AKU DI ANTARA KALIAN
- Minta Tanggungjawab [Maaf, jangan diganggu. Mas Gala barusan tidur.] Balasan pesan yang diterima oleh Kiara saat teleponnya pada Manggala via messenger ditolak. Pasti Nada yang membalasnya. Dada Kiara berdesir. Rasa nyerinya hingga ke ulu hati. Ditariknya napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Seharian menimbang-nimbang sampai malam. Kalau tidak menghubungi Manggala, dia ikut khawatir kalau kerjasama itu akan gagal. Kiara juga sudah berjanji pada ibu mertuanya untuk menghubungi sang suami. Akhirnya memutuskan menelepon via media sosialnya. Tapi yang membalas ternyata Nada. Kiara berbaring di samping Arsha. Membelai pipi lembut anaknya yang tidur pulas. Anak yang hampir digugurkan disaat dirinya tahu kalau tengah hamil. Kebingungan karena Narendra menghilang begitu saja. Setelah berjanji akan menikahi dan bersumpah tidak akan meninggalkannya. Dua tahun yang lalu .... Langit sore menggelap perlahan saat Kiara duduk di bangku panjang rumah sakit, menggenggam selembar formulir. Tangannya gemetar. Pandangannya tertuju pada pintu dengan plakat bertuliskan dr. Ratna Widyasari, SpOG. Di balik pintu itulah keputusannya akan dibuat. Keputusan yang mungkin akan mengubah segalanya. "Kiara Andriani?" panggil suster dari pintu. Dengan langkah berat, Kiara masuk ke ruangan beraroma antiseptik itu. Di balik meja, seorang perempuan paruh baya tersenyum hangat padanya. "Selamat sore, Dok," sapanya sebelum duduk. "Selamat sore. Silakan duduk." Dokter yang ramah. Setelah ditanya, Kiara diam sejenak menyusun kalimat. "Dok, maaf. Bisakah membantu saya menghentikan kehamilan ini." Suara Kiara bergetar. Dokter Ratna menatapnya tanpa langsung menjawab. Dia tahu maksud kalimat pasien baru di hadapannya. Karena sudah tak terhitung dia mendapatkan kasus seperti ini. Dokter itu mengamati wajah Kiara yang pucat, mata yang sayu karena kurang tidur. Dia membaca formulir di tangannya. "Usiamu dua puluh tiga tahun." "Ya, Dok." "Masih kuliah?" "Baru wisuda tiga bulan yang lalu." "Boleh saya tahu berapa usia kandunganmu sekarang?" "Sekitar delapan minggu mungkin, saya kurang pasti." "Mari saya periksa dulu." Kiara bangkit dan hatinya terusik melihat tampilan layar USG. Janinnya tampak di sana. Setelah selesai pemeriksaan, Kiara kembali duduk berhadapan dengan dokter. "Usia kehamilanmu delapan minggu. Kondisinya sehat." Dokter memandang Kiara yang mengangguk samar. Dia tidak perlu bertanya, kenapa pasien ingin menggugurkan kehamilannya. Karena dari data yang ada, pastinya Kiara hamil di luar nikah. Seperti pasien-pasien yang pernah datang padanya. "Izinkan saya bercerita sedikit, ya." "Ya, Dok." "Saya sudah menjadi dokter kandungan selama lebih dari dua puluh tahun. Banyak perempuan datang dengan permasalahan dan alasan yang sama. Takut, malu, marah, putus asa. Jangan membuat keputusan saat sedang hancur, kamu akan menyesalinya karena keputusanmu adalah sebuah dosa." Kiara menunduk. "Tapi saya sendiri. Saya tidak siap. Saya tidak punya siapa-siapa lagi. Orang tua saya sudah meninggal. Saya tidak tahu harus bagaimana." "Jangan jadikan bayimu korban karena pilihan orang dewasa yang salah. Jangan menambah dosa. Kamu juga datang pada orang yang salah, saya tidak bersedia menggugurkannya. Jangan menambah kesalahan yang fatal, Nak." Air mata Kiara meleleh diam-diam. Dia keluar dari ruangan dokter dengan langkah gontai dan benar-benar bingung. Ini dokter kedua yang ia datangi. Dokter pertama justru langsung menyuruhnya pulang. Dua minggu kemudian, Kiara berdiri di depan gerbang sebuah rumah megah dengan pekarangan luas. Rumah keluarga Narendra. Napasnya memburu, tangan berkeringat. Ia menguatkan diri, lalu melangkah memasuki halaman. Seorang ART menghampiri dan menyapanya. Ia diminta menunggu dan tidak lama kemudian seorang pria berwajah tegas, berkumis tipis muncul di dari dalam. Dia Pak Gatot, ayah Narendra. Tubuh Kiara kian menggigil. Tapi tak ada pilihan lain selain menemui mereka. "Assalamu'alaikum, Pak. Saya Kiara. Saya anaknya almarhum Pak Said dan Bu Nuryani." "Oh, iya. Mari masuk." Lelaki itu pria yang ramah. Mempersilakan Kiara duduk di ruang tamu. Mereka tinggal di desa yang sama meski jarak rumah agak jauh, jadi Pak Gatot pun mengenal orang tua Kiara. "Ada perlu apa kamu datang ke sini?" "Saya hamil, Pak." Suaranya tercekat. "Anak Mas Rendra." Kiara panas dingin mengucapkan kalimat itu. Lelaki yang tadinya ramah, rona wajahnya langsung berubah. Dahinya mengernyit sambil menatap tajam Kiara dengan pandangan tak percaya. "Kamu nggak bercanda?" "Nggak, Pak." Kiara menggeleng. Lalu terdengar tawa getir Pak Gatot seraya menggosok dagunya. Keraguan tampak nyata karena selama ini Narendra tidak pernah menceritakan hubungannya dengan Kiara. "Anak muda zaman sekarang, ya ... mudah sekali menuduh. Apa buktinya? Apa kamu pacaran dengan anak saya?" "Sudah setahun, Pak." Pak Gatot masih tersenyum sinis. "Rendra menghilang tanpa kabar sudah dua bulan, lalu kamu datang mengaku hamil anaknya, apa mungkin saya percaya." "Kalau Bapak ragu, saya siap tes DNA. Saya siap dipenjara kalau ternyata saya berbohong. Saya juga mencari dan menghubungi Mas Rendra, tapi tidak bisa." Kiara menangis disela rasa putus asa karena diragukan pengakuannya. Bu Puri yang sejak tadi melihat dari balik pintu keluar menghampiri. Dia kenal juga dengan Kiara dan sudah mendengarkan semua percakapan tadi. Kiara mendadak jatuh berlutut di depan mereka sambil menangis. Memohon pada Bu Puri. Membuat air mata Bu Puri jatuh. Ia mengenal Kiara. Gadis yang lembut dan baik. Dia juga mengenal Narendra seperti apa. "Maumu apa sekarang? Rendra juga sudah pergi entah ke mana." Pak Gatot bicara dengan nada geram. Geram juga pada sang anak yang selalu menentang dirinya. "Saya ingin pertanggungjawaban, Pak." "Pertanggungjawaban bagaimana, Rendra pun nggak ada," ujar lelaki itu sinis. Tapi juga iba pada Kiara. Sebab adik perempuannya pernah mengalami hal yang sama. Hening. Akhirnya Kiara pulang tanpa keputusan apa-apa. Seminggu tambah terpuruk dan berpikir untuk menyudahi hidupnya. Namun ia masih takut mati. Hingga suatu malam, Kiara dipanggil ke rumah besar itu lagi. Ruang tamu rumah keluarga Narendra menjadi saksi keputusan besar. Kiara duduk di depan Bu Puri dan Pak Gatot. Di antara mereka, duduk Manggala. Pria muda itu menyorot tajam padanya. Membuat Kiara benar-benar tidak berani memandangnya. "Kamu akan menikah dengan Manggala." Ucapan Pak Gatot memecah hening yang mencekam. Entah bagaimana perbincangan mereka sebelumnya, tapi keputusan itu yang didengar oleh Kiara. Manggala membuang pandang ke luar sana. Rahangnya mengeras dan tangan bertaut erat. Dia tidak bisa menentang meski ada kekasihnya yang akan tersakiti karena keputusan ini. Beberapa malam ia dan kedua orang tuanya terlibat perdebatan hebat. Kenapa dia yang harus menanggung dosa kakaknya? Seminggu setelah itu, pernikahan Kiara dan Manggala dilaksanakan. Seminggu kemudian mereka pindah untuk menempati salah satu rumah milik keluarga Manggala yang berada di ujung desa. Manggala yang meminta pindah. Kiara menghela nafas panjang mengingat kenangan paling pahit dalam hidupnya. Lalu apa setelah Manggala bertanggungjawab, hidup mereka bahagia? Manggala pria yang tidak banyak bicara. Tapi memenuhi segala kebutuhannya. Mengantarkan ke dokter, membelikan sesuatu yang Kiara inginkan, menemani saat lahiran, hingga membuat Kiara merasa aman. Meski terkadang pria itu juga melampiaskan kekecewaannya karena harus bertanggungjawab atas apa yang tidak pernah dilakukannya. Karena menikahi Kiara, ia harus mengubur segala rencananya. Namun rasa nyaman yang mulai terbangun, akhirnya hancur dikala Manggala meminta izin untuk menikahi kekasihnya. "Aku akan menikahi Nada." Next .... Selamat membaca 🫶🏻AKU DI ANTARA KALIAN- Perhatian "Aku akan menikahi Nada," ucap Manggala suatu malam, suaranya datar tapi serasa menggelegar di pendengaran Kiara.Wanita itu membeku. Sejenak napasnya tercekat. Matanya menatap ke arah sang suami, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Dipikir setelah Manggala tidak membahas nama gadis itu lagi, semua sudah selesai. Ternyata diam-diam mereka masih tetap menjalin hubungan. "Nada masih menungguku. Dia rela aku mempertanggungjawabkan kesalahan kakakku, tapi dia juga tidak meninggalkanku. Kami sudah merencanakan pernikahan waktu itu."Seolah Kiara merasakan seluruh isi ruangan runtuh menimpanya. Ucapan Manggala terasa seperti pukulan telak. Ia menarik napas dalam. Sadar, Kiara. Kamu ini bukan siapa-siapa. Masih untung Manggala mau bertanggungjawab atas apa yang tidak dilakukannya. "Kapan?" pertanyaannya nyaris tak terdengar."Bulan depan. Aku bicara baik-baik denganmu. Aku tidak ingin diam-diam melakukannya, Kiara.""Jadi aku harus menandatangani
AKU DI ANTARA KALIAN- Di mana dia?"Cari dia sampai ketemu. Harus ketemu!" teriak Pak Gatot pada seseorang di seberang sana. Suaranya begitu gusar.Kiara tercekat. Kembali teringat sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Pria yang melemparnya pada jurang penyesalan dan penderitaan. Tapi Narendra juga lelaki yang pernah berjasa dalam hidupnya.Tergesa Kiara menuju pintu samping, tidak ingin ketahuan telah mendengar percakapan ayah mertuanya. Mereka sudah begitu baik, sudi menerima dan mempercayai pengakuannya. Juga bertanggungjawab.Ia duduk di kursi dekat pintu samping. Saat memandang ke dalam, tatapannya jatuh pada foto ukuran sangat besar yang tergantung di dinding ruang keluarga. Foto keluarga suaminya. Narendra yang berdiri bersama Manggala di belakang kedua orang tuanya, tampak gagah dan tampan dengan setelan jas hitam.Buru-buru Kiara mengalihkan perhatian. Nyeri kembali mengiris hati.[Kia, kamu baik-baik saja, kan?] Ini pesan terakhir yang dikirim Narendra padanya setelah ma
AKU DI ANTARA KALIAN- Mengajak BersamaSesakit apapun, ia harus menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Toh mereka sudah menjalani hal itu setahun lebih.Baru saja Kiara masuk kamar, Arsha menangis kencang. Manggala menghampiri baby crip lantas meraih bocah itu. Dia kaget dengan suhu tubuh bayi lelakinya. "Badannya panas."Wajah Kiara berubah panik. Ia menyentuh kening putranya dan mengambil bocah itu dari gendongan ayahnya. Benar, Arsha demam."Biar aku yang bikinkan susu." Manggala ke arah meja di pojok ruangan. Di mana Kiara selalu menyediakan perlengkapan membuat susu untuk malam hari di sana. ASI-nya tidak keluar pasca melahirkan. Mungkin karena stres dengan keadaan, makanya ASI tidak lancar."Panasnya 38°." Kiara khawatir setelah membaca hasil dari termogun. Cukup tinggi panas tubuh Arsha. Padahal sore tadi anaknya baik-baik saja."Kita bawa ke dokter," ujar Manggala seraya memberikan susu pada istrinya. Arsha berhenti menangis mendapatkan susu."Besok saja kalau panasn
AKU DI ANTARA KALIAN- Butuh Pengakuan "Halo.""Kiara, aku Nada." Kiara kaget mendengar suara itu, dadanya berdebar. Di layar tidak ada foto profilnya. Mungkin karena nomer Nada tidak tersimpan, jadi tidak tampak di ponselnya Kiara. Untuk apa wanita itu meneleponnya? Bukankah beberapa menit yang lalu sudah menelepon Manggala."Oh iya, Mbak. Ada apa?""Aku ingin minta nomer teleponnya ayah dan ibunya Mas Gala."Kembali Kiara tercekat. Dia mana berani memberikan nomer telepon mertuanya pada Nada. Walaupun wanita itu juga istrinya Manggala. "Kenapa Mbak Nada nggak minta sama Mas Gala saja?""Nggak. Sama kamu saja. Kirim, ya. Kutunggu. Tapi jangan kasih tahu Mas Gala.""Maaf, Mbak. Saya nggak bisa. Mbak, minta saja sama Mas Gala. Maaf banget," tolak Kiara secara halus. Bukankah Nada bisa mengambil nomor itu diam-diam di ponselnya Manggala jika mereka bertemu. Nada berani membuka ponsel suaminya, sedangkan Kiara tidak pernah sekalipun.Terdengar Nada berdecak lirih. "Apa susahnya sih t
AKU DI ANTARA KALIAN - Mari Kita Bicara"Kenapa diajak ke sini? Arsha kan masih sakit?" Pria menjulang di depan pintu akhirnya masuk ke dalam. Arsha berlari memeluk ayahnya. Bocah itu tersenyum menampakkan gigi kecilnya yang berjajar rapi. Manggala langsung mengangkat dan menggendongnya. Lengan kecil Arsha melingkar di leher. Manggala mencium kening Arsha dam merasakan kalau suhu tubuh anak itu sudah normal."Arsha sudah sembuh. Mas, kok tahu kami di sini?" "Aku tadi mau pulang, lewat depan sana dan melihat motormu di bawah pohon mangga. Ayo, kita pulang. Biar Arsha naik mobil bersamaku." Manggala berbalik hendak melangkah, tapi Kiara mencegahnya. "Mas, sebenarnya ada yang ingin kubicarakan." Suara Kiara terdengar biasa, tapi ada ketegangan di sorot matanya.Langkah Manggala terhenti. Dia kembali memandang pada Kiara yang masih duduk di tikar. "Bicara apa?""Bagaimana kalau kita bicara di sini saja?"Setelah berpikir sejenak, Manggala mengangguk. Kemudian dia keluar untuk mengambil
AKU DI ANTARA KALIAN- Aku Tidak Pulang Author's POV "Aku nggak pulang malam ini?" ucap Manggala tanpa menoleh pada perempuan yang sedang sibuk mencuci botol susu di kitchen sink."Kiara ....""Iya. Aku sudah dengar," jawab Kiara seraya meniriskan botol di wadah dekat rak piring. Ia pun tanpa menoleh pada sang suami."Nanti kalau ibu datang bertanya, bilang aku ke Surabaya."Kiara mengangguk. Kemudian sibuk mengambil piring di rak lantas menatanya di atas meja makan. Sedangkan Manggala yang baru saja duduk, merogoh ponselnya di saku celana. Pria itu lantas bangkit menerima telepon di teras samping.Setiap menerima telepon dari wanita itu, Manggala selalu menjauh darinya. Entah demi menjaga perasaannya atau memang tidak ingin perbincangan dengan istrinya di sana, didengar Kiara.Istrinya? Ya. Manggala menikahi kekasih hatinya tiga bulan yang lalu. Kiara ini Perempuan yang ditinggalkan sang kakak dalam keadaan hamil dua bulan. Dan kedua orang tua Manggala memaksa sang putra untuk meni
AKU DI ANTARA KALIAN - Mari Kita Bicara"Kenapa diajak ke sini? Arsha kan masih sakit?" Pria menjulang di depan pintu akhirnya masuk ke dalam. Arsha berlari memeluk ayahnya. Bocah itu tersenyum menampakkan gigi kecilnya yang berjajar rapi. Manggala langsung mengangkat dan menggendongnya. Lengan kecil Arsha melingkar di leher. Manggala mencium kening Arsha dam merasakan kalau suhu tubuh anak itu sudah normal."Arsha sudah sembuh. Mas, kok tahu kami di sini?" "Aku tadi mau pulang, lewat depan sana dan melihat motormu di bawah pohon mangga. Ayo, kita pulang. Biar Arsha naik mobil bersamaku." Manggala berbalik hendak melangkah, tapi Kiara mencegahnya. "Mas, sebenarnya ada yang ingin kubicarakan." Suara Kiara terdengar biasa, tapi ada ketegangan di sorot matanya.Langkah Manggala terhenti. Dia kembali memandang pada Kiara yang masih duduk di tikar. "Bicara apa?""Bagaimana kalau kita bicara di sini saja?"Setelah berpikir sejenak, Manggala mengangguk. Kemudian dia keluar untuk mengambil
AKU DI ANTARA KALIAN- Butuh Pengakuan "Halo.""Kiara, aku Nada." Kiara kaget mendengar suara itu, dadanya berdebar. Di layar tidak ada foto profilnya. Mungkin karena nomer Nada tidak tersimpan, jadi tidak tampak di ponselnya Kiara. Untuk apa wanita itu meneleponnya? Bukankah beberapa menit yang lalu sudah menelepon Manggala."Oh iya, Mbak. Ada apa?""Aku ingin minta nomer teleponnya ayah dan ibunya Mas Gala."Kembali Kiara tercekat. Dia mana berani memberikan nomer telepon mertuanya pada Nada. Walaupun wanita itu juga istrinya Manggala. "Kenapa Mbak Nada nggak minta sama Mas Gala saja?""Nggak. Sama kamu saja. Kirim, ya. Kutunggu. Tapi jangan kasih tahu Mas Gala.""Maaf, Mbak. Saya nggak bisa. Mbak, minta saja sama Mas Gala. Maaf banget," tolak Kiara secara halus. Bukankah Nada bisa mengambil nomor itu diam-diam di ponselnya Manggala jika mereka bertemu. Nada berani membuka ponsel suaminya, sedangkan Kiara tidak pernah sekalipun.Terdengar Nada berdecak lirih. "Apa susahnya sih t
AKU DI ANTARA KALIAN- Mengajak BersamaSesakit apapun, ia harus menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Toh mereka sudah menjalani hal itu setahun lebih.Baru saja Kiara masuk kamar, Arsha menangis kencang. Manggala menghampiri baby crip lantas meraih bocah itu. Dia kaget dengan suhu tubuh bayi lelakinya. "Badannya panas."Wajah Kiara berubah panik. Ia menyentuh kening putranya dan mengambil bocah itu dari gendongan ayahnya. Benar, Arsha demam."Biar aku yang bikinkan susu." Manggala ke arah meja di pojok ruangan. Di mana Kiara selalu menyediakan perlengkapan membuat susu untuk malam hari di sana. ASI-nya tidak keluar pasca melahirkan. Mungkin karena stres dengan keadaan, makanya ASI tidak lancar."Panasnya 38°." Kiara khawatir setelah membaca hasil dari termogun. Cukup tinggi panas tubuh Arsha. Padahal sore tadi anaknya baik-baik saja."Kita bawa ke dokter," ujar Manggala seraya memberikan susu pada istrinya. Arsha berhenti menangis mendapatkan susu."Besok saja kalau panasn
AKU DI ANTARA KALIAN- Di mana dia?"Cari dia sampai ketemu. Harus ketemu!" teriak Pak Gatot pada seseorang di seberang sana. Suaranya begitu gusar.Kiara tercekat. Kembali teringat sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Pria yang melemparnya pada jurang penyesalan dan penderitaan. Tapi Narendra juga lelaki yang pernah berjasa dalam hidupnya.Tergesa Kiara menuju pintu samping, tidak ingin ketahuan telah mendengar percakapan ayah mertuanya. Mereka sudah begitu baik, sudi menerima dan mempercayai pengakuannya. Juga bertanggungjawab.Ia duduk di kursi dekat pintu samping. Saat memandang ke dalam, tatapannya jatuh pada foto ukuran sangat besar yang tergantung di dinding ruang keluarga. Foto keluarga suaminya. Narendra yang berdiri bersama Manggala di belakang kedua orang tuanya, tampak gagah dan tampan dengan setelan jas hitam.Buru-buru Kiara mengalihkan perhatian. Nyeri kembali mengiris hati.[Kia, kamu baik-baik saja, kan?] Ini pesan terakhir yang dikirim Narendra padanya setelah ma
AKU DI ANTARA KALIAN- Perhatian "Aku akan menikahi Nada," ucap Manggala suatu malam, suaranya datar tapi serasa menggelegar di pendengaran Kiara.Wanita itu membeku. Sejenak napasnya tercekat. Matanya menatap ke arah sang suami, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Dipikir setelah Manggala tidak membahas nama gadis itu lagi, semua sudah selesai. Ternyata diam-diam mereka masih tetap menjalin hubungan. "Nada masih menungguku. Dia rela aku mempertanggungjawabkan kesalahan kakakku, tapi dia juga tidak meninggalkanku. Kami sudah merencanakan pernikahan waktu itu."Seolah Kiara merasakan seluruh isi ruangan runtuh menimpanya. Ucapan Manggala terasa seperti pukulan telak. Ia menarik napas dalam. Sadar, Kiara. Kamu ini bukan siapa-siapa. Masih untung Manggala mau bertanggungjawab atas apa yang tidak dilakukannya. "Kapan?" pertanyaannya nyaris tak terdengar."Bulan depan. Aku bicara baik-baik denganmu. Aku tidak ingin diam-diam melakukannya, Kiara.""Jadi aku harus menandatangani
AKU DI ANTARA KALIAN- Minta Tanggungjawab[Maaf, jangan diganggu. Mas Gala barusan tidur.]Balasan pesan yang diterima oleh Kiara saat teleponnya pada Manggala via messenger ditolak. Pasti Nada yang membalasnya. Dada Kiara berdesir. Rasa nyerinya hingga ke ulu hati. Ditariknya napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja.Seharian menimbang-nimbang sampai malam. Kalau tidak menghubungi Manggala, dia ikut khawatir kalau kerjasama itu akan gagal. Kiara juga sudah berjanji pada ibu mertuanya untuk menghubungi sang suami. Akhirnya memutuskan menelepon via media sosialnya. Tapi yang membalas ternyata Nada.Kiara berbaring di samping Arsha. Membelai pipi lembut anaknya yang tidur pulas. Anak yang hampir digugurkan disaat dirinya tahu kalau tengah hamil. Kebingungan karena Narendra menghilang begitu saja. Setelah berjanji akan menikahi dan bersumpah tidak akan meninggalkannya.Dua tahun yang lalu ....Langit sore menggelap perlahan saat Kiara duduk di bangku panjang rumah sakit, me
AKU DI ANTARA KALIAN- Aku Tidak Pulang Author's POV "Aku nggak pulang malam ini?" ucap Manggala tanpa menoleh pada perempuan yang sedang sibuk mencuci botol susu di kitchen sink."Kiara ....""Iya. Aku sudah dengar," jawab Kiara seraya meniriskan botol di wadah dekat rak piring. Ia pun tanpa menoleh pada sang suami."Nanti kalau ibu datang bertanya, bilang aku ke Surabaya."Kiara mengangguk. Kemudian sibuk mengambil piring di rak lantas menatanya di atas meja makan. Sedangkan Manggala yang baru saja duduk, merogoh ponselnya di saku celana. Pria itu lantas bangkit menerima telepon di teras samping.Setiap menerima telepon dari wanita itu, Manggala selalu menjauh darinya. Entah demi menjaga perasaannya atau memang tidak ingin perbincangan dengan istrinya di sana, didengar Kiara.Istrinya? Ya. Manggala menikahi kekasih hatinya tiga bulan yang lalu. Kiara ini Perempuan yang ditinggalkan sang kakak dalam keadaan hamil dua bulan. Dan kedua orang tua Manggala memaksa sang putra untuk meni