Share

Bab III Angel

POV ANGEL

            Waktu menunjukkan Pukul 11.00 WIB, hari ini Amanda menelpon mengajak aku dan Mbak Ana untuk makan siang bersama. Bukan karena dia mau menraktir kami berdua, tetapi dia sedang ada masalah dan ingin berbagi dengan kami. Amanda, awalnya aku cukup iri dengan kehidupannya. Ternyata, hidupnya tidak seindah terlihat.

            Sebelum berangkat ke Resto tempat kami janjian, aku mencari Mbk Ana diruangannya tapi dia tidak ada di ruangannya.

            “Gung, Mbk Ana dimana?”tanyaku pada Agung, staf Mbk Ana.

            “Tadi dipanggil Pak Yoga, Mbak. Mungkin masih diruangan Pak Yoga.”jawab Agung.

            “Oh, nanti kalo Mbak Ana udah keluar dari ruangan Pak Yoga tolong sampaikan aku nunggu di ruangan ya.”pintaku pada Agung.

            “Baik Mbak, nanti Agung sampaikan.”

            “Terimakasih Gung.” Akupun berlalu meninggalkan Agung dan kembali ke ruanganku. Tak lama ponselku berdering, ternyata Mama meneleponku. Hufh… Bukannya aku tak Bahagia Mama menelepon, tetapi aku tahu betul mengapa Mama menelepon.

            “Assalamualaikum Mama.” Aku menjawab panggilan telepon dari Mama.

            “Waalaikumsalam, Njel! Gimana Njel, kapan kamu pulang?  Bulan depan keluarganya Rahman akan dating untuk melamar ”jawab Mama kemudian bertanya dari sebrang sana.

            “Mama, coba deh kalo telepon itu tanya anaknya udah makan belum? Sehat atau nggak? Ini nanyain itu terus.”

            “Njel, kamu tuh sudah umur 32 tahun. Nggak perlu lagi lah, Mama tanya yang begitu. Kapan Mama ini bisa jadi Nenek? Kalo kamu nggak pernah mikirin pernikahan kamu. Lamaran ini udah 2 kali ditunda loh, Njel.”ujar Mama panjang lebar.

            “Iya…iya Ma. Akhir bulan Angel pulang, Ma!jawabku sekenanya. Padahal aku belum tahu aku bisa dapat cuti atau tidak. Kegiatan kantor sedang padat-padatnya akhir bulan ini.

            “Bener ya sayang? Janji ya?”

            “Iya Mama. Udah dulu ya Ma, Angel dipanggil bos ni! Assalamualaikum.” Aku bergegas mengakhiri pembicaraan sebelum Mama menambah pertanyaannya.

            “Waalaikumsalam.”jawab Mama kemudian aku langsung menutup panggilan tersebut. Hmm…pernikahan? Entah kapan terakhir aku merasakan jatuh cinta. Kemandirian ini, memuat aku tidak membutuhkan makhluk yang bernama laki-laki. Bang Rahman, laki-laki yang Mama pilihkan untukku. Menurut Mama, dia sosok luar biasa yang akan bisa menjadi pendampingku. Namun, dari pertemuan pertama kami bagiku dia laki-laki biasa saja dan aku sama sekali tidak tertarik. Terpaksa aku menyetujui perjodohan ini, demi hasrat Mama yang ingin segera menimang cucu.

            “Hei, ngelamunin apa? Mbk dari tadi lo duduk disini.” Tiba-tiba Mbk Ana mengagetkanku.

            “Biasalah Mbk, barusan Mama telepon.”jawabku lesu.

            “Bilangin ke Mamamu Njel, Mbk Ana ini udah umur 40 tahun belum nikah juga. Heheh. Cepet nikah nanti gala uterus kayak si Manda tuh”ungkap Mbk Ana.

            “Lain kasus kita Mbk. Hahahahah.” Kami berdua pun tertawa bersama

            “ Udah yuk cabut kita, nanti Manda keburu nyemplung ke laut sangking galau nungguin kita.”ajak Mbk Ana. Kamipun berdua bergegas meninggalkan kantor menuju resto tempat kami janjian.

            Setibanya di resto, Amanda sudah duduk di pojokan dan melamun kosong. Entah apalagi kegundahan Amanda. Aku tahu beban berat dipikulnya, namun dia selalu Nampak tegar. Kecuali orang yang sudah sangat mengenal dia, akan tahu dia sedang baik-baik saja atau tidak.

            “Udah lama disini, Nda?”tanya Mbk Ana pada Amanda yang sedang menghirup Jus Nanas kesukaannya.

            “Nggak Mbak, baru 15 menitan aja.”jawab Amanda.

            “Are u okay, Nda?”tanyaku bodoh. Sudah tau dia ajak ketemu karena dia mau cerita. Berati dia tidak baik-baik saja.

            “Menurut lo?”tanya Amanda sewot.

            “Sory, Manda! Nggak usah sewot juga kali..” Kurangkul bahu Amanda yang duduk disebelahku.

            “Udahlah, Nda! Cere aja deh kamu, kita semua tu berhak bahagia,Nda!” Mbk Ana langsung pada intinya.

            “Selow Mbk, pesen makan dulu! Jangan langsung ngegas. Ntar beneran nyemplung ke laut si Manda. Kalo dia nyemplung, Zea sama aku ya Mbk. Mbk ambil Zio aja ya…hahahha “candaku pada dua wanita itu.

            “Ya Allah jahat amat sih kalian!” Amanda mulai mewek. Percakapan kami saat itu, seputar masalah rumah tangga Amanda. Rumah tangga yang bagi Amanda masih berjalan hanya karena buah hati mereka. Puja memang terlihat sangat mencintai Amanda, namun menurut Amanda itu bukan versi asli dari Puja. Tetapi, aku melihat ini semua karena sudut pandang ekonomi. Puja yang tidak memiliki pekerjaan tetap, sedangkan Amanda juga harus menghidupi orang tua dan Adik-adiknya. Dia terpaksa menjadi pekerja keras. Sedangkan Puja tidak memahami itu. Itu dari sudut pandangku. Namun, sepertinya banyak hal juga yang belum aku ketahui tentang rumah tangga Amanda dan itu hak dia untuk berbagi atau tidak. Aku hanya tahu tentang sosok Haryo. Sosok yang mampu mengisi kehampaan Amanda.

            Hal yang terjadi pada orang sekitarkulah yang terkadang membuat aku takut berumah tangga. Bagiku, dengan sendiri ini aku bahagia itu sudah cukup. Namun, aku tidak hidup sendiri dan tidak bisa bahagia sendiri. Aku punya Mama dan Papa yang juga ingin memiliki menantu dan cucu. Besar harapan mereka padaku. Sedangkan saat ini, aku sudah menjadi buah bibir dikeluarga dan lingkungan kampung halamanku. Usiaku yang sudah kepala tiga belum juga memiliki seorang suami. Perawan tua… Yah, itulah julukan untukku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status