“Minta maaf? Buat apa aku minta maaf?”
Tsania berpindah posisi di belakang Danu seperti orang yang lemah meminta perlindungan.
“Kamu sudah merendahkan Tsania. Seharunya sebagai sahabat, kamu memberinya support bukan malah merendahkan.”
“Hah?!” Siena sampai melongo mendengar ucapan Danu. Kebohongan macam apa yang dibuat Tsania sampai Danu menuduh Tsania seperti itu. “Aku tidak salah dengar?”
“Mas, sudah. Aku mau pulang, ibu pasti mencariku.” Tsania menarik tangan Danu untuk menjauhi Siena. Danu pun patuh begitu saja saat Tsania memintanya.
“Mas, aku bisa jelaskan yang sebenarnya!” Panggilan Siena tidak dipedulikan oleh Danu, lelaki itu bahkan tidak menoleh padanya. Melihat Danu lebih membela Tsania membuat hatinya panas.
“Ini ada yang salah, aku harus mencari tahu kebohongan apa yang dibuat Tsania hingga Mas Danu menuduhku seperti itu.”
***
Siena menatap bangunan rumah dua lantai yang menjulang tinggi di depannya itu, rumah yang sepuluh tahun ini seperti neraka baginya. Andai dia tidak sedang ingin menemui Tsania untuk menjelaskan apa yang diinginkan, dia tidak akan di sini.
Dulu, Siena tidak pernah membenci ayahnya. Sebagai seorang anak, ia melihat ayahnya, Adhyaksa, sebagai sosok yang tegas tapi penuh perhatian. Setiap pulang kerja, ayahnya akan selalu meluangkan waktu untuknya dan ibunya, tertawa bersama di meja makan, meski sejenak. Namun, semua berubah ketika ibunya jatuh sakit.
Ibunya, seorang wanita yang penuh cinta dan perhatian, mendadak jatuh sakit parah. Siena masih ingat bagaimana wajah ibunya tampak pucat, tubuhnya semakin lemah setiap harinya. Dokter menyebut penyakit itu adalah penyakit langka yang sulit diobati, tapi ada harapan jika mendapat perhatian dan perawatan intensif. Siena, yang masih remaja saat itu, berharap ayahnya akan lebih banyak berada di samping ibunya, merawat dan memberinya kekuatan. Namun, harapan itu sirna.
Adhyaksa, yang sibuk mengurus perusahaan besarnya, lebih sering terlihat di kantor daripada di rumah. Setiap kali Siena menanyakan keadaannya, alasan yang sama selalu keluar dari mulutnya, "Papa sibuk, Sayang. Ini semua demi kalian." Kata-kata itu semakin lama hanya terdengar seperti alasan kosong di telinga Siena. Ia melihat ibunya semakin lemah, semakin putus asa, sementara ayahnya seakan menghilang dalam tumpukan berkas-berkas dan rapat-rapat penting.
Suatu hari, saat ibunya terbaring lemah di tempat tidur, Siena duduk di sampingnya, menggenggam tangan wanita yang paling ia cintai di dunia ini. "Ma, Papa akan pulang, kan? Papa bilang akan temani Mama hari ini," kata Siena dengan nada penuh harap. Ibunya hanya tersenyum lemah, tanpa berkata apa-apa. Seolah tahu, janji itu tidak akan ditepati.
Dan benar saja, malam itu Adhyaksa tidak datang. Telepon dari kantornya mengabarkan bahwa ia harus segera terbang ke luar negeri untuk urusan bisnis penting. Siena ingat bagaimana perasaannya hancur ketika menerima kabar itu. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi ia memilih diam demi menjaga perasaan ibunya.
Beberapa hari kemudian, ibunya meninggal dunia. Siena tidak pernah bisa melupakan momen itu. Ia berada di samping ibunya, menggenggam tangan yang dingin, sementara di sisi lain, tempat di mana seharusnya ayahnya berada, kosong. Adhyaksa tak ada di sana. Kematian ibunya meninggalkan luka yang dalam di hati Siena, tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ayahnya memilih pekerjaan daripada keluarganya di saat-saat terakhir ibunya.
Saat pemakaman berlangsung, Adhyaksa akhirnya muncul. Wajahnya penuh penyesalan, tapi bagi Siena, semua sudah terlambat, kedatangan ayahnya sia-sia. "Maafkan Papa, Sayang. Papa tidak tahu kalau Mamamu pergi secepat ini," ucap Adhyaksa di sela isaknya. Siena hanya menatap ayahnya tanpa ekspresi. Ia tidak bisa memaafkan. Baginya, ayahnya telah menelantarkan ibunya dan membiarkannya pergi sendirian. Mana cinta yang dulu mereka gaungkan, Siena merasa ayahnya telah mengkhianati janji pernikahan mereka.
Dari sanalah kebencian itu mulai tumbuh. Setiap kali melihat wajah ayahnya, Siena hanya bisa merasakan amarah yang membara. Baginya, Adhyaksa adalah penyebab utama kematian ibunya. Andai saja ayahnya lebih peduli dan hadir saat ibunya butuh semangat, mungkin ibunya akan mendapatkan kekuatan untuk bertahan. Tapi ayahnya lebih memilih perusahaan, lebih memilih kesuksesan daripada keluarga.
Siena mulai menjauh dari ayahnya, menutup diri untuk ayahnya. Ia tidak tahan lagi hidup di bawah atap yang sama, di rumah besar yang dipenuhi kenangan menyakitkan. Siena memutuskan untuk meninggalkan rumah, memulai hidupnya sendiri, tanpa embel-embel nama besar ayahnya. Ia menolak segala kemewahan yang ditawarkan, tidak ingin dikaitkan dengan kekayaan yang menurutnya menjadi kutukan bagi keluarganya.
Hidup sederhana adalah pilihannya. Siena bekerja keras setelah lulus kuliah untuk mencari nafkah sendiri, menolak bantuan ayahnya dalam bentuk apapun. Bagaimana bisa dia menikmati harta kekayaan ayahnya sedang karena harta itulah ibunya meninggal.
Setiap kali orang bertanya tentang keluarganya, Siena selalu menjawab dengan samar. Tak ada yang tahu bahwa dia adalah anak dari seorang pengusaha raksasa. Ia tak ingin orang-orang mengenalnya karena kekayaan ayahnya. Siena hanya ingin dicintai dan dihargai atas dirinya sendiri, bukan karena harta atau status keluarganya.
Dalam benaknya, dunia orang kaya adalah dunia yang penuh kepalsuan. Ayahnya adalah bukti nyata dari hal itu. Kekayaan hanya membawa jarak, bukan kedekatan. Siena tak ingin menjadi bagian dari dunia itu lagi. Ia ingin menjadi dirinya sendiri, tanpa bayang-bayang sang ayah.
Namun, semakin jauh ia berusaha melarikan diri, semakin jelas bahwa bayangan itu selalu mengikuti. Nama Adhyaksa selalu muncul dalam percakapan, di media, di mana pun dia berada. Siena tak bisa sepenuhnya lari dari kenyataan bahwa dia adalah pewaris tunggal perusahaan besar itu. Tapi dia tetap bertahan pada keputusannya untuk hidup sendiri, meraih segala sesuatunya dengan usahanya sendiri.
Waktu berlalu, tetapi kebencian itu tidak pernah benar-benar hilang. Setiap kali ia mendengar nama Adhyaksa, luka lama itu kembali terasa, seakan baru kemarin ibunya pergi meninggalkannya. Siena merasa kehilangan, tidak hanya kehilangan ibunya, tetapi juga sosok ayah yang dulu ia kagumi.
“Pak Adyaksa di ruang kerjanya, Nona. Apa mau saya panggilkan?” Siena menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke sumber suara.
“Aku ke sini tidak ada urusan dengan papa.” Dia berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Pikirannya masih berkecamuk setiap kali dia memasuki rumah megah milik ayahnya.
Lelaki yang menyapanya menuju ke ruangan Adyaksa setelah memastikan Siena masuk ke kamar.
“Nona sudah pulang, Pak,” ujar lelaki itu.
“Aku tahu, Raksa. Dia akan kembali dan meminta bantuanku.”
“Nona masih belum mau menemui Bapak.”
“Biarkan, nanti saat waktunya tiba, dia akan mencariku. Tetap awasi dia.”
"Kamu jahat, Tsan.""Maaf.""Lihat, apa yang kamu perbuat? Ibu meninggal, Tsan, kenapa kamu tega mencelakai kami, bisa saja kami semua meninggal." Danu meraup kasar wajahnya, matanya memerah, tangan kanannya mencengkeram lengan Tsania. "Aku hanya memberi kalian sedikit pelajaran." Tsania menunduk, dia meringis saat tangan Danu semakin mencengkeram lengannya. "Sedikit katamu? Ibu meninggal, Tsan? Apa yang membuatmu tega melakukannya padahal kami hanya kecewa padamu. Kami tidak melakukan kekerasan.""Kalian menghinaku.""Tidak. Kami tidak menghinamu, kami hanya kecewa padamu dan mengingatkan kalau kamu salah, kamu salah mengambil identitas orang lain agar diterima, padahal identitas kamu tidak buruk.”Ibarat nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terjadi. Tsania melakukan segala cara demi mendapatkan keinginannya padahal itu hanya perasaan iri dengki saja. Tsania telah terjebak dalam kubangan perasaan yang tidak bisa dia kendalikan, dia terjebak dalam tipu daya setan. Hanya karena men
“Raksa … Raksa …!”Siena memanggil-mangil Raksa yang sedang berada di kamar mandi. Tangannya mengetuk keras hingga membuat lelaki yang masih penuh busa itu terpaksa membuka pintu.“Sayang, ada apa?” jawab Raksa dengan tetap tenang.“Tsania, dia ….” Siena menarik napas kemudian menggeleng. “Tidak mungkin Tsania sekriminal itu.”“Apa pun yang kamu dengar, itu yang terjadi. Aku memang mau mengabari soal Tsania tadi. Setelah aku mandi, kita ke kantor polisi, tadi aku dihubungi polisi untuk dimintai keterangan.”Lelaki itu masuk kembali ke kamar mandi karena belum menyelesaikan mandinya.Siena berjalan mondar-mandir, dia masih belum mengerti kenapa bisa Tsania dan ibunya justru kena masalah di waktu yang sama, dia sebenarnya belum sepenuhnya percaya dengan Narsih yang tega meracuni ibunya. Kenapa sulit mempercayai apa yang terjadi, tapi mungkin inilah yang sebenarnya, Tuhan telah menunjukkan kebenaran.Setelah Raksa selesai mandi dan berganti pakaian, mereka langsung menuju kantor polisi.
“Cari lelaki ini sampai ketemu.” Adyaksa meminta orang yang memberikan informasi padanya tentang Surya. Dan … Finally, setelah sepuluh tahun akhirnya menemukan titik terang tentang kematian istrinya dan orang yang membuat putrinya menjauh.Sebenanrya sudah lama sejak istrinya meninggal Adyaksa mencurigai Narsih terlibat, tapi dia tidak punya bukti akurat ditambah lagi kejahatan Narsih sepertinya tersusun rapi hingga tidak mudah bagi Adyaksa menemukan bukti dan juga alasan putrinya yang saat itu begitu dekat dengan Narsih.Awalnya kasus kematian istrinya dia bawa ke polisi, tapi karena kesibukannya, dia menarik kasus itu apalagi semenjak putrinya semakin dekat dengan Narsih. Adyaksa sempat mengira kalau kecurigaanya tidak benar. Namun, setelah Narsih dan Tsania berhenti bekerja dan memilih pergi dari rumahnya, Adyaksa kembali mencari informasi tentang Narsih dan Tsania. Awalnya dia ingin mencari tahu alasan Tsania merebut Danu, tapi dia curiga kalau ada sesuatu hal lain yang membuat Na
Raksa berdiri mematung, pandangannya menyapu sekeliling. Lelaki itu sudah tidak ada. Dia yakin benar tadi melihat sosok misterius menyeret Narsih menjauh dengan kecepatan yang membuatnya hampir tak percaya. Bayangan lelaki itu menghilang di lorong gelap menuju tangga darurat. Sepertinya lelai itu sudah mengintai sejak awal dan sudah tahu situasi di sana.Raksa mengepalkan tangan, frustrasi. "Dia terlalu cepat," gumamnya, melangkah menyusuri lorong untuk mencoba mencari jejak. Namun, tidak ada yang tersisa kecuali suara langkah kakinya sendiri.Raksa mengambil ponselnya pantas melakukan panggilan telepon. “Buat opsi kedua, kemungkinan mereka menuju silang.” Raksa memberi kode lantas mematikan ponselnya.Sementara itu, lelaki misterius itu dengan sigap membawa Narsih ke sebuah mobil yang sudah menunggu di belakang gedung. Wajah Narsih pucat pasi, tapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya ada ketakutan yang terpancar jelas di matanya."Tenang, aku tidak akan membiarkan mereka men
Siena sedang duduk di ruang tamu rumahnya, jemarinya sibuk membuka dokumen-dokumen kecil terkait pekerjaannya. Raksa belum pulang, dan dia merasa ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan beberapa hal. Namun, suasana tenang itu terusik saat bel pintu berbunyi.Siena bangkit dengan sedikit enggan, membuka pintu, dan langsung mendapati Tsania berdiri di sana dengan senyum tipis yang penuh arti.“Tsania?” Siena menatapnya penuh curiga. “Kenapa kamu ke sini?” Seingat Siena, sejak kematian Nimas waktu itu, Tsania tidak lagi datang karena polisi mulai menyelidiki penyebab kecelakaan. Meski Siena mendengar dari tante Mona kalau Tsania ada hubungannya dengan kecelakaan itu, tapi Siena masih tidak mempercayai karena menurutnya Tsania tidak akan melakukan hal criminal. “Aku cuma ingin bicara sebentar,” Tsania menjawab santai, melirik ke dalam rumah Siena dengan pandangan sinis. “Tidak lama kok, hanya lima menit.”Siena menghela napas, merasa enggan, tapi akhirnya mengizinkan Tsania masuk. Wanit
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar mendekat. Siena mendongak, terkejut melihat Raksa berdiri tak jauh darinya. Wajah lelaki itu tegang, matanya seperti menyala. Dalam sekejap, Raksa melangkah mendekat, tangannya meraih pergelangan Siena dengan gerakan yang membuatnya tersentak.Hujan rintik-rintik mulai membasahi tanah pemakaman, menambah suasana kelabu yang sudah menyelimuti tempat itu. Saat itu Siena memang berdiri di dekat Danu, menatap tanah basah tempat Nimas baru saja dimakamkan. Hatinya terasa berat melihat kesedihan Danu yang tak henti menunduk, wajahnya sendu, tapi tetap tegar.“Siena, kita pulang,” ucap Raksa, nada suaranya rendah, tapi penuh penekanan.“Raksa—” Siena mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Raksa terlalu kuat. “Tunggu, aku belum selesai di sini.”Raksa mengabaikannya. Tanpa banyak bicara, dia menarik tangan Siena, langkahnya cepat dan pasti. Danu yang menyadari apa yang terjadi langsung maju, mencoba menghentikan Raksa.“Raksa, tunggu!” Danu berseru.