"Halo... apa kabar, aku Kanti," sapanya ramah. Dena membalas jabatan tangan itu sembari menyebut namanya juga.
"Kanti ini mantan pacarnya suamimu yang paling deket dan baik sama kita semua di sini, Dena, jadi wajar lho, ya, kalau Ibu anggap dia anak di sini, walau nggak bisa jadi menantu. Sedih banget Ibu kalau ingat itu," tetiba wajah ibu menyiratkan kesenduan. Dena mengangguk, mencoba memahami situasi yang ada.
"Namanya jodoh, rezeki, maut, dan apapun itu ditangan Allah, bisa aja pacaran lama, tapi nikahnya sama orang lain. Anggap aja jagain jodoh orang." Kali ini bapak bersuara. Ia ikut duduk di sofa ruang tamu. Dena pamit mundur untuk membuat minuman di dapur. Namun, pembicaraan ibu begitu terdengar jelas di telinga Dena.
"Semenjak kamu putus dari Tara, Ibu nggak merasakan bahagia, Ibu selalu merasa kalau sebenarnya, hubungan kalian bisa diperbaiki, Kanti. Tara bisa Ibu minta mengalah demi kamu, tapi nggak mau, karena ternyata Tara lagi kejar-kejar Dena."
"Bu, udah, nggak udah bahas yang sudah lewat. Dena menantu Ibu bagaimana juga, kan?" Sambung Kanti.
"Iya sih, tapi rasanya, agak nggak srek."
Mendengar itu Dena menghentikan tangannya mengaduk es lemon tea di gelas, sudah semakin jelas jika mertuanya tak menyukainya, tapi kenapa? Apa karena ia tak sukses, tak bisa dibanggakan?
Dena berjalan ke ruang tamu lagi, meletakkan tiga gelas berisi es lemon tea sembari tersenyum ramah. "Silakan di minum Mbak Kanti," ucapnya. Dena lalu ikut duduk, namun, kedua mata ibu melotot dan mengisyaratkan supaya ia tak berada di sana. Bapak pun beranjak, ia malas dengan sikap istrinya itu, ia tak mau dianggap serupa oleh Dena, dengan alasan mau istirahat, bapak masuk ke kamar. Sementara Dena kembali menjahit diruangannya.
Di dalam ruang kerjanya, Dena tak konsentrasi, ia hanya termenung, memikirkan ucapan ibu mertuanya tadi. Ponselnya berbunyi, Tara menghubunginya.
"Assalamualaikum, Mas Tara, jadi pulang sekarang?" tanya Dena semangat.
"Jadi. Ini lagi mampir di toko oleh-oleh, kamu mau brownies?" tanya Tara.
"Mau, Mas. Hati-hati pulangnya, ya," ucap Dena lagi. Keduanya menyudati telepon, lalu Dena segera bergegas ke kamarnya. Menyiapkan pakaian yang akan ia kenakan di hadapan suaminya nanti. Ia akan membuat suaminya terus menatap ke arahnya.
***
Pukul tujuh malam.
Tara tiba di rumah, Dena berjalan keluar kamar masih memakai mukena karena baru selesai mengaji, senyum merekah menatap Tara. Pria itu segera memeluk lalu mencium kening Dena lama. Keduanya berjalan masuk bersama, hingga langkah Tara terhenti saat ia melihat sosok Kanti yang duduk di ruang tamu bersama ibu, juga dua kakak perempuannya yang berkunjung mendadak.
"Assalamualaikum," ucap Tara yang di jawab kompak semua di sana. Ibu beranjak, menyambut Tara dengan begitu hangat.
"Kanti nungguin kamu, Ibu nahan dia pulang biar ketemu kamu dulu, eh... beneran bisa ketemu." Ibu berdiri di sebelah Tara yang membuat Dena melepaskan pegangannya pada lengan Tara dan mundur selangkah.
"Ayo duduk, Tara," pinta ibu, Tara lalu duduk, Dena berdiri di sehelahnya, menatap suaminya yang mendadak kaku karena ada Kanti di sana.
"Salaman dong, bertukar kabar, kan udah lama nggak ketemu," tukas ibu lagi. Dena menatap lekat Kanti yang tak ragu mengulurkan tangan, dengan ragu suami Dena meraih tangan Kanti lalu menjabat erat.
"Apa kabar," tanya Tara lalu melepaskan jabatan tangannya.
"Aku baik, kamu apa kabar, Mas? Udah hampir enam tahun kita nggak ketemu, maaf ya, nggak bisa datang ke nikahan kalian." Suara Kanti begitu lembut. Tara hanya mengangguk lalu pamit ke kamar, ia menggandeng jemari tangan Dena sembari berlalu.
Di kamar. Dena menyiapkan pakaian untuk Tara yang sedang mandi, ia duduk di tepi ranjang sambil terus diam karena pikirannya tak karuan. Bahkan, bisa dibilang memikirkan hal yang tidak-tidak. Ia menghela napas, hal itu dapat di lihat Tara yang baru keluar dari kamar mandi.
"Kenapa? Mikirin yang enggak-enggak, deh?" tukasnya. Ia segera berpakaian, Dena menatap lekat.
"Ibu beneran nggak suka sama aku, Mas, aku dengar sendiri tadi. Alasannya apa? Apa kamu tau dan tutupin dari aku selama ini?" tanya Dena tanpa menunda.
"Jangan ngaco. Aku nggak pernah dengar hal itu dari Ibu. Kalau Ibu nggak suka kamu, kenapa Ibu restuin nikah?"
"Terpaksa kali?" Singut Dena yang sejujurnya sudah kesal. Tara diam, ia duduk di sebelah Dena, buru-buru memakai kaos rumahan lalu menatap istrinya lekat.
"Sabar, Dena. Ingat, dia Ibuku, mertua kamu, bagaimana juga kamu har--"
"Iya, Mas, aku hormati, aku paham. Mas mau makan sekarang? Biar aku siapin?" Dena tersenyum, karena percuma juga membahas tak akan ada rasa pembelaan dari Tara.
"Dena, jangan ngambek, aku nggak suka kalau kita kelihatan ada ma--"
Kembali ucapan Tara dihentikan Dena. "Aku nggak marah, Mas Tara, nggak ngambek juga. Sebentar aku siapin, ya," ucap Dena seraya tersenyum.
Ia keluar kamar, menuju ke dapur namun mendadak kakak iparnya - Syifa - memberi tahu jika mereka sudah pesan makan malam dan sebentar lagi datang, jadi Dena tidak perlu menyiapkan makanan.
Tak sampai setengah jam, ojek online tiba dan makanan segera di tata di atas meja. Sofia mengeluarkan satu persatu kotak makan ayam geprek yang terkenal milik salah satu artis, lalu tak lama datang lagi ojek online yang mengantar minuman es kopi dari merek terkenal juga. Dena membantu menata. Ibu dan Syifa bergerak ke meja makan juga. Mengambil makanan dan minuman milik mereka masing-masing bahkan Sofia mengambilkan jatah Kanti.
"Panggil suami kamu, biar makan bareng di ruang tamu." Perintah Sofia ketus.
"Iya, Kak," jawab Dena yang melihat hanya tersisa satu kotak makanan itu. Ibu juga sudah memisahkan mikik Argi yang belum pulang.
"Mas Tara, makan, Kak Sofia tadi udah pesan makanan, aku nggak jadi panasin masakanku. Mas diminta makan bareng mereka di ruang tamu." Dena berdiri di ambang pintu.
"Aku makan di sini aja," jawabnya sembari menatap layar TV. Namun, mendadak ibu muncul, mematikan TV lalu meminta Tara bergabung.
"Temenin Ibu makan, Tara." Perintahnya. Tara menghela napas, tak banyak ucap, ia beranjak dan berjalan keluar kamar.
Dena menatap mata suaminya, saat ia memberikan kotak makan ayam geprek itu dan es kopi. "Lho... punya kamu? Mana, Dena?" tanya Tara bingung.
"Dena udah makan tadi, lagian dia masak, Sofia lupa pesan makanan untuk Dena. Udah sini, gabung, Dena mau lanjutin jahitannya." Suara ibu bagai perintah yang harus di turuti Tara. Bapak menatap Dena yang diam dengan tatapan nanar. Pria itu meletakan makanan yang baru ia buka ke atas meja.
"Bapak makan masakan Dena saja, Den, siapin untuk Bapak makan bisa? Kita makan bareng, ya," ucap bapak seraya menepuk bahu menantunya itu. Dena menganggukkan kepala. Ia menuju ke dapur.
"Bela aja terus. Bapak sekarang kan, gitu, lebih dengerin menantu dari pada Ibu." Sindir ibu terang-terangan di depan semua orang.
"Astaghfirulloh, Ibu," hanya itu respon bapak yang segera duduk di kursi meja makan. Dena memanaskan gulai ayam dengan hati tak karuan karena bisa terlihat, karena dirinya, ibu dan bapak kembali salah paham.
Dena menghidangkan makanan. Ia duduk di meja makan bersama bapak, ternyata Argi sudah pulang dan menatap ke Dena yang membawa satu mangkuk berisi potongan ayam dan kentang sebagai campuran gulai.
"Aku juga, Mbak, mau makan masakan Mbak Dena aja, aku mandi dulu sebentar." Cengiran khas Argi membuat Dena tersenyum. Ia mengangguk. Makanan milik Argi ia biarkan begitu saja di sudut meja makan.
Dena sudah menyiapkan makanan untuk Argi dan bapak, mereka bertiga duduk di meja makan, menikmati makanan sembari tertawa pelan dengan celotehan adik bungsu Tara itu. Kedua mata Tara memerhatikan hal itu, ia tahu ia salah, tak memakan masakan isrinya, justru bapak dan adiknya yang begitu menikmati.
"Tara, emang seharusnya kamu nikah dengan Kanti, bukan dengan Dena. Lihat sendiri kan, Ibu sama Bapak jadi begini. Di rumah ini jadi ada dua kubu, nggak jelas." Ketus Sofia. Sedangkan ibu mendadak terus menundukkan kepala. Tara menjadi serba salah sekarang. Ia bahkan tak napsu lagi makan, hal itu semakin menjadi karena Kanti menatapnya lekat juga.
Bersambung,
Apakah mereka sudah saling mencintai? Jawabannya, belum. Dena dan Argi menjalankan hak dan kewajiban, mereka juga sudah sah menjadi suami istri. Keduanya yakin, cinta akan datang seiring dengan waktu, tak perlu khawatir dengan hal itu. “Dena,” panggil Argi yang tak mendapati istrinya di dalam kamar saat ia baru selesai mandi besar setelah mereka bersetubuh. Argi duduk di tepi ranjang, masih tak percaya dengan apa yang sudah terjadi semalam dan hal itu membuat jantungnya berdebar begitu keras. Ia meraba dadanya, lalu menatap ke foto Saski yang masih terpajang di kamarnya. “Kamu nggak marah, ‘kan, Sas?” lirihnya diakhiri tawa dan wajah berseri-seri. Argi beranjak setelah mendengar bel pintu kamar hotel. “Udah bangun?” tanya Dena sambil membawa dua bungkus yang dari wanginya menggugah selera Argi yang lapar. “Kamu ke mana?” Ia mengekor Dena yang meletakkan bungkusan itu di atas meja. “Beli sarapan. Nggak sengaja sebenarnya, karena mau ke tempat Ariq, ternyata mereka udah ke Legoland
Argi menepati janji, hari jumat sore pukul 4.30 waktu KL, mereka berangkat ke Johor, menuju Legoland. Argi meminta Dena memesan hotel untuk menginap dua malam di sana, tak lupa ia mengajak Dena dan Ariq membeli beberapa pakaian baru juga di salah satu mal yang ada di KL. Satu koper ukuran besar menjadi pilihan Dena untuk mengemas pakaian mereka bertiga. Perjalanan yang akan memakan waktu tempat kurang lebih empat jam, ia siapkan sedemikian rupa juga dengan membawa makanan dan beberapa minuman. “Riq, kamu tidur aja kalau ngantuk, ya,” ucap Argi sambil menoleh ke arah belakang sebelum kembali menatap jalan bebas hambatan. “Iya, Pa,” jawabnya. Ariq tampak senang, pun Dena yang kali pertama plesir ke negara orang yang tak asing baginya karena suasana mirip dengan tanah air juga. “Betah tinggal di sini nggak kira-kira?” Argi membuka percakapan setelah mereka menempuh perjalanan satu jam. “Lumayan, aku masih haru keliling dan pingin tau transportasi umumnya. Nggak mau naik taksi atau re
Dena tiba di Kuala lumpur, Malaysia siang hari pukul satu. Ia dan Ariq duduk di lobi menunggu Argi menjemput. Hanya satu koper yang Dena bawa, ia memang bukan tipikal perempuan yang suka membawa banyak barang saat pergi yang menginap hingga beberapa hari. Ia lebih senang mencuci bajunya, cukup bawa baju seperlunya yang nanti di mix and match sendiri. Ariq menikmati burger yang Dena baru saja belikan sambil menunggu Argi menjemput. Kala itu, Ariq dan Dena kompak memakai warna baju senada, atasan putih dan celana jeans, juga sepatu kets warna hitam. Karena Dena memakai hijab, ia memilih kemeja putih dua ukuran lebih besar darinya supaya tak ketat membentuk lekuk tubuhnya. Bibirnya juga hanya ia olesi lipstik warna pink natural begitu tipis, hijab warna krem semakin membuat wajahnya bersinar. “Bun, kita di sini satu minggu? Itu lama, ya, Bun?” Ariq kembali menggigit burgernya setelah bicara.“Sebentar, kok. Kenapa? Ariq nggak mau lama-lama di sini?” Dena merapikan tatanan rambut putran
Syifa dan Tara duduk di teras rumah orang tua mereka. Sekarang, hanya tinggal Tara yang tinggal di rumah itu karena bapak meminta Argi baiknya keluar dari rumah setelah menikah dengan Dena. Lagi pula Argi di kuala lumpur dan jarang pulang, jadi baiknya saat Argi sedang di Jakarta, tinggal bersama Dena di rumah orang tua Dena. Meminimalisir resiko keributan juga rasa canggung karena Argi dan Dena sudah menikah. “Menikah lah lagi, Tara. Kakak nggak mau lihat kamu kayak gini,” tutur Syifa yang direspon tawa sinis Tara. “Kak Syifa, nggak semudah itu juga. Tara masih harus cerna semua ini. Merasa dicurangi adik sendiri itu nggak enak. Sakit hati.” ketusnya dengan tatapan dingin. “Gimana juga kalian saudara kandung, akan seperti itu sepanjang usia. Kamu harusnya pahami dan lihat hal ini wajar karena kita juga yang salah, kan? Kak Syifa ambil andil rusaknya hubungan kamu dan Dena di masa lalu.” Syifa menundukkan kepala. Tara beranjak, ia meninggalkan Syifa seorang diri di teras. Membuka
Hati Dena tak karuan, ia dan Argi saling menatap. Suaminya tersenyum begitu manis lalu berbisik lagi di telinga Dena saat keduanya duduk bersisian di restoran yang dipesan Argi untuk acara syukuran sederhana pernikahan mereka. “Semua akan aman dan baik-baik aja, Mbak Dena. Aku udah selamatkan kamu dari Mas Tara.” Argi memundurkan wajahnya, Dena tersenyum begitu tipis. Masih seperti mimpi yang aneh, karena mereka berdua kini pasangan suami istri. Pintu restoran terbuka, muncul Tara sambil membawa buket bunga. Tak ada senyuman, yang ada tatapan tajam menusuk dengan kemarahan yang membuat Dena segera menggenggam jemari tangan Argi di bawah meja. Argi menoleh, ia merasakan dinginnya jemari Dena. Kedua mata Argi juga menatap genggaman erat pada tangannya. Ia menatap Tara yang semakin berjalan mendekat lalu memberikan buket bunga mawar putih. “Selamat atas pernikahan kalian… adik ipar,” ucapnya dengan nada begitu dingin. Dena mencoba untuk tersenyum, walau ketakutan juga ragu terpancar pa
Tak kunjung berakhir rasa sesal yang dirasakan Tara, ia kini duduk sendirian di depan makam ibundanya. Wajahnya tampak gusar karena sejak tiba, ia terus merasakan hatinya sakit jika memikirkan Dena yang terang-terangan menolaknya. “Bu, Tara sekarang diambang kebimbangan. Argi mau menikah dengan Dena. Tara mau memperbaiki hubungan dengan Dena tapi… dia sama sekali nggak mau kasih kesempatan sedikit pun. Tara sendirian, dijauhkan dari orang yang Tara sayang bahkan Ibnu juga tinggal dengan Kanti dan suaminya sekarang.” Tara memainkan rerumputan yang menutupi gundukan tanah makam. Jarinya mencabuti pucuk rumput dengan pelan, layaknya anak kecil yang bermain atas lapangan penuh rerumputan. Gelapnya malam tak membuat ia ingin lekas beranjak, ia masih betah di sana walau tak lagi bicara. Fokusnya kini, bagaimana ia menata hati juga menghadapi pernikahan Dena dengan Argi. Tak kan mudah ia mengontrol semuanya. Tara seperti tenggelam dengan rasa sesal mendalam. Di lain tempat, Argi tampak bar