Share

ASS 006: Kata tak Terucap

Author: B.E.B.Y
last update Last Updated: 2024-11-19 22:14:53

“Hei, hei... Ini aku. Kamu kenapa?”

Suara berat dan maskulin itu mengalun lembut di telinga Narumi, membuat jantungnya yang sempat berdegup kencang perlahan melambat.

“Ada apa?” ulang Ardiaz dengan nada suara mencicit cemas, apalagi wajah calon istrinya itu sudah pucat pasi seperti baru melihat hantu.

Narumi membisu, bola matanya bergerak gelisah, menyapu area di belakang Ardiaz dengan sorot was-was. Namun yang tertangkap hanyalah kekosongan.

Tawa getir lalu menggema dalam hati Narumi, paranoia ini mulai membuatnya berhalusinasi. “Tidak apa-apa. Aku cuma kaget,” lanjutnya berusaha terdengar tenang, meski suaranya bergetar.

“Maaf kalau aku membuatmu kaget. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tadi kamu terlihat cukup gelisah saat keluar dari lift.”

Senyum tipis yang dipaksakan tersungging di bibir Narumi. Ia mencoba berdiri, namun kakinya gemetaran hingga tubuhnya oleng, nyaris mencium lantai basement jika Ardiaz tak sigap menangkap pinggangnya.

“Kamu tidak apa-apa?” pria itu kembali bertanya, sorot matanya kini dipenuhi kekhawatiran sekaligus rasa penasaran.

“Iya, aku tidak apa-apa. Terima kasih,” Narumi berusaha meyakinkan, meski batinnya masih diliputi kecemasan. Perasaan diawasi itu begitu nyata, dan ternyata, instingnya tidak salah.

Di balik pilar besar basement, sesosok bayangan mengamati mereka dalam diam. Seringai misterius tersungging di wajahnya yang tersembunyi dalam remang-remang.

“Sesuai rencana,” bisiknya nyaris tak terdengar, sebelum melangkah ke arah lift menuju lantai 15, meninggalkan jejak kehadirannya yang mencekam.

Sementara itu, Narumi di tuntun lembut oleh Ardiaz menuju mobil mereka di mana ia masih tak bisa mengenyahkan firasat buruknya.

Berkali-kali Narumi menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti, hingga pikirannya melayang pada kebiasaan Ghali selama tiga tahun terakhir; mengutus orang-orang untuk mengawasi setiap langkahnya.

Kepala Narumi menggeleng pelan, berusaha mengusir pikiran tersebut. Tidak mungkin Ghali masih melakukannya, bisiknya pada diri sendiri. Bahkan tawa getir pun lolos dari bibir saat kenangan-kenangan pahit tentang suaminya itu berkelebat di benaknya.

Sebab, pengawasan ketat yang selama ini Narumi terima bukanlah bentuk kasih sayang, itu adalah manifestasi dari ketakutan Ghali sendiri. Ketakutan jika Narumi kabur atau lebih buruk lagi, berani membongkar rahasia bahwa pernikahan mereka hanyalah sandiwara belaka.

“Kamu baik-baik saja?” Ardiaz lagi-lagi bertanya, heran melihat perubahan raut wajah Narumi yang berubah-ubah.

“Hm,” desisnya singkat sebelum masuk ke dalam mobil yang pintunya telah dibukakan Jimmy dengan sigap.

Tak lama kemudian, ponsel Narumi bergetar. Dua pesan W******p masuk berturut-turut:

{Narumi, kamu tidak aku izinkan untuk keluar dari rumah ini, PULANG SEGERA!}

{Apa kamu akan membangkang dariku, aku masih suamimu. Haram bagimu meninggalkan rumah ini tanpa seizinku! PULANG SEKARANG!}

Kening Narumi berkerut dalam membaca pesan-pesan itu. Sangat konyol. Sepertinya Ghali sudah kehilangan akal sehatnya, atau mungkin lupa bagaimana dia dan ibunya telah mempermalukan Narumi saat wanita itu hendak pergi dari rumah.

“Cih, pulang,” decak Narumi sembari menyimpan kembali ponselnya, mengabaikan pesan Ghali sepenuhnya. Matanya kembali menatap lorong menuju lift dengan ketenangan yang tak terbaca.

Narumi tak menyadari bahwa di kediaman Faghdam, Ghali tengah dilanda kegelisahan yang mencekik.

"Nana tak membalas pesanku," Ghali mendesis frustrasi, jemarinya menggenggam ponsel begitu erat hingga kuku-kuku jarinya memutih.

Matanya yang gelisah beralih pada sosok ibunya, "Mama mengenal pria berambut putih itu, kan? Dia... dia Jimmy Kwong."

Ghali bangkit dengan gerakan tiba-tiba, membuat sofa mahal itu berderit pelan. Langkahnya yang berat mondar-mandir memenuhi ruangan, sementara Suhita dan Karin mengikuti setiap gerakannya dalam diam.

"Bagaimana Nana bisa mengenalnya? Mereka bahkan tampak begitu akrab." Suaranya bergetar menahan amarah.

Bayangan Narumi yang melangkah masuk ke dalam pelukan Jimmy sebelumnya, berputar-putar di benak Ghali seperti film rusak yang diulang tanpa henti.

"Mama tahu dia siapa, tapi..." Suhita menghela napas panjang, "Bisakah kamu duduk tenang? Mama pusing melihatmu mondar-mandir seperti setrika begini."

Ghali mengabaikan permintaan ibunya mentah-mentah, seolah kata-kata itu hanya angin lalu. "Bagaimana aku bisa tenang? Mama pikir sendiri," ia berhenti sejenak, matanya menyiratkan kefrustrasian yang mendalam.

"Nana... kenapa bisa akrab dengan orang yang bahkan aku saja sulit untuk menemuinya?"

"Iya, mana Mama tahu," Suhita mendengus kasar, tak repot-repot menyembunyikan kejengkelannya. "Selama ini dia cuma diam di rumah. Kalaupun keluar, paling juga buat foya-foya."

Kata-kata itu keluar dengan nada sinis yang tajam, wajah wanita paruh baya itu mengeras oleh amarah yang sudah lama terpendam.

Ghali menghempaskan tubuhnya di samping Karin, kepalanya tertunduk lelah. Matanya menerawang kosong ke lantai marmer yang dingin, seolah mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan.

"Apa yang disembunyikan?" bisiknya parau, lebih kepada dirinya sendiri. Otaknya berputar keras memikirkan sosok wanita yang ia kira telah ia kenali dengan baik, atau mungkin... tak pernah benar-benar ia kenal sama sekali.

"Mas," suara Karin memecah keheningan dengan lembut namun tegang. Mata bulatnya yang bening bertemu dengan tatapan tajam Ghali, "Sepertinya aku pernah bertemu dengan pria ubanan itu."

"Pria ubanan?" Ghali mengulang kata-kata itu lambat-lambat, dahinya berkerut dalam. "Maksudmu... Pak Jimmy?" Ada nada menyelidik dalam suaranya yang berat.

Karin mengangguk mantap, "Iya, pria tua itu." Ia menelan ludah sebelum melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, "Apa kamu ingat kejadian Narumi diculik saat satu bulan dia tinggal di rumahku?"

Wajah Ghali mengeras, ingatan itu masih begitu jelas seperti baru terjadi kemarin. "Iya, aku ingat," jawabnya singkat. "Memangnya kenapa?"

"Saat Narumi dirawat di rumah sakit," Karin memulai dengan hati-hati, "Aku secara kebetulan bertemu dengan pria itu ketika dia sedang mengobrol bersama Papa di lobi." Ia berhenti sejenak, mengamati perubahan raut wajah Ghali.

"Papa..." Ghali mengangkat alisnya, matanya melebar perlahan. "Maksudmu Papamu?"

"Iya, Mas, Papaku." Karin mengangguk, suaranya semakin serius. "Aku juga sempat dikenalkan oleh Papa, dan beliau bilang kalau lelaki itu adalah kolega penting Papa. Dan—"

"Dan?" Ghali memotong tak sabar, tubuhnya condong ke depan dengan ketegangan yang nyata.

"Dia bilang, kalau aku harus menjaga Nana," Karin melanjutkan dengan suara bergetar. "Iya... benar, pria itu bilang begitu sama aku."

"Jagain Nana?" Ghali mengulang dengan nada tidak percaya. "Memangnya mereka punya hubungan apa?" Pertanyaan itu keluar dengan desakan yang tak bisa disembunyikan.

Karin menggeleng lemah, "Aku tidak tahu Mas. Tapi," ia menghela napas berat, "Semenjak kejadian itu, Papa jauh lebih care sama Nana."

Ada getir dalam suara Karin saat melanjutkan kalimatnya, "Bahkan Papa lebih sayang ke Nana ketimbang aku, yang notabenenya anak kandungnya sendiri." Bibirnya mengerucut, menyembunyikan luka yang tak pernah sembuh.

"Berarti mereka ada hubungan?" Suhita menyela tajam, matanya yang awas bergantian menatap Ghali dan Karin dengan penuh selidik.

"Hubungan?" Ghali mengulang kata itu dengan kerutan dalam di dahinya. Ia menggeleng pelan, berusaha menepis kemungkinan itu. "Tapi aku tidak tahu jika mereka memiliki hubungan sedekat itu. Apalagi Nana cuma gadis miskin yang dipungut Papa Karin." Ada nada meremehkan yang tersembunyi di balik kebingungannya.

Suhita mengalihkan pandangannya, menatap tajam ke arah Karin. "Perusahaan Ghali lagi ada proyek kerja sama dengan grup Kwong. Rin, selidiki hubungan Narumi dengan Pak Jimmy," ucapnya dengan nada dingin, menciptakan suasana mencekam yang begitu kontras dengan keadaan Narumi.

Ketika mobil mewah itu berhenti di depan pintu utama kediaman Kwong, pemandangan yang tersaji di hadapannya membuat mata Narumi terbelalak tak percaya.

Bagaimana tidak? Deretan para pelayan berbaris rapi. Menggelar karpet merah khusus untuknya, menciptakan pemandangan yang hampir terlihat seperti adegan dalam film.

“Jangan bilang kalau Papa yang membuat mereka melakukan ini, Paman?”

Narumi menatap Jimmy dengan setengah protes dan setengah geli, bahkan ia mendapati pria tua itu sudah tertawa kecil dengan mata yang berkerlip jahil. Tak perlu menjawab pun, ia sudah paham maksudnya.

“Kalian sangat kekanak-kanakan,” gerutunya dengan pipi merona malu.

Ardiaz di sampingnya berusaha menahan tawa melihat ekspresi Narumi. "Anggap saja ini sambutan buatmu. Siapa suruh kamu kabur dari rumah." godanya, membuat wajah Narumi semakin memerah.

“Kamu...” Narumi memutar matanya kesal, lalu ia kabur–keluar dari mobil untuk menghindari Ardiaz.

Tak jauh dari sana, sosok pria yang selama sepuluh tahun ia tinggalkan berdiri tegak – Bramastyo Kwong, ayahnya.

“Selamat datang kembali, Nona!” Suara kompak para pelayan memenuhi halaman.

Narumi hanya bisa menghela napas, melangkah mendekati sang ayah dengan getaran emosi yang sulit dibendung.

“Aku merindukanmu, Pa,” bisiknya dengan suara bergetar.

Bramastyo bergerak cepat, menarik putrinya ke dalam pelukan erat. Tak perlu kata-kata untuk menjelaskan betapa rindunya seorang ayah kepada anak yang sudah lama terpisah. Air mata hampir saja lolos dari sudut matanya, namun ia tahan dengan segala keangkuhan seorang pria dewasa.

Momen haru itu tiba-tiba terpotong oleh bunyi ponsel Narumi. Dengan terpaksa, ia melepaskan diri dari pelukan ayahnya untuk menjawab panggilan. Namun anehnya, panggilan dari Siska itu terputus begitu saja.

Kemudian, sebuah pesan masuk menggantikan panggilan telepon. Namun anehnya, dahi Narumi langsung berkerut dalam melihat isi pesan.

“Gambar apa ini?” tanyanya, bersama dengan ucapan yang terlontar dari Ardiaz hingga mereka berdua saling tatap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   Bab 68: Menjauhinya?

    Ardiaz membukakan pintu mobil untuk Narumi. Gestur sederhana, namun bagi Narumi, ini seperti dunia baru yang terbuka. Saat masuk ke dalam mobil, aroma parfum Ardiaz yang maskulin menyambut indera penciumannya, membuatnya merasa aman.Suasana dalam mobil terasa hening beberapa saat. Hanya suara AC dan deru lalu lintas Jakarta yang terdengar samar. Sesekali klakson kendaraan dan teriakan pedagang kaki lima di persimpangan jalan menembus keheningan mereka. Ardiaz menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tapi dari sudut matanya, ia sesekali melirik Narumi. Wanita itu duduk tenang di sampingnya, jemarinya bermain dengan ujung blazer hitam yang dikenakannya—kebiasaan kecil saat ia gugup yang Ardiaz hapal di luar kepala.“Na,” panggil Ardiaz pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bercampur dengan gemuruh mesin kendaraan lain. “Aku ingin kamu ikut ke rumahku sekarang.”Narumi menoleh, alisnya terangkat sedikit. Pantulan sinar matahari dari jendela membuat mata cokelatnya terlihat lebih teran

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   Bab 67: Jalan Pulang untuk Diri Sendiri

    Bramastyo menghela napas panjang, berat dengan beban rahasia yang telah ia pikul selama bertahun-tahun. Matanya meredup seperti lilin yang hampir habis sumbu.“Boleh Papa masuk ke kamarmu?” tanyanya pelan, suaranya bergetar halus, menggantung di udara seperti kabut tipis di pagi hari.Narumi mengangguk tanpa kata. Tubuhnya yang lelah oleh tangis masih terasa kebas. Ia tahu... malam ini, akan ada kebenaran lain yang akhirnya keluar dari balik kabut panjang dalam hidupnya. Jantungnya berdegup kencang, menghitung detik-detik menuju pengakuan yang telah ia tunggu seumur hidup, seperti penantian panjang burung dalam sangkar yang melihat pintu sangkarnya mulai terbuka perlahan.Bramastyo melangkah masuk dengan langkah berat, setiap injakannya seperti membawa seluruh beban dunia. Ia tidak memilih untuk duduk, melainkan berjalan langsung menuju balkon kamar, seolah membutuhkan udara malam untuk membantu melepaskan rahasia yang telah tertanam begitu dalam di jiwanya.Pria paruh baya itu bersa

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   Bab 66: Pedang Damocles

    Tubuh Narumi menggigil hebat, seolah seluruh darah di tubuhnya membeku seketika. Bukan karena udara yang dingin, melainkan karena kenyataan pahit yang baru saja terungkap di hadapannya seperti belati yang menghujam tepat ke jantungnya. Dunia di sekitarnya berputar liar, membuat lantai di bawah kakinya terasa miring dan bergoyang. Ia hampir kehilangan keseimbangan, tangannya secara naluriah mencengkeram tepi meja untuk bertahan.Matanya yang biasanya berbinar penuh kehidupan kini kosong menatap pria yang berdiri dengan angkuh di tengah ruang tamu rumah keluarga Kwong — Demetrius Kallistos. Pria itu, dengan senyum tipis penuh kepuasan di wajahnya, menjadi perwujudan dari setiap ketakutan yang selama ini menghantuinya.Suara hatinya bergema penuh luka, seperti bisikan pilu yang mencekik batinnya. Apakah semua orang di sekitarku tidak memiliki ketulusan? Semuanya... selalu memiliki motif tersembunyi. Semuanya... selalu bermain drama.Narumi merasakan sesuatu hancur di dalam dirinya—ke

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   Bab 65: Namanya Begitu Akrab

    Tangan Narumi mengepal erat di sisi tubuhnya. Detik itu juga, seluruh tubuhnya terasa membeku. Napasnya memburu, seakan ia baru saja ditarik ke dalam pusaran kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.Ia menoleh, menatap Ardiaz dengan sorot mata penuh pertanyaan dan kemarahan. “Kau tahu siapa ‘Tuan’ yang dia maksud?”Ardiaz menggeleng pelan, tetapi ekspresinya semakin tegang. “Aku masih menyelidikinya. Tapi ini membuktikan satu hal, Na.”Ia menatap layar, seolah ingin menghancurkan sosok Larry yang masih tampak di sana. “Larry bukan dalang utamanya. Dia hanya eksekutor. Ada seseorang di balik layar yang mengendalikan semuanya.”Narumi menggigit bibirnya. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga ketakutan yang mulai menyusup ke dalam dirinya.Siapa yang cukup berkuasa untuk mengatur semua ini?Dan lebih penting lagi—kenapa dia menargetkan Siska? Kenapa dia menargetkan dirinya?Tiba-tiba, Narumi merasa perutnya mual. Ia bergegas bangkit dari kursi, t

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 64: Siapa Dalang sebenarnya?

    Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada

  • Ambil Saja Suamiku, Biar Kucari yang Baru!   ASS 63: Panggilan Rahasia

    Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status