Share

Ceraikan Aku Mas

Surya berdecak kesal saat Arum masih mengenakan daster lusuh saat dia pulang. Rumah pun masih berantakan. Semua mainan milik Nanda dan Kaila masih berserakan di lantai. Ruang tamu pun seperti kapal pecah. Pria itu lalu menarik lengan istrinya dengan kasar.

"Ngapain aja kamu jam segini masih saja berdaster. Beda sekali kamu dengan Renata yang selalu tampil cantik dan wangi saat aku datang." Wajah bengis itu menatap tidak suka pada Arum.

"Mas, jangan bandingkan aku dengan dia! Wajar dia belum mempunyai anak, sedangkan aku harus mengurus anak juga rumah. Mana punya waktu untuk merawat diri," ujar Arum membela diri.

"Alah, alasan." Surya kembali masuk ke kamar tak mengiraukan Arum yang bersusah payah memasak untuknya.

Hidangan Di meja makan sama sekali tidak tersentuh. Tidak lama Surya kembali dengan baju sangat rapi. Harum parfum membuat Arum cukup tahu hendak kemana suaminya akan pergi. Ia menggigit bibir bawah, menahan sesak saat diperlakukan tidak tidak layak sebagai seorang istri.

"Mas, mau kemana lagi?" Arum kembali bertanya saat melihat suaminya kembali ingin pergi.

"Aku mau ke rumah Renata. Aku pusing sama kamu! Bahkan rasa ingin menyentuhmu pun sudah mati." Mendengar penuturan Surya membuat hati Arum kembali tercabik-cabik.

Surya melangkahkan ke luar rumah. Dilihat punggung suaminya yang semakin menjauh. Dia mengabaikan Arum, dengan berbagai alasan untuk kembali pada Renata. Setengah gaji yang diberikan Surya pun tidak mampu membeli bedak bahkan untuk sekedar daster baru. Namun, pria itu selalu menuntut dia lebih.

"Ma, Papa kok pergi lagi?" tanya Nanda saat melihat papanya pergi setelah beberapa jam pulang.

Arum menyeka air matanya, mencoba terseyum menyembunyikan kegetiran hati. Sedikit ragu menjawab pertanyaa Nanda.

"Iya, Papa ada urusan jadi nanti akan pulang lagi," jelas Arum.

Putra kecilnya mengangguk mendengar penjelasan sang mama. Lalu dia berlari ke dalam ruang tengah dan melanjutkan bermain. Rasa getir hilang saat melihat kedua anaknya tersenyum dan bahagia. Mematut diri di depan cermin, menatap dengan seksama dan menerawang masa lampau saat Surya selalu memuji kecantikannya. Namun waktu sudah mengubah semua. Tidak ada lagi pujian dan sudah tidak ada lagi kata-kata cinta. Kini tinggal kenangan yang indah dan sulit dilupakan. Hanya berpasrah pada Tuhan dengan harapan semua hanya mimpi.

Arum menatap buku tabungan yang sudah hampir habis. Mau ia pergunakan membeli baju dan perawatan wajah, tapi lebih baik untuk beli sayuran dan keperluan kedua anaknya. Mengingat Surya tidak akan memberi uang tambahan jadi ia mengurungkan niat untuk hal itu

**

Sepulang kerja tanpa berbasa-basi pada Arum, Surya langsung gegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuh pria itu menjadi lengket. Kini perutnya terasa lapar, ia beranjak ke dapur. Matanya mendelik kesal saat menatap sang istri. Masih sama pikirnya, dengan daster lusuh dan wajah penuh minyak. Pikirnya kapan wanita itu berubah secantik Renata?

"Arum!" teriak Surya saat membuka tudung nasi. Netranya terus menatap kesal pemandangan di bawah tudung nasi. Ia tidak menemukan lauk yang menggugah selera. Hanya sepiring tahu dan tempe tanpa sambal. Emosi kian memuncak pada Arum yang selalu saja membuat kesal.

"Iya, Mas. Ada apa?" tanya Arum yang datang tergopoh-gopoh menghampiri suaminya.

Arum menatap heran Surya. Apa yang salah dari dirinya? Dia menatap daster lusuh yang ia kenakan. Kenapa ia begitu bodoh, kalau tahu Surya akan pulang, harusnya ia cepat berganti baju dan memakai parfum hingga menjadi harum. Setidaknya wanita itu sudah berusaha tampil cantik dan wangi.

"Ada apa, kamu bilang? Lihat ini, suami pulang hanya disuguhkan tahu dan tempe! Kemana uang belanja yang aku kasih sama kamu?" Surya menatap sinis sang istri.

Arum mengerutkan kening saat Surya berteriak tentang lauk yang dia sajikan. Apa yang salah dengan tahu dan tempe itu? Uang belanja yang dia punya hanya cukup untuk membeli lauk sederhana.

"Mas, uang belanja yang kamu kasih itu hanya cukup untuk setengah bulan. Itu pun aku menambahkannya dengan tabunganku. Bagaimana aku bisa memasak enak, jika kamu tidak memberikan uang lebih," ujar Arum membela diri.

Surya berdecak kesal, saat melihat lauk hanya tahu dan tempe selera makannya hilang. Kini hanya luapan emosi yang ia tumpahkan pada Arum. Apalagi melihat tubuh yang kesekian kali hanya berbalut daster lusuh.

"Sekarang kamu pandai menjawab ucapanku, Arum. Durhaka kamu sama suami. Bagaimana aku betah di sini, jika hanya melihat kamu yang lusuh di hadapanku. Bikin tidak selera saja! Sudah tidak berselera makan, tambah parah melihat kamu." Surya terus menerus mencerca Arum yang tidak berdaya.

Pria berselung pipi itu menggebrak meja makan. Dada Arum kian sesak saat mendengar perkataan yang membuatny kembali merasakan sakit hati. Bukan keinginan dirinya menjadi seperti ini. Jika ayah dari kedua anaknya selalu memberi uang lebih, mungkin ia bisa membeli alat make up dan baju bahkan tampil seperti saat masih gadis. Apalah daya, dia tak bisa berlaku adil, tapi menuntut lebih.

"Mas, sudah cukup kamu menghina aku. Aku selalu diam saat kamu perlakukan semena-mena. Bahkan saat kamu terus membandingkan aku dengan selingkuhanmu!" pekik Arum keras. Napasnya tersengal-sengal saat dia mulai meluapkan semua emosi yang tertahan.

"Renata istriku, bukan selingkuhanku. Jangan asal bicara kamu, memang kenyataan kok. Renata dan kamu bagaikan langit dan bumi. Dia pintar membuat aku senang, tidak seperti kamu yang bisanya membuat aku marah dan bosan di rumah," cerca Surya kian menjadi.

Keputusannya untuk mengurus anak dan suami setelah menikah adalah kesalahan. Suaminya selalu ia banggakan malah menduakan cinta dengan gadis muda yang berpenampilan cantik.

Arum pernah bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang auditor. Setelah melahirkan Nanda, ia memutuskan untuk mengurus Nanda dan berhenti bekerja. Padahal dirinya sangatlah cerdas. Atasan di kantor pun menyayangkan keputusan wanita yang sempat menjadi perebutan beberapa pria saat itu. Beberapa staf kantor saat itu masih terus membujuk agar ia mau bekerja lagi, tapi ia kekeh ingin mengurus rumah saja.

"Ya, dia memang bukan selingkuhanmu, tapi sebelum kamu menikah dengan Renata, dia adalah selingkuhanmu. Kamu benar-benar jahat, Mas." Arum sudah tidak bisa menangis lagi. Begitu berat dia menahan semua amarah yang selama ini dia pendam.

Arum jatuh tersungkur saat tangan kokoh sang suami menampar dan mendorong tubuhnya. wanita gempal itu meringis kesakitan. Netra nyalang menatap sosok Surya yang sudah tidak mempunyai rasa cinta lagi untuknya. Aliran darah mengalir lebih deras. Tangannya mengepal dan tak henti ia merutuk.

"Ceraikan aku, Mas! Ceraikan, aku!" teriak Arum dengan tatapan yang mantap. Kesabaran itu kini sudah tidak terbendung lagi. Ia meminta Surya menceraikannya saat itu. Sudah cukup penderitaan yang ia terima.

"Oh, bagus! Berani kamu membentak aku? Cerai, oke mulai saat ini kamu aku talak! Silahkan kamu keluar dari rumah ini, sekarang!" Surya tidak menyangka Arum senekat itu. Ucapan Arum juga menghujam jantungnya. Pria itu juga merasakan perih, tapi mencoba tidak memedulikan karena sebuah gengsi.

"Oke, Mas. Aku akan pergi sekarang. Aku tunggu surat cerai dari kamu," ucap Arum.

Bergegas ia masuk ke kamar dan membereskan semua baju. Hanya beberapa baju saja yang dia bawa. Wanita bermata cokelat itu mencoba kuat, ia tidak ingin terlalu larut dalam permasalahan ini. Setelah itu ia berjalan melewati Surya. Suaminya kini tidak lagi seperti dulu. Dia sudah dibutakan oleh kecantikan luar saja. Begitu juga harta yang kini dia miliki. Arum menggendong Kaila, putrinya yang berumur tiga tahun dan menggandeng Nanda, putra pertama mereka yang berusia lima tahun.

"Kita mau pergi kemana, Ma?" tanya Nanda.

"Kita mau ke rumah Nenek, Kak."

"Papa nggak ikut, Ma?" tanyanya lagi.

Arum hanya diam. Ia bingung harus menjelaskan apa pada anak laki-lakinya. Seiring waktu pasti mereka akan mengerti keadaan orang tua mereka. Nanti jika mereka dewasa.

"Papa nanti nyusul," jawab Arum.

Surya benar sudah sangat kelewatan terhadapnya. Terlebih dia berani berteriak di depan anak-anak, sampai Kaila yang sudah tertidur terbangun kembali

"Kalau mau pergi, pergi saja. Nggak usah banyak drama. Kamu sendiri yang meminta bercerai. Rasakan sendiri, emang kamu pikir jadi janda enak?" Surya bertutur dengan sombong.

"Aku lebih baik menjanda, Mas. Dari pada harus di poligami, tapi kamu nggak bisa berlaku adil padaku," ujar Arum geram.

 "Bagus kalau gitu. Silahkan pergi!"

Segera dia melangkah bersama kedua anaknya. Rumah yang dulu sangat damai, kini menjadi saksi sebuah pertengkaran yang berujung perpisahan. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu taxi online yang ia pesan. Sungguh Arum muak dengan semua penghinaan Surya. Kini ia bertekat membesarkan anaknya tanpa uang pria itu.

**

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Akhirnya Arum meminta cerai
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
syukurin kena tampar. wajar sih krn kamu tolol dan g berguna utk diri mu sendiri. apa jd babu membuat otak mu g berfungsi lg. laporjan suami mu dan selingkuhannya. penulis tolol menghasulkan tookh tolol
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status