Malam itu, rumah keluarga Wijaya diselimuti kesunyian mewah. Ruang rapat pribadi di lantai atas dipenuhi kehadiran lima saudara kembar dan kedua orang tua mereka, Indra Wijaya dan Maya Wijaya. Keduanya adalah figur yang tak hanya dikenal karena kekayaan dan kekuasaan, tetapi juga kepribadian mereka yang penuh teka-teki. Indra, dengan sikap tegas dan wibawa yang tak terbantahkan, sering terlihat seperti seorang raja di istananya. Sedangkan Maya, dengan senyuman anggun yang selalu menghiasi wajahnya, memiliki mata yang tajam seolah bisa melihat ke dalam jiwa siapa pun.
“Baiklah, kita mulai,” kata Indra sambil mengetuk meja panjang di depan mereka. "Kalian semua tahu bahwa kita sedang dalam proses ekspansi bisnis ke wilayah Timur. Ini akan menjadi langkah besar untuk perusahaan." Aldo langsung mengangguk. "Saya sudah mempelajari laporan yang Papa berikan. Lokasi baru itu memiliki potensi besar untuk pasar properti mewah." "Benar," sahut Indra, menatap anak sulungnya dengan bangga. "Tapi ini bukan sekadar tentang bisnis. Ini tentang mempertahankan posisi kita sebagai yang teratas. Dan untuk itu, tidak boleh ada ruang untuk kesalahan." Mata Indra menyapu kelima putranya, seolah ingin memastikan bahwa mereka semua memahami betapa seriusnya situasi ini. Namun, Adrian, yang duduk di sudut meja dengan posisi malas, tiba-tiba angkat bicara. "Apa sebenarnya yang kita lawan, Pa? Kenapa Papa selalu terlihat seperti sedang melawan musuh tak terlihat?" Ruangan langsung hening. Aldo dan Andre menatap Adrian dengan tajam, sementara Arga mencoba menahan senyum. Alan, di sisi lain, memusatkan perhatian pada ekspresi ayah mereka. Indra menatap Adrian, lalu menghela napas panjang. "Ada banyak hal yang tidak perlu kalian tahu saat ini. Fokus saja pada tugas kalian." Maya, yang duduk di sebelah Indra, mencoba meredakan suasana. "Adrian, jangan terlalu banyak bertanya. Papa hanya ingin melindungi kalian." Namun, Alan mencatat sesuatu dari jawaban itu. Ada sesuatu yang disembunyikan, dan dia yakin itu bukan hal kecil. Malam semakin larut, tetapi pikiran Adrian justru semakin berputar. Dia keluar ke balkon kamarnya, memandang taman luas yang terlihat seperti lautan gelap di bawah. Dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tidak tahu harus memulai dari mana. Ketukan pelan di pintunya membuatnya menoleh. Alan berdiri di sana, membawa secangkir kopi. “Kamu kelihatan gelisah,” kata Alan tanpa basa-basi, menyerahkan cangkir itu pada Adrian. Adrian mendesah. “Apa menurutmu Papa sedang menyembunyikan sesuatu?” Alan tidak langsung menjawab. Ia menatap langit malam dengan wajah datar. “Menurutku, ini lebih dari sekadar ekspansi bisnis. Aku merasa kita sedang diawasi, bukan hanya sebagai keluarga, tapi secara individu.” Adrian mengerutkan kening. “Diawasi oleh siapa?” Alan menggeleng. “Aku belum tahu. Tapi aku merasa Papa tahu lebih banyak daripada yang dia katakan.” Percakapan mereka terhenti ketika suara dering ponsel Adrian memecah kesunyian. Adrian mengambil ponselnya dan melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal. Pesannya singkat: "Berhati-hatilah pada orang yang kau percayai." Adrian membaca pesan itu berulang kali, merasa aneh sekaligus terganggu. Dia menunjukkan pesan itu pada Alan. “Apa maksudnya ini?” tanya Adrian. Alan membaca pesan itu, ekspresinya tetap datar. “Mungkin seseorang mencoba memperingatkan kita. Atau mungkin, itu jebakan.” Adrian mendesah, lalu menutup ponselnya. “Apapun itu, aku tidak suka dengan permainan seperti ini.” Alan hanya diam. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah pesan itu adalah potongan pertama dari teka-teki yang lebih besar. Di tempat lain, jauh dari rumah keluarga Wijaya, Clara duduk di meja makan kecil di apartemennya bersama ayahnya, Dimas Mahendra. Dimas adalah pria paruh baya dengan wajah keras dan mata penuh dendam. “Kamu tidak boleh terlalu dekat dengan mereka,” kata Dimas dengan nada tegas. Clara menunduk, menggenggam gelas di tangannya. “Aku tidak mencari masalah, Ayah.” “Tapi kau melihat Adrian Wijaya hari ini, bukan?” tanya Dimas, matanya menatap tajam. Clara terdiam, tidak bisa menyangkal. “Aku sudah bilang, mereka adalah musuh kita,” lanjut Dimas. “Keluarga mereka yang menghancurkan hidup kita. Jangan pernah lupa itu, Clara.” Clara mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya ada keraguan yang tumbuh. Ia tahu apa yang dikatakan ayahnya benar, tetapi kenapa ia merasa Adrian berbeda? Di luar apartemen, seorang pria berjaket hitam berdiri dalam bayangan, mengawasi jendela tempat Clara dan ayahnya berada. Di tangan pria itu ada ponsel, dan dia mengetik pesan singkat: "Target sedang bergerak. Siapkan langkah berikutnya." Malam itu, awan kelam mulai berkumpul di atas kehidupan lima saudara kembar, membawa rahasia dan bahaya yang akan mengubah segalanya.Langit Jakarta masih diselimuti mendung ketika Arga Wijaya keluar dari sebuah bengkel tua di kawasan Kemang. Sudah beberapa hari ia hidup berpindah-pindah, menghindari sorotan media dan buruan Calvin Rahadian. Meski telah kembali ke lingkaran keluarga, Arga masih lebih nyaman bekerja dari balik bayang-bayang. Pagi itu, ia tidak tahu bahwa seseorang tengah membuntutinya. Viero Santosa, mengenakan hoodie abu-abu dan kacamata hitam, duduk di atas motor tua beberapa meter dari tempat Arga berdiri. Ia mencatat segala pergerakan pria itu, dari cara berjalan, pola bicara saat memesan kopi, hingga kode tangan yang digunakan saat mengirim pesan lewat ponsel. “Gaya informan,” gumam Viero pelan. “Tapi tetap mudah dibaca jika kau tahu cara membacanya.” Viero tidak buru-buru menyapa. Ia menunggu. Menunggu hingga Arga pergi ke tempat yang sudah diprediksi. Dan benar saja. Arga naik taksi menuju sebuah gudang tua—markas sementara Bara Valentino. *** Di dalam gudang, Bara dan Adrian sedang men
Angin malam menerpa gedung pencakar langit di pusat bisnis Jakarta. Di puncaknya, lampu redup menyala di lantai tertinggi, tempat kantor rahasia Calvin Rahadian beroperasi di luar pengetahuan publik. Malam itu, ia tidak sendiri.Seorang pria duduk bersandar di sofa kulit hitam, menyilangkan kaki, dengan segelas whisky di tangan. Wajahnya tajam, berambut gelap disisir rapi ke belakang, dan senyum sinis yang menyembunyikan banyak rahasia.Namanya: Viero Santosa."Jadi," kata Viero perlahan, menatap Calvin yang sedang menuangkan minuman untuk dirinya, "kau benar-benar kehilangan kendali atas Mitha?"Calvin meletakkan botol di atas meja kaca. "Dia masih berguna. Tapi dia mulai ragu. Dan Andre Wijaya... aku pikir dia mulai berbalik arah."Viero terkekeh pelan. "Kau tahu aku bisa mengambil alih. Kalau kau izinkan, aku bisa 'menenangkan' Andre untuk selamanya."Calvin menatapnya tajam. "Jangan sentuh dia dulu. Aku butuh dia tetap bermain. Masih ada peran yang harus dia mainkan."Viero berdir
Langit Jakarta malam itu berwarna kelabu, seolah menyerap seluruh ketegangan yang melayang di udara. Hujan turun rintik-rintik, mengguyur balkon apartemen tempat Andre Wijaya berdiri. Ia belum beranjak sejak menerima pesan dari Mitha Rahadian."Kau harus pilih, Andre. Aku... atau keluargamu."Kalimat itu bukan sekadar ancaman. Itu adalah ultimatum, pedang bermata dua yang siap mengoyak semua sisi hidupnya.Andre menatap ke pantulan lampu kota yang basah, pikirannya melayang ke berbagai titik masa lalu. Tentang malam saat ia menundukkan kepala di depan Indra Wijaya, tentang cemburu terhadap Aldo, tentang ambisi yang dipendam dalam diam. Dan kini, tentang seorang perempuan bernama Mitha—yang begitu mempesona sekaligus beracun."Semua ini tidak seharusnya terjadi seperti ini," gumamnya.Tiba-tiba suara pintu dibuka dengan cepat dari dalam apartemen. Sosok Arga Wijaya berdiri di ambang pintu, wajahnya basah karena hujan, tapi matanya tajam, penuh urgensi."Andre," serunya. "Kau harus ikut
Alan Wijaya duduk di ruang kerja pribadinya, lampu temaram menyinari meja kayu mahoni yang penuh berkas, catatan, dan peta strategi. Malam semakin larut, tapi pikirannya masih menolak untuk tenang. Terlalu banyak variabel yang kini menyatu dalam satu pusaran: kembalinya Adrian, kehadiran Bara, bangkitnya Aldo, dan kini... Clara.Ia belum mengatakan pada siapa pun bahwa ia mendapat pesan singkat tanpa identitas—berisi hanya satu kalimat: "Calvin sedang menuju ke tempatmu." Alan tahu, pertemuan ini tak bisa dihindari. Ia tidak takut. Tapi ia tahu, sekali salah langkah, keluarga mereka bisa runtuh dalam satu malam.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang rumah itu. Arga dan Adrian muncul dari balik pintu, ekspresi mereka tegang."Dia benar-benar datang," kata Adrian.Alan mengangguk pelan. "Sudah waktunya kita menghadapinya."***Sementara itu, mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah keluarga Wijaya. Dari dalam, Calvin Rahadian melangkah keluar. Set
Langit Jakarta pagi itu tertutup awan kelabu. Hujan belum turun, tapi udara membawa kelembapan yang membuat suasana mencekam. Di sebuah vila tersembunyi di pinggiran kota, suasana hening sejenak setelah malam penuh ledakan dan peluru. Adrian duduk bersandar di sofa dengan perban di lengan kirinya. Clara duduk di sampingnya, wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih tajam dibanding sebelumnya. Arga mondar-mandir di ruang tengah, sementara Bara berdiri menghadap jendela, memperhatikan gerakan sekecil apa pun di luar. “Kalau mereka tahu kita di sini,” gumam Arga, “kita cuma punya waktu beberapa jam sebelum lokasi ini juga terbongkar.” Bara mengangguk. “Aku sudah siapkan satu tempat lagi. Tapi kali ini kita tidak hanya kabur. Kita harus mulai menyerang balik.” Clara menatap mereka satu per satu, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku akan ikut. Aku tidak akan kabur lagi. Aku sudah cukup lama menjadi boneka dalam permainan Calvin.” Adrian menoleh, memandangi Clara dengan sorot mat
Pagi hari menyambut rumah keluarga Wijaya dengan keheningan yang berat. Hanya suara dedaunan yang bergesekan ditiup angin yang mengisi udara. Di dalam ruang kerja keluarga, Alan Wijaya duduk menyusun dokumen strategi pemulihan bisnis setelah serangan sabotase terakhir yang hampir meruntuhkan saham keluarga. Namun pikirannya tak sepenuhnya fokus pada laporan keuangan. Ada nama yang terus mengganggu pikirannya sejak semalam: Andre. Saudara kandungnya, darah dagingnya. Tapi sekarang, sosok itu seperti bayangan asing yang tak bisa lagi ia baca. “Kenapa kau berubah sejauh itu, Andre?” bisik Alan sambil menatap foto keluarga di rak buku. “Apa yang membuatmu sampai begitu jauh dariku?” Seolah menjawab kegelisahannya, pintu ruangan itu terbuka. Dan di sanalah Andre Wijaya, berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah yang tertahan. “Aku dengar kau diam-diam menemui Bara dan Adrian,” kata Andre tanpa basa-basi. Alan tidak terkejut. Ia sudah menebak waktunya akan tiba. Ia men