Share

MEREKA BERCIUMAN

Yasmin Cantika mendelik kesal pada segerombolan gadis yang sedang memarodikan sebuah adegan menyebalkan. Adegan di mana seorang pelayan yang menunduk patuh di samping Tuannya.

Sudah hampir setengah jam gadis-gadis berpenampilan modis itu tertawa atau lebih tepatnya menertawakan lelucon yang sedang mereka buat sendiri.

“Ayolah, Zaskia! Lebih menunduk lagi  ... bukan begitu cara yang benar menunduk kepada Tuan Muda!” teriak Iren dengan senyum mengejek yang ditujukan untuk Yasmin.

“Aku tidak bisa melakukannya, Ren, ini sulit. Apalagi jika tuannya adalah tuan yang cacat! Harus serendah apa aku menunduk?” Zaskia bangkit dari posisi berlutut lalu membersihkan lututnya dari pasir yang menempel.

“Pentas seninya akan diadakan seminggu lagi. Kita harus mencari pemeran pengganti, Ren. Tidak mungkin Zaskia yang memerankan tokoh itu,” cicit Rita, salah satu anggota geng yang dipimpin oleh Iren.

“Benar apa yang dikatakan Rita. Memerankan tokoh pelayan sama sekali bukan kelasku, Ren!” ujar Zaskia, setuju pada perkataan Rita.

Irene bangkit dari posisi duduknya, tatapannya masih lurus menatap sosok cantik yang sangat dibencinya. Gadis miskin bermata bulat yang menurut Iren sangatlah sok dan menyebalkan.

“Woi, Yasmin, maukah kamu memegang peran itu?” teriak Irene, tidak peduli akan banyaknya mahasiswa yang lalu lalang di sekitarnya. “Ayahmu ‘kan pelayan dan kebetulan sekali ayahmu melayani tuan yang cacat. Belajarlah padanya bagaimana cara menunduk di depan orang cacat! Harus serendah apa, apakah harus serendah mata kaki?!” Irene tertawa setelah mengucapkan hal itu, disusul oleh tawa beberapa gadis yang selalu menempel di sekitarnya.

Yasmin yang sedari tadi hanya memperhatikan sambil memainkan ponselnya pun bangkit dan menghampiri segerombolan gadis-gadis itu.

“Kalian sungguh mau tahu bagaimana cara menunduk yang benar?” tanya Yasmin begitu ia tiba di hadapan Irene dan teman-temannya.

Irene hanya tersenyum sinis melihat keberanian Yasmin. Selama ini tidak ada yang berani melawannya apalagi sampai menghampiri dan memelototinya seperti yang Yasmin lakukan sekarang.

Keheningan meliputi mereka semua, hingga Akhirnya Yasmin mulai bergerak maju mendekati Irene dan  ....

“Argh! Apa yang kamu lakukan!” Irene menunduk sambil menyentuh ujung ibu jari kakinya yang  baru saja diinjak dengan keras oleh Yasmin.

“Aku terima penghormatanmu. Sekarang bangkitlah!” Yasmin menepuk punggung Irene yang masih menunduk di hadapannya, sebelum akhirnya ia berlalu dari hadapan Irene.

“Sialan kamu, Yasmin! kurang ajar! Apa. Maksudmu, hah? ” teriak Irene, begitu Yasmin sudah berada jauh di depannya.

Yasmin membalik tubuhnya lalu tersenyum kepada Irene. “Aku baru saja mengajarkanmu cara menunduk. Apa, kamu tidak sadar? Dasar idiot!”

“What! Awas kamu Yasmin, awaaas! Tunggu pembalasanku!” jerit Irene dengan kesal, sembari mengentak-entakkan kakinya.

Yasmin hanya mengangkat kedua bahunya lalu berlari pergi menuju perpustakaan sambil tertawa puas.

Sesampainya di perpustakaan, Yasmin segera duduk di tempat favoritnya yaitu kursi yang letaknya berada di ujung koridor.  Setelahnya, gadis itu mengeluarkan laptopnya dan mulai mengerjakan tugas makalah yang belum juga selesai ia kerjakan, padahal tugas itu sudah lebih dari seminggu.

“Hola, Yas!”

Sebuah suara mengejutkan Yasmin. Gadis itu segera menghentikan kegiatannya dan menoleh untuk menghadapi si pembuat onar yang mengejutkannya.

“Bikin kaget!” omel Yasmin.

“Ah, begitu saja kaget. Katanya jagoan!” Virni segera duduk di satu-satunya kursi yang tersisa setelah sekilas menatap layar laptop Yasmin.

“Memangnya jagoan tidak boleh kaget?” cetus Yasmin, masih sibuk dengan laptopnya.

“Boleh dong.” Virni memamerkan cengiran kudanya. “Oh, ya, bagaimana perasaanmu setelah membalas perbuatan Irene and the geng tadi? Kebetulan sekali aku menonton dari jauh.”

“Biasa saja, tapi kuharap mereka jera dan tidak lagi berbuat semaunya. Memangnya masalah jika orang tuaku bekerja sebagai pelayan? Kenapa mereka terus memperolok diriku seolah pekerjaan itu hina sekali di mata mereka. Keterlaluan!” omel Yasmin, sambil menggebrak meja di hadapannya.

“Biarkan saja. Aku harap mereka berhenti mengolok-olok dirimu dan juga orang tuamu.”

“Dan juga si tuan itu. Tuan yang tidak tahu apa-apa itu pun tidak lepas dari kelakuan sombong Irene dan teman-temannya. Menyebalkan sekali.”

Virni mengangguk kemudian menarik kursinya agar mendekat ke tempat Yasmin duduk. “Yas, soal si tuan itu, apa benar dia cacat? Dan apa benar bahwa ayahmu mengurus semua keperluannya bahkan mandi dan buang air sekalipun?” tanya Virni penasaran.

Mendengar pertanyaan Virni, Yasmin segera mengetuk kepala temannya itu dengan tangan. “Ckck, ternyata kamu juga korban dari gosip murahan yang disebarkan Irene.”

Virni hanya terkekeh sambil mengusap kepalanya.

“Dia tidak bisa berjalan sejak lima tahun yang lalu. Kudengar karena kecelakaan. Dia hobi sekali mengendarai motor, tetapi suatu hari kemalangan tidak dapat dihindari. Sejak itu Tuan Muda tidak lagi bisa berjalan.” Yasmin menerawang, membayangkan bagaimana sulitnya sang ayah harus bertahan di samping pria itu.

“Apa dia tampan? Kudengar dia seorang pewaris tunggal dari Mahesa Group.” Virni kembali bertanya kepada Yasmin. Gadis itu terlihat penasaran sekali, apalagi sejak Irene terus menyebarkan berita tentang pekerjaan Ayah Yasmin.

“Entahlah. Aku belum pernah melihatnya, tapi setahuku dia itu sombong. Dia selalu saja mengomel saat menghubungi ayahku. Suaranya sangat nyaring, bahkan tanpa mengaktifkan pengeras suara pun tetap saja aku dapat mendengar omelannya. Tidak heran jika dia bolak-balik mengganti asistennya—“

“Tapi dia tidak mengganti ayahmu hingga sekarang.” Virni memotong ucapan Yasmin.

“Ya, untungnya tidak. Malahan ayahku sering mendapat bonus bulanan darinya. Sepertinya ayahku bekerja dengan baik.” Yasmin tersenyum bahagia, ia sangat menyayangi ayahnya dan ia tahu bahwa ayahnya memiliki tingkat kesabaran di atas rata-rata, jadi tidak heran jika akhirnya si tuan muda yang sombong itu merasa cocok dan senang dengan kinerja sang ayah.

“Heem, setelah merawat anak sejahat dirimu, tuan muda itu pasti tidak ada apa-apanya. Mungkin kamu tidak menyadari kalau kamu itu gadis terjahat di dunia!” Virni mencubit kedua pipi Yasmin dengan gemas sebelum akhirnya ia berlalu dari hadapan Yasmin

Yasmin mengusap pipinya dengan kesal. Ingin rasanya ia berteriak dan membalas perbuatan Virni, tetapi kemudian ia ingat bahwa dirinya sedang berada di perpustakaan. Bisa gawat kalau kena tegur, ‘kan malu!”

***

Aliandra duduk melamun di kursi belakang mobil yang dikendarai oleh Waluyo. Sesekali pria tampan itu menyentuh dagunya dan membiarkan tangannya berdiam di sana. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu yang sangat serius. Sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya itu tentu saja prihal wasiat yang beberapa waktu lalu Waluyo katakan padanya.

Menikah! Hal yang menurut Waluyo hanyalah sebuah permasalahan kecil, justru sebaliknya bagi dirinya. Selain karena ia memang tidak memiliki niatan untuk menikah, siapa pula yang berkenan untuk menjadi pengantinnya.

Ya, mungkin bukan hal yang sulit jika ia mau. Dengan harta yang ia miliki pastilah banyak wanita yang mengantre untuk bersanding dengannya. Akan tetapi ia tidak bodoh, tidak mungkin dirinya menikah dengan wanita yang hanya peduli pada hartanya saja.

Saat sedang serius memikirkan hal itu, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh dering ponsel milik Waluyo.

“Ya, halo, Yasmin. Ada apa, Nak?”

Aliandra memperhatikan Waluyo yang sedang asyik berbincang dengan putrinya melalui ponsel.  Pria tua itu selalu tersenyum saat putrinya menelepon, walaupun terkadang ia terlihat mengernyitkan dahi. Sepertinya si Tuan Putri sedang mengatakan sesuatu hal yang mengejutkan ayahnya atau sedang mengomel, karena menurut perkataan Waluyo yang pernah ia dengar, putrinya itu sangatlah keras kepala dan cerewet.

Setelah beberapa saat kemudian Waluyo memutuskan panggilan dan menghela napas dengan kasar. Sekilas Aliandra mendapati mimik wajah Waluyo yang terlihat khawatir.

“Ada apa, Waluyo?” Aliandra memutuskan untuk bertanya.

“Tidak ada apa-apa, Tuan.”

“Ck, katakanlah. Aku tahu jika ada yang sedang mengganggu pikiranmu.” Aliandra memaksa.

“Putri saya, dia ... Um, dia—“

“Dia, apa? Dia sakit? Atau apa?”

“Saya harus ke kampusnya sekarang juga, Tuan. Bisakah kalau kita—“

“Tentu bisa. Santai saja, Waluyo. Lagi pula aku sedang tidak ingin segera kembali ke rumah saat ini.

“Terima kasih, Tuan.” Waluyo terlihat berbinar, lalu segera memutar balik mobil yang ia kendarai menuju Universitas tempat sang putri menempuh pendidikan.

Sesampainya di kampus, Waluyo segera turun dari dalam mobil dengan tergesa-gesa. Pria tua itu bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada Aliandra sebelum meninggalkan Aliandra seorang diri. Tidak biasanya!

***

Hampir setengah jam sudah Aliandra menunggu di dalam mobil, tetapi Waluyo dan putrinya tidak kunjung kembali. Tentu saja ia merasa sangat bosan. Maka ia memutuskan untuk keluar dari dalam mobil.

Perlahan Aliandra meraih tongkat yang ada di bawahnya, lalu membuka pintu mobil dan dengan susah payah ia menggeser tubuhnya agar dapat keluar dari dalam mobil mewah itu.

Setelah beberapa menit berjuang seorang diri, akhirnya ia dapat merasakan embusan angin yang menerpa wajahnya dengan lembut. Aliandra tersenyum puas, karena untuk pertama kalinya ia dapat melakukan hal kecil itu seorang diri. Biasanya ada Waluyo yang selalu membantunya untuk turun dari mobil.

Aliandra mengedarkan pandangan, menatap bangunan Universitas yang menjulang di depannya. Pada sisi kanan bangunan terdapat pekarangan yang luas juga terlihat sejuk dan teduh karena terdapat banyak pohon akasia yang tumbuh di sekeliling lapangan itu. Belum lagi rerumputan hijau yang terlihat sejauh matanya memandang seperti hamparan karpet hijau yang menyejukkan mata.

Aliandra menggerakkan kaki dan tongkatnya dengan perlahan menuju pepohonan rindang yang tumbuh rapat, ingin rasanya ia duduk di bawahnya hanya untuk sekadar melepas penat.

Pria tampan itu terus melangkah, tanpa memperhatikan  bahwa ada sebuah bola yang meluncur ke arahnya.

“Om, awaaas ada bola!” teriak seorang pemuda dari kejauhan, tetapi Aliandra tidak mendengarnya. Ia hanya melihat pemuda itu melambaikan kedua tangan ke arahnya.

“What?” Gumam Aliandra, tepat saat bola itu mengenai ujung tongkat yang ia pegang dan kemudian tongkat itu terlepas dari tangannya, membuat tubuh Aliandra seketika kehilangan keseimbangan dan ....

“Hati-hati!”

Suara lembut itu terdengar begitu dekat di telinganya bersamaan dengan sebuah tangan yang memeluknya dari belakang, sehingga tubuhnya  tidak terjatuh ke tanah.

Aliandra berontak. Ia tidak biasa mendapat perlakuan seperti itu. Selama ini pria itu sangat menjaga tubuhnya dari sentuhan-sentuhan yang tidak penting. Walaupun pada kenyataannya sentuhan itu telah menyelamatkannya dari malapetaka yang memalukan. 

"Lepas! Siapa kamu?" tanya Aliandra. 

"Diamlah! Aku ini sedang menolongmu. Jika kamu banyak bergerak seperti itu kita berdua bisa jatuh." Yasmin mengomel, masih terus berusaha menahan tubuh Aliandra agar tidak terjatuh ke tanah. 

"Aku tanya siapa kamu!" bentak Aliandra, sambil membalikkan tubuhnya agar dapat melihat wajah gadis yang telah berani memeluknya. 

Sialnya, gerakan mendadak Aliandra itu membuat Yasmin terkejut dan tidak dapat mempertahankan posisi tubuhnya agar tetap berdiri sehingga mereka berdua terjatuh. 

Cup .... 

Yasmin dan Aliandra sama-sama membelalakan mata saat bibir mereka saling menempel. Ya, mereka berciuman! 

Bersambung  .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status