AKU DI ANTARA KALIAN
- Minta Tanggungjawab [Maaf, jangan diganggu. Mas Gala barusan tidur.] Balasan pesan yang diterima oleh Kiara saat teleponnya pada Manggala via messenger ditolak. Pasti Nada yang membalasnya. Dada Kiara berdesir. Rasa nyerinya hingga ke ulu hati. Ditariknya napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Seharian menimbang-nimbang sampai malam. Kalau tidak menghubungi Manggala, dia ikut khawatir kalau kerjasama itu akan gagal. Kiara juga sudah berjanji pada ibu mertuanya untuk menghubungi sang suami. Akhirnya memutuskan menelepon via media sosialnya. Tapi yang membalas ternyata Nada. Kiara berbaring di samping Arsha. Membelai pipi lembut anaknya yang tidur pulas. Anak yang hampir digugurkan disaat dirinya tahu kalau tengah hamil. Kebingungan karena Narendra menghilang begitu saja. Setelah berjanji akan menikahi dan bersumpah tidak akan meninggalkannya. Dua tahun yang lalu .... Langit sore menggelap perlahan saat Kiara duduk di bangku panjang rumah sakit, menggenggam selembar formulir. Tangannya gemetar. Pandangannya tertuju pada pintu dengan plakat bertuliskan dr. Ratna Widyasari, SpOG. Di balik pintu itulah keputusannya akan dibuat. Keputusan yang mungkin akan mengubah segalanya. "Kiara Andriani?" panggil suster dari pintu. Dengan langkah berat, Kiara masuk ke ruangan beraroma antiseptik itu. Di balik meja, seorang perempuan paruh baya tersenyum hangat padanya. "Selamat sore, Dok," sapanya sebelum duduk. "Selamat sore. Silakan duduk." Dokter yang ramah. Setelah ditanya, Kiara diam sejenak menyusun kalimat. "Dok, maaf. Bisakah membantu saya menghentikan kehamilan ini." Suara Kiara bergetar. Dokter Ratna menatapnya tanpa langsung menjawab. Dia tahu maksud kalimat pasien baru di hadapannya. Karena sudah tak terhitung dia mendapatkan kasus seperti ini. Dokter itu mengamati wajah Kiara yang pucat, mata yang sayu karena kurang tidur. Dia membaca formulir di tangannya. "Usiamu dua puluh tiga tahun." "Ya, Dok." "Masih kuliah?" "Baru wisuda tiga bulan yang lalu." "Boleh saya tahu berapa usia kandunganmu sekarang?" "Sekitar delapan minggu mungkin, saya kurang pasti." "Mari saya periksa dulu." Kiara bangkit dan hatinya terusik melihat tampilan layar USG. Janinnya tampak di sana. Setelah selesai pemeriksaan, Kiara kembali duduk berhadapan dengan dokter. "Usia kehamilanmu delapan minggu. Kondisinya sehat." Dokter memandang Kiara yang mengangguk samar. Dia tidak perlu bertanya, kenapa pasien ingin menggugurkan kehamilannya. Karena dari data yang ada, pastinya Kiara hamil di luar nikah. Seperti pasien-pasien yang pernah datang padanya. "Izinkan saya bercerita sedikit, ya." "Ya, Dok." "Saya sudah menjadi dokter kandungan selama lebih dari dua puluh tahun. Banyak perempuan datang dengan permasalahan dan alasan yang sama. Takut, malu, marah, putus asa. Jangan membuat keputusan saat sedang hancur, kamu akan menyesalinya karena keputusanmu adalah sebuah dosa." Kiara menunduk. "Tapi saya sendiri. Saya tidak siap. Saya tidak punya siapa-siapa lagi. Orang tua saya sudah meninggal. Saya tidak tahu harus bagaimana." "Jangan jadikan bayimu korban karena pilihan orang dewasa yang salah. Jangan menambah dosa. Kamu juga datang pada orang yang salah, saya tidak bersedia menggugurkannya. Jangan menambah kesalahan yang fatal, Nak." Air mata Kiara meleleh diam-diam. Dia keluar dari ruangan dokter dengan langkah gontai dan benar-benar bingung. Ini dokter kedua yang ia datangi. Dokter pertama justru langsung menyuruhnya pulang. Dua minggu kemudian, Kiara berdiri di depan gerbang sebuah rumah megah dengan pekarangan luas. Rumah keluarga Narendra. Napasnya memburu, tangan berkeringat. Ia menguatkan diri, lalu melangkah memasuki halaman. Seorang ART menghampiri dan menyapanya. Ia diminta menunggu dan tidak lama kemudian seorang pria berwajah tegas, berkumis tipis muncul di dari dalam. Dia Pak Gatot, ayah Narendra. Tubuh Kiara kian menggigil. Tapi tak ada pilihan lain selain menemui mereka. "Assalamu'alaikum, Pak. Saya Kiara. Saya anaknya almarhum Pak Said dan Bu Nuryani." "Oh, iya. Mari masuk." Lelaki itu pria yang ramah. Mempersilakan Kiara duduk di ruang tamu. Mereka tinggal di desa yang sama meski jarak rumah agak jauh, jadi Pak Gatot pun mengenal orang tua Kiara. "Ada perlu apa kamu datang ke sini?" "Saya hamil, Pak." Suaranya tercekat. "Anak Mas Rendra." Kiara panas dingin mengucapkan kalimat itu. Lelaki yang tadinya ramah, rona wajahnya langsung berubah. Dahinya mengernyit sambil menatap tajam Kiara dengan pandangan tak percaya. "Kamu nggak bercanda?" "Nggak, Pak." Kiara menggeleng. Lalu terdengar tawa getir Pak Gatot seraya menggosok dagunya. Keraguan tampak nyata karena selama ini Narendra tidak pernah menceritakan hubungannya dengan Kiara. "Anak muda zaman sekarang, ya ... mudah sekali menuduh. Apa buktinya? Apa kamu pacaran dengan anak saya?" "Sudah setahun, Pak." Pak Gatot masih tersenyum sinis. "Rendra menghilang tanpa kabar sudah dua bulan, lalu kamu datang mengaku hamil anaknya, apa mungkin saya percaya." "Kalau Bapak ragu, saya siap tes DNA. Saya siap dipenjara kalau ternyata saya berbohong. Saya juga mencari dan menghubungi Mas Rendra, tapi tidak bisa." Kiara menangis disela rasa putus asa karena diragukan pengakuannya. Bu Puri yang sejak tadi melihat dari balik pintu keluar menghampiri. Dia kenal juga dengan Kiara dan sudah mendengarkan semua percakapan tadi. Kiara mendadak jatuh berlutut di depan mereka sambil menangis. Memohon pada Bu Puri. Membuat air mata Bu Puri jatuh. Ia mengenal Kiara. Gadis yang lembut dan baik. Dia juga mengenal Narendra seperti apa. "Maumu apa sekarang? Rendra juga sudah pergi entah ke mana." Pak Gatot bicara dengan nada geram. Geram juga pada sang anak yang selalu menentang dirinya. "Saya ingin pertanggungjawaban, Pak." "Pertanggungjawaban bagaimana, Rendra pun nggak ada," ujar lelaki itu sinis. Tapi juga iba pada Kiara. Sebab adik perempuannya pernah mengalami hal yang sama. Hening. Akhirnya Kiara pulang tanpa keputusan apa-apa. Seminggu tambah terpuruk dan berpikir untuk menyudahi hidupnya. Namun ia masih takut mati. Hingga suatu malam, Kiara dipanggil ke rumah besar itu lagi. Ruang tamu rumah keluarga Narendra menjadi saksi keputusan besar. Kiara duduk di depan Bu Puri dan Pak Gatot. Di antara mereka, duduk Manggala. Pria muda itu menyorot tajam padanya. Membuat Kiara benar-benar tidak berani memandangnya. "Kamu akan menikah dengan Manggala." Ucapan Pak Gatot memecah hening yang mencekam. Entah bagaimana perbincangan mereka sebelumnya, tapi keputusan itu yang didengar oleh Kiara. Manggala membuang pandang ke luar sana. Rahangnya mengeras dan tangan bertaut erat. Dia tidak bisa menentang meski ada kekasihnya yang akan tersakiti karena keputusan ini. Beberapa malam ia dan kedua orang tuanya terlibat perdebatan hebat. Kenapa dia yang harus menanggung dosa kakaknya? Seminggu setelah itu, pernikahan Kiara dan Manggala dilaksanakan. Seminggu kemudian mereka pindah untuk menempati salah satu rumah milik keluarga Manggala yang berada di ujung desa. Manggala yang meminta pindah. Kiara menghela nafas panjang mengingat kenangan paling pahit dalam hidupnya. Lalu apa setelah Manggala bertanggungjawab, hidup mereka bahagia? Manggala pria yang tidak banyak bicara. Tapi memenuhi segala kebutuhannya. Mengantarkan ke dokter, membelikan sesuatu yang Kiara inginkan, menemani saat lahiran, hingga membuat Kiara merasa aman. Meski terkadang pria itu juga melampiaskan kekecewaannya karena harus bertanggungjawab atas apa yang tidak pernah dilakukannya. Karena menikahi Kiara, ia harus mengubur segala rencananya. Namun rasa nyaman yang mulai terbangun, akhirnya hancur dikala Manggala meminta izin untuk menikahi kekasihnya. "Aku akan menikahi Nada." Next .... Selamat membaca 🫶🏻"Memangnya saat itu ada orang lain di rumah kita?" Manggala malah ganti bertanya.Kiara mengembuskan napas pelan. Ditatapnya sang suami. Lelaki yang keras kepala, kadang konyol, suka memaksakan kehendak, tapi hatinya juga gampang jatuh iba.Beberapa menit kemudian, suasana mulai mencair. Kiara mematikan layar laptop dan mencabut flashdisk milikinya. "Mas tahu nggak, betapa stresnya aku waktu kehilangan benda ini?""Ya, Mas tahu kamu mencarinya setiap hari. Sampai di kolong-kolong lemari dan meja." Manggala menahan senyum."Ish." Kiara mencubit pinggang suaminya. "Tega kamu, Mas. Kenapa saat itu diam saja.""Mas harus tega demi melihatmu bertahan."Keduanya saling pandang. Mereka terdiam menikmati keheningan yang tercipta. Sedangkan di luar, suara gemerisik di gudang terdengar samar.Manggala menarik Kiara dalam dekapannya. Mencium keningnya berulangkali. Dan sang istri membalas pelukannya. Tidak peduli seberapa keras permasalahan menekan, selama mereka masih bisa saling memaafkan, men
Kiara menatap meja kerja suaminya. Di sana ada tumpukan kertas kerja, katalog desain, dan sketch book berada di atasnya. Kiara duduk di kursi putarnya Manggala. Tiba-tiba ia tertarik untuk membuka laci. Penasaran karena selama mampir ke situ, Kiara tidak pernah membukanya.Tangannya terhenti saat melihat sebuah flashdisk warna hitam ada di pojok. Diambilnya benda itu lalu diamati untuk memastikan, itu miliknya atau bukan. Dan ... hati Kiara mencelos. Benar, itu flashdisk yang selama ini ia cari dan dikira hilang ternyata ada di laci meja kerja suaminya. Benda yang menyimpan CV dan semua file desain yang pernah ia buat beberapa tahun lalu. Tapi kenapa ada di sini? Tidak mungkin benda itu jalan sendiri kalau tidak dipindahkan. Jadi, Manggala yang telah mengambilnya?Pintu terbuka dan Manggala tersenyum ke arahnya."Mas!" serunya kesal. Kiara berdiri dan Manggala mendekat."Ada apa, Sayang?"Tanpa berkata, Kiara mengangkat tangan dan menunjukkan flashdisk di genggamannya. Wajahnya terlih
AKU DI ANTARA KALIAN- Akhirnya Ketemu Pagi itu menjadi pagi yang penuh suka cita di ruang makan keluarga Pak Gatot. Mereka menyambut bahagia kabar baik dari Tiana. Setelah Kiara keguguran, sekarang Tiana yang berbadan dua. Menjadi rezeki yang tak ternilai harganya dari pernikahan Narendra dan Tiana. Rizky terlihat berbinar-binar mendengar kalau dia mau punya adik. Tentu saja sangat bahagia. Usianya hampir delapan tahunSetelah mengantarkan Rizky ke sekolah, Narendra dan Tiana langsung pergi ke tempat praktek dokter Maya. Di mana mereka selama ini selalu konsultasi dan menjalani program kehamilan.Dokter Maya menyambut mereka dengan senyum hangat. Tiana masih berdebar saja. Ini memang bukan kehamilan yang pertama, tapi kehamilan ini disambut dengan luar biasa oleh suami dan keluarganya. Beberapa menit kemudian, dokter Maya menunjukkan layar monitor USG ke arah mereka. "Ini kantung kehamilannya," ujar sang dokter sambil menunjuk titik kecil pada layar. "Usia kehamilan sekitar 4–5 mi
Mereka tidak ada yang datang ke rumah sakit, karena dilarang Manggala. Biar Kiara bisa istirahat dengan tenang pasca keguguran. Toh keesokan harinya juga sudah boleh pulang. Jadi sehari semalam, Kiara hanya ditemani oleh Manggala.Anak-anak diboyong semua ke rumah neneknya. Sebab si kembar rewel mencari ibunya. Di rumah sang nenek, mereka ceria karena ada kakek, nenek, pakdhe, dan budhenya. Ada Rizky yang menemani mereka bermain. Keesokan harinya, dari rumah sakit Manggala langsung mampir menjemput anak-anak ke rumah ibunya. Kiara juga ikut turun. Bu Puri tergopoh menghampiri dan meraih tangan menantunya. "Saya nggak apa-apa kok, Bu," kata Kiara sambil tersenyum."Duduklah dulu. Anak-anak diajak pakdhe sama budhenya keluar tadi. Sekalian nganterin Rizky dan Arsha ke sekolah."Pantas saja rumah sepi. Kiara dan Manggala duduk di ruang makan. Mak Yah membuatkan dua gelas teh hangat. Mereka ngobrol bertiga, karena Pak Gatot sudah ke Garasi."Ibu nggak nyangka kamu hamil lagi, Ki. Padaha
Keringat dingin membasahi pelipis dan tengkuknya. Ia memanggil Manggala, "Mas!"Di kamar mandi, suara air berhenti. Manggala keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia sudah mengenakan celana dan kaus warna hitam. Pria itu kaget melihat istrinya yang membungkuk menahan perutnya. "Sayang, kamu kenapa?" Manggala berlari ke sisinya. Wajah Kiara pucat. Keringat mengalir deras di pelipis, bahkan lehernya sampai basah.Kiara menggigit bibir. Tubuhnya gemetar, tangan mencengkeram perut. "Perutku tiba-tiba sakit banget, Mas," desisnya.Wanita itu menggigil dan merasakan bawahnya basah. Tangan kanannya menyentuh bagian bawah tubuhnya, dan saat ia mengangkat telapak tangan, darah menodai jemarinya. Mereka berdua sama-sama kaget dan panik.Tanpa pikir panjang, Manggala langsung membopong Kiara keluar kamar. "Mbak Asih, tolong bukain pintu depan!" teriaknya pada Mbak Asih.Wanita yang tengah menyiapkan sarapan, sontak berlari. Dalam kepanikan, ia mengambil kerudung Kiara yang a
AKU DI ANTARA KALIAN- Buah Penantian "Kaira, sini, Sayang!"Nada mendengar suara Manggala memanggil anak itu. Jadi nama anaknya Kaira. Wanita itu melirik pada gadis kecil yang usianya tak beda jauh dari anaknya.Kaira yang sudah terlanjur melihat anak kecil yang saat itu juga memandangnya, tidak mau pergi dari sana. Mereka saling pandang. Anaknya Nada ingin turun, tapi ditahan oleh ibunya.Sedangkan Kaira ingin mendekat dan berkenalan. Ketika kaki kecilnya hendak melangkah, Manggala menghampiri dan meraih tubuh sang anak. Kaira tertawa geli saat ayahnya membopong sambil menciuminya.Nada bernapas lega. Namun ia tetap berusaha bersikap sebiasa mungkin. Agar suaminya tidak curiga.Setelah mereka menjauh, Nada menoleh. Dari sini dia tahu kalau anaknya Manggala kembar. Gadis kecil di dekatnya tadi sama anak laki-laki yang sedang digandeng oleh seorang ART mereka.Dia tidak sanggup bertemu lagi dengan mereka. Terakhir ketika Nada datang untuk meminta maaf. Setelah itu berharap tak berjum