Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 46 "Katakan padaku, apa papanya Dania telah berbohong padaku?" tanyaku pada Chris sambil mencengkram erat bajunya. "Saya tidak tahu, Pak. Saya tadi sudah mengatakan pendapat tentang alamat yang diberikannya ini, tapi Bapak menolak untuk tahu." Ia menjelaskan dengan jujur. Benar, ini adalah kesalahanku sendiri. Harusnya aku belajar dari pengalaman, dan tidak lagi tertipu oleh tipuan murahan. Aku tidak pantas diperlakukan seperti ini. "Kembali ke kantor. Kita kerjakan pekerjaan yang sudah lama kita tinggalkan," titahku dan Chris langsung menjalankan mobilnya. Aku benar-benar tidak habis pikir, sikap Dino dan Dania ternyata sangat ke kanak-kanakan. Kalau dari awal mereka memang tidak berniat untuk bertemu denganku, kenapa mereka muncul di taman waktu itu? Terus kenapa papanya Dania pun ikut memberikan alamat yang salah padaku. Apa memang aku pantas diperlakukan seperti ini? Sungguh terlalu. Aku bekerja keras untuk kebahagiaan mereka, tapi inik
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam Kini aku sedang menunggu Haikal bicara, apa maksud dari pergi jauh yang dia katakan tadi. Namun, orang yang kutunggu itu hanya diam saja sambil beberapa kali memasukan makanan ke dalam mulutnya. "Kami hanya akan datang kalau Kania kembali merindukan orang yang tidak seharusnya dirindukan," ucap Haikal tiba-tiba membuka suara setelah melap bibirnya yang penuh saus dengan tisu. Merindukan orang yang seharusnya tidak dirindukan? Apa aku memang pantas untuk tidak dirindukan? Ya Allah, apa yang sebenarnya sudah aku lakukan di masa lalu, sampai lukanya Haikal sebesar ini? "Sayang, Papa adalah ayah kandung kalian. Bukankah rasanya tidak mungkin kalau kalian tidak merindukan Papa?" Aku kembali bertanya dengan basa-basi. Padahal tubuhku sendiri ingin membawa mereka ke dalam pelukan. Kini aku tahu bagaimana rasanya tidak dianggap ada. Baru sebentar saja, aku merasa sudah mengalami hal ini sangat lama. Aku juga menjadi tahu bagaimana rasanya dibenci oleh
ALASAN LEMBUR SUAMIKU SETIAP MALAM "Hei, semuanya! Maaf sudah membuat kalian menunggu," ucap Mas Fahri kenapa seorang wanita dan anak-anak yang sedang makan di restoran yang secara kebetulan aku dan anak-anak juga mau makan di sini. "Gapapa, kok, Mas, anak-anak bisa nunggu," ucap seorang wanita yang ada di sampingnya sambil mengelus pergelangan tangan Mas Fahri. Ah, ternyata ini yang dikatakan lembur suamiku. Aku pura-pura masuk dan tidak melihat ke arah mereka dengan anak-anak. "Ma, kok, itu kayak Papa, ya?" Kania, anak keduaku yang berusia lima tahun menunjuk ke arah Mas Fahri. Namun, Haikal langsung mengalihkan. "Mungkin kamu salah lihat adik Mas yang cantik," ucapnya sambil mencoba mengarahkan tatapan adiknya ke arah lain. Aku dan Mas Fahri sudah menikah selama sepuluh tahun. Dulu, aku menikah di usia muda yang belum punya pengalaman apapun. Karena Mas Fahri terus-menerus datang membujukku agar mau menikah dengannya sampai membuatku pusing dan menyetujuinya. Dulu dia berja
Alasan Lembur Suamiku Setiap Malam 2 "Kok, kamu kayak kaget gitu, Mas? Kenapa?" Wanita tadi ikut heran dengan tatapan Mas Fahri, sementara aku hanya tersenyum tipis seolah kita memang tidak saling kenal. "Aku mau ke Papa." Dapat aku dengar Kania masih merengek, bahkan sudah beberapa kali berdiri untuk menghampiri Mas Fahri, tapi Haikal lagi-lagi menahannya. Aku tidak tahu kalau bagaimana jadinya kalau Haikal tidak ikut, karena Kania lebih nurut sama Mas Fahri dan Haikal daripada aku. "Mas!" Wanita itu kembali memanggil Mas Fahri yang masih menatapku. "Kalian saling kenal?" tanyanya lagi. Mas Fahri hanya diam. Dia memilih untuk menundukkan kepalanya dan kembali duduk tanpa menjawab pertanyaan itu. Karena tidak mendapatkan jawaban dari Mas Fahri, wanita itu pun menatapku untuk mendapatkan jawabannya. "Apa kalian saling kenal, Mbak?" tanyanya dengan tatapan yang lembut, tidak seperti kepada Mas Fahri. "Oh, enggak, kok, Mbak." Aku langsung merespon dengan senyuman yang membuat Mas
"Biasa aja apanya sih, Mas? Apa jangan-jangan mata kamu sudah tidak berfungsi, ya?" Wanita itu terlihat sangat kesal. Jelas, semua mata pasti tahu bagaimana tampilan laki-laki yang kini duduk di depanku. "Kania mau makan apa? Mau disiapin?" Laki-laki yang bernama Dino itu menawarkan diri kepada Kania. Gadis kecilku menggeleng pelan. "Kania hanya mau disuapi Papa," tolaknya halus. Dino menatapku untuk meminta penjelasan. "Nanti aku jelaskan, sekarang bukan waktu yang tepat," ucapku setengah berbisik. Dino mengangguk. Ia pun mengambil piring Kania dan memberikan suapan. "Papanya lagi sibuk, sama Om aja, ya?" ucapnya lembut. Kania kembali menggeleng. "Papa gak sibuk, itu Papa ada di sana," lirihnya pelan sambil menunjuk ke arah meja Mas Fahri yang sontak membuat Dino ikut menatap ke arahnya. "Sial*n. Apa yang sedang laki-laki itu lakukan di sana?" Dion sangat marah setelah melihatnya. "Seperti yang Om lihat, Papa sedang makan dengan seorang ibu, dan beberapa anak kecil." Haikal
Setelah mengirimi aku pesan, Mas Fahri langsung buru-buru pulang. Sepertinya dia memang sudah tidak sabar untuk menuntut penjelasan dariku, padahal aku yang lebih berhak untuk itu. Enak saja. Aku memang wanita dan harus taat terhadap suami, apakah kepada seorang pembohong juga aku harus hormat? Yang benar saja. Sebelum benar-benar pergi, Mas Fahri melirikku dengan tajam. Meskipun melihat dengan jelas, aku berpura-pura tidak melihatnya, dan tetap fokus sama Kania yang sedang digoda Dino. "Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Toh, mereka sudah pergi." Dino mulai mencoba mendapatkan penjelasan. "Seperti yang kamu lihat." Aku menjawabnya cuek. Tidak usah menjelaskan, dia juga pasti sudah tahu. "Jadi selama ini dia mengkhianati kamu?" tanyanya sambil menatapku tidak percaya. "Ah, yang benar saja. Memangnya apa kelebihan wanita itu sampai membuatnya berpaling darimu?" ia beberapa kali menggelengkan kepalanya. "Begitulah lelaki. Dia tidak akan pernah merasa cukup, padahal di rumah sudah
Mas Fahri tetap diam. Dia sepertinya belum menemukan alasan yang tepat untuk membohongiku, atau dia mungkin sudah tahu kalau aku tidak akan percaya lagi dengan apapun yang dia katakan. "Cepat jawab!" Aku mulai berteriak. Kesabaranku rasanya sudah habis, apalagi jika mengingat selama sepuluh tahun ini dia selalu berbohong. Mas Fahri masih diam. Andai anak-anak tidak ada, aku pasti sudah melampiaskan semuanya. "Ini yang kamu bilang sibuk selama sepuluh tahun ini?" tanyaku lagi sambil menatap matanya dengan penuh kebencian. Mata yang dulu memandangnya dengan penuh cinta dan kelembutan, kini tinggal tersisa hampa, dan kenangan yang pahit. "Jawab, Mas! Kenapa kamu hanya diam? Siapa wanita itu?" tanyaku berteriak. Mungkin saat ini anak-anak sudah mendengarnya, tapi semoga saja tidak. Di kamar, ada Mbak Lina yang baru bekerja kemarin untuk menjaga anak-anak kalau aku sibuk. Aku berharap dia bisa membuat anak-anak menjauh dark tempat kami sekarang. Kebetulan di kamar anak-anak juga ada p
"Adam?" Aku mengucapkan nama itu dan membuat Mas Fahri menatap tajam ke arahku. "Jangan ganggu privasi suamimu, Dania!" bentaknya membuatku sangat terkejut. Oh, jadi dia mau bermain lembut? Baiklah. Aku akan dekati Ranti tanpa sepengetahuanmu, Mas, dan lihat bagaimana hasilnya nanti. Karena takut anak-anak sudah kembali ke kamar dan melihat pesan dari Ranti alias Adam itu. Aku akan mengumpulkan bukti yang cukup untuk membuat keluarga besar kami berdua percaya dengan apa yang akan aku katakan. [Kenapa, Mbak? Mbak terkejut, ya? Aku pacaran dengan Mas Fahri meksipun masih status istri karena suamiku suka main kasar, Mbak. Bukan hanya itu, dia juga suka main perempuan. Tidak pernah kasih nafkah, jadi hanya bisa marah-marah, dan itu membuat Mas Fahri semakin peduli padaku.] [Apalagi anak-anak kekurangan kasih sayang dari ayahnya, jadi Mas Fahri yang menggantikan posisi itu.] Sederet pesan yang Ranti kirimkan membuat dadaku bergemuruh. Bisa-bisanya Mas Fahri peduli kepada anak orang