Hari demi hari, ketegangan di sekitar keluarga Wijaya dan keluarga Mahendra semakin meningkat. Bagi Adrian, dunia yang sebelumnya terasa seperti tempat yang familiar, kini berubah menjadi labirin yang penuh dengan rahasia dan ancaman. Perasaan yang selalu ia abaikan—perasaan ketertarikan yang tak bisa ia kendalikan terhadap Clara—kian kuat. Namun, dia juga tahu bahwa itu adalah hubungan yang sangat berbahaya. Ia terjebak dalam dilema yang tak bisa dijelaskan, terutama setelah peringatan yang diberikan oleh Clara beberapa waktu lalu.
Pagi itu, Adrian menemukan dirinya berdiri di depan cermin di kamarnya, berpikir. Dia tahu bahwa perasaan yang ia miliki terhadap Clara bukan hanya sekadar rasa penasaran. Clara adalah anak dari keluarga yang selama ini menjadi musuh besar keluarga mereka. Dan itu artinya, menjalin hubungan dengannya bisa menjadi awal dari keruntuhan segalanya. Namun, ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang tak bisa dia abaikan. Sementara itu, Aldo dan Alan duduk bersama di ruang keluarga, memikirkan ancaman yang semakin jelas. Mereka sudah mendengar desas-desus tentang gerakan rahasia yang dilakukan oleh keluarga Mahendra, tetapi mereka belum memiliki bukti yang cukup untuk membuktikan teori mereka. "Apa kita akan terus diam saja?" tanya Aldo, tatapannya tajam. "Ini bukan hanya soal persaingan bisnis lagi. Ada yang lebih besar yang sedang terjadi." Alan mengangguk. "Aku merasa seperti kita sedang diawasi. Setiap langkah kita, setiap keputusan kita—semua dipantau. Mereka tidak akan berhenti sampai kita jatuh." "Apa yang kita lakukan sekarang?" Aldo bertanya, semakin tegang. "Berhenti menunggu dan mulai bergerak. Kita harus tahu apa yang mereka rencanakan," jawab Alan, dengan tekad yang kuat. Pada sore hari yang sama, Clara kembali merasakan ketegangan yang semakin membebani dirinya. Meskipun ia tahu bahwa dia tidak bisa lagi melangkah mundur, perasaan khawatirnya terus mengganggu. Setelah peringatan dari ayahnya dan ancaman yang ia terima dari orang misterius malam itu, Clara tahu bahwa dia harus bergerak cepat. Tidak hanya untuk melindungi dirinya sendiri, tetapi juga untuk menemukan jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi antara keluarga Mahendra dan keluarga Wijaya. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Menyelinap ke ruang bawah tanah rumah mereka, Clara membuka sebuah laci lama yang penuh dengan dokumen yang sudah berdebu. Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku catatan yang tampaknya sudah lama terlupakan. Buku itu penuh dengan catatan-catatan rahasia yang ditulis oleh Dimas, ayahnya. Di salah satu halaman, Clara menemukan sesuatu yang mengejutkan—sebuah nama yang selama ini tidak pernah ia dengar, Indra Wijaya. "Tidak mungkin..." bisik Clara, terkejut. Dia terus membaca lebih jauh, dan semakin banyak fakta yang terungkap. Ternyata, hubungan antara kedua keluarga mereka jauh lebih rumit daripada yang dia kira. Keluarga Mahendra dan Wijaya terlibat dalam sebuah konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun, dengan motif-motif yang sangat gelap dan penuh dengan pengkhianatan. Tapi satu hal yang menarik perhatian Clara: ada satu peristiwa besar yang terjadi dua puluh tahun lalu, yang menjadi titik balik dari permusuhan mereka. Peristiwa yang melibatkan kedua orang tua mereka, yang tampaknya telah mengarah pada kehancuran yang tidak pernah mereka duga. Pada saat yang sama, Indra Wijaya duduk di ruang kerjanya, memandangi peta yang terhampar di meja. Rencananya sudah hampir selesai, namun masih ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Melihat Aldo dan Alan, dia tahu bahwa anak-anaknya tidak sepenuhnya memahami ancaman yang mereka hadapi. Semua ini jauh lebih besar daripada sekadar bisnis atau keuntungan finansial. "Apa yang akan terjadi jika mereka tahu?" pikir Indra dalam hati. "Apakah mereka siap untuk menghadapi kebenaran?" Saat itu, pintu ruang kerjanya terbuka, dan Aldo masuk dengan langkah tegas. "Papa, kita perlu berbicara. Kita tidak bisa menunggu lagi. Kita harus tahu apa yang sedang terjadi dengan keluarga Mahendra." Indra memandang Aldo dengan tatapan yang sulit ditebak. “Apa yang kamu tahu tentang keluarga Mahendra?” tanya Indra, suaranya keras, namun penuh dengan perhatian. Aldo menjawab dengan tegas, "Tidak banyak, tapi cukup untuk tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita kira. Mereka tidak hanya bermain di dunia bisnis, Pa. Mereka punya sesuatu yang lebih—sesuatu yang mungkin bisa menghancurkan kita." Indra terdiam sejenak, lalu menatap Aldo dengan tatapan yang penuh makna. "Kamu benar. Mereka lebih berbahaya daripada yang kita duga. Tapi kamu harus tahu, ini bukan hanya soal persaingan. Ini soal melindungi keluarga kita dari sesuatu yang jauh lebih besar." Di luar, saat Adrian berjalan menuju lapangan, ia melihat Clara berdiri di sana, seolah menunggunya. Mereka saling bertatapan, dan untuk sesaat, dunia seakan berhenti berputar. Semua yang ia rasakan, semua yang ia takutkan, seolah terwujud di depan matanya. Ia tahu bahwa ini adalah titik balik—momen yang akan mengubah hidup mereka selamanya. "Clara," ujar Adrian dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. "Kita perlu bicara." Clara mengangguk, kemudian mendekat. "Aku tahu, Adrian. Aku tahu kita tidak bisa lagi menghindari ini." "Kenapa kamu tidak memberi tahu aku lebih banyak? Kenapa kamu terus menghindar?" tanya Adrian, hampir putus asa. Clara menatapnya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya, ia melihat kesedihan yang tulus di mata Adrian. "Karena aku tidak ingin melihatmu terluka, Adrian. Aku tidak ingin kita terjebak dalam perang yang lebih besar dari yang bisa kita tanggung." Adrian merasakan ketegangan semakin membesar, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ia sudah terjebak dalam lingkaran yang tidak bisa ia hindari. Mereka berdua adalah bagian dari permainan yang jauh lebih besar, dan tidak ada jalan keluar yang mudah. "Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Adrian dengan suara serak. Clara menatapnya dengan serius, wajahnya penuh tekad. "Kita harus mencari tahu siapa yang benar-benar mengendalikan permainan ini. Kita harus mengungkap kebenaran yang selama ini disembunyikan." Dengan itu, mereka berdua berjalan bersama menuju takdir yang tidak bisa dielakkan. Dalam perjalanan mereka, bahaya mengintai di setiap sudut, dan keputusan yang mereka buat akan menentukan masa depan mereka—dan keluarga mereka. Semua mata kini tertuju pada dua keluarga ini, dan intrik yang berputar di sekitar mereka semakin dalam. Persaingan yang tampaknya hanya soal kekuasaan dan bisnis ternyata menyimpan rahasia yang bisa menghancurkan mereka semua. Akankah mereka dapat menemukan kebenaran sebelum semuanya terlambat?Langit Jakarta kembali mendung. Hujan seolah tak pernah lelah mengguyur tanah yang menyimpan terlalu banyak rahasia. Di sebuah vila tua yang terletak di atas bukit, dengan pemandangan yang menghadap ke laut lepas, ketegangan memuncak untuk terakhir kalinya.Alan, Adrian, Andre, Arga, dan Aldo berdiri berjajar di depan gerbang utama rumah keluarga Wijaya. Di sisi lain, Indra Wijaya berdiri diam, menatap ke arah mereka dengan mata yang tak bisa ditebak—antara luka lama dan kejutan yang belum sepenuhnya sembuh.“Semua ini akhirnya mengerucut pada satu titik,” gumam Aldo. “Dan itu bukan Calvin. Bukan Dimas. Tapi… sesuatu yang lebih besar.”Adrian menoleh dengan pandangan tajam. “Alverez.”Seketika suasana menjadi hening. Nama itu, yang selama ini hanya muncul sebagai bisikan samar dalam dokumen, jejak keuangan misterius, dan saksi-saksi yang menghilang, kini disebutkan dengan jelas untuk pertama kalinya.“Alverez?” tanya Alan dengan dahi berkerut. “Bukankah itu—”“Bukan nama depan, bukan
Langit Jakarta masih diselimuti mendung ketika Arga Wijaya keluar dari sebuah bengkel tua di kawasan Kemang. Sudah beberapa hari ia hidup berpindah-pindah, menghindari sorotan media dan buruan Calvin Rahadian. Meski telah kembali ke lingkaran keluarga, Arga masih lebih nyaman bekerja dari balik bayang-bayang. Pagi itu, ia tidak tahu bahwa seseorang tengah membuntutinya. Viero Santosa, mengenakan hoodie abu-abu dan kacamata hitam, duduk di atas motor tua beberapa meter dari tempat Arga berdiri. Ia mencatat segala pergerakan pria itu, dari cara berjalan, pola bicara saat memesan kopi, hingga kode tangan yang digunakan saat mengirim pesan lewat ponsel. “Gaya informan,” gumam Viero pelan. “Tapi tetap mudah dibaca jika kau tahu cara membacanya.” Viero tidak buru-buru menyapa. Ia menunggu. Menunggu hingga Arga pergi ke tempat yang sudah diprediksi. Dan benar saja. Arga naik taksi menuju sebuah gudang tua—markas sementara Bara Valentino. *** Di dalam gudang, Bara dan Adrian sedang men
Angin malam menerpa gedung pencakar langit di pusat bisnis Jakarta. Di puncaknya, lampu redup menyala di lantai tertinggi, tempat kantor rahasia Calvin Rahadian beroperasi di luar pengetahuan publik. Malam itu, ia tidak sendiri.Seorang pria duduk bersandar di sofa kulit hitam, menyilangkan kaki, dengan segelas whisky di tangan. Wajahnya tajam, berambut gelap disisir rapi ke belakang, dan senyum sinis yang menyembunyikan banyak rahasia.Namanya: Viero Santosa."Jadi," kata Viero perlahan, menatap Calvin yang sedang menuangkan minuman untuk dirinya, "kau benar-benar kehilangan kendali atas Mitha?"Calvin meletakkan botol di atas meja kaca. "Dia masih berguna. Tapi dia mulai ragu. Dan Andre Wijaya... aku pikir dia mulai berbalik arah."Viero terkekeh pelan. "Kau tahu aku bisa mengambil alih. Kalau kau izinkan, aku bisa 'menenangkan' Andre untuk selamanya."Calvin menatapnya tajam. "Jangan sentuh dia dulu. Aku butuh dia tetap bermain. Masih ada peran yang harus dia mainkan."Viero berdir
Langit Jakarta malam itu berwarna kelabu, seolah menyerap seluruh ketegangan yang melayang di udara. Hujan turun rintik-rintik, mengguyur balkon apartemen tempat Andre Wijaya berdiri. Ia belum beranjak sejak menerima pesan dari Mitha Rahadian."Kau harus pilih, Andre. Aku... atau keluargamu."Kalimat itu bukan sekadar ancaman. Itu adalah ultimatum, pedang bermata dua yang siap mengoyak semua sisi hidupnya.Andre menatap ke pantulan lampu kota yang basah, pikirannya melayang ke berbagai titik masa lalu. Tentang malam saat ia menundukkan kepala di depan Indra Wijaya, tentang cemburu terhadap Aldo, tentang ambisi yang dipendam dalam diam. Dan kini, tentang seorang perempuan bernama Mitha—yang begitu mempesona sekaligus beracun."Semua ini tidak seharusnya terjadi seperti ini," gumamnya.Tiba-tiba suara pintu dibuka dengan cepat dari dalam apartemen. Sosok Arga Wijaya berdiri di ambang pintu, wajahnya basah karena hujan, tapi matanya tajam, penuh urgensi."Andre," serunya. "Kau harus ikut
Alan Wijaya duduk di ruang kerja pribadinya, lampu temaram menyinari meja kayu mahoni yang penuh berkas, catatan, dan peta strategi. Malam semakin larut, tapi pikirannya masih menolak untuk tenang. Terlalu banyak variabel yang kini menyatu dalam satu pusaran: kembalinya Adrian, kehadiran Bara, bangkitnya Aldo, dan kini... Clara.Ia belum mengatakan pada siapa pun bahwa ia mendapat pesan singkat tanpa identitas—berisi hanya satu kalimat: "Calvin sedang menuju ke tempatmu." Alan tahu, pertemuan ini tak bisa dihindari. Ia tidak takut. Tapi ia tahu, sekali salah langkah, keluarga mereka bisa runtuh dalam satu malam.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari lorong panjang rumah itu. Arga dan Adrian muncul dari balik pintu, ekspresi mereka tegang."Dia benar-benar datang," kata Adrian.Alan mengangguk pelan. "Sudah waktunya kita menghadapinya."***Sementara itu, mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang rumah keluarga Wijaya. Dari dalam, Calvin Rahadian melangkah keluar. Set
Langit Jakarta pagi itu tertutup awan kelabu. Hujan belum turun, tapi udara membawa kelembapan yang membuat suasana mencekam. Di sebuah vila tersembunyi di pinggiran kota, suasana hening sejenak setelah malam penuh ledakan dan peluru. Adrian duduk bersandar di sofa dengan perban di lengan kirinya. Clara duduk di sampingnya, wajahnya masih pucat, tapi matanya lebih tajam dibanding sebelumnya. Arga mondar-mandir di ruang tengah, sementara Bara berdiri menghadap jendela, memperhatikan gerakan sekecil apa pun di luar. “Kalau mereka tahu kita di sini,” gumam Arga, “kita cuma punya waktu beberapa jam sebelum lokasi ini juga terbongkar.” Bara mengangguk. “Aku sudah siapkan satu tempat lagi. Tapi kali ini kita tidak hanya kabur. Kita harus mulai menyerang balik.” Clara menatap mereka satu per satu, suaranya lirih namun penuh tekad. “Aku akan ikut. Aku tidak akan kabur lagi. Aku sudah cukup lama menjadi boneka dalam permainan Calvin.” Adrian menoleh, memandangi Clara dengan sorot mat