Masuk
Mataku turun perlahan ke laptop.
‘Ya Tuhan, laptopku.’ Dalam hati aku menjerit. Bagus. Sekarang bajuku, laptopku, dan harga diriku resmi berubah menjadi versi cappuccino. “Ya ampun... maaf sekali.” Suara seorang pria—santai. ‘Eh? Malah terlalu santai.’ Seolah tidak sadar baru saja menghancurkan hidup seseorang. hidupku jadi gelap karena kopi ini. Aku mendongak dengan penuh emosi. Aku siap mengeluarkan semua kata-kata kotor yang sudah berbaris di kepalaku. Dan ya, Tuhan memang punya selera humor. Yang menumpahkan ternyata manusia dengan wajah kombinasi aktor Korea dan model iklan sampo. Rambutnya agak acak, tapi entah mengapa tetap enak dilihat. ‘Kalau begini, aku bingung antara ingin marah atau berterima kasih.’ Seketika emosiku yang tadinya sepanas matahari berubah menjadi musim semi. Entah dari mana datangnya bunga-bunga itu. “Laptop kamu... rusak, ya? Aku ganti,” katanya ringan. Suaranya enak didengar—renyah seperti kue kering yang baru keluar dari oven. Aku menatapnya tak percaya. ‘Pria setampan ini berada di depanku. Aku meleleh seperti coklat yang dipanaskan.’ “Tidak apa-apa. Masih bisa diselamatkan,” jawabku cepat. Aku berusaha mengalihkan perhatian pada laptop dan mencoba membersihkan cipratan kopi di bajuku, meski percuma. ‘Ya, baju putih kesayanganku kini punya motif abstrak yang unik.’ Dia mengangkat alis. “Yakin?” Ekspresinya datar, tapi aku merasa apa pun ekspresinya akan selalu cocok di wajah itu. “Yakin,” jawabku mantap. Dia menatapku beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Baik. Tapi izinkan aku mentraktir kopi, ya? Sebagai permintaan maaf.” Nada bicaranya terdengar tulus. Aku mendengus. “Kopi lagi?” “Tenang,” katanya pelan. “Kali ini tidak akan tumpah lagi. Janji.” Nada suaranya datar, tapi matanya menatapku seperti panah cinta. “Ya, bolehlah.” Aku menjawab dengan nada santai. Tapi sebenarnya aku berusaha keras untuk tidak memasukkannya ke dalam tasku dan membawanya pulang. ‘Dasar pria tampan.’ Aku memakinya di dalam hati, tapi entah mengapa mulutku tidak mau mengeluarkan semua makian itu. Ya, beginilah jadinya jika menjadi penggemar pria tampan—apalagi yang suaranya menenangkan seperti itu. Beberapa menit kemudian, ia kembali membawa dua gelas minuman. “Satu caramel latte untuk kamu,” ucapnya sambil meletakkannya di depanku dengan senyum itu lagi—senyum yang pasti tidak akan bisa aku lupakan. “Dan satu americano untuk aku,” sambungnya, sambil menggeser kursi dan duduk di depanku. Aku menatapnya. “Kamu suka yang pahit?” ‘Aku akan menatapnya sampai puas. Apa aku terdengar seperti penjahat? Ya, mungkin jika dia mengetahui isi kepalaku, pasti dia sudah kabur.’ “Kopi pahit bisa membuatku semangat bekerja. Aku lebih suka tanpa gula.” Aku terdiam sambil mengamatinya. ‘Kata-kata itu membuatnya terlihat dewasa. Aku yakin, dilihat dari wajahnya, dia seumuran denganku.’ “Kalau kamu?” tanyanya. Pertanyaannya seolah berkata, ‘Berhentilah menatapku seperti seekor kucing yang akan mencuri ikan.’ “Aku? Hmm... aku tidak bisa minum kopi tanpa gula.” Dia tersenyum kecil. “Ya, kamu lebih cocok dengan susu cokelat manis daripada kopi.” Dia mengejekku. Tapi aku pura-pura tidak mendengar. Aku berusaha mengalihkan pandangan ke luar jendela. Tapi entah kenapa, pipiku terasa hangat. “Oh ya, aku Rangga,” katanya, menghentikan lamunanku. “Aku Alesha.” Lagi, aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. Dia mengangguk. “Nama yang manis.” “Terima kasih,” jawabku singkat. ‘Aku hampir meledak. Pria ini benar-benar tampan. Aku tidak punya kata-kata untuk mendeskripsikannya selain: sempurna.’ “Cocok untuk kamu yang tidak mudah marah,” katanya sambil menyesap kopinya. Aku menatapnya. “Kamu hanya sedang beruntung. Biasanya kalau marah, aku berubah jadi T-rex.” “Kalau begitu,” ia menatapku singkat, “aku datang di waktu yang tepat.” Aku mengerjap, tidak tahu harus membalas apa. 'Kenapa otakku seolah menjadi kosong seperti ini?' Beberapa detik hening. Dia melihat jam di tangannya, lalu berdiri. ‘Sepertinya dia punya janji yang harus ditepati.’ “Aku harus pergi. Tapi... mungkin aku akan sering datang ke sini,” katanya sambil berdiri, seolah-olah sangat terburu-buru. “Kenapa?” tanyaku penasaran. Dia tersenyum tipis. “Tempat ini menyenangkan.” Ia berhenti sejenak. “Dan pemandangannya menarik.” Lalu melangkah pergi begitu saja. ‘Ya, dia datang dan pergi sesukanya.’ Langkahnya pelan, tapi suaranya masih terngiang bahkan setelah pintu kafe tertutup di belakangnya. Aku masih memperhatikannya dari jendela sampai bayangannya hilang di antara kerumunan orang di jalan, lalu aku menatap laptopku yang mati total. ‘Bagus. Laptopku rasa kopi. Sekarang hidupku benar-benar dipenuhi kopi.’ ‘Kesialan yang membawa keberuntungan. Apa besok aku bisa bertemu dengannya lagi?’ Kursor di layar ponselku berkedip, dan jemariku menulis satu kalimat di catatan naskah: > “Dia datang bersama tumpahan kopi dan menghilang di antara keramaian. Tapi aku tahu bagaimana cara menemukannya. Apa itu yang mereka sebut takdir?”Matahari siang merayap naik, menghangatkan permukaan jalan dan membuat bayangan pepohonan di sepanjang taman memanjang ke arah barat. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput yang baru saja disiram sprinkler taman. Alesha, Rangga, dan Raka telah menghabiskan setengah hari bermain, berlari, dan tertawa sampai kehabisan tenaga. Setelah makan siang sederhana di restauran dekat taman, mereka sepakat pulang lebih cepat sebelum panasnya hari membuat suasana tak lagi nyaman. Raka tertidur lebih dulu di kursi belakang mobil, bahkan sebelum mobil itu keluar dari area parkir taman. Anak itu benar-benar kelelahan setelah bermain kejar-kejaran dengan Alesha, membuat Rangga hanya bisa geleng-geleng saat melihat mereka berdua tadi sama-sama ngos-ngosan seperti sedang olahraga berat. Saat mobil melaju pelan di jalan kota, Alesha yang duduk di kursi depan juga tak kuat menahan kantuk. Sisa embusan AC yang dingin, hembusan angin lembut dari jendela, dan kenyamanan kursi mobil membuat kelopak matan
Gerobak es krim berwarna biru pastel itu berdiri manis di bawah rindangnya pohon flamboyan. Payung kuning cerah menaunginya, bergoyang pelan tertiup angin siang yang hangat. Aroma waffle cone yang renyah bercampur wangi rumput yang baru dipotong. Setiap kali pedagang es krim menggeser gerobaknya beberapa sentimeter, lonceng kecil di sisi gerobak berdenting riang.Alesha, Rangga, dan Raka berjalan mendekat. Raka langsung berlari kecil sambil berjingkrak, kedua tangannya terangkat tinggi.“Om! Om! Mau es krim rasa cokelat, stroberi, sama mangga!” katanya semangat sambil menunjuk gambar tiga rasa sekaligus.Rangga tertawa kecil, menunduk mengusap kepala bocah itu. “Satu saja, Nak. Kalau tiga nanti perut kamu dingin semua.”Raka manyun, pipinya mengembung. "Ayah Ngak asyik."Rangga menyenggol bahu Alesha pelan. “Baiklah, tiga juga boleh, kok. Khusus hari ini.” bisiknya sambil mengedipkan mata jail. Ekspresinya sok serius, seperti sedang memberikan dispensasi khusus dari kerajaan es krim
Perjalanan menuju taman berlangsung dengan cukup ramai. Raka tidak henti-hentinya bercerita tentang balonnya yang ia beri nama “Bobi”. Menurutnya, Bobi adalah sahabat barunya yang tidak boleh tersenggol sedikit pun. Alesha mendengarkan sambil sesekali menanggapi, sementara Rangga hanya tersenyum dari kursi pengemudi, seperti sedang menikmati pemandangan paling lucu di dunia. Setelah berhenti sebentar untuk membeli burger—di mana Raka menjatuhkan satu potongan daging ke pangkuannya lalu tertawa puas seolah itu kejadian paling lucu sedunia—mereka melanjutkan perjalanan ke taman kota. Begitu mobil berhenti di area parkir taman, udara segar dengan aroma rumput basah langsung menyapa. Pohon-pohon besar menaungi sebagian besar area taman, dedaunannya berayun lembut ditiup angin. Suara gemericik air dari kolam kecil di sisi kanan taman terdengar menenangkan. Beberapa keluarga sudah berkumpul dengan tikar, sementara anak-anak lainnya berlari-lari kecil mengejar gelembung sabun. Alesha tu
Minggu pagi datang dengan keheningan khas kawasan perumahan mewah. Terdengar gesekan lembut angin yang menyusuri deretan pohon palem di sepanjang jalan, serta gemericik air dari air mancur kecil di taman depan rumah. Kebun yang mengelilingi rumah Alesha tampak segar oleh sisa embun; bunga-bunga bougainvillea yang tertata rapi di sepanjang pagar berbatu tampak mekar penuh, memantulkan warna-warna mencolok ketika matahari pagi menyentuhnya. Halaman rumput yang luas itu terbentang seperti karpet hijau, bersih dan terawat, memberikan kesan damai dan elegan sejak pandangan pertama.Alesha berdiri di depan cermin besar di kamarnya, terdiam sejenak sambil memperhatikan bayangannya. Gaun berwarna lembut membalut tubuhnya, jatuh mengikuti lekuk secara sederhana namun anggun. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit gelombang alami di ujungnya, memberikan kesan santai namun tetap manis. Ia mengusap rambutnya ringan, memastikan tidak ada helai yang mencuat sembarangan.Sudah lama ia tidak ber
Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian sore itu di mobil Rangga.Tiga hari yang aneh—tenang di permukaan, tapi penuh pusaran kecil di hati Alesha.Setiap kali mengingat tatapan Rangga di bawah cahaya jingga sore itu, jantungnya masih saja berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu di mata pria itu— sesuatu yang tidak berani ia akui.Namun, kehidupan tak berhenti hanya karena satu tatapan. Pagi kembali datang, tugas menumpuk, dan kopi tetap harus diseduh agar otak bisa diajak kompromi.Pagi itu udara masih lembap. Embun menempel di dedaunan kecil di depan rumah Alesha, berkilau seperti kaca di bawah cahaya matahari yang baru muncul. Dari dapur, aroma roti panggang bercampur kopi hitam menguar pelan. Alesha meneguk sisa minumannya yang sudah agak dingin, lalu meraih tas dan memeriksa kunci mobil di tangannya.Ketika ia baru saja hendak menuju garasi mobil, suara klakson pendek terdengar dari halaman depan. Suaranya tajam, tapi cepat—cukup membuat Alesha menoleh. Ia berkerut.‘Siapa
Langit sore perlahan memudar menjadi warna jingga keunguan. Awan tampak seperti kapas yang dilumuri cahaya senja, menggantung di atas gedung-gedung tinggi. Jalanan kota mulai dipenuhi lampu kendaraan yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang modern, sibuk namun indah. Di dalam mobil hitam milik Rangga, suasananya terasa hangat, namun juga tegang dalam diam.Deru mesin berpadu dengan musik lembut dari radio, nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk kendaraan di luar. Alesha duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai yang tak ia tunjukkan. Di sisi lain, Rangga masih memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya tak lepas menggenggam tangan Alesha. Cengkeramannya mantap—hangat, tapi juga terasa seperti sebuah isyarat halus: aku tahu, dan aku memperhatikanmu.Alesha menghela napas pelan, pandangannya kosong menatap lampu-lampu jalan yang memantul di kaca.‘Kenapa rasanya setiap kali aku mencoba melangkah, semesta malah kasih jal







