Share

3. Perseteruan.

Alexa menginjak pedal gas kian dalam. Saat melakukan aksinya ini, beberapa kali ia menoleh ke samping untuk mengamati aksi lawan-lawannya. Ia sedang menjaga-jaga jarak untuk melakukan slip stream. Yaitu mengikuti pembalap lain yang berada satu baris atau garis di depannya, dengan memanfaatkan aliran udara sekitar untuk mendapatkan momentum menyalip lawan. Saat menyalip ia akan membangun momentum untuk bisa menyusul di area bertekanan angin rendah, di belakang pembalap yang akan ia salip ini. Semakin rendah tekanan anginnya, maka semakin diuntungkanlah dirinya.

Ketika timingnya tepat, ia pun beraksi. Alexa tersenyum puas saat ia berhasil melewati dua pembalap liar di depannya sekaligus. Kali ini ia harus menang! Bulan lalu ia kalah taruhan hingga ia terpaksa melakukan hal curang. Yaitu memakai uang kas club untuk membayar kekalahannya. Dan akibatnya ia diasingkan ke kampung Pelem ini selama setahun penuh sebagai sanksinya. Makanya pada balapan liar kali ini, ia akan membalas kekalahannya bulan lalu. Ia bersumpah!

Mobilnya melaju kian kencang. Kini ia meninggalkan tiga pesaingnya di belakang. Saat akan melakukan putaran menikung, ia segera melakukan teknik rolling speed. Di mana ia akan menggantung gas saat menikung dalam kecepatan tinggi. Teknik ini lakukan agar tenaga mesin mobil tidak melemah atau turun saat menikung. Jadi, mobilnya tetap bisa meluncur dengan kecepatan tinggi di tikungan. Dan lagi-lagi, ia berhasil dengan gemilang.

Yes, satu putaran lagi! Alexa berteriak gembira. Ia akan segera melakukan selebrasi apabila ia berhasil mengalahkan pembalap-pembalap lainnya. Khususnya Brandon Sanjaya. Kakak almarhumah Aliya Sanjaya yang brengsek ini memang raja jalanan juga. Dibutuhkan tehnik dan keakuratan tinggi untuk bisa mengalahkannya.

Setelah tiga kali putaran ia merasa aroma-aroma kemenangan kian dekat. Namun sesuatu terjadi. Saat ia akan menekan pegal gas hingga kandas, seseorang seperti menarik kakinya sehingga ia tidak bisa menginjak gas. Alexa gelagapan. Laju mobil melambat dan ia mulai tertinggal. Tidak bisa. Alexa berusaha menarik kakinya sekuat mungkin. Ketika sesuatu itu tidak juga melepaskan kakinya, ia pun mulai menendang. Sesuatu kembali terjadi. Ia basah kuyub terkena curahan air hujan. Namun ia bingung, ia sedang berada di dalam mobil. Jadi bagaimana mungkin ia kehujanan? Aneh!

"Astaga Neng Lexa, kok si Mbok ditendang sih?"

Hah? Menendang Mbok Sari? Yang benar saja. Mana berani dirinya melakukan hal sedurhaka itu. Dia sangat menyayangi dan menghormati Mbok Sari.

Perlahan Alexa membuka mata. Mengucek-ucek mata dan wajahnya yang basah agar pandangannya bertambah jelas. Astaga, ia bermimpi rupanya. Sebentar... sebentar menendang Mbok Sari? Kaget Alexa memandang ke samping. Ia melihat Mbok Sari meringis sembari memegangi gelas kosong.  Astaga, ia benar-benar telah menendang si Mbok rupanya! Durhaka sekali dirinya ini.

"Astaga, Mbok. Lexa minta maaf ya? Lexa nggak sengaja. Lexa tadi lagi mimpi, Mbok." Alexa bangun dengan grubukan. Ia merasa sangat bersalah. Kantuknya hilang entah ke mana.

"Sakit ya, Mbok? Sini, Lexa pijetin. Maaf ya, Mbok?" Alexa mencium lengan Mbok Sari yang tidak sengaja terkena tendangannya. Rasa bersalah terus menggelayuti benaknya.

"Nggak apa-apa. Mbok juga salah karena membangunkan Non tiba-tiba. Ini air minum untuk Non sampai tumpah. Tapi ini udah siang, Non. Non sudah harus bangun." Mbok Sari meletakkan gelas di samping meja kayu.

"Siang? Masa sih, Mbok? Lah masih gelap begini, kok siang?" Alexa yang memindai jam dinding di sudut kamar. Masih pukul 05.05 WIB. Ini masih pagi buta malahan. Kenapa si mbok mengatakan sudah siang?

"Kalau di kampung, pagi itu sekitar jam 04.30 WIB, Lexa. Kalau sudah jam 5 lewat, itu namanya sudah siang. Dan orang yang bangun di atas jam itu, rezekinya sudah hilang karena keburu dipatuk ayam. Begitu, Non?"

"Oalah, Mbok. Jam segini ayamnya juga masih pada tidur kali. Jadi mereka belum sempat matuk." Alexa kembali membuat alasan. Namun ia tidak jadi melanjutkan bantahannya, saat melihat bayangan Pak Hamid berdiri di ambang kamar.

"Jangan terus membantah, Non. Ingat Bapak dan si Mbok lah yang membuat peraturan di sini. Bukan kamu. Atau kamu ingin Bapak mengirim laporan jelek pada papamu?" Kalimat yang diucapkan Pak Hamid seketika membuatnya kecut. Apalagi ketika mendengar nama papanya dibawa-bawa. Bakalan makin diperberatlah hukumannya. Ia memang salah. Sedang dalam masa hukuman, eh malah banyak protesnya pula.

"Baik, Pak. Lexa akan bangun. Ngomong-ngomong Apa yang harus Lexa lakukan di pagi buta seperti ini? Bukan saingan mematuk rezeki bersama ayam bukan?" Alexa mencoba bergurau demi mendinginkan suasana. Ia takut kalau Pak Hamid benar-benar melaporkan kelakuannya pada papanya.

"Menyapu halaman, Non Lexa. Di halaman depan banyak sekali daun-daun kering yang berguguran. Kamu sapu semua daun-daun kering itu dengan sapu lidi. Kumpulkan semuanya dalam keranjang sampah anyaman di teras runah."

Astaga, ia dibangunkan pagi-pagi buta hanya untuk menyapu halaman rumah rupanya. Menunggu terang pun seharusnya tidak masalah bukan? Daun-daun itu toh tidak akan pergi ke mana-mana. Nasib... nasib...

"Agar sorean saja disapunya boleh, Pak. Toh daun-daunnya tetap akan di situ-situ juga. Lagian disapu sekarang juga mubazir. Ntar sore juga bakalan berjatuhan lagi daun-daunnya." Alexa mencoba memberi alasan. Daripada setiap pagi disapu dan sore sudah kembali kotor, Bukankah lebih baik sore saja sekalian disapunya? Jadi cuma sekali jalan bukan?

"Kalau perumpamaan kamu seperti itu, sekarang Bapak tanya. Kalau Non sudah mandi di pagi hari, siang atau sore nanti Non mandi lagi tidak?" Alexa terdiam. Pak Hamid ini ada saja jawabannya. Mana jawabannya bener lagi. Apa yang harus ia sanggah coba?

"Mandi juga kan?" Pak Hamid kembali melanjutkan kalimatnya. "Seperti itulah jawaban Bapak mengenai daun-daun berguguran yang kamu jadikan alasan tadi. Paham, Non?"

"Paham, Pak." Alexa mengangguk takzim. Cara Pak Hamid ini menganalisa sesuatu, sama persis dengan papanya bukan? Tidak di ibukota tidak di kampung, ternyata ia tetap akan melihat bayangan papanya di mana-mana.

Setelah Pak Hamid dan Mbok Sari berlalu, Alexa beringsut dari pembaringannya. Tugas pertamanya sudah menanti. Yaitu membersihkan halaman rumah. Ia harus melakukan semuanya secepat mungkin. Menurut Mbok Sari, ia tidak boleh kalah dengan ayam. Setelah ngetrack dengan sapi, ia juga harus saingan dengan ayam.

Setelah ia mencuci muka agar lebih segar, Alexa mengenakan salah satu kebaya dan kain yang ia ambil sembarang dari dalam lemari. Untuk apa lagi dipilih-pilih. Toh semua modelnya sama saja. Hanya motifnya saja yang berbeda. Papanya ini memang niat sekali menyiksanya. Karena sebenarnya gadis-gadis di kampung ini ia lihat juga jarang menggunakan kebaya-kebaya seperti ini lagi. Kemarin secara selintas saat melewati rumah-rumah penduduk, ia melihat gadis-gadis sebayanya lebih banyak menggunakan kulot dan tunik panjang. Sementara kaum ibu-ibunya mengenakan daster, gamis atau terusan. Hanya dirinya saja yang kerapian menggunakan kebaya dan kain untuk pakaian sehari-hari. Tetapi ia tahu membantah keinginan papanya itu sia-sia saja. Bukannya mendapat kemudahan, malah hanya akan menambah masa hukumannya saja. Papanya itu kalau sudah mengatakan A, sampai mati pun ia akan mengatakan A. Sangat sulit untuk mengubah prinsip papanya.

Setelah berpakaian rapi, ia berjalan ke arah halaman depan. Suasana masih gelap dengan udara dingin yang merasuk hingga ke tulang. Alexa celingukan. Tidak ada orang di teras ini. Baguslah, dengan begitu ia bisa berolah raga sebentar untuk menghangatkan tubuhnya yang nyaris membeku. Udara pagi di pedesaan memang dinginnya luar biasa.

Alexa mulai melakukan gerakan kuda-kuda dalam pencak silat. Ia menapakkan kaki dalam keadaan statis, yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan saat akan menyerang ataupun bertahan. Walau tentu saja gerakan yang tidak sempurna karena menggunakan kain. Tetapi tidak masalah yang penting ia bisa mencari keringat.

Ya, dibanding papa dan kakaknya yang menggandrungi oleh raga keras dan mematikan seperti Muay Thai dan Krav Maga, dirinya lebih menggandrungi seni bela diri dalam negeri yaitu pencak silat. Menurutnya gerakan-gerakan pencak silat itu sangat indah, magis, namun juga mematikan. Dalan setiap gerakannya mengandung filosofi ketimuran. Bukan hanya sekedar asal hantam menghantam.

Setelah kuda-kudanya kuat, ia kemudian melakukan tehnik pola langkah. Dengan lincah ia mulai memindahkan injakan pada satu langkah dan berpindah pada sudut lainnya. Beberapa kali ia keserimpet dan nyaris terjerembab. Namun lama kelamaan ia berhasil menyiasatinya. Semakin lama kini gerakannya semakin cepat. Demikianlah dalam lima belas menit terakhir ia telah berkeringat akibat latihan pencak silatnya. Setelah merasa tubuhnya bugar, barulah ia meraih sapu lidi yang disandarkan di sudut rumah. Detik berikutnya ia telah sibuk menyapu daun-daun yang berguguran dengan semangat. Gerakan-gerakan silatnya telah membuat otot-ototnya yang tadinya kaku menjadi kembali lentur.

Baru saja menyapu beberapa menit, ia mendengar suara-suara aneh di belakang rumah. Sikap tubuhnya seketika siaga. Jangan-jangan ada maling di rumah ini, pikirnya. Ia pun mulai berjalan mengendap-endap menuju pintu penghubung belakang rumah. Tepat ketika pintu penghubung terbuka, ia segera mengayunkan batang sapu lidi kepada bayangan gelap yang ia curigai sebagai maling tersebut. Petuah pertama papanya sangat ia ingat. Yaitu serang musuh secepat mungkin daripada kamu diserang duluan.

Namun di luar dugaannya, bayangan gelap itu ternyata bisa mengelak dengan tangkas. Sebagai gantinya, bayangan gelap yang rupanya adalah seseorang yang bertubuh besar, menangkap pergelangan tangannya dan memutarnya ke belakang punggungnya. Walau kaget, namun Alexa tidak kalah akal. Dengan cepat ia menghantamkan sikunya sekuat mungkin pada bayangan gelap itu, hingga terdengar suara makian tertahan.

"Astaga Milah, apa-apaan ini?" Alexa yang nyaris saja menghajar bayangan gelap itu sekali lagi, menahan gerakannya. Ada Bagus yang berdiri di belakang bayangan gelap itu. Kedua tangan Bagus memegang dua buah ember, yang segera ia lempar sembarangan.

"Apa-apaan lo bilang? Mata lo picek atau bagaimana? Lo kagak ngeliat ini maling nyerang gue!" sembur Alexa kesal. Ini orang kagak ada peka-pekanya jadi manusia. Apa mesti ia dibacok duluan baru Bagus menganggapnya ada apa-apa? Lemah!

"Kamu salah, Milah. Bapak ini bukan maling. Ini Pak Jenggala Buana Sagara, Milah."

"Pak Belanga siapa? Gue kagak kenal. Yang pasti ini orang udah mengendap-endap di rumah Pak--Akung," semburnya kesal. Ia nyaris terpelesat kata saat menyebut Pak Hamid.

"Nama saya Jenggala. Bukan Belanga. Kedua kalimat itu sangat berbeda jauh artinya. Jenggala itu artinya hutan rimba. Sedangkan belanga itu periuk. Jangan sembarangan mengganti nama pemberian orang tua saya. Mengerti kamu!" Sambil menggeram marah, si Belanga ini menekuk kedua pergelangan tangannya. Walau kesakitan Alexa tetap memperlihatkan wajah menantang. Haram baginya mengemis-ngemis agar dilepaskan.

"Mau itu Jeng Lala, Nyai Ajeng, Belanga atau Belatung sekalipun, nama yang paling pantes buat lo itu adalah maling! Ngerti lo!" Alexa memalingkan wajah ke samping. Dengan berani menantang tatapan si Belanga yang masih saja menelikung tangannya ke belakang. Ia sampai harus menelengkan kepalanya agar dapat melihat wajah si Belanga ini.

Kini jarak wajah mereka hanya tinggal sejengkal. Ia bisa merasakan napas hangat si periuk yang menyapu-nyapu ujung hidungnya. Juga kedua bola mata segelap malam yang menatapnya muram. Maling sekarang pada tidak tahu diri sepertinya. Sudah salah, masih galakan dia lagi. Pakai acara memperkenalkan diri segala.

"Sebut saya maling sekali lagi, maka akan saya remukkan kedua tanganmu ini!"

Eh kurang ajar!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status