LOGINSetelah semua hadiah terkumpul, reuni kelas itu akhirnya dimulai.Orang-orang menyebar di seluruh aula, saling menyapa, bertukar cerita tentang hidup mereka, kegagalan mereka, dan keberhasilan mereka. Sebagian mengobrol dengan rasa nostalgia yang tulus.Yang lain tersenyum sambil diam-diam memperhitungkan keuntungan, menyapu ruangan untuk mencari koneksi yang bisa dimanfaatkan, seperti penjual MLM, agen asuransi, dan penjual investasi yang sedang memburu target berikutnya.Setiap percakapan menyimpan ketegangan di balik tawa.Lalu, pengumuman itu disampaikan.Stadion Windergard secara resmi membuka Turnamen Robot Tempur tahun ini.Gelombang antusiasme menyapu ruangan.Dari area VIP yang disediakan untuk reuni, seluruh stadion terbentang di hadapan mereka. Luas, berkilau, dan suasananya begitu hidup di bawah sorotan lampu. Di bagian tengah berdiri mesin-mesin itu sendiri.Robot Tempur.Mesin perang yang dibuat untuk pilot manusia. Tingginya tiga hingga lima meter. Mampu terbang, menjela
"Oh ... ya, Voxen Seraphina yang disamarkan jadi model Seri Pertama," kata Alvaro dengan senyum cerah yang hampir terdengar menggoda. "Aku sudah menghubungi pemilik sebelumnya untuk memastikan.""Terus ...?" Renata mendekat."Ternyata," kata Alvaro, menahan tawa. "Si bapak ini tergila-gila dengan Voxen Seraphina. Itu mobil impiannya. Tapi istrinya benci banget, bilang itu buang-buang uang, katanya mending beli emas atau perhiasan daripada mesin mahal yang nggak masuk akal.""Tapi dia kepengin banget sampai-sampai dia beli diam-diam. Dia tahu istrinya bakal marah besar kalau tahu berapa banyak uang yang dia habiskan. Jadi dia mengaktifkan mode kamuflase dan menyamarkannya jadi Voxen Seri Pertama. Istrinya sama sekali nggak curiga.""Terus ...?" sela Shafira."Suatu hari mereka bertengkar besar. Istrinya, yang lagi naik pitam, menjual 'Voxen Seri Pertama' itu dengan harga murah sekali. Dan kebetulan aku yang membelinya seharga 120 juta.""Astaga," gumam Renata. "Kau hoki banget.""Alvaro
Alvaro tersenyum pada Erawan. "Aku harus akui, kau benar-benar niat bikin aku naik darah. Selamat. Harganya naik lagi, 45 miliar untuk lenganmu. Terus jantungmu?"Dia mengangkat bahu. "75 miliar. Kau mau menawar, mengeluh, atau mengamuk, silakan saja. Aku bakal terus menaikkan harga sampai aku bawa pulang lengan dan jantung aslimu.""Alvaro," panggil Shafira. "Kalau Erawan benaran bayar, uang dan mobilnya mau kau buat apa?""Ya," kata Alvaro, matanya melunak saat bertemu mata Shafira, "tentu saja aku berikan padamu."Shafira menggigit bibir, suaranya terdengar cemas. "Kalau kau nggak keberatan ... Erawan itu kawan sekelasku, temanku. Aku nggak mau ambil apa pun dari dia.""Tentu," kata Alvaro dengan senyum kecil. Dia sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Shafira. Shafira tidak bisa menyakiti siapa pun ... selama masih ada jalan lain.Dia pasti akan mengembalikan uang dan mobil itu begitu dapat kesempatan. Memang seperti itulah dirinya. Dan buat Alvaro, jumlah sebesar itu tidak berart
Erawan berteriak, suaranya bergetar karena marah."Berengsek, Alvaro! Kau menjebakku dengan Voxen Seraphina itu, pakai kamuflase supaya kelihatan seperti model generasi pertama! Itu curang. Babak ini nggak sah!"Alvaro Klaudius tidak bergeming. Dia hanya menyeringai. "Benarkah? Kau mau menarik ucapanmu sendiri sekarang?"Dia mengetuk gelangnya, menghubungkannya ke layar raksasa stadion. Kontrak itu muncul dengan jelas untuk dibaca semua orang."Orang ini, Erawan Raharja, pewaris Adipati Agung Erdama Raharja, bilang dia nggak mau bayar taruhan," seru Alvaro, suaranya memenuhi arena. "Warga Windergard, gimana menurut kalian?"Reaksi itu seketika. Cemoohan meledak dari segala arah, bergemuruh seperti badai.Sebagian orang di kerumunan, yang nekat mempertahankan taruhan mereka pada Erawan, berteriak agar balapan dibatalkan supaya uang mereka kembali. Namun, suara mereka langsung tenggelam ditelan gemuruh stadion.Sebagian besar penonton setuju, dokumen itu sah. Erawan yang meminta balapan
Sebelumnya, Erawan langsung menginjak pedal gas begitu sinyal start menyala.Voxen Seri-6 meraung seperti binatang buas yang lepas.Mesin itu bisa menembus 1.000 kilometer per jam tanpa ragu, sementara Voxen generasi pertama milik Alvaro kesulitan mencapai 500 kilometer per jam di hari terbaiknya.Erawan tahu hitungannya.Mulai dengan cepat.Tancap dengan kuat.Ciptakan jarak yang tidak akan pernah bisa dilampaui Alvaro.Dia bukan hanya ingin menang, dia ingin mengubur Alvaro dalam kehinaan.Dia langsung memelesat ke 200 kilometer per jam, lalu menanjak melewati 800 kilometer per jam, menembus lintasan dengan sangat presisi.Saat menyelesaikan lima dari sepuluh putaran, dia melirik ke spidometer, 857 kilometer per jam dan terus naik."Nggak mungkin peti mati 500 kilometer per jam itu bisa menyusulku," Erawan menggeram. "Bahkan kalau rongsokannya meledak pun, kecepatannya nggak akan mendekatiku."Namun, saat memasuki putaran keenam ....Sebuah bayangan hitam memelesat melewatinya begitu
Shafira memejamkan mata rapat-rapat ....Namun, tamparan itu tak pernah mendarat.Tangan Alvaro melesat secepat kilat, menangkap pergelangan tangan Erawan di udara."Kenapa nggak lawan orang yang sebanding denganmu?" Suara Alvaro terdengar dingin."Kau mau selesaikan ini di balapan, atau di sini lewat adu tinju? Aku siap dua-duanya. Tapi kalau kita bertarung, tanganmu ini akan jadi milikku.""Jangan berani menyentuhku, budak setengah darah!" Erawan berteriak, berusaha menarik lengannya.Alvaro mempererat cengkeramannya. "Aku sebenarnya malas menyentuh pria yang membawa lima penyakit kelamin."Tulang-tulang di pergelangan tangan Erawan berderak. Dia menjerit, melengking tinggi seperti suara perempuan.Alvaro bisa saja menghancurkan seluruh lengannya tanpa usaha.Namun, Shafira buru-buru maju. "Alvaro, jangan sakiti dia!"Begitu mendengar suaranya, Alvaro langsung melepaskannya.Erawan tersandung mundur, wajahnya pucat pasi, rasa malu membakar dirinya."Kau akan membayar ini! Aku akan am







