Tara asik makan siang dengan sesama rekan kerjanya di kantin kantor itu sambil bercengkrama dengan gelak tawa menggema.
"Besok siapa aja yang berangkat ke Malang juga?" tanyanya sembari meminum es teh manis miliknya.
"Kita berlima, Pak, tiket Bapak masih sama saya, nanti saya Check in-kan sekalian, jadi Bapak tinggal datang ke bandara aja." Sahut anak buah Tara. Pria itu mengangguk.
"Mobil dari dinas sana udah di siapin juga?" Kembali Tara bertanya.
"Sudah, Pak, mereka nanti jemput ke bandara dan kita langsung ke hotel. Jam sepuluh baru kita ke kantor dinas di sana. Bapak mau minta laporan apa saja? Biar saya hubungi orang di sana untuk siapkan," lanjut anak buah Tara yang seorang pria berusia dua puluh lima tahun.
"Oke." Lalu Tara beranjak, menuju kasir, membayarkan makanan pesanannya juga teman-temannya. Tara memang suka
Dena tak bisa tidur, hatinya merasa tak nyaman karena sikap ibu mertuanya yang jelas tak suka kepadanya. Bapak bahkan sampai meminta Dena membahas dengan Tara, namun, sepertinya Tara justru marah kepadanya. Dena menoleh ke arah kiri, Tara tidur memunggunginya. Semalam keduanya bertengkar, oh bukan, lebih tepatnya Tara yang memberi tahu Dena supaya tidak membuat ibunya kesal dan marah. Meminta Dena terus bersabar tanpa Tara memberikan kesempatan Dena bicara untuk sekedar membela dirinya.Waktu subuh tiba, Dena membangunkan suaminya yang segera membuka mata, lalu beranjak untuk mandi, bersiap sholat subuh lalu berangkat ke bandara dengan taksi. Dena menyiapkan sarapan berupa mie instan dengan telor rebus dan teh manis hangat. Masih pukul lima. Pesawat akan berangkat pukul sembilan pagi. Jarak dari rumah ke bandara cukup jauh, jadi Tara harus berangkat beberapa jam lebih cepat.Tara sudah tampak rapi, ia berjalan keluar kamar, menyeret tas koper yang ia dirikan di dekat m
Tara pulang dari perjalanan dinasnya di Kota Malang, Dena berjalan menghampiri dengan cepat karena ia baru selesai mandi. Kala itu, jam menunjukkan pukul tiga sore. Suara ibu yang senang menyambut putranya pulang terdengar riang. Dena segera berjalan keluar dari kamarnya, ia lalu menghampiri Tara.“Mas,” sapanya sembari meraih tangan pria itu. Tara diam, ia hanya melirik lalu mengabaikan Dena. Ia diam, berpikir jika mungkin suaminya lelah.“Aku siapin air hangat untuk mandi, ya, sebentar, Mas,” ucapnya sembari beranjak. Ia bergegas kembali ke dalam kamarnya, menuju ke kamar mandi lalu menyiapkan air hangat di dalam bak dengan air yang mengcur dari keran. Ia juga menyiapkan handuk baru, juga pakaian tidur Tara.Derit pintu kamar terdengar. Tara mas
"Saya bingung, udah bener Tara sama Kanti, tau kan kalian, yang disainer baju terkenal itu. Cuma karena Kanti mau sekolah lagi sambil meniti karir di luar negeri, Tara malah putusin. Dia malah pilih Dena yang jelas-jelas bikin hati saya nih, aduhhh... perih... sakit hati.Saya di rumah suka diketusin, Dena kalau diajak ngobrol juga suka nggak nyambung. Kasihan anakku, tiap pulang kerja, suka saya ceritain tentang sikap istrinya itu. Keselll... hati saya," curhat ibu ke tetangga yang rumahnya hanya berbeda tiga rumah ke samping kanan darinya."Lho, masa, sih? Saya lihat Dena nggak begitu, biasa aja dan rajin. Saya sering ketemu di tukang sayur, belanja bareng, dan kalau saya tanya belanja apa aja dan masak apa, dia selalu jawab kalau masak sesuai permintaan kamu, sekali belanja bisa dua ratus ribu sehari." Sanggah
Istilah 'keluar dari rumah', sering digadang-gadang banyak orang, terlebih dalam lingkup keluarga juga masyarakat bagi pasangan yang sudha menikah. Masalahnya, kadang penyampaian untuk mengingatkan seseorang akan sikap itu salah cara, yang berujung membuat salah tanggap yang berakhir ada yang tersakiti.Dena diam, saat ia sedang menyuguhkan makanan untuk tamu ibu mertuanya yang datang ke rumah. Bukan tamu jauh, mereka adalah orang-orang yang sehari-hari ada dilingkungan rumah juga. Istri Tara itu baru saja selesai mengantar pesanan jahitan sarung bantal, dan saat ia melihat ‘tamu’ ibu mertuanya itu. Ia segera ke kamar, berganti pakaian dan menuju ke dapur. Ia membuat minuman, juga menyuguhkan kue-kue yang memang, Dena rajin membeli, sekedar untuk camilan di rumah karena bapak mertuanya suka minum kopi sambil ngemil kue.“Silakan, Bu,” ucapnya sopan sembari meletakkan teh lemon hangat dan beberapa potong bolu pandan krim vanilla yang ia bel
"Mas Tara," panggil Dena pelan saat mereka sudah berada di dalam kamar. Tara merasa bingung, ibu diam dan tampak kesal. Sofia dan Syifa meminta ibu untuk sementara tinggal di rumah Sofia, alasannya supaya ibu refreshing karena di rumah ribut terus dengan Dena. Lucu, padahal ibu lah yang mencari kesalahan Dena terus. Bapak marah, tapi Sofia yang congkak dan Syifa yang selalu satu suara dengan saudara kembarnya itu hanya bisa mendukung keputusan Sofia."Bapak nggak kasihan sama Ibu?! Udah... udah! Kepala Sofia bisa pecah kalau begini. Bukannya senengin Ibu, malah kalian bikin pusing." Begitu kata Sofia tadi. Dena sedih, Sofia bahkan tak mengindahkan ucapan bapak. Raut wajah bapak sendu, kedua mata Dena menatap Sofia yang tampak begitu sombong."Mas," panggil Dena lagi."Ap
"Kenapa Mas Tara nggak mau cerita ke aku tentang masa lalu dia sama Kanti, Gi? Apa jangan-jangan, Mas Tara nikah sama aku karena pelarian dari Kanti?" raut wajah Dena sudah begitu sendu. Keduanya sedang duduk di kursi meja makan, Argi yang tak tega melihat kakak iparnya terus-terusan di rundung oleh keluarganya, akhirnya buka suara."Seharusnya, bukan aku yang cerita, nggak pantas memang, tapi... aku nggak tega lihat Mbak Dena terus di sakitin kedua Kakak perempuanku dan terurama Ibu. Mas Tara harusnya bisa tegas, karena memang, Ibu itu ya Ibu kandung kita, tapi kalau sikap dan ucapannya salah, ya kita salahkan, nggak bisa dimaklumi apa lagi di bela terus.Mbak, Mas Tara dan Kanti itu memang seperti itu saat pacaran dulu, Argi nggak tau lebih jauh lagi, untuk jelasnya, nggak ada salahnya Mbak tanya Mas Tara. Argi ngerasa kalau di rumah tangga kalian, ada yang mulai menyulut api dan bensin. Argi nggak
Hampir tengah malam, Dena sadar, Tara duduk di sampingnya, ia begitu sendu juga bingung. Dena diam, jangan anggap ia akan selalu lemah, mendadak, setelah ia ingat keinginan Tara untuk menikah lagi, ia seperti dibangunkan dari mimpi panjangnya. Dena menepis tangan Tara kasar, lalu beranjak pelan. Suasana rumah hening, ia berjalan pelan ke arah lemari pakaian, mengeluarkan pakaiannya lalu menarik koper miliknya walau kepalanya terasa pening."Dena, mau ke mana?" Masih juga Tara bertanya basa basi. Ia harusnya berpikir, bagaimana perasaan Dena, bukan tanya mau ke mana. Wanita itu diam sejenak, mengatur napasnya perlahan, lalu ia meraih ponsel miliknya di nakas. Ia duduk di tepi ranjang, lalu ..."Halo, Ma..., bisa Mama dan Papa jemput Dena, Dena mau pulang..." lalu ia terisak, begitu saja, apalagi saat mendengar jawab mamanya."Mama ke sana sama Papa, Ya, tunggu Mama, nak," jawab wanita di seberang sana. Dena m
Wanita itu tak kuasa menahan tangis. Sambil di peluk sang mama, Dena sesenggukkan. Ia jelas menolak dipoligami, apa-apaan Tara, kan? Alasan tidak mendasar untuk melakukannya."Kamu nggak bisa minta cerai sepihak sayang, kamu nggak mau selamatkan rumah tangga kamu?" tatapan seorang ibu yang begitu lembut, mencoba menjadi penengah, bukan memperkeruh."Papa nggak mau sampai kalian benar-benar cerai, Dena, ini ujian rumah tangga kalian. Tapi, kalau sudah kesepakatan kalian berdua, Papa hanya bisa mendukung kamu. Papa bisa lihat kamu makan hati selama tinggal di sana?Papa mau tanya? Kamu dianggap menantu nggak sama mereka? Apa kamu di anggap pembantu? Kamu ngapain aja selama di sana? Beberes? Masak? Rapihin pakaian? Bekerjaan pembantu kamu kerjakan?" kedua mata pria itu penuh selidik. Dena hanya bisa menghela napas. Tanpa menjawab apa pun, kedua orang tuanya sudah paham."Ya Allah, Papa... a