Share

Harapan

Sejak kejadian beberapa hari lalu di rumah mertuanya, Arum pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Terlebih Naina, ibu mertua Arum mengancam akan merusak warung kedua orang tuanya di pasar. Ia sangat bingung apa yang akan dilakukan untuk membawa Nanda dan Kaila kembali kepelukannya. Arum terduduk lesu menghadapi semua cobaan hidup yang tiba-tiba saja datang.

Pagi ini ia menemani ibunya berjualan di pasar. Namun, masih saja tidak fokus dengan dagangan. Pikiran Arum masih tertuju pada Nanda dan Kaila. Bagaimana mereka tanpa sang ibu di sana? Apa Kaila tidak menangis mencarinya? Sejumlah pertanyaan terngiang di benak wanita itu.

Suasana pasar yang sangat ramai tidak juga membuat hatinya menjadi tenang. Ibu memandang pada Arum, ia sangat iba melihat keadaan yang sunggu membuat hati seorang ibu bersedih. Tatapannya kosong, harapan itu kini seperti hilang begitu saja.

“Rum, lebih baik kamu pulang dulu. Tenangkan pikiranmu.”

“Tidak, Bu.”

“Ibu tidak apa-apa. Pulanglah, atau cari kesibukan lain. Cari pekerjaan baru yang akan membuat kamu sedikit sibuk dan melupakan kesedihanmu,” ucap ibu lagi.

Orang tua mana yang tidak sedih melihat anaknya mendapat perlakuan kurang baik dari keluarga suaminya. Arum wanita baik-baik dan tidak banyak menuntut suami. Namun, memang takdir Arum seperti ini. Wanita itu mengikuti saran dari sang Ibu. Dia memilih pulang dan menenangkan diri.

Setelah berada di rumah ternyata sama saja, dia duduk di ruang televisi menonton sinetron yang hampir  mirip dengan kisah nyata hidupnya. Arum ikut menangis saat merasakan pedih si pemeran utama yang mendapat cobaan bertubi-tubi. Namun, wanita itu tetap kuat bahkan mencoba bangkit untuk kebahagiaan dirinya.

Arum terdiam sejenak, kenapa dirinya hanya bersedih dan terus menangisi kisah hidup yang sangat perih? Kenapa tidak mencoba bangkit? Ia beranjak ke dalam kamar, lalu mencari beberapa dokumen yang mungkin bisa membantunya. Satu persatu ia cari, dia terseyum getir saat melihat beberapa dokumen berkas kerjanya dulu. Saat dia masih bekerja sebagai auditor internal di sebuah kantor akuntan publik. Mengenal banyak orang dan mengenal Surya, suaminya. Sebuah kartu nama terjatuh, dia mengambilnya lalu menyipitkan mata melihat sebuah nama  di kartu itu.

Bayu Bagaskara, seorang pengacara yang dikenalnya saat dia berhasil menemukan bukti-bukti penggelapan uang dari hasil korupsi sebuah perusahaan besar di Jakarta. Saat itu, Arum sudah dekat dengan Surya, dan dia  menjaga jarak dari Bayu. Pernah ada cerita antara mereka.

Arum menggulum senyum, mungkin pria itu bisa membantunya untuk merebut hak asuh anak. Sercercah harapan kini hadir kembali, ia bergegas mencari ponsel dan mencoba menghubungi Bayu sesuai nomer yang tertera di kartu nama.

Nomer yang Anda hubungi sedang tidak aktif'.

Arum menarik napas panjang, nomer ponsel yang dia hubungi ternyata sedang tidak bisa dihubungi. ia tidak kehilangan akal, kembali ia mencari di kontak W******p.  ‘Alhamdullilah' ada foto profil Bayu bersama seorang wanita. Arum kembali kecewa karena nomer itu aktif pada setahun yang lalu.

***

Kembali Arum terduduk lemas, harapan bisa mendapatkan hak asuh kedua anaknya kini pupus. Dia tidak punya uang untuk menyewa pengacara. Apalagi kekuatan ibu mertua Arum sangat kuat, bisa saja ia memenangkan persidangan.

Ya Allah, aku harus bagaimana? Harapanku hanya pada Bayu, semoga aku bisa bertemu dengannya.

“Bagaimana, Rum, apa Surya sudah menggugat cerai kamu?” tanya ibunya saat pulang dari pasar.

“Arum nggak tahu, Arum nggak peduli. Yang Arum pikirkan bagaimana menganbil hak asuh anak-anak, Bu,” ucap Arum lirih.

“Tapi, apa kamu punya uang untuk membayar pengacara?” Kini gantian bapaknya yang bertanya.

“Itu yang sedang Arum pikirkan, Pak. Mulai besok Arum akan mencari pekerjaan. Doakan Arum, ya,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Kami akan selalu mendoakan kamu, Nak.”

Arum kembali membuka laptop. Jarinya masih lincahnya menari di atas benda hitam itu. Ia mulai menulis CV dirinya untuk melamar pekerjaan. Namun, sebelum itu  ia menelepon mantan atasannya di kantor lama.

  Ini adalah sebuah kebetulan yang sangat baik. Arum bersyukur karena Dani masih menggunakan nomer ponsel yang lama hingga bisa dihubungi. Setidaknya  ia tidak bersusah payah mencari nomer ponsel mantan bosnya itu.

“Pagi, Pak,” ucap Arum memulai percakapan.

“Ini Arum?” tanya Dani dari sebarangan telepon.

“Iya, Pak, saya Arum.”

“Ada apa, Rum?”

“Apa masih ada lowongan pekerjaan di kantor Bapak?” 

“Besok langsung datang saja, bawa berkas lamaran kamu yang lengkap. Saya menunggu kamu jam delapan pagi,” ucap pria itu dari seberang telepon.

“Yang bener, Pak? tanya Arum memastikan.

“Kapan saya pernah berbohong.”

“Baik, Pak. Besok saya akan datang.

Setelah itu Arum menutup sambungan telepon. Ia mengucap syukur bisa kembali bekerja. Bukan suatu kebetulan karena dua minggu yang lalu pria itu menelepon dan meminta dirinya kembali bekerja. Namun, saat itu ia menolak karena masih sibuk dengan kedua anaknya.

**

Arum tersenyum tipis menatap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Dulu dirinya sering berlalu lalang di tempat ini, sampai akhirnya bertemu dengan Surya.Ia melangkah pasti. Kali ini ia tidak menggunakan daster lusuh yang sering dikeluhkan suaminya.

Wanita itu tampak lebih segar menggunakan blus berwarna marun dan senada dengan warna bajunya. Penampilannya kini terlihat sangat modis walau tubuhnya masih terlihat gemuk.  Lalu, melangkah masuk ke gedung yang akan menjadi tempat bekerjanya lagi.

Netranya menatap tajam  wanita yang baru saja keluar dari lift. Dia Renata, pelakor tidak tahu diri yang merebut suaminya. Arum mencoba tenang saat mereka berpapasan. Ada rasa getir di dada saat mengingat begitu jahat wanita itu. Seulas senyum mengejek terlihat dari bibir Renata. Dia seperti tidak pernah puas dengan apa yang sudah direbutnya dari Arum.

“Waw, ada calon janda, ups, “ ucap Renata sengaja.

Arum menggigit bibir bawah dan mencoba tenang. Menghadapi wanita ular itu harus pelan-pelan. Tidak bisa menggunakan emosi. Adanya ia yang akan terbawa kemarahan.

“Semoga Allah membalas semua kejahatan kamu.” Pelan, tapi sangat menusuk.

“Kesian hidupnya, calon janda, kehilangan anak pula. Makanya jadi perempuan jangan bodoh, dandan aja nggak pernah, gimana suami mau betah. Hmm ... kasihan kamu,  Rum. Aku aja baru ngajuin surat pengunduran diri. Eh, kamu mau kerja. Aku cukup menikmati uang dari Mas Surya,” ucap Renata mengejek.

Arum terus beristigfar dalam hati. Semoga saja dosa-dosa Renata dihapuskan sebelum dia meninggal atau sebelum dia mendapatkan azab. Kembali ia mengelus dada agar menahan emosi yang kian memuncak.

“Kamu boleh mentertawakan aku, tapi ingat kesuksesan Mas Surya itu adalah doaku sebagai istrinya dulu. Sekarang, aku tidak akan pernah mendoakannya. Penghasilan Mas Surya kini tergantung kamu, semoga kalian mendapat balasan secepatnya.”

Tidak banyak bicara, Arum bergegas meninggalkan Renata yang kini merasa kesal akibat ucapan Arum. Padahal dia duluan yang memulai mengejek dirinya. Dia mengentakan kaki dan berjalan keluar dari gedung dengan umpatan kasar untuk Arum.

“Dia pikir, dia wanita suci? Seenaknya menyumpahi aku dan Mas Surya. Tidak mungkinlah, Mas Surya bangkrut.” Setelah itu Renata menaiki taxi online yang sudah dia pesan tadi.

Di dalam taxi ia masih saja mengingat ucapan Arum. Ia mencoba menghilangkan bayangan kakak madunya itu. Namun, ucapannya semakin tengiang.

Kalau benar Mas Surya bangkrut nanti, aku nggak usah repot. Langsung tinggalin aja dan cari pria yang lebih kaya. Gampang bukan?

**

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Siti Aminah
arum kerja lgi aj biar ga kepikiran trus kumpulin duit buat ambil anaknya
goodnovel comment avatar
Siti Aminah
ibu mertuanya jga jahat ud perna ngrasain kya arum tpi ga sadar jga
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar Renata rubah betina
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status