Adim dan Dena sudah berada di kamar pengantin, sebenarnya kamar Dena, dan karena ulah mama, jadilah kamar itu dihias sedemikian rupa khas kamar pengantin baru. Nuansa marun memenuhi kamar itu, dengan banyak bunga mawar putih menghiasi beberapa sudut kamar dengan vas bunga cantik pilihan mama juga.
Dena menghela napas, ia lelah, langkah kakinya gontai berjalan ke arah lemari pakaian, tas koper Adim sudah ada di kamar itu, tapi belum dirapikan Dena untuk ia tata di lemarinya.
Tak terpikirkan olehnya ia akan menempati kamarnya bersama laki-laki lain yang menjadi suaminya. Dena sudah mandi dan berganti pakaian dengan piyama motif salur warna pink, juga kerudung warna pink. Adim sedang mandi, Dena memutuskan mengeluarkan pakaian suaminya yang ia akan pindahkan ke dalam lemari.
Dena terkejut, karena tak ada piyama tidur, ia mencari pakaian tidur untuk Adim, yang ada hanya celana pendek dan kaos polos berwarna monokrom, bahkan Dena membuka koper lainn
Dena menarik hidung Adim yang masih terpejam di sebelahnya. Ia tersenyum, cukup malu jika mengingat apa yang mereka lakukan semalam. "Mas, bangun, ayo mandi," ajak Dena sembari beranjak pelan. Adim membuka matanya, tersenyum sejenak lalu mengangguk."Udah jam empat subuh, sebentar aku isi air baknya pakai air hangat, ya," ujar Dena yang beranjak dari ranjang. Ia sudah memakai baju tidurnya lagi, pun Adim yang memakai kaos dan celana pendek. Adim menarik Dena sehingga istrinya kembali duduk. Ia tersenyum walau matanya masih menyipit karena mengantuk."Apa?" tanya Dena mendekat ke wajah suaminya itu."Tara bodoh, dia udah lepas kamu. Sumpah." Lalu Adim menciumi gemas pipi Dena yang tersenyum sambil memeluk leher Adim.
"Kita ke pantai, Mas Adim?!" Raut wajah Dena begitu menyiratkan rasa bahagia. Ia sudah lama yang ke pantai, menginjakkan kaki di pasir juga menyentuh air laut, hadiah Adim itu membuat Dena terus-terusan memekik senang. Adim ikut tersenyum saat melihat senyuman istrinya yang mengembang sempurna, membuat hatinya menghangat juga mengucap syukur begitu banyak. Padahal ini termasuk hal sepele, tetapi mampu membuat istrinya begitu bahagia.Keduanya turun dari dalam mobil, berjalan berdua menuju ke pantai, waktu check in masih satu jam lagi, tepat pukul dua belas siang. "Kepanasan nggak mau mantai jam segini," tegur Adim sembari merangkul bahu istrinya, tangan satunya ia masukkan ke saku celananya."Sebentar doang, Mas," rengek Dena. "Aku udah lama nggak pantai, lihat laut, tolong ngertiin," tukas Dena seraya tersenyum.
"D-dena?" gugup Beny, Dena mengangguk. Ia lalu berjalan semakin dekat."M-mas," panggil wanita cantik, mulus dan seksi yang berdiri di sebelah Beny."Kamu ke kamar duluan, aku harus bicara dengan Dena sebentar," ucapnya. Wanita itu menerima kunci kamar berbentuk kartu lalu berjalan ke arah lift.Dena menaikkan sebelah alisnya, ingin mendapatkan penjelasan. Beny menunduk sembari menghela napas."Dia ... istri muda ku, Dena," jawab Beny."Hah! Mas Beny!" pekik Dena."Tolong jangan cerita ke Sofia atau siapa pun, aku ... memang mau menceraikan Sofia. Aku capek, dia...""Mas..., Dena nggak mau dengar masalah rumah tangga kalian. Dena juga sudah bukan bagian keluarga, kan? Tapi... Mas Beny apa nggak mikir perasaan anak kalian?" Dena mengingat keponakannya yang dekat dengannya."Justru karena dia aku begini, De
Bulan berganti, kehidupan berjalan normal. Kanti duduk di sofa ruang TV, perutnya sudah tampak semakin besar, Tara yang duduk di sebelahnya hanya fokus pada artikel online yang sedang serius ia baca."Tara, aku mau lahiran secar nanti, ya." Kanti meraih telapak tangan Tara, ia tempelkan di perutnya."Kenapa nggak normal?" Tara menatap Kanti."Takut nyeri," jawabnya santai sambil terkekeh. Ibu yang berjalan dari arah dapur sambil membawa nampan berisi susu hamil untuk Kanti ikut berkomentar."Normal aja, Kanti, perempuan udah wayahnya lahiran normal. Kalau nggak normal tuh, kayak belum sempurna jadi seorang Ibu," sambung ibu. Kantin hanya tersenyum sambil meminum susu."Butik kamu gimana? Banyak artis yang datang, ya?" Wajah ibu begitu bersemangat. Kanti mengangguk, ia meletakkan gelas berisi susu yang masih setengah ke atas meja."Iya, Bu. Makany
Dena merapikan hijab yang ia kenakan, sementara Adim duduk sambil menatap pantulan diri istrinya pada cermin."Kenapa lihatinnya gitu?" Tatapan Dena bertemu dengan sorot mata suaminya. Ia memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Adim."Udah buncit perutnya." Bibir Adim melengkungkan senyuman."Belum, Mas, baru masuk sebelas minggu. Nanti kalau dicek USG juga belum kelihatan jelas." Dena lalu berjalan ke lemari, mengambil tas yang akan ia bawa."Cewek kayaknya, nih," tukas Adim sembari beranjak, ia lalu mengusap perut Dena. Tangan Dena mengusap rambut lurus lebat suaminya."Cewek cowok sama aja, yang penting sehat, sempurna, selamat," ucapan Dena membuat Adim b
Suara bayi begitu menangis kencang, membuat Tara yang baru terlelap sebentar harus bangun. Ia menoleh ke samping, Kanti pulas tertidur, mengabaikan tangis putranya yang tali pusarnya bahkan masih belum lepas.Decakan Tara tak berarti apa pun, seminggu sudah usia putra mereka, seminggu pula Tara harus bangun di tengah malam karena tangisan putranya yang haus. Ia berjalan ke box bayi, menatap wajah putranya yang memerah menangis kencang begitu kuat. Segera ia menggendong, mencoba menenangkan tapi tak kunjung reda tangisnya.Tara membawa keluar kamar, bayi bernama Ibnu itu masih menangis kencang. Pintu kamar orang tuanya terbuka, ibu terbangun, wajahnya begitu lelah karena membantu Kanti mencuci pakaian bayi, mereka tak pakai pembantu, karena Tara tak mampu membayar. Lho... kok bisa?
Yogyakarta.Pria dan wanita itu saling memeluk erat, keduanya menangis melepas rindu yang menggebu. "Jahat banget, ngilang nggak ada kabar," lirih Argi yang cengeng jika bersama Sera, kakak perempuan yang nomor tiga. Ia seorang polisi wanita, ditempatkan jauh dari kota, karena ia bertugas menjaga perbatasan. Satu-satunya wanita yang berani dalam mengambil resiko dalam pekerjaannya."Maaf, Gi, tau sendiri Kakak di daerah rawan konflik, tapi sekarang, nggak lagi, Kakak dipindahin ke sini, kita jadi bisa bareng," ucap Sera sembari menangkup wajah Argi yang sudah belerka. Terakhir Sera bertemu juga komunikasi, hampir tiga tahun lalu, bahkan saat pernikahan Tara dan Dena, ia tak hadir karena baru berangkat."Kakak mau sekolah lagi, kali ini mau coba untuk ikut tes bua
Tara dan Syifa kompak menyeka tubuh ibunya yang baru saja sadar setelah dua hari tak sadarkan diri, tapi masih tak bisa bergerak, sebelah kanan tubuhnya yang terkena stroke, dokter pun bilang, karena usia ibu sudah enam puluh tahunan, akan susah untuk kembali beraktifitas normal dan terapi jadi jalan satu-satunya selain obat penunjang. Kedua mata ibu terbuka, menatap bergantian dua anaknya itu. Bibir ibu masih terkatup, tak bisa bicara, butuh waktu untuk bisa kembali bicara tapi lagi-lagi, perlahan.Tangan Syifa diremas ibu dengan tangan kirinya. "Ibu cari siapa? Bapak?" tanya Syifa. Ibu mengangguk."Bapak sama Ibnu, Bu," jawab Tara. Ibu lalu menangis. Syifa akhirnya paham, ia meminta Tara yang berada di rumah sakit bersama Ibnu, dan bapak di sini bersama Syifa yang cuti kerja demi merawat ibunya.