AKU DI ANTARA KALIAN
- Perhatian "Aku akan menikahi Nada," ucap Manggala suatu malam, suaranya datar tapi serasa menggelegar di pendengaran Kiara. Wanita itu membeku. Sejenak napasnya tercekat. Matanya menatap ke arah sang suami, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Dipikir setelah Manggala tidak membahas nama gadis itu lagi, semua sudah selesai. Ternyata diam-diam mereka masih tetap menjalin hubungan. "Nada masih menungguku. Dia rela aku mempertanggungjawabkan kesalahan kakakku, tapi dia juga tidak meninggalkanku. Kami sudah merencanakan pernikahan waktu itu." Seolah Kiara merasakan seluruh isi ruangan runtuh menimpanya. Ucapan Manggala terasa seperti pukulan telak. Ia menarik napas dalam. Sadar, Kiara. Kamu ini bukan siapa-siapa. Masih untung Manggala mau bertanggungjawab atas apa yang tidak dilakukannya. "Kapan?" pertanyaannya nyaris tak terdengar. "Bulan depan. Aku bicara baik-baik denganmu. Aku tidak ingin diam-diam melakukannya, Kiara." "Jadi aku harus menandatangani surat izin poligami?" "Kami nikah siri dulu. Sebab Nada juga sibuk. Terdesak juga karena adik perempuan Nada akan menikah. Orang tuanya tidak ingin Nada dilangkahi adiknya." Selesai bicara, Manggala beranjak pergi ke ruang kerjanya. Kepalanya terasa berat. Kiara menunduk, menatap jemari yang bertaut di pangkuannya. Ingin berkata tidak, ingin menolak, ingin marah. Tapi Kiara justru mengangguk. Dia bisa apa? Telah berhutang budi pada Manggala dan lelaki itu berhak bahagia. Namun ini menyakitinya. Ia tidak menolak ijab qobul ulang setelah selesai nifas saat itu. Sebab dipikirnya akan bahagia. Bisa menjalani pernikahan dengan Manggala sebagaimana mestinya. Apalagi setelah ijab kabul usai persalinan, ia dan Manggala juga menjalani pernikahan seperti pada umumnya. Berhubungan sebagaimana mestinya. Kiara tersenyum getir. Ah, ternyata bahagia itu hanya mimpinya saja. Pada kenyataannya dia terluka oleh dua lelaki yang notabene bersaudara. Hari-hari berikutnya menjadi mimpi buruk. Kiara meski hancur, berusaha berdiri tegak. Ia menahan luka, menahan tangis, dan ikut terlibat dalam persiapan pernikahan Manggala dengan perempuan lain. Ia yang memilihkan cincin, yang membeli perhiasan untuk Nada karena Manggala sangat sibuk kala itu. "Apa aku bodoh, Ya Allah," ucapnya lirih sambil menunduk. Ya, dirinya memang sebodoh-bodohnya perempuan. Kalau pintar, tentu tidak akan menyerahkan kehormatannya pada lelaki yang belum menjadi suaminya. Kiara tersenyum pahit. Ketika hari pernikahan itu tiba, Kiara kembali sibuk menyiapkan jas Manggala, menyetrika baju, bahkan memastikan parfum kesukaan suaminya telah masuk ke koper. Manggala tidak memintanya menyiapkan hal itu, tapi Kiara dengan sukarela melakukannya. "Terima kasih," ucap Manggala singkat sambil menerima koper. Sejenak pria itu memandangnya begitu dalam dan berbeda. Namun Kiara buru-buru berbalik dan sibuk membereskan seprai. Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Hati Kiara seperti perahu yang kehilangan jangkar. Terombang-ambing meski tetap menjalani perannya seperti biasa, mengurus rumah, menjaga anak, dan melayani suami. Sambil menutupi luka yang tak kasat mata. Orang-orang melihatnya sangat bahagia. Siapa yang tidak bahagia dinikahi putra orang terkaya di daerah mereka. Pemilik perusahaan furniture dan pemilik armada bis, travel, dan penyewaan alat berat. Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum Kiara, tersimpan badai di dadanya. Kiara beranjak dan duduk di dekat putranya. Mengusap lembut pipi anaknya. "Maafin ibu, Arsha. Kita cuma punya satu sama lain, Nak." Hatinya kian pedih, tiga bulan terakhir yang amat berat. Dalam hati ingin berteriak. Ingin berkata bahwa ia tidak bisa lagi menjalani ini. Tapi ke mana akan pergi setelah itu? Janda dengan satu anak yang masih kecil. Tanpa pekerjaan, tanpa keluarga. Setelah Manggala menikah lagi, dunia seolah mengecil, menyempit, rumah itu makin terasa sesak. Bagaimana akhir dari kisah ini? Diraihnya ponsel dan mengecek saldo yang tersimpan di i-banking-nya. Dengan tabungan sekian, apa mungkin bisa membuatnya hidup bersama sang anak di luar sana. Bisa bertahan berapa lama? Kiara menghela nafas panjang. Berapa kira-kira uang yang bisa ia kumpulkan dalam beberapa waktu ke depan? 🖤LS🖤 "Kenapa nggak menghubungiku kalau Pak Syarifuddin datang?" Manggala bicara dengan wajah memerah. Siang itu ia baru saja sampai dari Surabaya. Pulang lebih cepat karena mendapatkan telepon dari ayahnya yang marah-marah. Kiara yang tengah membuatkan minum, menyelesaikan pekerjaannya sebelum menjawab. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan Arsha, bahwa dia harus kuat. Dibawanya secangkir kopi dan diletakkan di hadapan suaminya. "Aku menuruti keinginanmu, Mas. Kalau aku nggak boleh menelepon atau mengirim pesan saat Mas sedang di sana." Kiara berusaha menjawab dengan tegar. "Tapi kamu tahu kalau ini penting, kan?" "Iya, aku tahu. Tapi lebih penting aku menuruti perintah suamiku." Manggala terdiam. "Aku tahu diri, Mas. Makanya aku menghubungimu nggak lewat W******p. Aku menelepon ke messenger tapi nggak Mas jawab. Akhirnya kukirimkan pesan. Tapi ada balasan kalau Mas nggak bisa diganggu." Manggala terkejut lalu mengambil ponsel di saku celananya. Membuka messenger. Tidak ada pesan yang dimaksud oleh Kiara. Dia menunjukkan ponselnya pada sang istri. Kiara kaget, tapi dengan cepat ia mengambil ponselnya di sisi meja yang lain. Kemudian menunjukkan pada sang suami. "Pesannya sudah dihapus, Mas. Ini jejaknya ada." Mereka saling pandang. Kiara membuka galeri foto. Ditunjukkannya screenshot yang sempat ia ambil sebelum dihapus oleh Nada. Manggala tidak bisa bicara lagi. Pasti Nada yang melakukannya. Ketika tengah menyeruput kopi, ponselnya kembali berdering. "Halo, Bu." "Kamu sudah sampai rumah?" "Sudah." "Datang ke sini, ditunggu ayah. Ajak Arsha, kakeknya kangen." "Iya." Sebelum beranjak, Manggala menghabiskan kopinya. Kemudian menoleh pada Kiara yang sedang mengeluarkan ayam ungkep dari dalam kulkas. Dia tidak masak, karena tidak tahu suaminya akan pulang lebih cepat. Makanya itu hendak membuat lauk untuk makan siang. "Kamu nggak masak?" tanya Manggala mendekat. Kiara menggeleng. "Kalau nggak masak kamu dan Arsha makan apa?" "Goreng telur pun bisa atau mie instan." Manggala berdecak lirih. "Lain kali jangan begitu. Mana ada gizinya mie instan untuk Arsha untuk kamu." Mendengar kalimat Manggala, Kiara menelan saliva. Tersentuh dengan perhatian lelaki itu pada anaknya. Walaupun bukan anak kandung. "Ganti baju dan pakai hijabmu, kita ke rumah ayah." "Arsha masih tidur, Mas." "Bisa digendong." Kiara kembali menyimpan wadah ke dalam kulkas. Tergesa ia masuk kamar untuk berganti pakaian. Kemudian pelan-pelan mengendong Arsha yang sedang tidur nyenyak. Perintah Manggala tidak bisa dibantah. Dibalik segala luka, tapi Kiara bersyukur. Sebab kedua mertuanya sangat sayang pada Arsha. Tidak perlu tes DNA, wajah anak itu 95% persis seperti Narendra dan Manggala. Arsha nangis sejenak, lalu kembali terlelap setelah ditenangkan di dalam mobil. Tidak ada percakapan hingga mereka sampai di rumah Pak Gatot. Kiara yang menggendong Arsha melangkah melewati teras samping, sedangkan Manggala masih bicara dengan orang kepercayaan ayahnya di dekat carport. Ketika melewati jendela ruang kerja mertuanya, tanpa sengaja dia mendengar sang mertua menelepon seseorang. "Kamu belum dapat kabarnya Rendra?" Next .... Selamat membaca 🫶🏻AKU DI ANTARA KALIAN- Di mana dia?"Cari dia sampai ketemu. Harus ketemu!" teriak Pak Gatot pada seseorang di seberang sana. Suaranya begitu gusar.Kiara tercekat. Kembali teringat sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Pria yang melemparnya pada jurang penyesalan dan penderitaan. Tapi Narendra juga lelaki yang pernah berjasa dalam hidupnya.Tergesa Kiara menuju pintu samping, tidak ingin ketahuan telah mendengar percakapan ayah mertuanya. Mereka sudah begitu baik, sudi menerima dan mempercayai pengakuannya. Juga bertanggungjawab.Ia duduk di kursi dekat pintu samping. Saat memandang ke dalam, tatapannya jatuh pada foto ukuran sangat besar yang tergantung di dinding ruang keluarga. Foto keluarga suaminya. Narendra yang berdiri bersama Manggala di belakang kedua orang tuanya, tampak gagah dan tampan dengan setelan jas hitam.Buru-buru Kiara mengalihkan perhatian. Nyeri kembali mengiris hati.[Kia, kamu baik-baik saja, kan?] Ini pesan terakhir yang dikirim Narendra padanya setelah ma
AKU DI ANTARA KALIAN- Mengajak BersamaSesakit apapun, ia harus menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Toh mereka sudah menjalani hal itu setahun lebih.Baru saja Kiara masuk kamar, Arsha menangis kencang. Manggala menghampiri baby crip lantas meraih bocah itu. Dia kaget dengan suhu tubuh bayi lelakinya. "Badannya panas."Wajah Kiara berubah panik. Ia menyentuh kening putranya dan mengambil bocah itu dari gendongan ayahnya. Benar, Arsha demam."Biar aku yang bikinkan susu." Manggala ke arah meja di pojok ruangan. Di mana Kiara selalu menyediakan perlengkapan membuat susu untuk malam hari di sana. ASI-nya tidak keluar pasca melahirkan. Mungkin karena stres dengan keadaan, makanya ASI tidak lancar."Panasnya 38°." Kiara khawatir setelah membaca hasil dari termogun. Cukup tinggi panas tubuh Arsha. Padahal sore tadi anaknya baik-baik saja."Kita bawa ke dokter," ujar Manggala seraya memberikan susu pada istrinya. Arsha berhenti menangis mendapatkan susu."Besok saja kalau panasn
AKU DI ANTARA KALIAN- Butuh Pengakuan "Halo.""Kiara, aku Nada." Kiara kaget mendengar suara itu, dadanya berdebar. Di layar tidak ada foto profilnya. Mungkin karena nomer Nada tidak tersimpan, jadi tidak tampak di ponselnya Kiara. Untuk apa wanita itu meneleponnya? Bukankah beberapa menit yang lalu sudah menelepon Manggala."Oh iya, Mbak. Ada apa?""Aku ingin minta nomer teleponnya ayah dan ibunya Mas Gala."Kembali Kiara tercekat. Dia mana berani memberikan nomer telepon mertuanya pada Nada. Walaupun wanita itu juga istrinya Manggala. "Kenapa Mbak Nada nggak minta sama Mas Gala saja?""Nggak. Sama kamu saja. Kirim, ya. Kutunggu. Tapi jangan kasih tahu Mas Gala.""Maaf, Mbak. Saya nggak bisa. Mbak, minta saja sama Mas Gala. Maaf banget," tolak Kiara secara halus. Bukankah Nada bisa mengambil nomor itu diam-diam di ponselnya Manggala jika mereka bertemu. Nada berani membuka ponsel suaminya, sedangkan Kiara tidak pernah sekalipun.Terdengar Nada berdecak lirih. "Apa susahnya sih t
AKU DI ANTARA KALIAN - Mari Kita Bicara"Kenapa diajak ke sini? Arsha kan masih sakit?" Pria menjulang di depan pintu akhirnya masuk ke dalam. Arsha berlari memeluk ayahnya. Bocah itu tersenyum menampakkan gigi kecilnya yang berjajar rapi. Manggala langsung mengangkat dan menggendongnya. Lengan kecil Arsha melingkar di leher. Manggala mencium kening Arsha dam merasakan kalau suhu tubuh anak itu sudah normal."Arsha sudah sembuh. Mas, kok tahu kami di sini?" "Aku tadi mau pulang, lewat depan sana dan melihat motormu di bawah pohon mangga. Ayo, kita pulang. Biar Arsha naik mobil bersamaku." Manggala berbalik hendak melangkah, tapi Kiara mencegahnya. "Mas, sebenarnya ada yang ingin kubicarakan." Suara Kiara terdengar biasa, tapi ada ketegangan di sorot matanya.Langkah Manggala terhenti. Dia kembali memandang pada Kiara yang masih duduk di tikar. "Bicara apa?""Bagaimana kalau kita bicara di sini saja?"Setelah berpikir sejenak, Manggala mengangguk. Kemudian dia keluar untuk mengambil
AKU DI ANTARA KALIAN- Aku Tidak Pulang Author's POV "Aku nggak pulang malam ini?" ucap Manggala tanpa menoleh pada perempuan yang sedang sibuk mencuci botol susu di kitchen sink."Kiara ....""Iya. Aku sudah dengar," jawab Kiara seraya meniriskan botol di wadah dekat rak piring. Ia pun tanpa menoleh pada sang suami."Nanti kalau ibu datang bertanya, bilang aku ke Surabaya."Kiara mengangguk. Kemudian sibuk mengambil piring di rak lantas menatanya di atas meja makan. Sedangkan Manggala yang baru saja duduk, merogoh ponselnya di saku celana. Pria itu lantas bangkit menerima telepon di teras samping.Setiap menerima telepon dari wanita itu, Manggala selalu menjauh darinya. Entah demi menjaga perasaannya atau memang tidak ingin perbincangan dengan istrinya di sana, didengar Kiara.Istrinya? Ya. Manggala menikahi kekasih hatinya tiga bulan yang lalu. Kiara ini Perempuan yang ditinggalkan sang kakak dalam keadaan hamil dua bulan. Dan kedua orang tua Manggala memaksa sang putra untuk meni
AKU DI ANTARA KALIAN- Minta Tanggungjawab[Maaf, jangan diganggu. Mas Gala barusan tidur.]Balasan pesan yang diterima oleh Kiara saat teleponnya pada Manggala via messenger ditolak. Pasti Nada yang membalasnya. Dada Kiara berdesir. Rasa nyerinya hingga ke ulu hati. Ditariknya napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja.Seharian menimbang-nimbang sampai malam. Kalau tidak menghubungi Manggala, dia ikut khawatir kalau kerjasama itu akan gagal. Kiara juga sudah berjanji pada ibu mertuanya untuk menghubungi sang suami. Akhirnya memutuskan menelepon via media sosialnya. Tapi yang membalas ternyata Nada.Kiara berbaring di samping Arsha. Membelai pipi lembut anaknya yang tidur pulas. Anak yang hampir digugurkan disaat dirinya tahu kalau tengah hamil. Kebingungan karena Narendra menghilang begitu saja. Setelah berjanji akan menikahi dan bersumpah tidak akan meninggalkannya.Dua tahun yang lalu ....Langit sore menggelap perlahan saat Kiara duduk di bangku panjang rumah sakit, me
AKU DI ANTARA KALIAN - Mari Kita Bicara"Kenapa diajak ke sini? Arsha kan masih sakit?" Pria menjulang di depan pintu akhirnya masuk ke dalam. Arsha berlari memeluk ayahnya. Bocah itu tersenyum menampakkan gigi kecilnya yang berjajar rapi. Manggala langsung mengangkat dan menggendongnya. Lengan kecil Arsha melingkar di leher. Manggala mencium kening Arsha dam merasakan kalau suhu tubuh anak itu sudah normal."Arsha sudah sembuh. Mas, kok tahu kami di sini?" "Aku tadi mau pulang, lewat depan sana dan melihat motormu di bawah pohon mangga. Ayo, kita pulang. Biar Arsha naik mobil bersamaku." Manggala berbalik hendak melangkah, tapi Kiara mencegahnya. "Mas, sebenarnya ada yang ingin kubicarakan." Suara Kiara terdengar biasa, tapi ada ketegangan di sorot matanya.Langkah Manggala terhenti. Dia kembali memandang pada Kiara yang masih duduk di tikar. "Bicara apa?""Bagaimana kalau kita bicara di sini saja?"Setelah berpikir sejenak, Manggala mengangguk. Kemudian dia keluar untuk mengambil
AKU DI ANTARA KALIAN- Butuh Pengakuan "Halo.""Kiara, aku Nada." Kiara kaget mendengar suara itu, dadanya berdebar. Di layar tidak ada foto profilnya. Mungkin karena nomer Nada tidak tersimpan, jadi tidak tampak di ponselnya Kiara. Untuk apa wanita itu meneleponnya? Bukankah beberapa menit yang lalu sudah menelepon Manggala."Oh iya, Mbak. Ada apa?""Aku ingin minta nomer teleponnya ayah dan ibunya Mas Gala."Kembali Kiara tercekat. Dia mana berani memberikan nomer telepon mertuanya pada Nada. Walaupun wanita itu juga istrinya Manggala. "Kenapa Mbak Nada nggak minta sama Mas Gala saja?""Nggak. Sama kamu saja. Kirim, ya. Kutunggu. Tapi jangan kasih tahu Mas Gala.""Maaf, Mbak. Saya nggak bisa. Mbak, minta saja sama Mas Gala. Maaf banget," tolak Kiara secara halus. Bukankah Nada bisa mengambil nomor itu diam-diam di ponselnya Manggala jika mereka bertemu. Nada berani membuka ponsel suaminya, sedangkan Kiara tidak pernah sekalipun.Terdengar Nada berdecak lirih. "Apa susahnya sih t
AKU DI ANTARA KALIAN- Mengajak BersamaSesakit apapun, ia harus menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Toh mereka sudah menjalani hal itu setahun lebih.Baru saja Kiara masuk kamar, Arsha menangis kencang. Manggala menghampiri baby crip lantas meraih bocah itu. Dia kaget dengan suhu tubuh bayi lelakinya. "Badannya panas."Wajah Kiara berubah panik. Ia menyentuh kening putranya dan mengambil bocah itu dari gendongan ayahnya. Benar, Arsha demam."Biar aku yang bikinkan susu." Manggala ke arah meja di pojok ruangan. Di mana Kiara selalu menyediakan perlengkapan membuat susu untuk malam hari di sana. ASI-nya tidak keluar pasca melahirkan. Mungkin karena stres dengan keadaan, makanya ASI tidak lancar."Panasnya 38°." Kiara khawatir setelah membaca hasil dari termogun. Cukup tinggi panas tubuh Arsha. Padahal sore tadi anaknya baik-baik saja."Kita bawa ke dokter," ujar Manggala seraya memberikan susu pada istrinya. Arsha berhenti menangis mendapatkan susu."Besok saja kalau panasn
AKU DI ANTARA KALIAN- Di mana dia?"Cari dia sampai ketemu. Harus ketemu!" teriak Pak Gatot pada seseorang di seberang sana. Suaranya begitu gusar.Kiara tercekat. Kembali teringat sosok yang telah menghancurkan hidupnya. Pria yang melemparnya pada jurang penyesalan dan penderitaan. Tapi Narendra juga lelaki yang pernah berjasa dalam hidupnya.Tergesa Kiara menuju pintu samping, tidak ingin ketahuan telah mendengar percakapan ayah mertuanya. Mereka sudah begitu baik, sudi menerima dan mempercayai pengakuannya. Juga bertanggungjawab.Ia duduk di kursi dekat pintu samping. Saat memandang ke dalam, tatapannya jatuh pada foto ukuran sangat besar yang tergantung di dinding ruang keluarga. Foto keluarga suaminya. Narendra yang berdiri bersama Manggala di belakang kedua orang tuanya, tampak gagah dan tampan dengan setelan jas hitam.Buru-buru Kiara mengalihkan perhatian. Nyeri kembali mengiris hati.[Kia, kamu baik-baik saja, kan?] Ini pesan terakhir yang dikirim Narendra padanya setelah ma
AKU DI ANTARA KALIAN- Perhatian "Aku akan menikahi Nada," ucap Manggala suatu malam, suaranya datar tapi serasa menggelegar di pendengaran Kiara.Wanita itu membeku. Sejenak napasnya tercekat. Matanya menatap ke arah sang suami, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Dipikir setelah Manggala tidak membahas nama gadis itu lagi, semua sudah selesai. Ternyata diam-diam mereka masih tetap menjalin hubungan. "Nada masih menungguku. Dia rela aku mempertanggungjawabkan kesalahan kakakku, tapi dia juga tidak meninggalkanku. Kami sudah merencanakan pernikahan waktu itu."Seolah Kiara merasakan seluruh isi ruangan runtuh menimpanya. Ucapan Manggala terasa seperti pukulan telak. Ia menarik napas dalam. Sadar, Kiara. Kamu ini bukan siapa-siapa. Masih untung Manggala mau bertanggungjawab atas apa yang tidak dilakukannya. "Kapan?" pertanyaannya nyaris tak terdengar."Bulan depan. Aku bicara baik-baik denganmu. Aku tidak ingin diam-diam melakukannya, Kiara.""Jadi aku harus menandatangani
AKU DI ANTARA KALIAN- Minta Tanggungjawab[Maaf, jangan diganggu. Mas Gala barusan tidur.]Balasan pesan yang diterima oleh Kiara saat teleponnya pada Manggala via messenger ditolak. Pasti Nada yang membalasnya. Dada Kiara berdesir. Rasa nyerinya hingga ke ulu hati. Ditariknya napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja.Seharian menimbang-nimbang sampai malam. Kalau tidak menghubungi Manggala, dia ikut khawatir kalau kerjasama itu akan gagal. Kiara juga sudah berjanji pada ibu mertuanya untuk menghubungi sang suami. Akhirnya memutuskan menelepon via media sosialnya. Tapi yang membalas ternyata Nada.Kiara berbaring di samping Arsha. Membelai pipi lembut anaknya yang tidur pulas. Anak yang hampir digugurkan disaat dirinya tahu kalau tengah hamil. Kebingungan karena Narendra menghilang begitu saja. Setelah berjanji akan menikahi dan bersumpah tidak akan meninggalkannya.Dua tahun yang lalu ....Langit sore menggelap perlahan saat Kiara duduk di bangku panjang rumah sakit, me
AKU DI ANTARA KALIAN- Aku Tidak Pulang Author's POV "Aku nggak pulang malam ini?" ucap Manggala tanpa menoleh pada perempuan yang sedang sibuk mencuci botol susu di kitchen sink."Kiara ....""Iya. Aku sudah dengar," jawab Kiara seraya meniriskan botol di wadah dekat rak piring. Ia pun tanpa menoleh pada sang suami."Nanti kalau ibu datang bertanya, bilang aku ke Surabaya."Kiara mengangguk. Kemudian sibuk mengambil piring di rak lantas menatanya di atas meja makan. Sedangkan Manggala yang baru saja duduk, merogoh ponselnya di saku celana. Pria itu lantas bangkit menerima telepon di teras samping.Setiap menerima telepon dari wanita itu, Manggala selalu menjauh darinya. Entah demi menjaga perasaannya atau memang tidak ingin perbincangan dengan istrinya di sana, didengar Kiara.Istrinya? Ya. Manggala menikahi kekasih hatinya tiga bulan yang lalu. Kiara ini Perempuan yang ditinggalkan sang kakak dalam keadaan hamil dua bulan. Dan kedua orang tua Manggala memaksa sang putra untuk meni