Beranda / Romansa / Alverez / Jalan Menuju Ketegangan

Share

Jalan Menuju Ketegangan

Penulis: Daffa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 19:56:08

Keesokan harinya, pagi di Elite High terasa lebih tegang dari biasanya. Matahari bersinar cerah, namun tidak ada yang bisa menghilangkan ketegangan yang membelit hati para siswa, terutama Adrian, yang masih teringat pesan misterius yang diterimanya malam sebelumnya. Sejak pagi itu, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—perasaan seolah ia sedang terjebak dalam sebuah permainan yang tidak ia pahami.

Di ruang kelas, Aldo, yang selalu tampil tegas, memperhatikan Adrian dengan cermat. “Kamu terlihat gelisah, Adrian. Ada apa?”

Adrian mencoba tersenyum, namun itu tidak lebih dari sekadar bentuk penghindaran. "Ah, cuma sedikit masalah pribadi."

Aldo mengerutkan dahi. “Jangan biarkan itu mengganggu fokusmu. Keluarga kita memiliki reputasi yang harus dipertahankan."

Adrian mengangguk pelan, tetapi pikirannya masih jauh dari kelas yang sedang berlangsung. Ada hal yang lebih besar sedang berlangsung, dan meskipun ia tidak tahu sepenuhnya, ia merasakan bahwa bahaya sudah mulai mendekat.

Di sisi lain, Clara tidak pernah merasa begitu terasingkan. Setiap kali dia melihat Adrian, ada perasaan aneh yang muncul di hatinya, sebuah perasaan yang ia coba sembunyikan. Ia tidak bisa melupakan pesan dari ayahnya, yang terus menggema di benaknya: "Jangan terlalu dekat dengan mereka."

Namun, tatapan mata Adrian yang tajam dan penuh rasa ingin tahu selalu membuatnya tergoda untuk mendekat. Seolah-olah ada sebuah hubungan yang tak terucapkan di antara mereka, meskipun ia tahu bahwa itu adalah jalan yang sangat berbahaya.

Hari itu, saat pelajaran berlangsung, Clara memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama. Dia memeriksa ponselnya yang bergetar—sebuah pesan dari ayahnya. Pesan yang langsung mengarah pada apa yang sedang terjadi di sekolah.

"Mereka tahu lebih banyak dari yang kamu kira. Waspadai langkah mereka. Jangan lupa siapa musuhmu."

Pesan itu membuat Clara semakin bingung. Dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan oleh keluarga Wijaya, sesuatu yang jauh lebih gelap daripada yang terlihat. Tapi kenapa harus dia yang terlibat?

Sore itu, para saudara kembar Wijaya kembali berkumpul di rumah mereka setelah sekolah. Alan, yang biasanya menghindari interaksi, memutuskan untuk berbicara langsung kepada Aldo. “Kamu merasa ada yang aneh akhir-akhir ini, kan?”

Aldo memandang Alan dengan serius, menimbang-nimbang kata-kata saudaranya. “Aku merasa kita berada di ujung jurang, tetapi aku tidak tahu kenapa.”

“Ini bukan hanya soal bisnis atau ekspansi, kan?” tanya Alan, menatap Aldo tajam. “Ada hal yang lebih besar di balik ini.”

Aldo menghela napas. “Aku mulai merasa seperti ada yang mengawasi kita, tetapi kita tidak bisa menunjukkan kelemahan. Keluarga kita sudah lama terlibat dalam permainan besar. Kita harus tetap kuat.”

Di sisi lain, Andre, yang sedang duduk dengan buku catatan di tangan, menyadari bahwa pembicaraan itu bukan hanya soal bisnis. Ia bisa merasakan adanya tekanan yang jauh lebih besar. Sementara itu, Arga hanya tersenyum lebar, seolah-olah tidak peduli dengan ketegangan yang ada di sekelilingnya. Tetapi ada yang aneh dengan sikapnya. Tiba-tiba, dia bertanya, “Menurut kalian, apa yang sebenarnya sedang terjadi?”

Aldo menatap Arga dan menggeleng. “Aku tidak tahu, Arga. Tetapi aku mulai merasa seperti ada sesuatu yang sedang mengincar kita. Dan aku tidak suka perasaan ini.”

Pada malam yang sama, setelah makan malam yang penuh ketegangan, Clara memutuskan untuk pergi ke tempat yang seharusnya tidak ia datangi—rumah keluarga Wijaya. Ia tahu bahwa ini adalah langkah berbahaya, tetapi dorongan untuk mencari kebenaran begitu kuat. Dengan ragu, Clara mengendarai mobilnya dan menuju ke jalan yang sama tempat keluarga Wijaya tinggal.

Namun, di luar rumah keluarga Wijaya, ia merasa sesuatu yang ganjil. Sebuah mobil hitam terparkir di dekat gerbang. Meskipun mobil itu tampak biasa, Clara merasakan adanya sesuatu yang aneh. Hatinya mulai berdebar lebih cepat, tetapi dia tetap melangkah maju.

Clara parkir mobilnya di seberang jalan dan berjalan mendekat dengan langkah hati-hati. Setiap langkahnya penuh dengan kecemasan, tetapi ia tidak bisa berhenti. Ia harus tahu apa yang sedang terjadi.

Tiba-tiba, suara derap langkah kaki di belakangnya membuatnya berbalik. Seorang pria berjas hitam berdiri dengan wajah tertutup topi. Tanpa berkata sepatah kata pun, pria itu mendekat dan menghalangi jalan Clara.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya pria itu dengan suara berat, suaranya penuh ancaman.

Clara terkejut, tetapi berusaha tetap tenang. “Saya hanya... hanya ingin tahu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Wijaya?”

Pria itu mengangkat alis, dan dengan gerakan cepat, ia meraih tangan Clara, menariknya ke sisi jalan yang lebih sepi.

“Jika kamu ingin bertahan hidup, kamu harus berhenti mencari tahu,” kata pria itu dengan nada tegas, sebelum melepaskan Clara begitu saja.

Clara berdiri kaku, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Pria itu jelas bukan orang sembarangan. Ada kekuatan yang sangat besar di balik ancamannya.

Sementara itu, di rumah keluarga Wijaya, Aldo sedang berdiskusi dengan Indra tentang ekspansi bisnis yang semakin mendesak. Namun, perhatian Aldo terus teralihkan oleh pemikiran tentang Clara dan ancaman yang tiba-tiba muncul di sekitarnya.

Indra menatap Aldo dengan serius. "Jaga saudara-saudaramu, Aldo. Jangan biarkan apapun merusak stabilitas kita."

Aldo mengangguk, tetapi dalam hatinya, ia merasakan bahwa ketegangan ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang akan mengguncang keluarga mereka dan mungkin mengubah hidup mereka selamanya.

Malam itu, Clara duduk di kamarnya, merenung. Setiap keputusan yang ia buat tampaknya semakin menjebaknya dalam misteri yang lebih dalam. Ia tahu, kini ia sudah tidak bisa mundur lagi. Ketika dia memandang keluar jendela, matanya bertemu dengan cahaya lampu yang memancar dari rumah keluarga Wijaya. Dan di balik cahaya itu, Clara tahu bahwa ia harus berhadapan dengan kenyataan yang paling menakutkan dari semua—bahwa ia mungkin telah jatuh ke dalam perangkap yang tidak bisa ia hindari.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Alverez   Jejak yang Tak Terlacak

    Langit Jakarta masih diselimuti mendung ketika Arga Wijaya keluar dari sebuah bengkel tua di kawasan Kemang. Sudah beberapa hari ia hidup berpindah-pindah, menghindari sorotan media dan buruan Calvin Rahadian. Meski telah kembali ke lingkaran keluarga, Arga masih lebih nyaman bekerja dari balik bayang-bayang. Pagi itu, ia tidak tahu bahwa seseorang tengah membuntutinya. Viero Santosa, mengenakan hoodie abu-abu dan kacamata hitam, duduk di atas motor tua beberapa meter dari tempat Arga berdiri. Ia mencatat segala pergerakan pria itu, dari cara berjalan, pola bicara saat memesan kopi, hingga kode tangan yang digunakan saat mengirim pesan lewat ponsel. “Gaya informan,” gumam Viero pelan. “Tapi tetap mudah dibaca jika kau tahu cara membacanya.” Viero tidak buru-buru menyapa. Ia menunggu. Menunggu hingga Arga pergi ke tempat yang sudah diprediksi. Dan benar saja. Arga naik taksi menuju sebuah gudang tua—markas sementara Bara Valentino. *** Di dalam gudang, Bara dan Adrian sedang men

  • Alverez   Sekutu Bayangan

    Angin malam menerpa gedung pencakar langit di pusat bisnis Jakarta. Di puncaknya, lampu redup menyala di lantai tertinggi, tempat kantor rahasia Calvin Rahadian beroperasi di luar pengetahuan publik. Malam itu, ia tidak sendiri.Seorang pria duduk bersandar di sofa kulit hitam, menyilangkan kaki, dengan segelas whisky di tangan. Wajahnya tajam, berambut gelap disisir rapi ke belakang, dan senyum sinis yang menyembunyikan banyak rahasia.Namanya: Viero Santosa."Jadi," kata Viero perlahan, menatap Calvin yang sedang menuangkan minuman untuk dirinya, "kau benar-benar kehilangan kendali atas Mitha?"Calvin meletakkan botol di atas meja kaca. "Dia masih berguna. Tapi dia mulai ragu. Dan Andre Wijaya... aku pikir dia mulai berbalik arah."Viero terkekeh pelan. "Kau tahu aku bisa mengambil alih. Kalau kau izinkan, aku bisa 'menenangkan' Andre untuk selamanya."Calvin menatapnya tajam. "Jangan sentuh dia dulu. Aku butuh dia tetap bermain. Masih ada peran yang harus dia mainkan."Viero berdir

  • Alverez   Pilihan yang Membakar Segalanya

    Langit Jakarta malam itu berwarna kelabu, seolah menyerap seluruh ketegangan yang melayang di udara. Hujan turun rintik-rintik, mengguyur balkon apartemen tempat Andre Wijaya berdiri. Ia belum beranjak sejak menerima pesan dari Mitha Rahadian."Kau harus pilih, Andre. Aku... atau keluargamu."Kalimat itu bukan sekadar ancaman. Itu adalah ultimatum, pedang bermata dua yang siap mengoyak semua sisi hidupnya.Andre menatap ke pantulan lampu kota yang basah, pikirannya melayang ke berbagai titik masa lalu. Tentang malam saat ia menundukkan kepala di depan Indra Wijaya, tentang cemburu terhadap Aldo, tentang ambisi yang dipendam dalam diam. Dan kini, tentang seorang perempuan bernama Mitha—yang begitu mempesona sekaligus beracun."Semua ini tidak seharusnya terjadi seperti ini," gumamnya.Tiba-tiba suara pintu dibuka dengan cepat dari dalam apartemen. Sosok Arga Wijaya berdiri di ambang pintu, wajahnya basah karena hujan, tapi matanya tajam, penuh urgensi."Andre," serunya. "Kau harus ikut

  • Alverez   Di Balik Mata Sang Raja

    Alan Wijaya duduk di ruang kerja pribadinya, lampu temaram menyinari meja kayu mahoni yang penuh berkas, catatan, dan peta strategi. Malam semakin larut, tapi pikirannya masih menolak untuk tenang. Terlalu banyak variabel yang kini menyatu dalam satu pusaran: kembalinya Adrian, kehadiran Bara, bangkitnya Aldo, dan kini... Clara.Ia belum mengatakan pada siapa pun bahwa ia mendapat pesan singkat tanpa identitas—berisi hanya satu kalimat: "Calvin sedang menuju ke tempatmu." Alan tahu, pertemuan ini tak bisa dihindari. Ia tidak takut. Tapi ia tahu, sekali salah langkah, keluarga mereka bisa runtuh dalam satu malam.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang rumah itu. Arga dan Adrian muncul dari balik pintu, ekspresi mereka tegang."Dia benar-benar datang," kata Adrian.Alan mengangguk pelan. "Sudah waktunya kita menghadapinya."***Sementara itu, mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah keluarga Wijaya. Dari dalam, Calvin Rahadian melangkah keluar. Set

  • Alverez   Jejak Dalam Diam

    Langit Jakarta pagi itu tertutup awan kelabu. Hujan belum turun, tapi udara membawa kelembapan yang membuat suasana mencekam. Di sebuah vila tersembunyi di pinggiran kota, suasana hening sejenak setelah malam penuh ledakan dan peluru. Adrian duduk bersandar di sofa dengan perban di lengan kirinya. Clara duduk di sampingnya, wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih tajam dibanding sebelumnya. Arga mondar-mandir di ruang tengah, sementara Bara berdiri menghadap jendela, memperhatikan gerakan sekecil apa pun di luar. “Kalau mereka tahu kita di sini,” gumam Arga, “kita cuma punya waktu beberapa jam sebelum lokasi ini juga terbongkar.” Bara mengangguk. “Aku sudah siapkan satu tempat lagi. Tapi kali ini kita tidak hanya kabur. Kita harus mulai menyerang balik.” Clara menatap mereka satu per satu, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku akan ikut. Aku tidak akan kabur lagi. Aku sudah cukup lama menjadi boneka dalam permainan Calvin.” Adrian menoleh, memandangi Clara dengan sorot mat

  • Alverez   Dua Saudara, Dua Jalan

    Pagi hari menyambut rumah keluarga Wijaya dengan keheningan yang berat. Hanya suara dedaunan yang bergesekan ditiup angin yang mengisi udara. Di dalam ruang kerja keluarga, Alan Wijaya duduk menyusun dokumen strategi pemulihan bisnis setelah serangan sabotase terakhir yang hampir meruntuhkan saham keluarga. Namun pikirannya tak sepenuhnya fokus pada laporan keuangan. Ada nama yang terus mengganggu pikirannya sejak semalam: Andre. Saudara kandungnya, darah dagingnya. Tapi sekarang, sosok itu seperti bayangan asing yang tak bisa lagi ia baca. “Kenapa kau berubah sejauh itu, Andre?” bisik Alan sambil menatap foto keluarga di rak buku. “Apa yang membuatmu sampai begitu jauh dariku?” Seolah menjawab kegelisahannya, pintu ruangan itu terbuka. Dan di sanalah Andre Wijaya, berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah yang tertahan. “Aku dengar kau diam-diam menemui Bara dan Adrian,” kata Andre tanpa basa-basi. Alan tidak terkejut. Ia sudah menebak waktunya akan tiba. Ia men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status