Keesokan harinya, kabar tentang pertemuan misterius malam itu mulai tersebar di kalangan para siswa Elite High. Meskipun para saudara kembar Wijaya tidak tahu persis apa yang terjadi, mereka merasakan adanya pergeseran—suasana di sekolah terasa berbeda. Mereka tahu bahwa ada sesuatu yang mengintai mereka, meskipun mereka belum dapat mengungkapkan sepenuhnya apa itu.
Adrian tidak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Clara sebelumnya, meskipun dia tidak mengakui itu kepada siapa pun. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, ada ketegangan di udara. Tetapi kali ini, perasaan itu lebih kuat dari sebelumnya. Ada rasa khawatir, tetapi juga rasa penasaran yang membara. Apa yang sebenarnya dia cari? Kenapa dia begitu tertarik dengan gadis itu, meskipun dia tahu bahwa keluarga mereka adalah musuh? Pagi itu, Adrian berdiri di luar kelas saat bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Dia melihat Clara lewat dari kejauhan, berjalan cepat, seolah menghindari pandangannya. Tidak seperti sebelumnya, hari ini ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya—sesuatu yang membuat Adrian merasa bahwa dia harus melakukan lebih dari sekadar sekedar mengamati. "Clara!" seru Adrian, berlari mengejar. Clara, yang mendengar namanya dipanggil, melambatkan langkahnya tetapi tidak menoleh. Dia tahu siapa yang memanggilnya, dan dia juga tahu bahwa semakin dekat mereka, semakin besar bahaya yang mengintai. "Ada apa, Adrian?" jawab Clara dengan nada hati-hati. Adrian mendekat, berusaha tetap tenang meskipun ada perasaan aneh yang terus mengusiknya. "Kenapa kamu selalu menghindar? Apa kamu takut aku akan melukaimu?" tanya Adrian, berusaha mengerti. Clara menatapnya dengan tajam, seperti sedang mencari tahu motifnya. "Aku tidak takut padamu, Adrian. Aku hanya... tidak ingin melibatkan diri lebih dalam. Kamu tidak tahu apa yang sedang terjadi di sekitar kita." Clara berkata itu dengan begitu serius, seolah mengingatkan dirinya sendiri. Adrian terdiam sejenak, tak tahu bagaimana harus menjawab. Tetapi ada sesuatu dalam mata Clara yang membuatnya merasa bahwa gadis itu tahu lebih banyak dari yang dia inginkan. "Kamu harus berhati-hati," lanjut Clara dengan suara lebih pelan, sebelum berbalik dan pergi. Adrian berdiri diam, merasakan hawa dingin yang semakin menggelayuti pikirannya. Sesuatu yang tak terungkapkan, sesuatu yang bisa merubah segalanya, semakin mendekat. Sementara itu, Alan dan Arga tengah berada di ruang tamu keluarga Wijaya, membahas hal yang sama sekali tidak terkait dengan bisnis atau pelajaran. Malam itu, Alan merasa semakin yakin bahwa ada sebuah rahasia besar yang disembunyikan keluarga mereka. Beberapa malam sebelumnya, ia sempat melihat ayah mereka, Indra, sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon di ruang kerja. Suara yang terdengar cukup terburu-buru, disusul dengan nada gelap yang membuatnya merinding. "Apa menurutmu ini hanya soal bisnis?" tanya Alan pada Arga, yang duduk di sofa sambil bermain dengan ponselnya. "Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari itu." Arga mengangkat pandangannya dari ponsel dan tersenyum santai. "Aku rasa kamu terlalu banyak berpikir, Alan. Kita sudah punya cukup masalah dengan sekolah dan bisnis keluarga. Jangan pusingkan hal-hal yang belum jelas." Alan tidak bisa begitu saja melepaskan rasa curiganya. "Kamu tidak merasa ada yang aneh dengan semuanya? Kenapa tiba-tiba kita diawasi? Kenapa Papa seperti ingin menjaga kita dari sesuatu yang tak terlihat?" Arga menatap Alan dengan ekspresi serius untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu. “Mungkin kita perlu tahu lebih banyak, tapi jangan lupakan siapa kita. Kita keluarga Wijaya. Tidak ada yang bisa menghentikan kita.” Alan mengangguk pelan, namun hatinya semakin gelisah. Rasanya ada sesuatu yang sedang merayap mendekat, dan mereka belum siap untuk menghadapinya. Malam itu, setelah makan malam bersama keluarga, Clara kembali diperingatkan oleh ayahnya, Dimas Mahendra. Dimas memandang Clara dengan tatapan yang keras dan penuh tekad. "Kamu harus berhenti mendekati mereka, Clara. Keluarga Wijaya tidak hanya musuh kita, mereka adalah ancaman besar." Clara terdiam, merasa semakin terperangkap dalam dilema yang tidak bisa dia jelaskan. "Tapi Ayah, aku tidak tahu siapa yang benar-benar bisa dipercaya. Aku hanya merasa seperti ada lebih banyak yang harus aku ketahui." Dimas menatap Clara dengan mata penuh peringatan. "Keluarga Wijaya telah menghancurkan hidup kita. Setiap langkah mereka penuh perhitungan. Jika kamu tidak berhati-hati, kamu akan terjebak dalam permainan mereka yang berbahaya." Clara ingin sekali memberontak, ingin mengatakan bahwa dia tidak takut, tetapi dia tahu ini bukan masalah pribadi. Ini adalah masalah yang jauh lebih besar, yang bisa mengubah seluruh hidupnya. Di sisi lain, pada malam yang sama, Indra Wijaya duduk di ruang kerja, membaca laporan keuangan dan memeriksa beberapa dokumen penting. Namun, hatinya tidak sepenuhnya fokus pada pekerjaan. Sesekali, matanya melirik ke arah jendela, seakan mengawasi sesuatu yang tidak terlihat. “Papa, ada yang harus kita bicarakan,” kata Aldo, tiba-tiba masuk ke ruangan dengan langkah tegap. “Aku merasa ada sesuatu yang sedang tidak beres. Kita semakin sering diawasi.” Indra meletakkan dokumen yang sedang dibacanya dan menatap Aldo dengan tatapan tajam. "Kamu benar. Ini bukan hanya soal ekspansi. Keluarga Mahendra—kita tidak bisa menganggap mereka remeh." Aldo terdiam, merasakan ketegangan dalam suara ayahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Pa? Apa yang kita hadapi?" Indra memandang Aldo dengan sorot mata yang lebih dalam. "Ini bukan lagi soal bisnis. Ini soal bertahan hidup. Kamu harus siap untuk apapun yang datang." Di luar rumah keluarga Wijaya, di balik bayangan yang gelap, seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri, memerhatikan rumah mereka dengan penuh perhatian. Tangan pria itu mengirimkan pesan singkat lagi ke seseorang. "Rencana kita semakin dekat. Waktu untuk bertindak akan segera tiba." Semua yang sudah terjadi sebelumnya hanya permulaan dari sebuah pertempuran yang lebih besar, yang akan melibatkan keluarga Wijaya dan keluarga Mahendra dalam cara yang tak terduga. Apa yang tersembunyi di balik layar, siapa yang sebenarnya menjadi musuh sejati, dan bagaimana kisah cinta yang mulai tumbuh di antara Adrian dan Clara akan mengubah segalanya—semua ini akan segera terungkap dalam permainan yang penuh intrik dan bahaya.Langit Jakarta kembali mendung. Hujan seolah tak pernah lelah mengguyur tanah yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Di sebuah vila tua yang terletak di atas bukit, dengan pemandangan yang menghadap ke laut lepas, ketegangan memuncak untuk terakhir kalinya.Alan, Adrian, Andre, Arga, dan Aldo berdiri berjajar di depan gerbang utama rumah keluarga Wijaya. Di sisi lain, Indra Wijaya berdiri diam, menatap ke arah mereka dengan mata yang tak bisa ditebak—antara luka lama dan kejutan yang belum sepenuhnya sembuh.“Semua ini akhirnya mengerucut pada satu titik,” gumam Aldo. “Dan itu bukan Calvin. Bukan Dimas. Tapi… sesuatu yang lebih besar.”Adrian menoleh dengan pandangan tajam. “Alverez.”Seketika suasana menjadi hening. Nama itu, yang selama ini hanya muncul sebagai bisikan samar dalam dokumen, jejak keuangan misterius, dan saksi-saksi yang menghilang, kini disebutkan dengan jelas untuk pertama kalinya.“Alverez?” tanya Alan dengan dahi berkerut. “Bukankah itu—”“Bukan nama depan, bukan
Langit Jakarta masih diselimuti mendung ketika Arga Wijaya keluar dari sebuah bengkel tua di kawasan Kemang. Sudah beberapa hari ia hidup berpindah-pindah, menghindari sorotan media dan buruan Calvin Rahadian. Meski telah kembali ke lingkaran keluarga, Arga masih lebih nyaman bekerja dari balik bayang-bayang. Pagi itu, ia tidak tahu bahwa seseorang tengah membuntutinya. Viero Santosa, mengenakan hoodie abu-abu dan kacamata hitam, duduk di atas motor tua beberapa meter dari tempat Arga berdiri. Ia mencatat segala pergerakan pria itu, dari cara berjalan, pola bicara saat memesan kopi, hingga kode tangan yang digunakan saat mengirim pesan lewat ponsel. “Gaya informan,” gumam Viero pelan. “Tapi tetap mudah dibaca jika kau tahu cara membacanya.” Viero tidak buru-buru menyapa. Ia menunggu. Menunggu hingga Arga pergi ke tempat yang sudah diprediksi. Dan benar saja. Arga naik taksi menuju sebuah gudang tua—markas sementara Bara Valentino. *** Di dalam gudang, Bara dan Adrian sedang men
Angin malam menerpa gedung pencakar langit di pusat bisnis Jakarta. Di puncaknya, lampu redup menyala di lantai tertinggi, tempat kantor rahasia Calvin Rahadian beroperasi di luar pengetahuan publik. Malam itu, ia tidak sendiri.Seorang pria duduk bersandar di sofa kulit hitam, menyilangkan kaki, dengan segelas whisky di tangan. Wajahnya tajam, berambut gelap disisir rapi ke belakang, dan senyum sinis yang menyembunyikan banyak rahasia.Namanya: Viero Santosa."Jadi," kata Viero perlahan, menatap Calvin yang sedang menuangkan minuman untuk dirinya, "kau benar-benar kehilangan kendali atas Mitha?"Calvin meletakkan botol di atas meja kaca. "Dia masih berguna. Tapi dia mulai ragu. Dan Andre Wijaya... aku pikir dia mulai berbalik arah."Viero terkekeh pelan. "Kau tahu aku bisa mengambil alih. Kalau kau izinkan, aku bisa 'menenangkan' Andre untuk selamanya."Calvin menatapnya tajam. "Jangan sentuh dia dulu. Aku butuh dia tetap bermain. Masih ada peran yang harus dia mainkan."Viero berdir
Langit Jakarta malam itu berwarna kelabu, seolah menyerap seluruh ketegangan yang melayang di udara. Hujan turun rintik-rintik, mengguyur balkon apartemen tempat Andre Wijaya berdiri. Ia belum beranjak sejak menerima pesan dari Mitha Rahadian."Kau harus pilih, Andre. Aku... atau keluargamu."Kalimat itu bukan sekadar ancaman. Itu adalah ultimatum, pedang bermata dua yang siap mengoyak semua sisi hidupnya.Andre menatap ke pantulan lampu kota yang basah, pikirannya melayang ke berbagai titik masa lalu. Tentang malam saat ia menundukkan kepala di depan Indra Wijaya, tentang cemburu terhadap Aldo, tentang ambisi yang dipendam dalam diam. Dan kini, tentang seorang perempuan bernama Mitha—yang begitu mempesona sekaligus beracun."Semua ini tidak seharusnya terjadi seperti ini," gumamnya.Tiba-tiba suara pintu dibuka dengan cepat dari dalam apartemen. Sosok Arga Wijaya berdiri di ambang pintu, wajahnya basah karena hujan, tapi matanya tajam, penuh urgensi."Andre," serunya. "Kau harus ikut
Alan Wijaya duduk di ruang kerja pribadinya, lampu temaram menyinari meja kayu mahoni yang penuh berkas, catatan, dan peta strategi. Malam semakin larut, tapi pikirannya masih menolak untuk tenang. Terlalu banyak variabel yang kini menyatu dalam satu pusaran: kembalinya Adrian, kehadiran Bara, bangkitnya Aldo, dan kini... Clara.Ia belum mengatakan pada siapa pun bahwa ia mendapat pesan singkat tanpa identitas—berisi hanya satu kalimat: "Calvin sedang menuju ke tempatmu." Alan tahu, pertemuan ini tak bisa dihindari. Ia tidak takut. Tapi ia tahu, sekali salah langkah, keluarga mereka bisa runtuh dalam satu malam.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang rumah itu. Arga dan Adrian muncul dari balik pintu, ekspresi mereka tegang."Dia benar-benar datang," kata Adrian.Alan mengangguk pelan. "Sudah waktunya kita menghadapinya."***Sementara itu, mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah keluarga Wijaya. Dari dalam, Calvin Rahadian melangkah keluar. Set
Langit Jakarta pagi itu tertutup awan kelabu. Hujan belum turun, tapi udara membawa kelembapan yang membuat suasana mencekam. Di sebuah vila tersembunyi di pinggiran kota, suasana hening sejenak setelah malam penuh ledakan dan peluru. Adrian duduk bersandar di sofa dengan perban di lengan kirinya. Clara duduk di sampingnya, wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih tajam dibanding sebelumnya. Arga mondar-mandir di ruang tengah, sementara Bara berdiri menghadap jendela, memperhatikan gerakan sekecil apa pun di luar. “Kalau mereka tahu kita di sini,” gumam Arga, “kita cuma punya waktu beberapa jam sebelum lokasi ini juga terbongkar.” Bara mengangguk. “Aku sudah siapkan satu tempat lagi. Tapi kali ini kita tidak hanya kabur. Kita harus mulai menyerang balik.” Clara menatap mereka satu per satu, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku akan ikut. Aku tidak akan kabur lagi. Aku sudah cukup lama menjadi boneka dalam permainan Calvin.” Adrian menoleh, memandangi Clara dengan sorot mat