Di supermarket yang ada di bagian Jakarta bernama Batavia Market, Jingga yang berada di sana mengikuti punggung seseorang di belakang. Tujuan dia datang ke sini adalah karena permintaan ibu. Menjelang sore, dia diminta pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan dapur yang sudah habis atau hampir habis. Karena barang yang dibeli tidak hanya berjumlah satu buah saja, dia mengendarai motor matic yang selalu diparkir di garasi rumah bersama sebuah mobil.
Tempat ini setiap hari selalu ramai. Apalagi kalau menjelang malam, maka padatnya tidak akan terkira. Jingga juga sudah mengantisipasi kejadian itu, makanya dia keluar sebelum malam. Kalau ditunda sekarang juga, kemacetan di jalan tidak akan bisa dihindari.
Kini, sang puan berada di rak bagian minyak goreng dengan membawa keranjang berisi bawang putih. Dia diminta untuk membeli minyak goreng ukuran sedang, namun ukuran yang dicari sekarang tidak terlihat di depan mata. Satu rak panjang itu tetap menjadi fokus utama.
Niatnya, dia ingin pindah ke rak di belakang karena mungkin saja ukuran yang dicari ada di sana. Di barisan yang sama, ada seorang lelaki yang memerhatikan deretan minyak goreng dari atas lemari hingga bawah. Kebetulan juga tubuhnya tinggi jadi dia bisa mencari dengan lebih mudah. Namun keberadaan insan itu malah menghalangi jalan, makanya Jingga tidak bisa lewat dengan mudah.
“Permisi, Kak!” ucapnya yang secara tidak langsung juga meminta lelaki itu menyingkir dari tengah jalan. Dia tidak bermaksud buruk.
Lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak menepi, bermaksud memberi jalan bagi Jingga. Gadis itu akhirnya bisa lewat dengan mudah. Setelah itu, dia mengucapkan terima kasih tanpa memandang mata lawan bicara.
“Jingga?”
Nama yang disebut tadi membuat Jingga berhenti. Tadinya, dia mengira kalau dia salah dengar namun dia sadar kalau telinganya baik-baik saja. Jarang ada yang bisa mengenalnya di tempat yang luas, kecuali teman-teman sekolahnya. Lagi pula, sudah hampir empat tahun dia lulus SMA dan mereka juga sudah berada di jalan masing-masing. Termasuk dirinya yang masih berjuang melamar pekerjaan.
Oleh karena itu, dia berbalik badan. Seorang lelaki kemeja kotak-kotak kini menatapnya dengan wajah takjub. Seolah mengenal sang puan dengan baik. “Lo Jingga Sandhya ‘kan?” tanyanya yang meminta konfirmasi.
“Lo kenal gue?” balasnya dengan wajah bingung. Dia merasa tidak mengenali rupa lelaki di hadapannya dan juga merasa tidak pernah bertemu. Memang benar kalau nama yang disebut tadi adalah nama lengkapnya.
“Lo gak kenal gue? Gue Alden, yang pernah sekolah di SD Harapan. Gue juga dulu pernah tinggal di Perumahan Nusantara. Dulu kita tetanggaan,” jawab lelaki kemeja kotak-kotak yang mengenalkan dirinya sebagai Alden. Dia juga memberi sejumlah informasi yang menyatakan kalau dulu mereka saling kenal.
“Alden SD Harapan?” ujar Jingga yang masih tidak ingat. Tidak salah juga karena sudah belasan tahun yang lalu sejak dia lulus SD, jadi dia sama sekali tidak ingat. Diminta menghafal pesanan ibunya saja dia harus menyalinnya di ponsel.
“Iya, yang dulu sering sekelas. Kita juga sering banget tuh pergi bareng,” balas Alden yang masih ingin memastikan kalau dia ada di ingatan sang puan.
“Alden Pramono?”
“Iya, itu gue!”
“Lo Alden itu?”
“Iya.”
Jingga berseru senang. Dia akhirnya bisa ingat nama Alden yang sudah lama tersemat di dalam ingatan jangka pendeknya. Sudah lama juga tidak mendengar nama itu sejak masuk SMP. Kini kenangan tentang lelaki itu muncul lagi ke permukaan. “Astaga! Lo udah gede sekarang,” serunya lagi yang masih dilanda euforia akibat bertemu teman lama.
Alden tertawa kecil mendengar tuturannya. “Namanya juga anak cowok, ya ‘kan. Ngomong-ngomong, lo masih tinggal di sana?”
“Masih dong. Keluarga gue sih gak bakalan pindah dari sana. Banyak sih keluarga lain yang udah pindah, tapi masih ada orang lama kok. Kayak gue dan Pak Abu,” ujar Jingga yang senang kalau membicarakan sesuatu yang belum terkikis dari ingatannya.
Alden mengangguk-angguk. “Ternyata Pak Abu juga masih ada ya,” gumamnya. Dia kemudian meraih sebuah minyak goreng ukuran besar dan memasukkan benda itu ke keranjang. “Kalau gitu, gue cabut dulu ya, Ga. Kapan-kapan, gue ke rumah lo deh. Udah lama juga gak ketemu keluarga lo,” ucapnya yang meminta izin sebelum pergi.
“Datang aja, kapan-kapan juga bisa kok. Sampai ketemu lagi,” balas Jingga yang kemudian juga mengucapkan beberapa patah kata sebelum berpisah dari lawan bicaranya.
Alden berbalik badan dan menjauhi Jingga. Sementara itu, Jingga hanya bisa menatap punggung lelaki itu yang kemudian menghilang dari balik rak. Dia ingin memastikan kalau Alden yang dilihatnya sama persis dengan rupa lelaki yang dilihatnya di dalam mimpi. “Pantesan lo kenal gue.”
*
Di dunia yang berseberangan, seorang gadis berkulit putih baru saja muncul dari balik tembok dan menunjukkan batang hidung kepada seorang wanita yang sedang makan siang. Dia tampak lesu, terlihat dari sorot matanya yang tidak semangat saat menjelang sore. Gadis itu kemudian duduk di atas kursi dan menyandarkan kepala di atas meja makan. Sikapnya itu membuat wanita yang bersamanya menatap heran.
“Udah makan?” tanya wanita tersebut yang memulai pembicaraan. Sekaligus juga memecah keheningan yang hanya dirinya saja sebelum kedatangan sang puan.
Gadis itu menganggukkan kepala. Kemudian dia menjawab pertanyaan tadi dengan nada lemas seolah tidak diberi makanan selama 30 hari, “Sudah, Ma.”
“Terus?”
“Tadinya aku mau tidur, tapi gak bisa. Aku selalu aja dengar pikiran mereka. Gara-gara itu juga aku selalu bangun pagi. Apalagi kalau menjelang malam tuh, selalu ada aja orang yang overthinking. Gimana aku bisa tidur coba,” keluh gadis berkulit putih tersebut kepada wanita yang dikenalnya sebagai ibu. Karena alasan itu pula, dia tidak bisa menjalani hidupnya dengan tenang.
“Kan sudah beberapa kali mama bilangin, Rene, tapi kamu gak pernah dengerin. Kamu tuh harus dibawa ke dukun untuk nyembuhin keluhan kamu,” keluh ibunya yang diiringi dengan embusan napas yang terdengar berat untuk ditanggung. Pasalnya, gadis itu sudah beberapa kali diingatkan tetapi sama sekali tidak ditanggapi. Ibu melanjutkan, “Mama tau dukun terbaik di sekitar sini.”
Gadis bernama Irene mendengkus ketika mendengar ucapan ibunya. “Mama masih percaya aja sama dukun. Lagian untuk apa sih dibawa ke orang pintar. Mau berapa kali juga dibawa, gak bakal bisa ngilangin ini. Terus ngabisin uang aja,” balasnya yang tidak terima ketika ditanya alasannya tidak mau pergi ke dukun. Dia menambahkan dengan menyampaikan alibi lain, “Dulu kan pernah dibawa ke dokter, tapi dokter bilang dia gak tau masalahnya apa. Dokter aja gak bisa nyembuhin, apalagi dukun.”
“Tapi kamu gimana nantinya? Kamu mau gini aja terus sampai tua?” ujar ibunya yang kini terdengar khawatir.
Irene mengembuskan napas dengan lemah. “Ya mau gimana lagi. Sepertinya bakalan gini aja deh,” balasnya dengan tidak semangat dan terkesan pasrah.
“Tapi kalau kamu ngerasa keganggu, bilang aja sama mama ya. Entar mama bawain ke dukun deh,” ujar ibunya kembali menyarankan hal yang sama. Sudah berulang kali rasanya mendengar kalimat yang sama dari mulut wanita itu bagi Irene.
Gadis itu bangkit. Ibunya sudah terlalu banyak berkata omong kosong untuk hari ini dan dia merasa sudah cukup. Dia harus segera menyingkir dari tempat ini sebelum kepalanya jungkir balik. “Aku keluar dulu ya, Ma. Agak malaman dikit aku pulang.”
“Hati-hati, Rene!” pesan ibunya sebelum punggung gadis itu kembali menghilang dari balik tembok.
*
“Ya Allah, kapan gue punya pacar?”
“Capek banget. Udah berkali-kali apply lamaran tapi gak ada yang nerima.”
“Emang harus cantik ya biar bisa dihargai semua orang?”
“Halah, katanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nyatanya hanya berlaku bagi orang yang good looking aja dong. Buntut ayam!”
“Astaghfirullah. Roti sobek.”
“Kyaaaa, Joomin oppa kiyowo!”
Ketika berada di bahu jalan, Irene bisa mendengar pikiran semua orang yang saat ini sedang bermain-main di dalam sana. Kemampuan itu didapatkannya sejak lahir, bahkan tanpa dilatih pula. Sejak lahir, dia sudah bisa membaca pikiran orang lain dan orang yang pertama kali dibaca pikirannya adalah ibu. Makanya dia bisa berbicara dengan lancar sebelum usianya mencapai dua tahun.
Berkat kemampuan itu, dia bisa mengetahui apa yang saat ini sedang dipikirkan orang lain dengan tidak direkayasa sama sekali. Tetapi gara-gara itu, hidupnya tidak pernah tenang. Selalu ada saja yang dipikirkan orang dan hal itu sangat mengganggu. Terutama saat dia ingin tidur dan mengistirahatkan tenaganya.
Mulanya, dia tidak terbiasa untuk mengabaikan apa yang didengarnya. Baru-baru ini, dia sudah menemukan cara untuk mengabaikan kemampuan itu walaupun sampai saat ini masih terganggu.
Gadis itu kemudian berpapasan dengan seorang gadis yang mengenakan jaket lengan panjang berwarna pastel yang datang dari arah seberang. Irene kemudian mengembuskan napas lagi kalau dia pasti akan segera mengetahui apa yang dipikirkan gadis di depannya. Sebenarnya dia juga tidak mau ikut campur dalam urusan orang lain.
Tetapi ketika bola mata mereka saling bertemu, malah Irene yang kebingungan. Bahkan sampai saat mereka saling membelakangi, dia masih memandang ke udara dengan tatapan bertanya-tanya. “Kenapa gue gak bisa baca pikiran dia?” tanyanya kepada diri sendiri.
Jauh di seberang bahu jalan yang sama, gadis berjaket pastel itu juga melewati Jingga yang baru saja keluar dari toko roti. Gadis itu tadinya ingin mendekati motor matic yang terparkir dan pulang, namun Jingga malah menatap bola mata gadis itu secara tidak sengaja dan kebetulan berpapasan.
Tidak jauh beda dengan Irene, Jingga juga dengan jelas menunjukkan wajah herannya kepada gadis itu. Dia yakin kalau gadis berjaket pastel itu mirip dengan orang yang dilihatnya di dalam kilasan masa depan. Dia yakin gadis itu salah satunya. Tetapi dia tidak bisa melihat masa depannya sama sekali. Benar-benar tidak terbaca.
Sampai gadis itu membelakanginya, Jingga masih mengarahkan pandangan ke punggung gadis berjaket pastel tersebut. Dia kemudian bertanya-tanya dalam hati, “Dia gak punya masa depan?”
***
Sebuah mobil berwarna putih diparkir di halaman depan rumah yang besar dan hanya memiliki satu lantai saja. Seorang laki-laki yang mengenakan kemeja putih dimasukkan dalam celana baru saja keluar dari mobil yang dikendarainya. Di tangan, dia membawa sebuah keranjang berisi buah-buahan segar yang dibeli sebelum ke sini. Langkah kakinya menuju ke arah pintu rumah yang saat ini tertutup rapat. Dari luar, rumah itu seperti tidak berpenghuni. Lelaki itu berhenti di depan daun pintu. Satu tangannya kemudian menekan bel yang sejajar dengan gagang pintu. Bel berdering tiga kali yang bisa didengar dari dalam rumah. Dia hanya menunggu pemilik rumah yang membukakan pintu untuknya. Dia sangat yakin kalau pemilik rumah pasti ada di naungannya. Tidak lama kemudian, gagang pintu bergerak. Pintu terbuka setengahnya, kemudian muncul seorang laki-laki hidung mancung yang kelihatan dari balik pintu. Rupa wajahnya hampir seiras dengan lelaki yang mengenakan kemeja putih tersebut. Jika d
Menempuh seribu langkah dengan berlari dan membawa perasaan yang tidak tenang, Jingga menyusuri bahu jalan sambil sesekali memutar arah kepala ke belakang. Dia sedang panik dan butuh diselamatkan seseorang yang berbaik hati menawarkannya bantuan. Napasnya juga tersengal-sengal karena harus menggunakan energinya lebih sering.Sepertinya ide untuk meminta bantuan akan terasa sia-sia saja jika dilakukan. Suasana di kota sekarang amat sepi dan mencekam. Tidak ada orang, tidak ada kendaraan darat, bahkan tidak ada toko yang buka. Kota ini tampak seperti kota mati yang tidak dihuni warganya karena pindah ke daerah lain.Alasan gadis itu berlari seperti dikejar anjing adalah karena sosok yang sedang mengejarnya di belakang. Ketika pandangannya berputar lagi ke arah belakang, sosok bertudung hitam dari atas kepala hingga ujung kaki mengejarnya. Tanpa mengenal kata ampun pula padahal gadis itu sudah merasa lelah. Dia tadinya ingin berhenti dan menyerahkan diri, namun kala melih
Pemandangan yang gelap gulita beberapa saat sebelumnya perlahan semakin terang, hingga menyilaukan mata. Bersamaan dengan itu, terdengar suara langkah kaki yang disertai suara pijakan ranting kayu. Suara itu muncul bersamaan hingga kesadaran seseorang terpanggil kembali.Jingga membuka dua mata dan menyesuaikan diri dengan cahaya. Dia yang mencoba mengumpulkan kesadarannya baru saja menyadari kalau kepalanya tadi bersandar di bahu seseorang. Melihat ke arah samping, dia mendapati Jeslyn yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.Masih membawa rasa penasaran, Jingga memutar kepala ke belakang. Bukan hanya dirinya saja, tapi dia bersama enam orang yang terjebak di lapangan terbuka bahkan tidak tahu keberadaannya. Ada Irene, Rama, Devin, Alden dan seorang gadis dengan baju lengan panjang. Persis di dalam mimpi.Di lapangan ini dibatasi beragam pohon bercabang seperti hutan. Mereka yang tidak mengenal satu sama lain sudah jelas kebingungan. Mereka jug
Menyusul Jingga yang masih membawa kantung kertas di belakang, Alden yang menjelang sore itu berada di kawasan Perumahan Nusantara. Setelah pertemuan tidak biasa yang terjadi di lapangan terbuka beberapa saat sebelumnya, lelaki yang bahunya sama tinggi dengan puncak kepala Jingga menawarkan diri untuk pulang bersama. Ketika ditanya, alasannya adalah dia ingin mengunjungi rumah sang puan dan bertemu orang tuanya.Alasan lain yang lebih masuk akal sebenarnya adalah dia ingin melihat-lihat keadaan perumahan itu sekarang. Sekaligus bernostalgia dan mengingat kenangannya yang pernah tinggal di sini waktu kecil. Dia lahir dan dibesarkan bersama lingkungan sekitar dan warga Perumahan Nusantara. Oleh karena itu, dia bisa berteman akrab dengan Jingga sampai masuk SMP.Seperti sekarang saat membuntuti sang puan di belakang. Dia sedang mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Selama pengamatan, dia sadar kalau kondisi perumahan ini sudah jauh berbeda dibandingkan keadaan beberapa t
Saat jarum pendek jam dinding menunjuk ke angka empat dan jarum panjang naik sedikit dari angka sembilan, Devin baru saja keluar dari kamar kecil di dalam ruang tidurnya. Dia yang sendirian sedang melangkahkan kaki menuju cermin yang berada di sebelah lemari. Melalui pantulan cermin, dia melihat bayangan dirinya yang kini dengan sorot mata cerah dan bibir yang tidak kering. Mirip seperti bunga yang baru mekar.Dia saat ini tinggal sendirian di dalam rumah. Kevin yang biasa menemaninya saat sang kepala keluarga di luar kota tidak terlihat untuk sementara waktu. Dia juga baru saja mendapat kabar kalau besok ayahnya pulang, dan besok juga Kevin harus pulang ke Bekasi.Dia yang sedang bercermin sekarang menatap bayangan dirinya dengan wajah bingung. Ada yang berbeda dan itu membingungkan pikiran yang mungkin butuh waktu lama untuk bisa mencerna segala kejadian. Dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi, makanya saat keluar dari kamar mandi tadi dia butuh jawaban pasti.
Pulang dari halte bus, Jingga sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya yang terletak di komplekas perumahan persis di pusat kota. Bagi warga Jakarta, mencari tempat tinggal dengan harga yang terjangkau bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Semuanya bisa ditemukan dengan mudah, dibantu pula dengan internet yang semakin canggih. Di perumahan itu sendiri, hampir semua kepala menitipkan anggota keluarga. Bulan depan pula mereka akan kedatangan tetangga baru.Setelah mengantarkan Alden ke pemberhentian bus, dia langsung pulang ke rumah tanpa memikirkan tujuan lain. Di dalam kepala, dia sudah membayangkan apa yang akan dilakukan. Hal yang paling utama adalah mandi dan membersihkan diri setelah berada di luar rumah hampir seharian. Dia juga sudah memikirkan kalau dia akan tidur sebentar setelah mandi. Membayangkan rencana indah itu membuat jantungnya berdebar dan tidak sabar menanti.Dia yang sudah masuk ke halaman depan rumah mengulurkan tangan ke arah gagang pintu yan
Lapangan terbuka yang dikelilingi deretan pohon bercabang banyak menjadi tujuan kedatangan tujuh pemuda yang diundang langsung oleh Sagara. Tempat ini adalah tempat yang sama saat mereka dipaksa melawan sosok jubah hitam dan berwajah menyeramkan yang juga dibawa oleh Sagara. Mereka duduk bersebelahan sembari menunggu insan yang belum kelihatan batang hidungnya.Lapangan ini terletak di pinggir kota Jakarta. Bagi mereka yang tinggal di pusat kota, mereka harus naik bus untuk bisa sampai ke pemberhentian terdekat dari lapangan dan berjalan kaki. Tempat ini bisa disebut sebagai tempat yang sepi dari penduduk pinggiran. Jarang ada yang mengetahuinya dan lebih bisa disebut sebagai tempat terbengkalai.Untuk saat ini, Sagara belum kelihatan dan mereka sedang menunggunya. Selagi menunggu, mereka berkenalan dengan masing-masing kepala dan menanyakan nama. Termasuk juga berkenalan dengan gadis yang mengenakan baju lengan panjang bernama Mentari. Setelah itu, mereka mengobrol ba
“Selanjutnya!”Berselang setelah seruan Sagara berakhir walau hanya satu kata saja, Mentari yang diminta ke depan dan menghadap teman-teman barunya kembali ke tempat. Meninggalkan Alden yang masih berdiri di sebelah Sagara. Lelaki itu sedang menarik napas panjang sebelum bersuara dan mengenalkan diri kepada beberapa pasang mata yang memperhatikannya.Pertemuan baru saja dimulai bagi anggota Fantasy Club yang bergabung, namun posisi sang matahari semakin menjorok di ufuk barat dan tidak lama lagi akan menghilang dari langit. Masih ada sedikit waktu untuk memperkenalkan diri dan berbagi informasi.Setelah mengembuskan napas, dia menaikkan sudut bibir dan tersenyum kepada mereka dengan wajah bersahabat. “Selamat sore, semuanya. Saya Alden dan usia saya tahun ini 22 tahun. Salam kenal juga. Kemampuan saya bisa mengalirkan energi listrik dari ujung jari. Sekian dan terima kasih,” ucapnya yang menyebutkan nama dan informasi penting lain.