk-peluk gue kayak gini di tempat umum. Di desa punya aturan yang tidak tertulis yang harus di patuhi siapapun yang datang ke sini."

Jeno menurut, dia melepas pelukannya. "Ayo lanjut di mobil." Ajak Jeno.

"Katanya mau pulang, ayo!"

Suara cowok yang sedang mengendong Thor membuat perhatian Jeno teralih. Dia menatap cowok itu sengit memberi sinya pertempuran. Sayangnya Jeno langsung menciut saat di tatap balik oleh cowok itu. Dari penampilannya sepertinya dia berandal desa.

"Please, Mika."

"Maaf Jeno. Gue harus pulang." Ucap Mika lalu pergi membuat Jeno segera membuntut tapi suara Dirgantara menghentikan langkahnya.

"Jeno ayo pulang!"

Jeno berbalik badan, dia melihat Dirgantara dengan pandangan memusuhi "bentar, dadd. Ada Mika."

"Ngaco kamu. Mika enggak ada di sini. Ayo pulang!"

"Ck! Ad--" ucap Jeno melayang di udara saat dia berbalik badan, Mika tidak ada di manapun. Dengan langkah berat hati Jeno tertarik pasrah Dirgantara yang mengambil bahunya.

Tadi itu hanya halusinasi atau nyata?

⚠️⚠️⚠️

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status