Share

Bab 5 Nafsu

Sudah satu minggu aku menghabiskan waktuku dirumah ini. Segala kebutuhanku disediakan oleh Sarah. Hanya ajudan setianya yang menemani ku disini. Terkadang, ada pikiran jail yang melintas di dalam benakku untuk menggunakan ajudan Sarah itu sebagai mainan. Hanya untuk menghiburku dikala bosan.

Suatu hari aku sudah sangat berniat melakukan itu pada ajudan Sarah. Namun, tanpa aku duga. Justru aku yang hanyut dalam kisahnya.

Lelaki berkepala plontos itu mengeluarkan sebuah kalimat yang menampar jiwaku.

"Kamu sangat cantik, bahkan saat ini aku ingin meniduri mu. Namun, bayangan wajah dari kedua anakku menari-nari dalam pikiranku. Seolah-olah kalian berebut mendapatkan atensiku, dan anak-anak ku lah yang memenangkan pertarungan. Maka, sebisa mungkin aku mengalihkan pandanganku darimu, Nona."

Begitulah kira-kira kalimat yang ia katakan. Setelah hari itu, aku berhenti menggodanya. Sejahat apapun sesuatu didalam diriku tidak akan menang melawan manusia yang benar-benar tulus.

Saat ini aku hanya bisa memandangnya dari ruang tengah. Lelaki itu tetap berdiri tegak dengan pandangan lurus. Tidak sekalipun dia melirik ku. 

Terkadang hati kecilku menjerit. Seolah-olah bertanya, "kapan aku mendapatkan lelaki seperti itu?!" 

Walapun jawabannya sudah aku ketahui, namun sifat naif dalam diriku tak mudah untuk hilang. Bertanya pertanyaan yang sama berulang kali adalah hal yang mungkin berguna. Entah sekarang, ataupun nanti.

"Hadi..." Aku bergumam.

Itulah namanya. Nama manusia yang memang banyak digunakan di tahun ini. 

Aku berandai-andai, jika dulu ada satu manusia saja yang tulus seperti dia... Mungkin saat ini aku sudah hidup bahagia.

Merengkuh dendam dan membawanya selama dirimu hidup membuat semua kesenangan terasa semu. Itulah yang terjadi padaku.

"Tok...tok..." 

Suara ketukan pada pintu membuyarkan lamunanku.

Mataku bergerak menuju sumber suara. Di sana seorang wanita paruh baya menggunakan pakaian dan Jarit tradisional berdiri diambang pintu. Badannya sedikit membungkuk tanda penghormatan.

"Ya, siapa?" tanyaku.

"Ampun non, saya orang yang bekerja pada keluarga ini. Hari ini adalah jadwal saya membersihkan rumah." Wanita itu berbicara dengan suara pelan.

Aku hanya mengangguk dan mempersilahkan dia untuk masuk.

Rumah ini cukup besar, dengan halaman yang luas. Pasti akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membersihkan semuanya. Maka dari itu, aku memutuskan untuk pergi keluar sebentar.

Aku meminta Hadi untuk menyiapkan mobil. Sebuah mobil Mercedes-Benz yang sering disebut Mercy Boxer adalah kendaraan yang Sarah berikan untuk aku gunakan. Kami akhirnya pergi berkeliling kota Jogjakarta seharian.

"Kota yang indah bukan, Hadi?" tanyaku.

Hadi yang sedang memegang kemudi tampak kaku untuk menjawab.

"I-iya non," jawabnya kaku.

"Hahaha, tenanglah Hadi. Aku tidak akan menggodamu lagi." 

Dari ujung matanya Hadi melirikku.

"Sudah berapa lama kamu bekerja dengan keluarga Sarah?" tanyaku.

"Sudah cukup lama saya ikut bapak Nona Sarah." Ia menjawab sambil tetap fokus pada jalanan.

"Sepertinya kamu akan jadi ajudan kesukaan ku, Hadi." Aku tersenyum.

Di penghujung hari aku mendapat telepon dari Sarah. Ia memberitahukan bahwa semua urusanku sudah selesai. Kami pun mengatur pertemuan di kediaman Sarah yang aku tempati.

Aku tiba dirumah sekitar pukul tujuh malam. Sarah sudah berada di sana dengan sebuah tas besar.

"Gila! Aku tidak menyangka bahwa kamu sangat kaya Amarta!" Gadis itu menodongku dengan penuh semangat diambang pintu.

Aku tersenyum padanya, "Apa sudah selesai semua?" tanyaku.

"Sudah." Sarah menjawab.

Kami berjalan ke arah ruang tamu dengan kursi jati berukiran khas Jawa.

"Ini sebagian uang yang sudah aku ambil. Jumlahnya sesuai dengan yang kamu minta. Sisanya aku masukan dalam buku tabungan atas namaku." 

Sarah menyodorkan satu tas penuh dengan uang tunai, dan sebuah buku tabungan.

"Terimakasih Sarah." Aku mengangguk.

"Akan kamu apakan uang sebanyak itu?" tanya Sarah.

"Akan aku gunakan tentunya. Aku hidup lebih lama dari manusia manapun, sudah pasti biaya hidupku jauh lebih banyak." Ucapku seraya tertawa kecil.

"Ouh, baiklah. Apa kamu akan menetap di sini?" Sarah memastikan.

"Untuk sementara waktu aku akan tinggal di Jogja. Tapi tidak disini. Aku ingin kamu mencarikan tempat kos yang dekat dengan wilayah kampus," pintaku.

"Baiklah. Tapi tolong jangan meninggalkan jejak yang merepotkan. Kamu harus hati-hati." Sarah mewanti-wanti.

"Tentu Sarah. Aku hanya ingin bermain. Belakangan ini semuanya terasa membosankan," jawabku.

"Mungkin itu karena kamu sudah hidup terlalu lama," celetuk Sarah.

Gadis itu melemparkan pandangan ke sembarang arah. Seolah takut aku tersinggung oleh perkataannya.

"Kamu benar Sarah, aku sudah hidup lebih dari 100 tahun, mungkin saat ini aku sampai pada titik jenuhku." Aku menghela nafas panjang.

"Cobalah pergi berlibur ke luar negeri. Apa kamu sudah pernah keluar negeri sebelumnya?" tanya Sarah.

"Belum. Aku tidak bisa naik pesawat terlalu lama Sarah." Dengan nada lesu aku menjawab pertanyaan Sarah.

"Hahaha... Yang benar saja? Selama lebih dari 100 tahun kamu tidak pernah keluar negeri?" Sarah tertawa sangat lepas.

" Iya, memang itu pantangannya. Ajian yang aku gunakan memiliki sumber kekuatan dari tanah. Karena itu aku tidak bisa berlama-lama naik pesawat." 

"Wah.. menjadi cantik dan menawan seperti mu memang berat ya. Bagiku, hidup ratusan tahun tanpa melihat indahnya dunia sama saja dengan mendiami ruangan penuh kekosongan. Lebih baik memiliki umur selayaknya manusia normal tapi bebas kemana saja." Sarah berceloteh.

Aku hanya tersenyum.

Sarah benar. Hidup selayaknya manusia normal memang hal yang paling membahagiakan. Namun aku tidak memiliki itu sejak dilahirkan ke dunia ini.

Dalam hatiku bergumam, "Andai saja aku terlahir sepertimu Sarah, dilahirkan menjadi gadis yang cantik dan menawan, memiliki orang tua yang terpandang. Tidak mengalami bagaimana hidup dalam kemiskinan, dan teror dari orang-orang disekitar yang menganggap mu anak pembawa sial. Andai saja aku tidak melalui semua kesakitan itu, mungkin aku tidak akan susah payah naik ke atas gunung sampai kaki telanjang ku terluka parah. Bila aku memiliki semua keberuntungan itu, mungkin saja aku tidak akan bersekutu dengan iblis." 

"Aku akan pergi sekarang, dan aku akan menukar ajudan yang berjaga di sini. Orang tuaku meminta Hadi datang untuk menjalankan tugas. Apa kamu keberatan?" Suara Sarah membuyarkan lamunanku.

"Ya tidak masalah. Siapa yang akan menggantikan Hadi?" tanyaku.

Sarah berjalan keluar lalu kembali dengan seorang lelaki yang masih terlihat muda.

"Ini adalah Johan. Dia akan melayanimu mulai hari ini." 

Sarah memperkenalkan lelaki muda itu. Ia terlihat tampan dengan kulit putih dan rambut cepak berwarna hitam.

"Kamu memang berbakat merekrut pegawai Sarah, semua ajudan mu terlihat tampan." Aku tertawa kecil.

Sarah menyambut perkataan ku dengan gelak tawa. Walaupun lelaki itu masih terlihat malu-malu dan menyembunyikan senyumannya, namun aku menyukainya.

Malam sudah semakin larut setelah Sarah dan Hadi berpamitan. Sementara Johan masih berdiri berjaga diluar rumah.

"Johan, kamu boleh berjaga didalam rumah saja. Angin malam tidak baik untuk kesehatan," seruku.

"Ah tidak masalah Non. Saya sudah biasa berjaga malam." Johan menolak halus tawaranku.

"Aku merasa lebih aman bila kamu berjaga di dalam." Aku membujuknya.

"Ekhem... Baiklah Nona." Johan mulai melangkah masuk ke dalam.

Aku berjalan masuk dengan semua uang di dalam tas yang Sarah bawa. Aku meletakkannya dikamar. Sarah menyediakan lebih dari yang aku pinta. Baju-baju indah tergantung rapih di dalam lemari, dan sepatu-sepatu yang cantik tertata rapih di atas rak.

Aku memutuskan untuk pergi membersihkan diri sebelum tidur. Karena letak kamar mandi berada diluar kamar tidur, aku pun harus keluar dengan hanya mengenakan sehelai handuk membalut tubuhku.

Johan terlihat terkejut mengetahui bahwa aku keluar kamar hanya dengan menggunakan handuk mandi. Dia tertunduk malu, namun aku tahu... Dari ujung mataku aku melihat dia memerhatikan diriku. Dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Dia tertarik padaku.

Aku sengaja menghentikan langkahku, lalu memutar tubuhku menghadap padanya.

"Johan... Tolong bantu membersihkan punggung ku." Aku tersenyum padanya.

Lelaki itu gelagapan, merasa bingung harus menjawab apa.

"Maaf nona, saya tidak bisa."

"Kenapa?" Aku merajuk manja.

"Saya merasa itu tidak sopan, maaf nona." Johan tertunduk malu.

Aku tertawa kecil mendengar jawaban yang keluar dari bibir tipisnya.

"Itu menjadi tidak sopan bila kamu melakukannya tanpa diminta. Tapi sekarang aku sendiri yang menyuruhmu. Bukankah tugas mu disini untuk melayaniku?" Aku tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status