Share

4. Kekuatan ini menggangguku

Di supermarket yang ada di bagian Jakarta bernama Batavia Market, Jingga yang berada di sana mengikuti punggung seseorang di belakang. Tujuan dia datang ke sini adalah karena permintaan ibu. Menjelang sore, dia diminta pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan dapur yang sudah habis atau hampir habis. Karena barang yang dibeli tidak hanya berjumlah satu buah saja, dia mengendarai motor matic yang selalu diparkir di garasi rumah bersama sebuah mobil.

Tempat ini setiap hari selalu ramai. Apalagi kalau menjelang malam, maka padatnya tidak akan terkira. Jingga juga sudah mengantisipasi kejadian itu, makanya dia keluar sebelum malam. Kalau ditunda sekarang juga, kemacetan di jalan tidak akan bisa dihindari.

Kini, sang puan berada di rak bagian minyak goreng dengan membawa keranjang berisi bawang putih. Dia diminta untuk membeli minyak goreng ukuran sedang, namun ukuran yang dicari sekarang tidak terlihat di depan mata. Satu rak panjang itu tetap menjadi fokus utama.

Niatnya, dia ingin pindah ke rak di belakang karena mungkin saja ukuran yang dicari ada di sana. Di barisan yang sama, ada seorang lelaki yang memerhatikan deretan minyak goreng dari atas lemari hingga bawah. Kebetulan juga tubuhnya tinggi jadi dia bisa mencari dengan lebih mudah. Namun keberadaan insan itu malah menghalangi jalan, makanya Jingga tidak bisa lewat dengan mudah.

“Permisi, Kak!” ucapnya yang secara tidak langsung juga meminta lelaki itu menyingkir dari tengah jalan. Dia tidak bermaksud buruk.

Lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak menepi, bermaksud memberi jalan bagi Jingga. Gadis itu akhirnya bisa lewat dengan mudah. Setelah itu, dia mengucapkan terima kasih tanpa memandang mata lawan bicara.

“Jingga?”

Nama yang disebut tadi membuat Jingga berhenti. Tadinya, dia mengira kalau dia salah dengar namun dia sadar kalau telinganya baik-baik saja. Jarang ada yang bisa mengenalnya di tempat yang luas, kecuali teman-teman sekolahnya. Lagi pula, sudah hampir empat tahun dia lulus SMA dan mereka juga sudah berada di jalan masing-masing. Termasuk dirinya yang masih berjuang melamar pekerjaan.

Oleh karena itu, dia berbalik badan. Seorang lelaki kemeja kotak-kotak kini menatapnya dengan wajah takjub. Seolah mengenal sang puan dengan baik. “Lo Jingga Sandhya ‘kan?” tanyanya yang meminta konfirmasi.

“Lo kenal gue?” balasnya dengan wajah bingung. Dia merasa tidak mengenali rupa lelaki di hadapannya dan juga merasa tidak pernah bertemu. Memang benar kalau nama yang disebut tadi adalah nama lengkapnya.

“Lo gak kenal gue? Gue Alden, yang pernah sekolah di SD Harapan. Gue juga dulu pernah tinggal di Perumahan Nusantara. Dulu kita tetanggaan,” jawab lelaki kemeja kotak-kotak yang mengenalkan dirinya sebagai Alden. Dia juga memberi sejumlah informasi yang menyatakan kalau dulu mereka saling kenal.

“Alden SD Harapan?” ujar Jingga yang masih tidak ingat. Tidak salah juga karena sudah belasan tahun yang lalu sejak dia lulus SD, jadi dia sama sekali tidak ingat. Diminta menghafal pesanan ibunya saja dia harus menyalinnya di ponsel.

“Iya, yang dulu sering sekelas. Kita juga sering banget tuh pergi bareng,” balas Alden yang masih ingin memastikan kalau dia ada di ingatan sang puan.

“Alden Pramono?”

“Iya, itu gue!”

“Lo Alden itu?”

“Iya.”

Jingga berseru senang. Dia akhirnya bisa ingat nama Alden yang sudah lama tersemat di dalam ingatan jangka pendeknya. Sudah lama juga tidak mendengar nama itu sejak masuk SMP. Kini kenangan tentang lelaki itu muncul lagi ke permukaan. “Astaga! Lo udah gede sekarang,” serunya lagi yang masih dilanda euforia akibat bertemu teman lama.

Alden tertawa kecil mendengar tuturannya. “Namanya juga anak cowok, ya ‘kan. Ngomong-ngomong, lo masih tinggal di sana?”

“Masih dong. Keluarga gue sih gak bakalan pindah dari sana. Banyak sih keluarga lain yang udah pindah, tapi masih ada orang lama kok. Kayak gue dan Pak Abu,” ujar Jingga yang senang kalau membicarakan sesuatu yang belum terkikis dari ingatannya.

Alden mengangguk-angguk. “Ternyata Pak Abu juga masih ada ya,” gumamnya. Dia kemudian meraih sebuah minyak goreng ukuran besar dan memasukkan benda itu ke keranjang. “Kalau gitu, gue cabut dulu ya, Ga. Kapan-kapan, gue ke rumah lo deh. Udah lama juga gak ketemu keluarga lo,” ucapnya yang meminta izin sebelum pergi.

“Datang aja, kapan-kapan juga bisa kok. Sampai ketemu lagi,” balas Jingga yang kemudian juga mengucapkan beberapa patah kata sebelum berpisah dari lawan bicaranya.

Alden berbalik badan dan menjauhi Jingga. Sementara itu, Jingga hanya bisa menatap punggung lelaki itu yang kemudian menghilang dari balik rak. Dia ingin memastikan kalau Alden yang dilihatnya sama persis dengan rupa lelaki yang dilihatnya di dalam mimpi. “Pantesan lo kenal gue.

*

Di dunia yang berseberangan, seorang gadis berkulit putih baru saja muncul dari balik tembok dan menunjukkan batang hidung kepada seorang wanita yang sedang makan siang. Dia tampak lesu, terlihat dari sorot matanya yang tidak semangat saat menjelang sore. Gadis itu kemudian duduk di atas kursi dan menyandarkan kepala di atas meja makan. Sikapnya itu membuat wanita yang bersamanya menatap heran.

“Udah makan?” tanya wanita tersebut yang memulai pembicaraan. Sekaligus juga memecah keheningan yang hanya dirinya saja sebelum kedatangan sang puan.

Gadis itu menganggukkan kepala. Kemudian dia menjawab pertanyaan tadi dengan nada lemas seolah tidak diberi makanan selama 30 hari, “Sudah, Ma.”

“Terus?”

“Tadinya aku mau tidur, tapi gak bisa. Aku selalu aja dengar pikiran mereka. Gara-gara itu juga aku selalu bangun pagi. Apalagi kalau menjelang malam tuh, selalu ada aja orang yang overthinking. Gimana aku bisa tidur coba,” keluh gadis berkulit putih tersebut kepada wanita yang dikenalnya sebagai ibu. Karena alasan itu pula, dia tidak bisa menjalani hidupnya dengan tenang.

“Kan sudah beberapa kali mama bilangin, Rene, tapi kamu gak pernah dengerin. Kamu tuh harus dibawa ke dukun untuk nyembuhin keluhan kamu,” keluh ibunya yang diiringi dengan embusan napas yang terdengar berat untuk ditanggung. Pasalnya, gadis itu sudah beberapa kali diingatkan tetapi sama sekali tidak ditanggapi. Ibu melanjutkan, “Mama tau dukun terbaik di sekitar sini.”

Gadis bernama Irene mendengkus ketika mendengar ucapan ibunya. “Mama masih percaya aja sama dukun. Lagian untuk apa sih dibawa ke orang pintar. Mau berapa kali juga dibawa, gak bakal bisa ngilangin ini. Terus ngabisin uang aja,” balasnya yang tidak terima ketika ditanya alasannya tidak mau pergi ke dukun. Dia menambahkan dengan menyampaikan alibi lain, “Dulu kan pernah dibawa ke dokter, tapi dokter bilang dia gak tau masalahnya apa. Dokter aja gak bisa nyembuhin, apalagi dukun.”

“Tapi kamu gimana nantinya? Kamu mau gini aja terus sampai tua?” ujar ibunya yang kini terdengar khawatir.

Irene mengembuskan napas dengan lemah. “Ya mau gimana lagi. Sepertinya bakalan gini aja deh,” balasnya dengan tidak semangat dan terkesan pasrah.

“Tapi kalau kamu ngerasa keganggu, bilang aja sama mama ya. Entar mama bawain ke dukun deh,” ujar ibunya kembali menyarankan hal yang sama. Sudah berulang kali rasanya mendengar kalimat yang sama dari mulut wanita itu bagi Irene.

Gadis itu bangkit. Ibunya sudah terlalu banyak berkata omong kosong untuk hari ini dan dia merasa sudah cukup. Dia harus segera menyingkir dari tempat ini sebelum kepalanya jungkir balik. “Aku keluar dulu ya, Ma. Agak malaman dikit aku pulang.”

“Hati-hati, Rene!” pesan ibunya sebelum punggung gadis itu kembali menghilang dari balik tembok.

*

Ya Allah, kapan gue punya pacar?

Capek banget. Udah berkali-kali apply lamaran tapi gak ada yang nerima.

Emang harus cantik ya biar bisa dihargai semua orang?

Halah, katanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nyatanya hanya berlaku bagi orang yang good looking aja dong. Buntut ayam!

Astaghfirullah. Roti sobek.

Kyaaaa, Joomin oppa kiyowo!

Ketika berada di bahu jalan, Irene bisa mendengar pikiran semua orang yang saat ini sedang bermain-main di dalam sana. Kemampuan itu didapatkannya sejak lahir, bahkan tanpa dilatih pula. Sejak lahir, dia sudah bisa membaca pikiran orang lain dan orang yang pertama kali dibaca pikirannya adalah ibu. Makanya dia bisa berbicara dengan lancar sebelum usianya mencapai dua tahun.

Berkat kemampuan itu, dia bisa mengetahui apa yang saat ini sedang dipikirkan orang lain dengan tidak direkayasa sama sekali. Tetapi gara-gara itu, hidupnya tidak pernah tenang. Selalu ada saja yang dipikirkan orang dan hal itu sangat mengganggu. Terutama saat dia ingin tidur dan mengistirahatkan tenaganya.

Mulanya, dia tidak terbiasa untuk mengabaikan apa yang didengarnya. Baru-baru ini, dia sudah menemukan cara untuk mengabaikan kemampuan itu walaupun sampai saat ini masih terganggu.

Gadis itu kemudian berpapasan dengan seorang gadis yang mengenakan jaket lengan panjang berwarna pastel yang datang dari arah seberang. Irene kemudian mengembuskan napas lagi kalau dia pasti akan segera mengetahui apa yang dipikirkan gadis di depannya. Sebenarnya dia juga tidak mau ikut campur dalam urusan orang lain.

Tetapi ketika bola mata mereka saling bertemu, malah Irene yang kebingungan. Bahkan sampai saat mereka saling membelakangi, dia masih memandang ke udara dengan tatapan bertanya-tanya. “Kenapa gue gak bisa baca pikiran dia?” tanyanya kepada diri sendiri.

Jauh di seberang bahu jalan yang sama, gadis berjaket pastel itu juga melewati Jingga yang baru saja keluar dari toko roti. Gadis itu tadinya ingin mendekati motor matic yang terparkir dan pulang, namun Jingga malah menatap bola mata gadis itu secara tidak sengaja dan kebetulan berpapasan.

Tidak jauh beda dengan Irene, Jingga juga dengan jelas menunjukkan wajah herannya kepada gadis itu. Dia yakin kalau gadis berjaket pastel itu mirip dengan orang yang dilihatnya di dalam kilasan masa depan. Dia yakin gadis itu salah satunya. Tetapi dia tidak bisa melihat masa depannya sama sekali. Benar-benar tidak terbaca.

Sampai gadis itu membelakanginya, Jingga masih mengarahkan pandangan ke punggung gadis berjaket pastel tersebut. Dia kemudian bertanya-tanya dalam hati, “Dia gak punya masa depan?

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status