Share

Makan malam bersama

Author: Defa
last update Last Updated: 2025-08-02 01:25:41

Suara sendok dan pisau bertemu di atas piring. Kling. Kling.

Heningnya ruang makan ini membuatku berpikir, 'Ini ruang makan atau makam keluarga kerajaan? Sepi sekali.'

Aku melirik ke arah Ibu yang duduk di seberang. Seperti biasa—rapi, elegan, dan memiliki aura seorang ratu yang tegas.

Sementara aku? Mengenakan hoodie kebesaran, rambut seperti habis diserang angin ribut, dan sandal yang seharusnya sudah pensiun.

Kalau ini sinetron, judulnya pasti "Anak yang Tertukar."

“Jadi, Lesha…” Suara Ibu akhirnya terdengar. Lembut, tapi efeknya mengalahkan pengumuman sidang skripsi.

“Kapan kamu mulai belajar tentang perusahaan?”

Aku berhenti mengunyah. Aduh, ini lagi. Rasanya seperti Aku menjadi timun emas dan sedang dikejar Buto Ijo.

Aku cepat-cepat meneguk air putih. Bukan karena haus, tapi agar punya waktu untuk mencari alasan. Aku bisa sakit perut kalau sering-sering makan bersama Ibu.

“Bu, untuk apa aku bekerja?" Aku merengek. "Uang kita sudah sangat banyak. Tujuh turunan pun masih bisa membeli pulau kecil lengkap dengan sinyalnya,” kataku sok santai.

Ibu menatapku datar. “Tapi, itu semua bisa hilang jika kamu tidak tahu cara menjaganya.”

Aku nyengir. “Tapi aku bisa mempekerjakan orang, Bu. Profesional, seperti di drama Korea—yang mengurus perusahaan lalu jatuh cinta pada bosnya.”

Tatapan Ibu berubah. Dingin, tapi tetap berkelas.

“Dan kalau orang itu menipu kamu? Hidup tidak seindah drama Korea.”

Aku terdiam. ‘Valid point, Bu.’

Tapi aku tidak mau kalah. “Kalau begitu, nanti aku tulis saja novel Kisah Tragisku. Siapa tahu laris, lalu uangnya kembali.”

Ibu menarik napas panjang. Aku bisa melihat urat di pelipisnya mulai menegang—pertanda kesabarannya hampir habis.

“Alesha.”

Nada itu... nada berbahaya. Itu seperti detik-detik bom akan meledak. 'Ya Tuhan, selamatkan aku.'

Aku pura-pura fokus memotong daging, padahal pisaunya justru terpeleset karena aku gemetar ketakutan. Kling. 'Mati aku.'

“Ibu serius,” katanya. “Kamu tidak bisa hidup hanya dari tulisan yang tidak menghasilkan apa-apa.” Ibu terdiam sejenak. "Kamu tidak bisa menulis, Lea!" Suaranya datar tapi itu lebih seperti tamparan yang keras untukku.

Aku menatapnya ada rasa takut dan sedih di hatiku. “Tapi, Bu, aku tidak suka belajar bisnis.”

“Lalu kamu mau meninggalkan begitu saja perusahaan yang sudah susah payah Ibu bangun?” Nada suaranya kini campuran antara marah dan kecewa.

'Aku kalah.'

Aku menghela napas panjang. “Jadi Ibu mau aku bagaimana?”

“Ya. Mulai besok, kamu ikut kelas manajemen bersama Pak Arman.”

“Yang cara bicaranya seperti robot dan baunya seperti arsip lama itu?” Terbayang di kepalaku, tentang sosok seorang yang membuatku tidak mau lagi menginjakkan kaki ke kantor. "Dari banyaknya orang ahli di kantor kenapa harus Pak Arman?"

Ibu menatapku tajam. “Dia profesional. Dia juga sudah banyak membantu Ibu selama ini. Dan dia orang kepercayaan Ayahmu.”

Aku melirik jam di dinding, berharap waktu bisa mundur ke masa ketika aku masih dianggap anak lucu, tanpa beban tanggung jawab apapun.

"Bu, aku bukan anti-bisnis, hanya saja… aku dan Excel tidak cocok. Kami pernah mencoba hubungan, tapi akhirnya saling menyakiti. Kata orang kami tidak berjodoh." Aku berusaha merayu ibu.

Ibu menghela napas berat. “Alesha, tolong sedikit saja serius.”

“Serius, Bu. Aku trauma melihat tabel.”

Ibu menatapku dengan campuran lelah dan kesal—seperti ingin melempar piring, tapi masih ingat harga piringnya.

Akhirnya ia berkata pelan tapi tegas,

“Tidak ada tawar-menawar. Kamu mulai belajar bisnis besok. Titik.”

Aku menatap piringku yang kosong.

‘Jadi begini rasanya makan malam di neraka versi AC dingin. Apa Ibu benar-benar membenciku?'

Lalu aku mengangkat wajah dan tersenyum paksa.

“Oke, Bu. Tapi, kalau Pak Arman yang menyerah mengajariku, aku tidak akan pernah belajar bisnis lagi.”

---

Keesokan Harinya

Aku duduk di ruang Pak Arman, memelototi jam dinding.

Tumben sekali, bapak keuangan satu itu belum datang. Biasanya beliau sudah muncul dengan wajah siap marah dan aroma map lama.

Aku sebenarnya sudah siap dimarahi karena datang terlambat, tapi ternyata beliau malah lebih terlambat. Menang tipis.

Aku menopang dagu. ‘Kenapa juga aku harus di sini? Seharusnya jam segini aku menulis, atau minimal rebahan sambil pura-pura memikirkan ide novel.’

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu.

“Masuk,” kataku refleks. Aku bahkan terdengar seperti pemilik ruangan.

Pintu terbuka.

Aku mendongak—

Dan mataku langsung membulat.

“Kamu…”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Pulang

    Matahari siang merayap naik, menghangatkan permukaan jalan dan membuat bayangan pepohonan di sepanjang taman memanjang ke arah barat. Angin berembus pelan, membawa aroma rumput yang baru saja disiram sprinkler taman. Alesha, Rangga, dan Raka telah menghabiskan setengah hari bermain, berlari, dan tertawa sampai kehabisan tenaga. Setelah makan siang sederhana di restauran dekat taman, mereka sepakat pulang lebih cepat sebelum panasnya hari membuat suasana tak lagi nyaman. Raka tertidur lebih dulu di kursi belakang mobil, bahkan sebelum mobil itu keluar dari area parkir taman. Anak itu benar-benar kelelahan setelah bermain kejar-kejaran dengan Alesha, membuat Rangga hanya bisa geleng-geleng saat melihat mereka berdua tadi sama-sama ngos-ngosan seperti sedang olahraga berat. Saat mobil melaju pelan di jalan kota, Alesha yang duduk di kursi depan juga tak kuat menahan kantuk. Sisa embusan AC yang dingin, hembusan angin lembut dari jendela, dan kenyamanan kursi mobil membuat kelopak matan

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Detektif dadakan

    Gerobak es krim berwarna biru pastel itu berdiri manis di bawah rindangnya pohon flamboyan. Payung kuning cerah menaunginya, bergoyang pelan tertiup angin siang yang hangat. Aroma waffle cone yang renyah bercampur wangi rumput yang baru dipotong. Setiap kali pedagang es krim menggeser gerobaknya beberapa sentimeter, lonceng kecil di sisi gerobak berdenting riang.Alesha, Rangga, dan Raka berjalan mendekat. Raka langsung berlari kecil sambil berjingkrak, kedua tangannya terangkat tinggi.“Om! Om! Mau es krim rasa cokelat, stroberi, sama mangga!” katanya semangat sambil menunjuk gambar tiga rasa sekaligus.Rangga tertawa kecil, menunduk mengusap kepala bocah itu. “Satu saja, Nak. Kalau tiga nanti perut kamu dingin semua.”Raka manyun, pipinya mengembung. "Ayah Ngak asyik."Rangga menyenggol bahu Alesha pelan. “Baiklah, tiga juga boleh, kok. Khusus hari ini.” bisiknya sambil mengedipkan mata jail. Ekspresinya sok serius, seperti sedang memberikan dispensasi khusus dari kerajaan es krim

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Bermain Bersama

    Perjalanan menuju taman berlangsung dengan cukup ramai. Raka tidak henti-hentinya bercerita tentang balonnya yang ia beri nama “Bobi”. Menurutnya, Bobi adalah sahabat barunya yang tidak boleh tersenggol sedikit pun. Alesha mendengarkan sambil sesekali menanggapi, sementara Rangga hanya tersenyum dari kursi pengemudi, seperti sedang menikmati pemandangan paling lucu di dunia. Setelah berhenti sebentar untuk membeli burger—di mana Raka menjatuhkan satu potongan daging ke pangkuannya lalu tertawa puas seolah itu kejadian paling lucu sedunia—mereka melanjutkan perjalanan ke taman kota. Begitu mobil berhenti di area parkir taman, udara segar dengan aroma rumput basah langsung menyapa. Pohon-pohon besar menaungi sebagian besar area taman, dedaunannya berayun lembut ditiup angin. Suara gemericik air dari kolam kecil di sisi kanan taman terdengar menenangkan. Beberapa keluarga sudah berkumpul dengan tikar, sementara anak-anak lainnya berlari-lari kecil mengejar gelembung sabun. Alesha tu

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Gagal Kencan

    Minggu pagi datang dengan keheningan khas kawasan perumahan mewah. Terdengar gesekan lembut angin yang menyusuri deretan pohon palem di sepanjang jalan, serta gemericik air dari air mancur kecil di taman depan rumah. Kebun yang mengelilingi rumah Alesha tampak segar oleh sisa embun; bunga-bunga bougainvillea yang tertata rapi di sepanjang pagar berbatu tampak mekar penuh, memantulkan warna-warna mencolok ketika matahari pagi menyentuhnya. Halaman rumput yang luas itu terbentang seperti karpet hijau, bersih dan terawat, memberikan kesan damai dan elegan sejak pandangan pertama.Alesha berdiri di depan cermin besar di kamarnya, terdiam sejenak sambil memperhatikan bayangannya. Gaun berwarna lembut membalut tubuhnya, jatuh mengikuti lekuk secara sederhana namun anggun. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit gelombang alami di ujungnya, memberikan kesan santai namun tetap manis. Ia mengusap rambutnya ringan, memastikan tidak ada helai yang mencuat sembarangan.Sudah lama ia tidak ber

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Bunga Kertas

    Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian sore itu di mobil Rangga.Tiga hari yang aneh—tenang di permukaan, tapi penuh pusaran kecil di hati Alesha.Setiap kali mengingat tatapan Rangga di bawah cahaya jingga sore itu, jantungnya masih saja berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu di mata pria itu— sesuatu yang tidak berani ia akui.Namun, kehidupan tak berhenti hanya karena satu tatapan. Pagi kembali datang, tugas menumpuk, dan kopi tetap harus diseduh agar otak bisa diajak kompromi.Pagi itu udara masih lembap. Embun menempel di dedaunan kecil di depan rumah Alesha, berkilau seperti kaca di bawah cahaya matahari yang baru muncul. Dari dapur, aroma roti panggang bercampur kopi hitam menguar pelan. Alesha meneguk sisa minumannya yang sudah agak dingin, lalu meraih tas dan memeriksa kunci mobil di tangannya.Ketika ia baru saja hendak menuju garasi mobil, suara klakson pendek terdengar dari halaman depan. Suaranya tajam, tapi cepat—cukup membuat Alesha menoleh. Ia berkerut.‘Siapa

  • Alesha : Langkahmu, Petunjukku    Buayaku

    Langit sore perlahan memudar menjadi warna jingga keunguan. Awan tampak seperti kapas yang dilumuri cahaya senja, menggantung di atas gedung-gedung tinggi. Jalanan kota mulai dipenuhi lampu kendaraan yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang modern, sibuk namun indah. Di dalam mobil hitam milik Rangga, suasananya terasa hangat, namun juga tegang dalam diam.Deru mesin berpadu dengan musik lembut dari radio, nyaris tenggelam oleh hiruk pikuk kendaraan di luar. Alesha duduk di kursi penumpang, menatap keluar jendela. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai yang tak ia tunjukkan. Di sisi lain, Rangga masih memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan satunya tak lepas menggenggam tangan Alesha. Cengkeramannya mantap—hangat, tapi juga terasa seperti sebuah isyarat halus: aku tahu, dan aku memperhatikanmu.Alesha menghela napas pelan, pandangannya kosong menatap lampu-lampu jalan yang memantul di kaca.‘Kenapa rasanya setiap kali aku mencoba melangkah, semesta malah kasih jal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status