“Jangan tertipu dengan senyum manis seorang pria.” Kalimat itu terus terngiang di kepala Alesha sejak secangkir kopi tumpah dan mempertemukannya dengan Rangga—pria tenang yang menyimpan banyak rahasia di balik senyumnya. Alesha hanyalah penulis iseng yang tak sengaja terlibat dalam hidup seorang duda beranak satu. Ia mengira pertemuan mereka hanyalah kebetulan, hingga perlahan menyadari semuanya telah direncanakan sejak awal. Kebenaran demi kebenaran terungkap, dan Alesha sadar seluruh hidupnya hanyalah tipuan yang rapi. Kini, ia harus memilih: hidup bahagia dalam kebohongan… atau menanggung kebenaran yang menyakitkan.
View MoreMataku turun perlahan ke laptop.
‘Ya Tuhan, laptopku.’ Dalam hati aku menjerit. Bagus. Sekarang bajuku, laptopku, dan harga diriku resmi berubah menjadi versi cappuccino. “Ya ampun... maaf sekali.” Suara seorang pria—santai. ‘Eh? Malah terlalu santai.’ Seolah tidak sadar baru saja menghancurkan hidup seseorang. hidupku jadi gelap karena kopi ini. Aku mendongak dengan penuh emosi. Aku siap mengeluarkan semua kata-kata kotor yang sudah berbaris di kepalaku. Dan ya, Tuhan memang punya selera humor. Yang menumpahkan ternyata manusia dengan wajah kombinasi aktor Korea dan model iklan sampo. Rambutnya agak acak, tapi entah mengapa tetap enak dilihat. ‘Kalau begini, aku bingung antara ingin marah atau berterima kasih.’ Seketika emosiku yang tadinya sepanas matahari berubah menjadi musim semi. Entah dari mana datangnya bunga-bunga itu. “Laptop kamu... rusak, ya? Aku ganti,” katanya ringan. Suaranya enak didengar—renyah seperti kue kering yang baru keluar dari oven. Aku menatapnya tak percaya. ‘Pria setampan ini berada di depanku. Aku meleleh seperti coklat yang dipanaskan.’ “Tidak apa-apa. Masih bisa diselamatkan,” jawabku cepat. Aku berusaha mengalihkan perhatian pada laptop dan mencoba membersihkan cipratan kopi di bajuku, meski percuma. ‘Ya, baju putih kesayanganku kini punya motif abstrak yang unik.’ Dia mengangkat alis. “Yakin?” Ekspresinya datar, tapi aku merasa apa pun ekspresinya akan selalu cocok di wajah itu. “Yakin,” jawabku mantap. Dia menatapku beberapa detik, lalu tersenyum tipis. “Baik. Tapi izinkan aku mentraktir kopi, ya? Sebagai permintaan maaf.” Nada bicaranya terdengar tulus. Aku mendengus. “Kopi lagi?” “Tenang,” katanya pelan. “Kali ini tidak akan tumpah lagi. Janji.” Nada suaranya datar, tapi matanya menatapku seperti panah cinta. “Ya, bolehlah.” Aku menjawab dengan nada santai. Tapi sebenarnya aku berusaha keras untuk tidak memasukkannya ke dalam tasku dan membawanya pulang. ‘Dasar pria tampan.’ Aku memakinya di dalam hati, tapi entah mengapa mulutku tidak mau mengeluarkan semua makian itu. Ya, beginilah jadinya jika menjadi penggemar pria tampan—apalagi yang suaranya menenangkan seperti itu. Beberapa menit kemudian, ia kembali membawa dua gelas minuman. “Satu caramel latte untuk kamu,” ucapnya sambil meletakkannya di depanku dengan senyum itu lagi—senyum yang pasti tidak akan bisa aku lupakan. “Dan satu americano untuk aku,” sambungnya, sambil menggeser kursi dan duduk di depanku. Aku menatapnya. “Kamu suka yang pahit?” ‘Aku akan menatapnya sampai puas. Apa aku terdengar seperti penjahat? Ya, mungkin jika dia mengetahui isi kepalaku, pasti dia sudah kabur.’ “Kopi pahit bisa membuatku semangat bekerja. Aku lebih suka tanpa gula.” Aku terdiam sambil mengamatinya. ‘Kata-kata itu membuatnya terlihat dewasa. Aku yakin, dilihat dari wajahnya, dia seumuran denganku.’ “Kalau kamu?” tanyanya. Pertanyaannya seolah berkata, ‘Berhentilah menatapku seperti seekor kucing yang akan mencuri ikan.’ “Aku? Hmm... aku tidak bisa minum kopi tanpa gula.” Dia tersenyum kecil. “Ya, kamu lebih cocok dengan susu cokelat manis daripada kopi.” Dia mengejekku. Tapi aku pura-pura tidak mendengar. Aku berusaha mengalihkan pandangan ke luar jendela. Tapi entah kenapa, pipiku terasa hangat. “Oh ya, aku Rangga,” katanya, menghentikan lamunanku. “Aku Alesha.” Lagi, aku menoleh ke arahnya dan tersenyum. Dia mengangguk. “Nama yang manis.” “Terima kasih,” jawabku singkat. ‘Aku hampir meledak. Pria ini benar-benar tampan. Aku tidak punya kata-kata untuk mendeskripsikannya selain: sempurna.’ “Cocok untuk kamu yang tidak mudah marah,” katanya sambil menyesap kopinya. Aku menatapnya. “Kamu hanya sedang beruntung. Biasanya kalau marah, aku berubah jadi T-rex.” “Kalau begitu,” ia menatapku singkat, “aku datang di waktu yang tepat.” Aku mengerjap, tidak tahu harus membalas apa. 'Kenapa otakku seolah menjadi kosong seperti ini?' Beberapa detik hening. Dia melihat jam di tangannya, lalu berdiri. ‘Sepertinya dia punya janji yang harus ditepati.’ “Aku harus pergi. Tapi... mungkin aku akan sering datang ke sini,” katanya sambil berdiri, seolah-olah sangat terburu-buru. “Kenapa?” tanyaku penasaran. Dia tersenyum tipis. “Tempat ini menyenangkan.” Ia berhenti sejenak. “Dan pemandangannya menarik.” Lalu melangkah pergi begitu saja. ‘Ya, dia datang dan pergi sesukanya.’ Langkahnya pelan, tapi suaranya masih terngiang bahkan setelah pintu kafe tertutup di belakangnya. Aku masih memperhatikannya dari jendela sampai bayangannya hilang di antara kerumunan orang di jalan, lalu aku menatap laptopku yang mati total. ‘Bagus. Laptopku rasa kopi. Sekarang hidupku benar-benar dipenuhi kopi.’ ‘Kesialan yang membawa keberuntungan. Apa besok aku bisa bertemu dengannya lagi?’ Kursor di layar ponselku berkedip, dan jemariku menulis satu kalimat di catatan naskah: > “Dia datang bersama tumpahan kopi dan menghilang di antara keramaian. Tapi aku tahu bagaimana cara menemukannya. Apa itu yang mereka sebut takdir?”Pagi yang cerah dan indah. Sinar matahari yang hangat perlahan menembus jendela besar di ruangan ini. Suasana damai membuatku hampir lupa bahwa tadi malam terjadi “perang besar” antara aku dan angka-angka di layar laptop. ‘Dasar menyebalkan.’ Aku ingin membuka jendela dan berteriak sekeras-kerasnya. ‘Tapi, aku tidak mau berakhir di rumah sakit jiwa. Jadi lebih baik kutahan saja.’Ruang kantorku berada di lantai delapan belas, dengan dinding kaca besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian. Dari sini, gedung-gedung lain tampak seperti menara Lego, dan mobil-mobil di bawah terlihat sekecil semut yang sedang berbaris mencari remah kehidupan.Udara dari pendingin ruangan berhembus lembut, bercampur dengan aroma kopi instan dan sedikit bau toner printer—kombinasi sempurna untuk pagi yang biasa bagi para budak korporat.Aku duduk di meja paling dekat jendela. ‘Alasannya, supaya aku bisa loncat kapan saja kalau bosan. Sayangnya, logikaku masih berfungsi.’Kupandangi bayanganku di
Aku menatap layar laptop yang sudah menyala sejak sejam lalu.Kursor di layar terus berkedip—seolah sedang mengejekku. Angka-angka itu seakan menari seperti di pesta dansa. Laporan keuangan, hukuman dari Dimas karena aku kabur dari kantor tadi sore.Aku mendengus. “Diam, kau, kursor jahat.”Aku tidak bisa fokus. Sejak Rangga pergi dari kafe tadi sore, pikiranku terus dipenuhi kalimat itu:> “Dimas mungkin bukan orang baik seperti yang kamu kenal.”Aku menutup wajah dengan bantal. “Arghhh, Rangga! Kenapa sih harus ngomong kayak gitu!”Bagaimana mungkin Dimas—ya, Dimas yang aku kenal—yang baik hati, suka membantu, dan rela mengantarku pulang saat hujan, tiba-tiba jadi tersangka pembunuhan?‘Nggak mungkin. Serius, nggak mungkin.’‘Tapi kalau benar?’Aku mendadak gelisah. Ini sudah jam sembilan malam, tapi pikiranku lebih ribut dari pasar malam. 'Laporan, kasus pembunuhan… ke mana perginya kehidupanku yang tenang dulu?'Kakiku bergoyang resah, mataku menatap cangkir kopi di meja.'Maafkan
‘Rangga.’Nama itu seperti mantra sihir. Begitu terlintas di pikiranku, si empunya nama langsung criiing muncul di hadapanku.“Hai…” suaranya berat tapi hangat.‘Aduh, kenapa kupingku langsung bergetar ya.’Aku buru-buru menegakkan badan. “Hai…” jawabku, mencoba terdengar santai. Padahal di dalam kepala, aku lagi menjerit: ‘Ya Tuhan, terima kasih sudah mempertemukanku dengan makhluk tampan ini!’Dia menahan pintu kafe agar aku masuk lebih dulu. Angin dari AC langsung menerpa wajahku, membawa aroma kopi dan roti panggang.‘Aah, aroma surgawi.’Kami berjalan ke arah kasir. Musik jazz lembut mengalun di latar. Suara mesin kopi ssshhhhhh seolah berkata, selamat datang, wahai manusia penuh keresahan hidup.“Caramel latte atau cappuccino?” tanyanya tiba-tiba.Aku menatapnya curiga. “Kamu baru tanya, tapi gayanya kayak udah tahu jawaban aku.”Dia nyengir. “Feeling-ku bilang hari ini kamu pilih cappuccino.”“Feeling kamu benar,” jawabku cepat. “Mungkin kamu punya bakat jadi peramal.”“Ya, bis
Ada dua hal yang aku tahu pasti tentang dunia.Satu, tidak ada yang sempurna.Dua, tidak ada yang gratis.Segala sesuatu di dunia ini punya harga.Dan setiap kali kau mendapat sesuatu, ada hal lain yang hilang.Seperti aku sekarang.Aku bertemu dengan cinta pertamaku… tapi kehilangan kebebasanku.Sudah beberapa minggu ini aku ikut bekerja di kantor. Tapi otakku masih memantul-mantul setiap kali Dimas berbicara soal “rasio efisiensi modal kerja.”Dan rasanya, pekerjaanku hanya menambah pekerjaan karyawan lain.Aku yakin, kalau otak bisa mengeluarkan suara, bunyinya seperti bola basket memantul ke ring.‘Duk! Duk! Duk!’Otakku sudah seperti kereta api zaman dulu — berasap ke mana-mana.Tapi demi harga diri, cinta pertama, dan masa depan yang cerah (plus karena Mama masih sering mengawasi lewat CCTV kantor), aku tetap rajin datang.Ya, aku datang ke kantor dengan semangat membara.Niatnya PDKT, disamarkan dengan alasan belajar bisnis.Tapi hasilnya?Ya, begitu. Belajar bisnis, tapi yang
Hari pertama belajar bisnis… resmi membuat otakku gosong.Aku bersumpah, kalau otak bisa meleleh, pasti sudah jadi topping keju di atas roti bakar.Dimas dengan sabar menjelaskan hal-hal seperti margin laba kotor, efisiensi produksi, dan proyeksi pendapatan.Kedengarannya keren, sih, tapi di kepalaku hanya terdengar satu suara:‘Tolong… kapan istirahatnya?’“Dimas, boleh tidak kita istirahat sebentar?” tanyaku, menatap layar laptop yang tampak seperti lembar skripsi tanpa harapan hidup.Ia menatapku, lalu tersenyum lembut. “Baiklah, sudah hampir jam makan siang. Capek, ya?”“Tidak… lebih ke… hampir meninggal.”Ia tertawa. “Oke, kita istirahat. Mau ke mana?”“Café Latte & Light!” jawabku cepat.Tempat favoritku. Tempat paling ampuh menyembuhkan luka akademis dan trauma bisnis.Beberapa saat kemudian, kami sudah di sana. Tempat itu masih sama — aroma kopi, lagu lembut, dan cahaya yang menembus dari jendela-jendela kaca besar.Tempat ini adalah surga kecilku. Dan sekarang aku di sini… be
Pria itu tersenyum.Senyum yang... yah, bisa dijadikan logo pasta gigi nasional.Ramah. Tenang. Hangat.Dan tetap sama seperti dulu.Bedanya, sekarang ia tampak lebih matang—dan lebih berbahaya bagi kestabilan detak jantungku.“Hai, Lesha. Lama tidak bertemu, ya?” katanya dengan nada lembut namun mantap sambil tersenyum.Nada yang… duh, dulu membuatku menulis puisi-puisi bodoh di buku catatan SMA.“Dimas?” Aku masih tidak percaya.“Kamu serius ini kamu? Maksudku—aku pikir kamu masih di luar negeri!?”‘Apa ini… hadiah semesta yang datang terlambat?’Ia tertawa kecil.“Iya, aku sudah pulang beberapa bulan lalu. Hanya belum sempat bertemu kamu.”Langkahnya masuk ke ruangan, elegan sekali—seperti aktor drama bisnis Korea.Kemeja putih, lengan digulung rapi, jam tangan hitam berkelas.‘Ah… kalau tahu akan bertemu Dimas, seharusnya tadi aku berdandan.Menyesal menolak tawaran Ibu dari dulu.Mungkin inilah takdirku: menjadi istri Dimas. Win-win solution, kan? Happy ending!’Aku buru-buru men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments