Bau pengap menyergap hidung Narumi. Pemandangan di hadapannya membuat dahi wanita itu berkerut; tumpukan kertas berserakan bagai serpihan usai pesta, bercampur dengan sampah makanan instan yang menggunung di setiap sudut. Apartemen yang biasanya tertata rapi kini lebih mirip medan perang pasca pertempuran.
"Ya Tuhan, Siska... apa yang terjadi di sini? Gempa lokal?" Narumi memindai ruangan dengan tatapan tak percaya, sebelum matanya terpaku pada sosok familiar yang nyaris tak dikenalinya. Di balik meja kerja yang tenggelam dalam dokumen, sahabat Narumi itu duduk dengan kondisi memprihatinkan. Kantung mata segelap tinta, rambut kusut tak terurus, dan pakaian yang jelas-jelas sudah menempel di badan selama beberapa hari. "Oh, kamu..." Siska hanya melirik sekilas, suaranya serak dan lelah. Jemarinya tetap menari di atas tumpukan berkas. Narumi berjalan mengendap-endap, menendang pelan sampah yang menghalangi jalannya. "Apa karena ini kamu menghilang tanpa kabar?" Ia menghempaskan diri ke sofa terdekat, mengabaikan beberapa kertas yang beterbangan akibat gerakannya "Ya... begitulah." Siska mengangguk cepat sambil melepas kacamatanya. Ia memijat pelipis yang berdenyut sampai akhirnya menatap Narumi. "Tumben kamu ke sini, ada apa?" Narumi menarik napas dalam-dalam, menahan sesak yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. "Aku... mau bercerai dari Mas Ghali." Hening mencekam memenuhi ruangan sebelum teriakan melengking Siska memecahkannya. "Akhirnya… Keputusan yang bagus, Na." Mata Siska melebar sempurna dengan wajah bersemu bahagia, sampai-sampai kacamatanya hampir patah akibat menggebrak meja. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?” tanyanya antusias. Narumi menghela napas, atas euforia sahabatnya, "Karin... Dia..." Dia tak sanggup melanjutkan, tenggorokannya tercekat oleh kata-kata yang terlalu menyakitkan untuk diucapkan. "Hamil?" tebak Siska cepat. Anggukan lemah Narumi cukup sebagai jawaban. "Sudah kuduga cepat atau lambat ini akan terjadi." Siska bergegas menghampiri, merengkuh tubuh sahabatnya yang gemetar. "Jangan sedih. Mungkin ini jalan Tuhan, membebaskan mu dari si brengsek itu." Narumi membenamkan wajahnya di bahu Siska, tapi mendadak tubuhnya menegang. Aroma tak sedap mengusik hidungnya. "By the way... sudah berapa hari kamu tidak mandi?" Siska menggaruk kepalanya dengan canggung, jari-jarinya bergerak menghitung. “Delapan eh sembilan, belum sepuluh hari Na,” jawabnya dengan cengir tak berdosa. “Ya ampun, joroknya!” Narumi pura-pura muntah, memancing tawa Siska yang meledak. Wanita itu memukul-mukul lengan Narumi dengan karakteristiknya yang keras dan berlebihan seperti biasa. Ketika tawa mereda, sorot mata Siska berubah serius. “Jadi... sudah punya rencana? Mau pulang kemana?” Nada suaranya melembut, kontras dengan penampilannya yang berantakan. “Sesuai saranmu, Sis. Aku akan pulang ke rumah Papa.” Narumi menatap sahabatnya, matanya berkaca-kaca menahan emosi yang berkecamuk. “Aku harap... bisa secepatnya lepas dari Mas Ghali. Kamu masih mau membantuku, kan?” “Tentu saja.” Siska meraih tangan Narumi, menggenggamnya erat. Ada keyakinan yang terpancar dari matanya yang lelah. “Dia tak akan berkutik kali ini. Kita punya bukti kuat, dan...,” seringai tipis muncul di sudut bibir wanita itu, “Aku punya kartu as yang akan membuatnya mati kutu kalau masih keras kepala.” “Kartu as?” Dahi Narumi berkerut penasaran. “Apa maksudnya?” “Tak perlu kamu tahu detailnya. Yang penting, semua akan beres sesuai keinginanmu.” Ada kilatan misterius di mata Siska yang membuat Narumi urung bertanya lebih jauh. “Baiklah, aku percaya padamu.” Mata Narumi berkelana ke tumpukan dokumen di meja, tangannya terulur mengambil salah satu kertas. Jantungnya seketika berdegup kencang saat membaca nama keluarga Ardiaz tertera sebagai headline kertas. Pertanyaan sudah di ujung lidah, namun ponselnya berdering nyaring, dan nomor tak dikenal muncul di layar. “Halo?” sapa Narumi ragu. [Masih belum selesai urusanmu? Berapa lama lagi kami harus menunggu?] Suara berat dan dalam itu membuat tulang punggung Narumi meremang. Suara yang familiar—Ardiaz. “Sebentar lagi aku turun. Maaf membuatmu menunggu.” Narumi berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meski tak luput dari pandangannya serta kerutan dalam di dahi Siska, memberinya tatapan penuh tanya. “Calon suamiku. Syarat dari Papa untuk kepulanganku,” jelas Narumi singkat setelah sambungan terputus. “Ya Tuhan, Na...” Mata Siska terbelalak, tangannya refleks menutup mulut. “Kenapa aku jadi merasa bersalah begini? Karena aku...” Senyum tipis tersungging di bibir Narumi. "Tidak apa-apa, ini murni keputusanku sendiri." "Kamu bisa menolaknya, Na. Apartemen-ku..." Siska mengedarkan pandangan ke ruangan berantakannya dan tersenyum getir, "...Iya, mungkin butuh sedikit bersih-bersih, tapi masih cukup luas untuk menampung-mu." Genggamannya pada tangan Narumi mengerat, seolah tak rela melepaskan sahabatnya ke situasi yang tak pasti. "Terima kasih, Sis. Tapi aku memang ingin pulang ke rumah Papa." "Tapi..." Siska menggigit bibir bawahnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Rasanya aku sudah mendorongmu dari mulut buaya langsung ke mulut harimau." Tawa kecil meluncur dari bibir Narumi mendengar analogi itu. "Tidak seburuk yang kamu bayangkan." Ada kilatan aneh di matanya saat melanjutkan, "Aku sudah bertemu dengannya dan... dia jauh lebih menarik dibanding Mas Ghali." "Oh?" Alis Siska terangkat tinggi, nada suaranya berubah penasaran. "Benarkah?" Narumi mengangguk, semburat merah samar mewarnai pipinya. "Matanya... warnanya seperti emas cair. Kalau saja—" "Maaf, Na..." Siska memotong, raut wajahnya berubah sendu. "Sungguh, aku merasa bersalah. Seharusnya aku..." "Sudahlah, Sis." Narumi meremas lembut tangan sahabatnya. "Yang terpenting bagiku, kamu masih ada di pihakku." "Na..." Mata Siska berkaca-kaca. Ada resonansi kepahitan dalam tatapannya, jejak luka dari kisahnya sendiri yang masih menganga, tentang keluarga yang hingga kini ia hindari. "Aku harus kembali," Narumi merogoh saku celananya, mengeluarkan flashdisk hitam kecil. "Semua buktinya ada di sini, hasil penyelidikan-ku sendiri tentang Mas Ghali dan Karin." Ia meletakkan benda itu di telapak tangan Siska. "Aku tidak menuntut harta gono-gini atau apapun. Aku hanya ingin bebas." Siska menggenggam flashdisk itu seolah memegang kunci pembebasan sahabatnya. "Serahkan padaku. Akan kubereskan secepat mungkin." "Bagus," Narumi bangkit, menepuk-nepuk celananya yang kotor karena duduk di sofa berdebu. "Oh, tolong jawab kalau aku telepon atau chat, oke?" "Siap, Bos!" Siska memberi hormat main-main, mengikuti Narumi ke pintu. Narumi melangkah meninggalkan apartemen dengan perasaan lebih ringan, entah karena telah menyampaikan niatnya bercerai atau karena melihat Siska baik-baik saja meski dalam kondisi... Iya, kurang higienis. Namun kelegaan itu tak bertahan lama. Di koridor yang sepi, instingnya mendadak menyala. Sensasi diawasi membuat bulu kuduknya meremang. Langkahnya dipercepat menuju lift, sesekali menoleh ke belakang hanya untuk mendapati koridor kosong. "Kenapa perasaanku tak enak," gumamnya pada diri sendiri. Jantungnya berdebar kencang ketakutan, sampai pintu lift akhirnya tertutup, memberikan rasa aman sesaat. Di basement yang redup, Narumi bergegas menuju mobil. Ketakutan mulai merayap di benaknya, membuat wanita itu gelisah dan terburu-buru. Langkahnya yang tergesa-gesa justru membuat ia tersandung kaki sendiri hingga tersungkur ke lantai dingin. Suasana tegang semakin menyesakkan, dan tiba-tiba dia merasakan sentuhan dingin di bahunya. Tubuh Narumi menegang, dan dengan gerakan perlahan yang kaku, ia menoleh. “Aah…,” teriaknya tercekik saat melihat sosok di belakangnya.Ardiaz membukakan pintu mobil untuk Narumi. Gestur sederhana, namun bagi Narumi, ini seperti dunia baru yang terbuka. Saat masuk ke dalam mobil, aroma parfum Ardiaz yang maskulin menyambut indera penciumannya, membuatnya merasa aman.Suasana dalam mobil terasa hening beberapa saat. Hanya suara AC dan deru lalu lintas Jakarta yang terdengar samar. Sesekali klakson kendaraan dan teriakan pedagang kaki lima di persimpangan jalan menembus keheningan mereka. Ardiaz menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tapi dari sudut matanya, ia sesekali melirik Narumi. Wanita itu duduk tenang di sampingnya, jemarinya bermain dengan ujung blazer hitam yang dikenakannya—kebiasaan kecil saat ia gugup yang Ardiaz hapal di luar kepala.“Na,” panggil Ardiaz pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bercampur dengan gemuruh mesin kendaraan lain. “Aku ingin kamu ikut ke rumahku sekarang.”Narumi menoleh, alisnya terangkat sedikit. Pantulan sinar matahari dari jendela membuat mata cokelatnya terlihat lebih teran
Bramastyo menghela napas panjang, berat dengan beban rahasia yang telah ia pikul selama bertahun-tahun. Matanya meredup seperti lilin yang hampir habis sumbu.“Boleh Papa masuk ke kamarmu?” tanyanya pelan, suaranya bergetar halus, menggantung di udara seperti kabut tipis di pagi hari.Narumi mengangguk tanpa kata. Tubuhnya yang lelah oleh tangis masih terasa kebas. Ia tahu... malam ini, akan ada kebenaran lain yang akhirnya keluar dari balik kabut panjang dalam hidupnya. Jantungnya berdegup kencang, menghitung detik-detik menuju pengakuan yang telah ia tunggu seumur hidup, seperti penantian panjang burung dalam sangkar yang melihat pintu sangkarnya mulai terbuka perlahan.Bramastyo melangkah masuk dengan langkah berat, setiap injakannya seperti membawa seluruh beban dunia. Ia tidak memilih untuk duduk, melainkan berjalan langsung menuju balkon kamar, seolah membutuhkan udara malam untuk membantu melepaskan rahasia yang telah tertanam begitu dalam di jiwanya.Pria paruh baya itu bersa
Tubuh Narumi menggigil hebat, seolah seluruh darah di tubuhnya membeku seketika. Bukan karena udara yang dingin, melainkan karena kenyataan pahit yang baru saja terungkap di hadapannya seperti belati yang menghujam tepat ke jantungnya. Dunia di sekitarnya berputar liar, membuat lantai di bawah kakinya terasa miring dan bergoyang. Ia hampir kehilangan keseimbangan, tangannya secara naluriah mencengkeram tepi meja untuk bertahan.Matanya yang biasanya berbinar penuh kehidupan kini kosong menatap pria yang berdiri dengan angkuh di tengah ruang tamu rumah keluarga Kwong — Demetrius Kallistos. Pria itu, dengan senyum tipis penuh kepuasan di wajahnya, menjadi perwujudan dari setiap ketakutan yang selama ini menghantuinya.Suara hatinya bergema penuh luka, seperti bisikan pilu yang mencekik batinnya. Apakah semua orang di sekitarku tidak memiliki ketulusan? Semuanya... selalu memiliki motif tersembunyi. Semuanya... selalu bermain drama.Narumi merasakan sesuatu hancur di dalam dirinya—ke
Tangan Narumi mengepal erat di sisi tubuhnya. Detik itu juga, seluruh tubuhnya terasa membeku. Napasnya memburu, seakan ia baru saja ditarik ke dalam pusaran kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.Ia menoleh, menatap Ardiaz dengan sorot mata penuh pertanyaan dan kemarahan. “Kau tahu siapa ‘Tuan’ yang dia maksud?”Ardiaz menggeleng pelan, tetapi ekspresinya semakin tegang. “Aku masih menyelidikinya. Tapi ini membuktikan satu hal, Na.”Ia menatap layar, seolah ingin menghancurkan sosok Larry yang masih tampak di sana. “Larry bukan dalang utamanya. Dia hanya eksekutor. Ada seseorang di balik layar yang mengendalikan semuanya.”Narumi menggigit bibirnya. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga ketakutan yang mulai menyusup ke dalam dirinya.Siapa yang cukup berkuasa untuk mengatur semua ini?Dan lebih penting lagi—kenapa dia menargetkan Siska? Kenapa dia menargetkan dirinya?Tiba-tiba, Narumi merasa perutnya mual. Ia bergegas bangkit dari kursi, t
Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada
Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur