Tara menatap langit-langit kamar, semenjak kejadian tadi, ia terus dilanda rasa khawatir, juga muncul perasaan lain saat ia bertemu tatap lagi dengan Kanti. Lima tahun mereka hilang kontak, Tara sengaja melakukan itu karena saat itu memang mau menghapus Kanti dari hati dan hidupnya, pun, ia sedang mendekati Dena.
Dena yang kala itu masih mahasiswi tingkat akhir menarik perhatiannya saat tak sengaja mereka bertemu di acara pernikahan teman sejawat Tara. Sedangkan Dena menemani Papanya datang ke acara tersebut.
Dena yang manis, senyuman ramah, ayu, dan berpenampilan sederhana tapi tak kuno, membuat Tara yang kala itu seperti mendapat jalan keluar dari rasa gundah di hatinya semenjak putus dengan Kanti.
Ia menghela napas, beranjak perlahan untuk memadamkan lampu kamar. Ditatapnya Dena yang sudah terlelap, ada sedikit perasaan bersalah kepada istrinya itu akibat munculnya kejolak lain di hati.
Tara tak kembali ke ranjang, ia berjalan keluar kamar, menuju ke arah dapur. Ia duduk di sana seorang diri. Dilihatnya oleh-oleh yang ia bawa dari Bogor masih utuh di dalam plastik transparan itu. Ia menyeduh kopi, kemudian duduk di kursi meja makan.
"Belum tidur, Tar?" suara ibu terdengar. Wanita itu sepertinya terbangun.
"Iya, nggak bisa tidur, Bu." Sahut Tara sembari menyesap kopi.
"Makin nggak bisa tidur dong, kalau kamu minum kopi," ibu mengambil posisi duduk du hadapan putranya.
"Nggak pengaruh. Ngantuk ya tidur. Kebetulan aja Tara belum ngantuk." Sahutnya lagi.
Ibu menghela napas. Ia menatap putranya lamat-lamat. "Kanti makin cantik dan bersinar ya, Tara, nyesal kan, kamu lepasin dia buat Dena?"
Tara diam, ia menyesap kopinya.
"Ngeyel, sih, dibilangin Ibu itu nurut." ujar ibu yang tampak melirik sinis.
"Bu, udah lah, Tara lagi nggak mikir tentang Kanti atau siapapun, masalah kerjaan." Tara sedikit protes. Padahal jelas pikirannya terpengaruh karena hadirnya Kanti di rumah itu.
"Halah... bohong. Emangnya Ibu nggak bisa lihat, bahkan Sofia dan Syifa udah berpendapat yang sama dengan Ibu. Tatapan kamu itu kelihatan jelas, kalau kamu kaget juga senang saat ketemu Kanti tadi sore. Ya, kan?" Cecar ibu. Tara menggeleng.
"Bu, Tara mau tanya. Kenapa Ibu sebegitu nggak sukanya sama Dena. Kalau Ibu emang nggak suka, kenapa dulu restuin Tara dan Dena nikah? Kalau begini caranya, Ibu sama aja bikin di terluka dengan perilaku dan kata-kata Ibu." Sorot mata Tara menusuk, ibu gelagapan, terlihat dari sikap salah tingkahnya yang membuat Tara terkekeh pelan.
"Ada apa, Bu, sebenarnya apa yang kalian rencanakan dan alasannya apa? Kak Sofia dan Kak Syifa, juga sama, kan? Dena kasihan, Bu."
Tara mencoba menjelaskan posisi Dena di rumah dan hidup Tara."Ibu lebih suka kamu nikah sama Kanti. Titik." Jawabnya ketus.
"Kenapa? Alasannya apa? Apa karena gaya hidup dan lingkungan Kanti yang modern, seorang fashion designer terkenal? Punya butik langganan artis dan sudah melanglang buana ke mana-mana? Sedangkan Dena hanya istri sederhana yang terjma jahitan biasa juga urus rumah?" Tara memajukan tubuhnya sedikit, ia ingin menatap wajah ibunya lekat-lekat.
"Itu kamu tahu. Perlu Ibu jelasin? Nggak, kan? Ingat Tara, kamu itu harus nurut apa kata Ibu, kamu nggak mau bikin Ibu sakit dan mati pelan-pelan karena nggak bahagia lihat pernikahan kamu dengan Dena, kan?" Ibu kini balas menatapnya dengan tajam. Tara diam, ia kembali duduk bersandar.
"Tara mau berbakti dan jadi anak sholeh, tapi Tara juga ada istri yang perasaannya harus Tara jaga, Bu. Ibu jangan bersikap sinis dan ketus ke Dena. Hal sepele tolong, jangan di besar-besarkan dan dikit-dikit ngadu ke Kak Sofia dan Kak Syifa." Tara melayangkan protes. Ia tak ingin kedua kakaknya itu begitu turut campur dan andil dalam rumah tangganya juga.
"Lho, kenapa?! Kamu sama aja kayak Bapak! Ibu nggak boleh cerita ke anak sendiri?! Apa sekalian aja Ibu cerita ke tetangga, biar mereka juga tahu kalau betapa tidak bergunanya istri kamu itu?!" tatapan tajam kembali ditunjukkannya ibu.
"Nggak berguna gimana, Bu? Dena beberes rumah, masak, bahkan pakaian Ibu dan Bapak juga Dena yang cuci juga setrika. Dena bangun lebih pagi dari Ibu, belanja sayuran dan macam-macam. Itu semua juga pakai uang Tara, kan? Uang pensiunan Bapak dan bulanan dari Kak Sofia dan Kak Syifa nggak Ibu pakai. Bahkan, Dena harus terima jahitan untuk jajan kebutuhannya saking nggak mau ganggu uang untuk kebutuhan di sini. Apa itu kurang juga di mata Ibu?" Tara menatap nanar. Wanita itu hanya bisa berdecak.
"Itu kewajiban kamu dan bagian resiko Dena. Dia menikah dengan anak laki-laki tertua Ibu, yang memang sudah seharusnya menagkahi orang tuanga juga. Itu bagian dari bakti seorang anak.
Ibu paham, kamu belain istri, tapi ingat. Surgamu ada di telapak kaki Ibu. Sekali kamu bikin sakit hati Ibu, pintu surga kamu tertutup selamanya." Ibu beranjak. Kembali berjalan ke arah kamar.
"Bu, Ibu jangan selalu ancam Tara dengan hal itu, Bu..." nada bicara Tara begitu merendah.
Ibu menoleh sejenak, "lho... terserah. Aku Ibumu, ya, kan? Dan dia istrimu yang harus tunduk sama kamu. Karena surga dia ada di kamu. Paham." Lirikan sinis kembali terlihat. Tara hanya bisa bergeming, ia mengusap kasar wajahnya. Sementara ibu berjalan kembali ke arah kamar.
Tara diam, tatapannya lurus ke arah kopi di cangkir kecil di hadapannya. Hatinya semakin gelisah, mana kala ia juga teringat ucapan Kanti saat pamit pulang.
Aku senang kita bisa ketemu lagi, Tara.
Hanya kalimat itu, tetapi mampu membuat Tara mendadak hatinya kacau. Beberapa kali ia menghela napas, untuk sekedar menghapus ingatan tentang hubungannya dulu dengan Kanti yang begitu indah.
***
"Mas Tara, aku mau antar pesanan sarung bantal lagi ke rumah Bu RT, habis itu aku ke toko bahan, ya," izin Dena sembari merapikan penampilannya.
"Kamu naik motor? Bawa kain bahannya gimana?" tatap Tara yang sudah bersiap dengan pakaian kerjanya.
"Aku di jemput Papa sama Mama, kebetulan mereka mau cari bahan untuk acara lamaran sepupu aku, niatnya mau seragaman semua. Mama yang dipercaya atur pemilihan bahannya." Dena berjalan ke hadapan suaminya, memeluk pinggang Tara yang kali ini merapikan tatanan rambutnya.
"Ganteng banget suami aku," goda Dena. Tara tersenyum, lalu mengecup pelipis Dena.
"Den, aku dapat rejeki, uang tunjangan kinerja udah keluar. Sana beli apapun yang kamu mau, ya, jangan kasih ke Ibu."
Kalimat Tara membuat Dena menggeleng pelan. "Nggak, Mas, kemarin Ibu udah ingetin aku, kalau uang tunjangan kinerja kamu mau diminta Ibu."
Tara diam. Ia menatap pantulan dirinya di kaca meja rias istrinya. Sementara Dena masih memeluknya.
Buat apa lagi, sih, Ibu. Itu hak Dena. ucap Tara dalam hati.
"Mas Tara..."
"Hm, apa, Sayang?" Tara menunduk menatap Dena, sedangkan Dena mendongak menatap suaminya.
"Kamu dan Kanti, punya masa lalu cerita indah, ya. Sampai aku, kemarin dengar kalau Kanti senang bisa ketemu kamu lagi." Dena tersenyum. Tara diam membeku. Ia terkejut, karena ternyata Dena mendengar ucapan Kanti saat Tara mengantar wanita itu hingga pagar.
Bersambung,
Apakah mereka sudah saling mencintai? Jawabannya, belum. Dena dan Argi menjalankan hak dan kewajiban, mereka juga sudah sah menjadi suami istri. Keduanya yakin, cinta akan datang seiring dengan waktu, tak perlu khawatir dengan hal itu. “Dena,” panggil Argi yang tak mendapati istrinya di dalam kamar saat ia baru selesai mandi besar setelah mereka bersetubuh. Argi duduk di tepi ranjang, masih tak percaya dengan apa yang sudah terjadi semalam dan hal itu membuat jantungnya berdebar begitu keras. Ia meraba dadanya, lalu menatap ke foto Saski yang masih terpajang di kamarnya. “Kamu nggak marah, ‘kan, Sas?” lirihnya diakhiri tawa dan wajah berseri-seri. Argi beranjak setelah mendengar bel pintu kamar hotel. “Udah bangun?” tanya Dena sambil membawa dua bungkus yang dari wanginya menggugah selera Argi yang lapar. “Kamu ke mana?” Ia mengekor Dena yang meletakkan bungkusan itu di atas meja. “Beli sarapan. Nggak sengaja sebenarnya, karena mau ke tempat Ariq, ternyata mereka udah ke Legoland
Argi menepati janji, hari jumat sore pukul 4.30 waktu KL, mereka berangkat ke Johor, menuju Legoland. Argi meminta Dena memesan hotel untuk menginap dua malam di sana, tak lupa ia mengajak Dena dan Ariq membeli beberapa pakaian baru juga di salah satu mal yang ada di KL. Satu koper ukuran besar menjadi pilihan Dena untuk mengemas pakaian mereka bertiga. Perjalanan yang akan memakan waktu tempat kurang lebih empat jam, ia siapkan sedemikian rupa juga dengan membawa makanan dan beberapa minuman. “Riq, kamu tidur aja kalau ngantuk, ya,” ucap Argi sambil menoleh ke arah belakang sebelum kembali menatap jalan bebas hambatan. “Iya, Pa,” jawabnya. Ariq tampak senang, pun Dena yang kali pertama plesir ke negara orang yang tak asing baginya karena suasana mirip dengan tanah air juga. “Betah tinggal di sini nggak kira-kira?” Argi membuka percakapan setelah mereka menempuh perjalanan satu jam. “Lumayan, aku masih haru keliling dan pingin tau transportasi umumnya. Nggak mau naik taksi atau re
Dena tiba di Kuala lumpur, Malaysia siang hari pukul satu. Ia dan Ariq duduk di lobi menunggu Argi menjemput. Hanya satu koper yang Dena bawa, ia memang bukan tipikal perempuan yang suka membawa banyak barang saat pergi yang menginap hingga beberapa hari. Ia lebih senang mencuci bajunya, cukup bawa baju seperlunya yang nanti di mix and match sendiri. Ariq menikmati burger yang Dena baru saja belikan sambil menunggu Argi menjemput. Kala itu, Ariq dan Dena kompak memakai warna baju senada, atasan putih dan celana jeans, juga sepatu kets warna hitam. Karena Dena memakai hijab, ia memilih kemeja putih dua ukuran lebih besar darinya supaya tak ketat membentuk lekuk tubuhnya. Bibirnya juga hanya ia olesi lipstik warna pink natural begitu tipis, hijab warna krem semakin membuat wajahnya bersinar. “Bun, kita di sini satu minggu? Itu lama, ya, Bun?” Ariq kembali menggigit burgernya setelah bicara.“Sebentar, kok. Kenapa? Ariq nggak mau lama-lama di sini?” Dena merapikan tatanan rambut putran
Syifa dan Tara duduk di teras rumah orang tua mereka. Sekarang, hanya tinggal Tara yang tinggal di rumah itu karena bapak meminta Argi baiknya keluar dari rumah setelah menikah dengan Dena. Lagi pula Argi di kuala lumpur dan jarang pulang, jadi baiknya saat Argi sedang di Jakarta, tinggal bersama Dena di rumah orang tua Dena. Meminimalisir resiko keributan juga rasa canggung karena Argi dan Dena sudah menikah. “Menikah lah lagi, Tara. Kakak nggak mau lihat kamu kayak gini,” tutur Syifa yang direspon tawa sinis Tara. “Kak Syifa, nggak semudah itu juga. Tara masih harus cerna semua ini. Merasa dicurangi adik sendiri itu nggak enak. Sakit hati.” ketusnya dengan tatapan dingin. “Gimana juga kalian saudara kandung, akan seperti itu sepanjang usia. Kamu harusnya pahami dan lihat hal ini wajar karena kita juga yang salah, kan? Kak Syifa ambil andil rusaknya hubungan kamu dan Dena di masa lalu.” Syifa menundukkan kepala. Tara beranjak, ia meninggalkan Syifa seorang diri di teras. Membuka
Hati Dena tak karuan, ia dan Argi saling menatap. Suaminya tersenyum begitu manis lalu berbisik lagi di telinga Dena saat keduanya duduk bersisian di restoran yang dipesan Argi untuk acara syukuran sederhana pernikahan mereka. “Semua akan aman dan baik-baik aja, Mbak Dena. Aku udah selamatkan kamu dari Mas Tara.” Argi memundurkan wajahnya, Dena tersenyum begitu tipis. Masih seperti mimpi yang aneh, karena mereka berdua kini pasangan suami istri. Pintu restoran terbuka, muncul Tara sambil membawa buket bunga. Tak ada senyuman, yang ada tatapan tajam menusuk dengan kemarahan yang membuat Dena segera menggenggam jemari tangan Argi di bawah meja. Argi menoleh, ia merasakan dinginnya jemari Dena. Kedua mata Argi juga menatap genggaman erat pada tangannya. Ia menatap Tara yang semakin berjalan mendekat lalu memberikan buket bunga mawar putih. “Selamat atas pernikahan kalian… adik ipar,” ucapnya dengan nada begitu dingin. Dena mencoba untuk tersenyum, walau ketakutan juga ragu terpancar pa
Tak kunjung berakhir rasa sesal yang dirasakan Tara, ia kini duduk sendirian di depan makam ibundanya. Wajahnya tampak gusar karena sejak tiba, ia terus merasakan hatinya sakit jika memikirkan Dena yang terang-terangan menolaknya. “Bu, Tara sekarang diambang kebimbangan. Argi mau menikah dengan Dena. Tara mau memperbaiki hubungan dengan Dena tapi… dia sama sekali nggak mau kasih kesempatan sedikit pun. Tara sendirian, dijauhkan dari orang yang Tara sayang bahkan Ibnu juga tinggal dengan Kanti dan suaminya sekarang.” Tara memainkan rerumputan yang menutupi gundukan tanah makam. Jarinya mencabuti pucuk rumput dengan pelan, layaknya anak kecil yang bermain atas lapangan penuh rerumputan. Gelapnya malam tak membuat ia ingin lekas beranjak, ia masih betah di sana walau tak lagi bicara. Fokusnya kini, bagaimana ia menata hati juga menghadapi pernikahan Dena dengan Argi. Tak kan mudah ia mengontrol semuanya. Tara seperti tenggelam dengan rasa sesal mendalam. Di lain tempat, Argi tampak bar