Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
“Jangan ... Aku mohon jangan, lepaskan aku!”“Memangnya aku bodoh melepaskan wanita cantik sepertimu begitu saja.”“Jangan!!!”Aku melihat jam kecil di atas meja kayu lusuhku, pukul 03.00. Ku usap peluhku yang sebesar jagung sambil mengucap istighfar. Mimpi itu kerap kali hadir. Peristiwa naas yang membuat aku kehilangan masa depanku. Kehilangan harga diriku, kekayaanku satu-satunya.Ku raih gelas plastik di atas meja, kuteguk air putih di dalamnya. Mataku menatap nanar dinding kayu yang menua, Beberap kayu tersebut sudah lapuk di makan usia. Aku bangun dan membasuh muka ku dengan air wudhu, nampak lintasan bayangan masa lalu menghantui pikiranku.Jika dulu aku berpikir cerita menyedihkan itu hanya ada dalam cerita novel saja, nyatanya semua terjadi kepadaku. Allah tak menyayangiku, kenapa ia menenggelamkan aku begitu dalam ke dalam jurang penderitaan. “Bakar saja rumahnya, aku tak rela desa kita mempunyai wanita kotor seperti dia,” teriakan itu begitu keras. Dalam sekejap bola matak
“Mengenai hal tadi malam, maukah kamu menerimaku, Dek Aisyah?”Mataku membulat sempurna, Apakah ini mimpi? Aku di lamar dengan ustad tampan?“Namun sebelumnya, aku ingin jujur. Aku sudah menikah. Kalau Dek Aisyah setuju, Dek Aisyah jadi istri keduaku!” Jika tadi aku serasa terbang ke langit ke tujuh. Namun kini kalimat terakhir yang kudengar membuatku serasa di hempas dari ketinggian yang sama. Begitu menyakitkan.“Maaf, Pak. Saya sudah cukup di hina sebagai orang miskin dan wanita kotor, tidak ingin lagi disebut wanita perusak rumah tangga.”“Tapi Dek Aisha sudah tidak punya tempat tinggal!”“Alhamdulillah, Mbok Jah mau menerimaku menjadi bagian keluarganya, Pak.”Meskipun aku adalah wanita kotor, wanita hina seperti yang orang lain ucapkan. Aku tetaplah Aisyah, wanita berumur 21 tahun yang masih memiliki nurani, aku bahkan tak akan tega menyakiti wanita lain dengan aku sebagai madunya. “Seminggu lagi aku balik ke kota, tolong di pikirkan baik-baik, Dek. Kita menikah atas ijin istr
“Mas Zulkifli,” terdengar teriakan dari dalam toko tersebut.Aku membalikkan tubuhku, melihat ke sumber suara, seorang wanita memakai gamis berwarna merah muda dengan jilbab yang menjuntai ke bawah. Istri sah nya Mas Zul kah?“Karisa?”Wanita cantik tersebut menunduk seolah memberikan salam.“Assalamualaikum, Ustad.”“Waalaikumsalam, Karisa.”“Saya kira ini Mbak Zahra, mohon maaf Ustad, wanita ini siapa?” ucap wanita tersebut ke arahku. Matanya penuh selidik seakan aku adalah tersangka dalam sebuah kasus. Dari salam dan pembicaraan mereka aku yakin, ia bukan istri Mas Zul. Istri Mas Zul bernama Zahra, nama yang cantik. “Umi, cepetan!” “Baik, Abi.”“Maaf, Mas Zul. Saya permisi dulu. Titip salam buat Mbah Zahra.” Wanita itu bergegas pergi menghampiri lelaki yang sudah siap siaga di mobilnya, sepertinya ia adalah suami dari Mbak Karisa itu.Aku kembali duduk di kursi panas ini, ya kursi panas yang mampu membuat jantungku berdegup lebih kencang Aku masih belum bisa membayangkan bagaima
Seorang lelaki berseragam menghampiri meja kami, diletakkannya dua piring dan dua gelas minuman berwarna di atas meja, tak lupa sendok garpu dan pisau.Mataku mengarah ke makanan tersebut, sebuah daging berlemak dengan aroma wangi itu tepat di depanku, aku menelan ludah ketika melihatnya, ingin segera menyantap makanan tersebut namun aku tak paham cara memakai pisau, garpu maupun sendoknya. Aku melirik Mas Zul, mulutnya nampak berkomat Kamit mengucap doa, ia mengambil sendok dan garpu itu, mengiris sedikit demi sedikit daging tersebut, dan mengunyahnya pelan.Aku melakukan hal yang sama, sambil sesekali melirik tubuh sempurna itu, tampak tenang, tak banyak bicara. Hanya terasa teduh ketika bersamanya.Kuucapkan kalimat basmallah serta doa sebelum makan, dan segera kunikmati makanan yang pertama kali masuk ke mulutku. Tak ada yang tersisa, semua habis dalam perutku. Baru kurasakan makanan seenak ini, entah karena menunya yang begitu istimewa. Atau makannya di dampingi orang istimewa,