Share

Kedatangan mantan pacar suami

Tara masih di luar kota selama 3 hari 2 malam, hal itu membuat Dena bisa fokus menjahit pesanan pelanggan, bahkan, ada yang meminta dibuatkan selimut untuk kado ulang tahun anak. Dena lembur, ia sengaja supaya bisa mengejar pengerjaan pesanan lainnya. 

Seharian itu, Tara hanya mengirim pesan 3 kali, sebagai kepala bagian, ia jelas sibuk. Dena tak masalah, karena ia melihat foto status whatssapp suaminya beberapa kali saat sedang berbicara di forum itu. Dena tersenyum, suaminya hebat, pekerja keras walau kadang tak mau mendengarkan keluh kesahnya tentang perlakuan ibu di rumah. 

"Kamu masih jahit?" tegur ibu yang masuk ke ruang kerja Dena. 

"Iya, Bu," jawab Dena sembari tersenyum. 

"Makin mahal dong, bayar listriknya. Untung nggak seberapa, yang ada buntung." Sindirnya sembari berjalan keluar ruangan. Dena diam, ia menghela napas lalu tetap kenbali menjahit. Namun, suara keluhan ibu kembali terdengar. Dena berdiri di ambang pintu, ia menguping ucapan ibu mertuanyanya itu. 

"Kalau aja. Tara mau turunin ego supaya Kanti nggak putusin Tara. Ibu yakin, Pak, kita punya menantu hebat seorang fashion designer terkenal, kita juga ikut naik derajatnya kan. Bukan penjahit sarung bantal yang keuntungannya seperak dua perak tapi gayanya udah kayak apaan aja." 

Dena diam, mendengar itu begitu menyakiti hatinya. Andai Dena boleh bekerja lagi, ia pasti akan sukses dan menjadi wanita karir, tetapi Tara melarang dam Dena tak mungkin melawan. 

Dena kembali duduk di kursi, melanjutkan menjahit hingga tengah malam, sebelum memutuskan tidur. 

Pagi menjelang, bahkan mentari belum meninggi. Dena sudah bangun, memasak nasi dan makanan untuk sarapan. Jam empat ia sudah mulai sibuk di dapur. Tangannya terampil merajang bahan masakan, ia kala itu membuat tumisan dan telor kecap, suara bapak terdengar karena biasa bangun jam yang sama untuk bersiap ke masjid. Argi juga, ia selalu sholat subuh bersama bapak masjid. 

"Mbak, masak apa?" tanya Argi sembari mengancingkan baju kokonya. 

"Ini, tumis kacang panjang sama telor kecap. Eh iya, Gi, kamu sidang kapan?" tanya Dena. 

"Bulan depan, Mbak, kenapa?" 

"Kalau wisuda?" tanya Dena lagi. 

"Dua bulan setelahnya." jawab Argi yang sudah rapi.

"Aku mau buatin seragam keluarga, untuk foto bareng, biasanya gitu, kan? Kata Mas Tara akan selalu ada foto wisuda." Dena mengaduk masakannya. 

"Iya. Boleh Mbak, bagus pasti baju buatan Mbak Dena. Makasih ya, awas gosong masakannya ..." goda Argi. Pemuda itu pamit ke masjid. Dena kembali membuat masakannya. Ia juga menyiapkan 4 cangkir teh manis hangat yang ia letakkan di atas meja ruang TV. 

Semua beres, ia sholat subuh di kamar, baru saja selesai salam, ia dikagetkan dengan teriakan ibu. Dena segera beranjak, berlari keluar kamar. 

"Ada apa, Bu?!" tanya Dena panik, ia masih mengenakan mukena menuju ke ruang makan yang menyatu dengan dapur bersih. 

"Kamu masak apaan? Telor kecap kok modelnya telor ceplok gini! Telor kecap itu bulat, Denaaa... bukan begini. Ya ampun kamu, udah deh, Ibu aja yang masak mulai sekarang!" singutnya. Dena diam. Ia tak mau menyanggah apapun, takut salah lagi. 

Dena kembali ke kamar, melepas mukena lalu duduk di tepi ranjang. Ia berusaha menghubungi suaminya. 

"Assalamualaikum, Mas, udah sholat subuh belum?" tanya Dena bernada bicara lembut. 

"Waalaikumsalam, udah, ini baru selesai. Kamu udah sholat? Udah siapin sarapan?" tanya Tara di seberang sana. 

"Udah, Mas, tapi... salah lagi, barusan Ibu marahin aku," keluh Dena. Suara Tara berdecak sebal dan berucap 'Haduh' terdengar kesal. 

"Aku nggak bermaksud ngadu, ya, Mas, aku cuma cerita yang barusan kejadian aja," lanjut Dena. 

"Hmmhh... kapan kamu bisa akur sama Ibu, aku bingung kalau kayak gini." 

"Akur? Emang aku ribut sama Ibu? Kan enggak, Mas. Malah aku yang salah terus kan, semua yang aku kerjakan salah terus di mata Ibu." Dena mulai meninggi nada bicaranya. 

"Udah, Dena, jangan bahas sekarang. Aku mau siapin bahan diskusi anggaran. Nanti aku kabarin lagi, Assalamualaikum," lalu telepon terputus. Dena tahu jika suaminya jengah dengan keluhan dirinya tentang masalah ia dan ibu. Namun, itu kenyataannya, dan Tara selalu saja kesal dan malas membahas. 

Dena meletakkan ponsel, ia segera keluar kamar, melayani menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga. Mencoba kembali memaklumi sikap ibu mertuanya itu. 

***

Dena sedang disupermarket, ia berbelanja kebutuhan pokok seorang diri dengan menggunakan taksi, karena tak mungkin jika naik motor. Ia mendorong keranjang belanja, membeli kebutuhan rumah dengan uang bulanan dari Tara. Begitupun dengan belanja harian, dan listrik. Uang pensiunan bapak sama sekali tak ia kutik-kutik. Mereka tinggal bersama mertua, tetapi semua kebutuhan tetap Tara yang menanggung. 

Itulah mengapa Dena menerima pesanan jahitan, ia butuh jajan, dan ia tak mau menggunakan uang suaminya. 

"Dena!" Suara seseorang memanggil. Dena menoleh, tampak Sofia dan Syifa, kedua kakak kembar Tara. Keduanya sudah menikah, dan tinggal satu komplek, bersebelahan juga rumahnya. 

"Kak...," sapa Dena ke kedua wanita itu sembari mencium punggung tangan keduanya. 

"Ibu nggak kamu ajak belanja bulanan?" tanya Sofia. 

"Ibu suka nggak mau, Kak, jadi Dena sendirian belanjanya," jawab Dena. Raut wajah Sofia dan Syifa menyiratkan amarah. 

"Kenapa nggak dipaksa..., Ibu kadang pura-pura nggak mau padahal mau. Kamu harusnya lebih peka, dong. Ya ampun Dena..., gregetan banget aku sama kamu." Keluh Sofia lagi. Sedangkan Syifa hanya bisa berdecak. 

"Maaf, Kak, nanti Dena ajak Ibu. Kak Sofia dan Kak Syifa juga belanja bulanan?" Dena mencoba mengalihkan pembicaraan. Kedua wanita itu mengangguk. 

"Belanjaan untuk Ibu mana? Pindahin ke keranjangku, biar aku yang bayarin." Tukas Sofia sembari menunjuk ke dalam keranjang belanja. 

"Nggak udah, Kak, Mas Tara udah kasih uang bulanannya, juga, ini udah mau selesai, mau je kasir." Lanjut Dena. Sofia dan Sifa hanya menatap. Lalu keduanya mengedikkan bahu.

"Terserah." Lalu kedua wanita itu berjalan meninggalkan Dena yang masih menatap ke arah mereka. 

"Adek ipar perempuan satu, lagaknya songong amat. Udah bener dulu Tara sama Kanti. Tara bodoh." Gumam Sofia yang masih bisa terdengar Dena. Istri Tara itu hanya bisa diam, kembali terdengar nama Kanti disebut. Ia harus mencari tahu, seistimewa apa seorang Kanti hingga diagungkan keluarga Tara. 

Dena tiba kembali di rumah. Ia membawa enam kantong belanja, dan di sambut bapak yang membantu membawa ke dalam. 

"Ibu mana, Pak?" tanya Dena. 

"Pergi, katanya mau ketemu teman lama. Banyak banget belanjaannya, Dena, uang kalian habis nanti," ucap bapak yang tak enak sendiri. 

"Nggak, Pak, udah di pisahin kan. Ini semua sesuai catatan yang Ibu kasih ke Dena tadi pagi. Bapak nggak pergi? Dena lihat di masjid banyak orang tadi, Pak?" tanya Dena sembari mengeluarkan belanjaan lagi. 

"Oh, itu, nanti, magrib Bapak rapat untuk acara santunan anak yatim." Jawab bapak, tak lama, suara mobil berhenti terdengar, lalu langkah kaki dan suara tawa beberapa orang terdengar. 

"Assalamualaikum, Pak..." panggil ibu. 

"Waalaikumsalam," jawab bapak yang menatap terkejut karena ibu pulang ke rumah bersama, Kanti. 

"Ada Kanti, Pak, dia sudah di Jakarta ternyata," wajah ibu ceria dan bahagia. Dena menatap Kanti yang bertubuh tinggi semampai, dengan gaya busana yang juga menunjukkan kelasnya. 

Pantas, mereka mengagungkan Kanti, cantik dan berkelas. Ucap Dena dalam hati sambil terus menatap Kanti. 

Bersambung,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status