Mata Aliandra dan Yasmin saling bertemu, menatap satu sama lain dengan terkejut. Aliandra yang biasanya merasa risi jika berdekatan dengan orang asing, kali ini bersikap biasa saja. Ia bahkan tidak berusaha untuk menjauhkan wajahnya dari wajah Yasmin agar bibirnya dan bibir gadis yang baru ditemuinya itu tidak lagi saling menempel.
Mungkin karena pesona seorang Yasmin, atau mungkin juga karena ia terlalu terkejut melihat penampilan gadis yang sekarang ini berada di bawah tubuhnya. Bagaimana bisa seorang gadis yang memiliki suara lembut bak alunan melodi pengantar tidur itu berpenampilan sangat jauh berbeda dengan suaranya.
Aliandra memperhatikan wajah Yasmin dengan saksama. Gadis bermata bulat itu sepertinya habis terjatuh karena wajah cantiknya lebam di beberapa bagian. Terutama pada bagian mata. Terdapat lingkar biru keunguan di sekitar mata gadis itu, membuatnya terlihat seperti boneka panda. Belum lagi keningnya terlihat mengeluarkan sedikit darah.
Sementara itu, Yasmin sendiri terlalu terpesona dengan ketampanan Aliandra sehingga hampir saja ia kehilangan akal sehat.
Ya, jika boleh memilih, Yasmin tentu tidak ingin mengakhiri ciuman itu. Untung saja tubuhnya tidak dapat menahan tubuh Aliandra lebih lama lagi. Sehingga pikiran-pikiran nakalnya teralihkan oleh rasa sakit yang terasa di bagian dadanya. Rasa sakit itu disebabkan oleh tubuh Aliandra yang menindih tubuhnya.
Yasmin yang tidak tahan lagi dengan beban di atas tubuhnya segera mendorong Aliandra dengan kasar sebelum ia bangkit untuk duduk dan mendelik kesal kepada pria tampan itu. Bagaimana pun juga ia tidak boleh terlihat menikmati ciuman tidak sengaja yang baru saja terjadi di antara mereka.
“Aku menolongmu, tapi lihatlah apa yang kamu lakukan. Bisa-bisanya kamu mencuri kesempatan, bisa-bisanya kamu menciumku!” ujar Yasmin dengan sinis.
Aliandra terbatuk mendengar ucapan gadis itu. Ia bahkan tidak sengaja melakukannya, tetapi gadis itu malah menuduhnya mencuri kesempatan. Keterlaluan sekali!
Baru saja Aliandra ingin membantah tuduhan si gadis bermata panda, gadis itu kembali membuka mulutnya dan mengata-ngatai Aliandra dengan perkataan yang tidak kalah kejamnya dari perkataan sebelumnya.
“Apa kamu sudah biasa melakukannya. Mengobral bibirmu ke sana-kemari hanya demi sebuah kecupan? Jika kamu sudah biasa melakukannya, seharusnya tidak kamu lakukan kepada orang yang baru kamu temui. Bukankah hal seperti itu sangat tidak sopan dan sangat murahan. Dasar mesum!” omel Yasmin, sambil bangkit berdiri. Ia sebenarnya ingin segera menghilang dari hadapan Aliandra, tetapi dirinya tidaklah sekejam itu.
Yasmin melirik tongkat Aliandra yang tergeletak di atas tanah. Ia mengambil tongkat itu dan menyerahkannya kepada Aliandra.
Aliandra menerima tongkat itu sambil mengerutkan dahi. “Bukankah kamu sedang marah padaku?” tanya Aliandra.
“Marah bukan berarti aku kehilangan sifat manusiawiku. Jika aku tidak menyerahkan tongkat ini padamu, apa kamu akan merangkak untuk mengambilnya sendiri? Dilihat dari penampilanmu sepertinya kamu tidak akan melakukannya, ‘kan?” Yasmin memperhatikan penampilan Aliandra yang sangat rapi dan berkelas.
Aliandra tersenyum. Senyum yang jarang sekali ia perlihatkan kepada siapa pun, kecuali kepada Waluyo. “Memangnya apa hubungannya dengan penampilanku? Jika aku memang harus merangkak, maka akan kulakukan. Toh aku memang tidak bisa berjalan tanpa tongkat itu.”
Aliandra kemudian mengulurkan tangan kepada Yasmin, membuat gadis itu menatapnya dengan bingung. “Bantu aku berdiri,” ujar Aliandra. “Tolong,” tambahnya.
Yasmin segera meraih tangan kekar Aliandra dan membantu pria itu untuk berdiri.
“Terima kasih,” ujar Aliandra, sebelum menopangkan berat tubuhnya pada tongkat kesayangan.
“Ya, tidak masalah.” Yasmin menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Ia merasa salah tingkah berada di hadapan pria setampan Aliandra.
“Yasmin! Astaga, Yasmin. Ayah mencarimu ke mana-mana. Bisa-bisanya kamu kabur setelah membuat kekacauan, hah!” Waluyo berlari menghampiri Yasmin dengan wajah yang terlihat amat marah. Bukannya mencoba untuk kabur menghindari sang ayah, gadis itu justru menghampiri Aliandra dan berlindung di belakang tubuh pria itu. Tentu saja Aliandra terkejut.
“Lindungi aku. Plis, lindungi aku. Anggap saja balas budi karena aku tadi sesudah menolongmu,” ucap Yasmin dengan cepat dan sedikit memaksa.
Aliandra mendengkus kesal. “Ternyata kamu ini perhitungan sekali! Aku tidak mau. Biar saja ayahmu memarahimu,” ujar Aliandra sambil menggeser tubuhnya agar Yasmin kembali terlihat oleh Waluyo. Sejujurnya ia terkejut bahwa ternyata gadis itu adalah putri Waluyo yang katanya keras kepala. Akan tetapi Aliandra dapat mengatasi keterkejutannya dengan baik untuk selanjutnya bersikap biasa saja.
“Plis, jangan begitu. Tolong aku, ya, akan kuberi satu permintaan setelah ini, oke! Katakan saja pada ayahku bahwa kamu adalah dosenku dan kamu membutuhkan bantuanku untuk kembali ke kelas. Dengan begitu ayahku tidak akan marah dan aku dapat menghindar darinya.” Yasmin memohon kepada Aliandra.
Melihat Yasmin menyatukan kedua tangan di hadapannya membuat Aliandra merasa tidak tega. Maka ia pun mengangguk setuju. Setidaknya gadis itu dapat menetralisir rasa gugup di dadanya untuk sementara. Toh, kebohongan Aliandra tidak akan berhasil untuk melindungi gadis itu, bagaimana pun juga dirinya dan Waluyo sudah saling kenal. Mana mungkin ia berpura-pura menjadi dosen di hadapan Waluyo.
Waluyo tiba di hadapan Aliandra dan Yasmin tepat saat Yasmin memposisikan tubuhnya di samping tubuh Aliandra dan gadis itu mulai berakting.
“Ayah. Kenapa ayah kemari? Um, Yasmin mau mengantar dosen Yasmin kembali ke kelas, Yah. Kasihan, dia tidak bisa berjalan. Nanti kita bicara lagi. Daah, Ayah. Mari, Pak, saya antar.” Yasmin segera menggandeng lengan Aliandra dan menuntun pria itu menuju bangunan besar di seberang taman. Yasmin Bahkan tidak memberikan kesempatan Waluyo untuk berbicara.
“Kita mau ke mana?” bisik Aliandra, masih terus mengikuti permainan Yasmin.
“Ke Auditorium. Diamlah, jangan cerewet. Ingat, kamu itu sedang balas budi—“
“Siapa bilang aku balas budi! Sudah kubilang aku tidak mau balas budi,” desis Aliandra.
“Oke, oke, maaf. Kamu bukan sedang balas budi. Puas?!” Yasmin mendelik kesal kepada Aliandra.
Gadis itu terus menggandeng Aliandra sambil mengomel tanpa mengetahui bahwa Waluyo mengekor di belakang mereka. Tidak lama kemudian Waluyo menepuk pundak Yasmin. Membuat Yasmin terkejut dan segera menegok ke belakang.
“Ayah!”
Namun, Waluyo tidak memedulikan wajah Yasmin yang terlihat terkejut. Pria tua itu menunduk hormat kepada Aliandra. “Anda harus kembali ke rumah, Tuan, waktunya untuk istirahat. Nanti malam Anda akan menghadiri undangan makan malam yang diadakan di kediaman keluarga Broto.”
Wajah Yasmin seketika berubah merah padam begitu mendengar perkataan Waluyo.
“Tu-Tuan,” gumamnya, sambil menatap bergantian antara Waluyo dan Aliandra.
“Ya. Tuan. Pemilik Mahesa Group. Bukan dosen, Yasmin!” Waluyo menekankan kata-katanya sambil memelototi Yasmin.
Yasmin segera melepaskan cekalan tangannya pada lengan Aliandra, lalu berlari pergi sambil memukuli kepalanya sendiri. “Aah, sial, sial, sial, bagaimana ini?” keluhnya.
Sinar matahari masuk melalui jendela yang tirainya tidak tertutup rapat. Cahayanya yang terasa hangat langsung terjatuh di wajah cantik Yasmin, membuat gadis itu menggeliat dan membuka matanya dengan perlahan.Aliandra yang bersiap hendak pergi ke kantor melempar tatapannya sejenak ke arah gadis berambut panjang itu sebelum akhirnya ia kembali fokus mengikat dasi di kemejanya.“Selamat pagi,” sapa Yasmin, sambil mengucek mata. Setelah kantuk pada kedua matanya benar-benar hilang, segera ia bangkit dan berlari menghampiri Aliandra. “Biar aku bantu,” ujarnya, sambil meletakkan kedua tangan pada dasi yang Aliandra coba kenakan.Aliandra menepis tangan Yasmin. “Terima kasih, tapi aku sudah terbiasa sendiri.”“Kamu sekarang tidak sendiri lagi, ada aku di sini. Biar aku bantu.” Yasmin tidak mau kalah, ia masih berusaha melakukan pendekatan dengan suaminya yang tiba-tiba saja berubah.Aliandra mendengkus kes
Wajah Yasmin menegang begitu membaca pesan yang Virni kirimkan padanya. Ia sungguh merasa kesal pada sikap Iren dan juga Kakeknya yang angkuh itu. Bagaimana mungkin masalah yang sepele seperti itu mereka bawa hingga ke jalur hukum. Bukankah dirinya juga terluka, bukan hanya Iren yang manja itu yang terluka. Lagi pula Irenlah yang menyerangnya terlebih dahulu, ia hanya membela diri. Siapa yang tidak akan menangkis dan membalas serangan dari Iren jika saat itu ia dikeroyok.“Ada apa?” tanya Eza, seketika terlihat khawatir.“Tidak ada apa-apa. Aku masuk dulu, Za.” Yasmin menjawab singkat dan membalikkan tubuh, hendak pergi dari hadapan Eza. Akan tetapi, pria itu menahannya.“Katakan padaku jika ada hal buruk yang terjadi dan jangan sungkan, aku akan membantumu sebisaku,” ucap Eza, masih menyentuh lengan Yasmin.Yasmin tersenyum. “Terima kasih, tapi aku benar-benar tidak apa-apa.”“Oke, selamat isti
Yasmin memikirkan kembali perkataan Dokter Marcel ketika dokter itu telah pergi. Yasmin menyentuh bibirnya, terlihat sedang serius merencanakan sesuatu untuk pengobatan Aliandra. Ia kemudian bangkit berdiri dan berlari menuju tangga yang mengarah ke lantai atas. Namun, ia harus menghentikan langkah ketika tiba-tiba tubuhnya menabrak tubuh seseorang. Untunglah orang yang ia tabrak menariknya tepat waktu, sehingga dirinya terhindar dari kecelakaan yang tidak perlu.“Aaaah!” rintih Yasmin, dengan kedua tangan memeluk pinggang si penolong.“Anda tidak apa-apa?”Yasmin menjauhkan tubuhnya dan mendongak untuk menatap pria tinggi yang sedang berdiri di hadapannya. “Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Yasmin. Ternyata yang ia tabrak adalah Eza Mahesa. Satu-satunya saudara yang dimiliki Aliandra.“Syukurlah kalau begitu, Kaka ipar. Maaf, aku tidak melihat Anda tadi, aku sedang terburu-buru.” Eza tersenyum manis ke arah Yas
Dokter Marcel memeriksa kondisi Aliandra dengan saksama, tidak ingin melewatkan hal penting yang dapat berakibat fatal. Setelah memastikan Aliandra dalam kondisi baik dan hanya mengalami lebam pada pelipis sebelah kirinya, Dokter Marcel pamit undur diri.“Dok, temui istri saya. Saya rasa dia juga terluka,” ucap Aliandra.Dokter Marcel mengangguk, lalu segera keluar dari kamar itu. Sepeninggalan Dokter Marcel, Aliandra mengalihkan pandangannya ke arah Waluyo berdiri.“Maafkan aku, Waluyo, soal Yasmin. Aku ... entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman dia mengetahui kelemahanku. Bagaimanapun dia itu istriku, dan saat traumaku muncul tepat di hadapannya, aku merasa sangat malu,” ucap Aliandra.“Tidak masalah, Tuan, wajar jika Anda merasa demikian—““Ck, sudah aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan tuan lagi. Aku ini menantumu.”Aliandra memotong ucapan Waluyo.“Aah, maaf, Andra.&rd
“Argh!” Yasmin meringis saat kepalanya terbentur kaca jendela mobil dengan keras. Sementara Aliandra terlihat ketakutan. Wajah pria itu pucat pasi dan tubuh berkeringat dingin.Yasmin menjadi panik dan segera menggeser tubuhnya untuk mendekati Aliandra. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Yasmin. Namun, Aliandra tidak menjawab sama sekali.Toni segera turun dari mobil dan menuju pintu belakang sedan mewah tersebut. “Tuan, astaga, maafkan aku, Tuan. Ayo kita ke rumah sakit.”Aliandra berontak saat Toni berusaha untuk membantunya keluar dari dalam mobil. Alih-alih menerima bantuan dari Toni, Aliandra justru mengamuk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Yasmin menjadi bingung melihat semua itu. Perlahan ia menyentuh pundak Aliandra dan menepuknya dengan lembut. “Sayang, ayo kita keluar dari sini. Kita harus ke rumah sakit. Ayo!”“Jangan, jangan ... sentuh kakiku, jangan, jangan!&rd
Yasmin terkejut saat bibir Aliandra tiba-tiba mendarat di atas bibirnya. Akan tetapi, ia tidak berusaha untuk menolak. Wanita normal mana yang bisa menolak kecupan luar biasa seperti itu dari seorang pria tampan seperti Aliandra. Alih-alih menjauhkan bibirnya. Yasmin malah ikut berpartisipasi dengan mengangkat tangannya untuk menyusuri wajah bercambang tipis itu. Hanya sekadar ciuman. Aliandra sama sekali tidak ingin melanjutkan lebih jauh. Bagaimanapun juga, dirinya sadar akan kekurangan yang dimilikinya. Jika dirinya saja terkadang malu dan merasa terhina saat orang-orang mulai membicarakan kakinya, bagaimana dengan anaknya atau istrinya? Itulah sebabnya, Aliandra sama sekali tidak ingin memiliki keturunan. Ia tidak mau jika orang-orang yang disayanginya merasa malu akan kondisinya kelak. Aliandra tersenyum sambil menyentuh pipi Yasmin dengan lembut saat akhirnya bibir mereka saling menjauh. “Terima kasih,” ujarnya. Kedua pipi Yasmin merona. Ia sege