Wiryo, Ayah Arum sudah mendengar cerita dari tetangga mereka tentang mertua anaknya yang datang dan mengambil kedua cucunya. Pria tua itu cemas, dan memilih menutup dagangan.di pasar lalu bergegas pulang ke rumah.
Istri Wiryo, ibunya Arum juga ikut cemas dengan kabar yang baru saja didengar. Di tempat terpisah, wanita tua itu juga menutup dagangan.
“Ayo, Bu,” ucap Wiryo saat bertemu dengan istrinya di parkiran.
“Iya, Yah. Ibu cemas dengan Arum.” Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Arum.
Lalu Wiryo melajukan mobil pickup nya dengan kecepatan tinggi. Mobil yang sehari-hari mereka pergunakan untuk pergi berjualan sayur di pasar. Sesampainya di rumah, Arum berhamburan kepelukan sang ibu. Tangis pilu wanita itu sangat menyayat hati. Bagaimana dia diperlakukan tidak adil oleh keluarga Surya.
“Kamu sudah obati luka kamu, Nak?” tanya Wiryo, ayahnya dengan cemas.
Arum menggeleng, dia sudah tidak memedulikan luka di tubuhnya karena luka di hati wanita itu sudah sangat dalam. Sang ibu beranjak ke dapur dan mengambil kotak P3K. Sebelum itu dia membersihkan luka Arum dengan alkohol.
Rasa sakit itu tidak dia rasakan. Di benak Arum, hanyalah memikirkan kedua buah hatinya. Netranya kosong, dia seperti depresi menghadapi masalah yang bertubi-tubi .
“Nak, kamu harus kuat. Anak Ayah dari dulu selalu kuat. Ayo, Nak, Ayah antar kamu ke rumah mertuamu,” ujar Wiryo.
Arum menggelengkan kepala, ia belum bisa berpikir karena percuma saja ke sana kalau suasana masih seperti ini. Dia masih mengumpulkan kekuatan, untuk melawan ibu mertua dan Surya. Ia berpikir dan terus beristigfar menenangkan hati. Suasana rumah menjadi sangat sunyi, saat Nanda dan Kaila tidak ada. Is sangat merindukan mereka.
“Biarkan Arum ke rumah Ibu sendiri, Ayah istirahat saja di rumah. Arum tidak ingin Ayah dihina mereka juga,” ucap Arum.
“Kamu, yakin?” tanya ibunya.
“Yakin, Bu. Arum kuat menghadapi mereka. Doakan saja aku selalu sehat dan kuat untuk menjalani takdir Allah.”
Arum terpaksa terlihat kuat di hadapan kedua orang tuanya. Ia tidak ingin melihat mereka bersedih. Cukup hari ini saja mereka menutup cepat warung di pasar untuk pulang melihat keadaannya.
“Doa, Ayah dan Ibu selalu ada untuk kamu, Rum.”
Setelah shalat zuhur, Arum bersiap untuk menemui kedua buah hatinya di rumah nenek mereka. Perasaannya sedang tidak karuan, rasa pedih, sesak, semua bercampur aduk. Kehilangan buah hati adalah hal terpuruk yang dia rasakan. Tidak bisa ia bayangkan hidup tanpa mereka.
Semesta seperti mempermainkan hidupnya. Kini ia harus dipisahkan dari kedua anak yang sangat ia cintai. Gemuruh di dada membuatnya tidak sabar untuk membawa mereka kembali ke dalam pelukannya. Perempuan jahat itu boleh mengambil suaminya, akan tetapi tidak dengan kedua buah hatinya
**
Rumah besar itu sangat sepi karena hanya ditinggali ibu mertuanya dan dua orang pembantu juga satpam di luar . Nanda bermain di ruang televisi dan Kaila berada dipangkuan Naina, neneknya. Selepas menelepon Surya, wanita tua itu terdiam cukup lama memandang taman yang penuh tanaman hijau.
Aku tidak pernah mengajarkan dia seperti itu, kenapa dia bersikap sepertimu, Mas. Bahkan saat kamu sudah pergi, bayanganmu kembali berada dalam tubuh anak kita, Surya.
Rumah tangga kedua orang tua Surya pun kandas akibat orang ketiga. Ia lelah jika harus mengingat bagaimana harus bangkit di saat terpuruk. Suaminya meninggalkan luka yang sangat dalam. Pergi dengan wanita lain dan dengan sengaja melukai dan menodai janji suci mereka.
Ia menghembuskan napas panjang. Sesaat merindukan seseorang yang pernah mengisi relung hatinya. Separuh jiwanya pergi dengan menitipkan luka. Namun, wanita tua itu pintar menyimpan semua aset hingga pria itu tidak membawa apapun yang mereka miliki saat bersama. Jika tidak, entah akan menjadi apa ia dan Surya.
“Bu,” sapa Surya. Dia datang bersama Renata, istri kedua yang saat ini ia banggakan sebagai wanita yang mampu menguasai jiwa dan raganya.
Wanita tua itu menatap tajam pada wanita muda yang sangat berpenampilan jauh berbeda dengan Arum. Baju ketat dan rok di atas lutut membuat Naina menggelengkan kepala. Selera yang membuat ingin memuntahkan sisa makanan di perut. Tidak lebih baik dari Arum yang berpenampilan sederhana, tapi bisa menjaga martabat suami.
“Jadi, wanita ini yang membuat kamu menceraikan Arum?” tanyanya dengan wajah sangat ketus. Renata mendekat ingin mencium punggung tangan mertuanya, tapi Naina menepis tangan istri kedua Surya itu dengan kasar.
“Bu, kenapa Kaila ada sama Ibu?” tanya Surya saat melihat Kaila.
“Ibu ingin dekat dengan mereka.” Naina menatap dengan sorot mata tajam.
“Papa!” Nanda berlari dari dalam dan langsung berhamburan kepelukan Surya.
Surya menggendong dan mencium kedua pipi Nanda. Tidak lama dia juga menciumi Kaila yang tertidur dipangkuan neneknya. Renata hanya diam mematung, dia merasa mertuanya tidak suka dengan kehadirannya di rumah ini.
“Kamu yakin, wanita macam dia, bisa mengurus kamu dan anak-anakmu?” Kembali ibunya Surya mengeluarkan kalimat yang sangat tajam. Menohok membuat Renata mengerucutkan bibir.
“Saya bisa, Bu, mengurus Mas Surya,” ucap Renata dengan percaya diri.
“Bukan hanya Surya, tapi anak-anaknya. Masa, mau sama Bapaknya, tapi nggak mau ngurus anaknya. Enak saja kamu mau enaknya doang.” Kembali Naina membuat wanita itu tidak betah berlama-lama.
“Kan, mereka ada Arum. Ibu mereka, kenapa saya harus susah-susah mengurus mereka?” Tanpa sadar Renata sudah memperlihatkan sifat aslinya. Sang mertua tersenyum sinis.
“Dasar rubah! Kamu bodoh, Sur. Wanita model kaya gini mana bisa ngurus suami. Adanya menghabiskan uang suami.” Wajah Renata menjadi masam karena sedari tadi dia selalu di hina sang mertua.
“Bu, jangan seperti itu pada Renata. Renata lebih baik dari pada Arum. Coba Ibu pikir, mana betah aku sama wanita jelek dan bau. Beda dengan Renata, dia bisa menyenangkan aku, Bu,” ucap Surya membela Renata.
“Halah! Hanya menyenangkan di ranjang saja sudah bangga! Terserah kamu.”
Wanita tua itu menyerahkan Kaila pada Renata untuk digendong. Saat mulai menggendong Kaila ia mulai merasa resah takut anak itu mengompol. Benar saja purtri kecilnya merasa ingin buang air kecil.
Kemana sih, Nenek tua itu, kenapa juga aku harus repot ngurus anaknya Arum.
Renata hampir saja menjatuhkan Kaila, untung saja saat itu Arum datang dan langsung merebut Kaila dari Renata.
“Cukup kau ambil suamiku, tapi jangan anakku!” pekik Arum. Wanita berbalut gamis berwarna hijau dengan warna hijab senada dengan bajunya menatap tajam Renata. Aliran darah mengalir sangat derah membuat emosinya kian memuncak.
“Siapa juga yang mau ambil anak kamu, aku hanya membutuhkan Mas Surya,” ujar Renata sombong. “Enak saja aku harus mengurus anakmu!”
“Silahkan! Kamu ambil barang bekas dari aku. Wanita sosialita macam kamu, hanya pantas mendapatkan barang rongsokan.” Kini Arum tersulut emosi dan terus menatap tajam madunya.
“Jaga ucapan kamu, Arum!” Tamparan keras mengenai wajah Arum. Bibir Arum bergetar mendapat perlakuan kasar dari Surya. Teganya dia membela pelakor dan menampar dirinya.
“Kamu bahkan lebih membela batu kerikil, lihat saja, Mas. Jangan harap suatu saat kamu memohon padaku. Karma itu nyata!”
“Arum!” Suara Naina meninggi dan langsung merebut Kaila dari dekapan ibunya.
“Bu, aku mohon, jangan pisahkan aku dengan anak-anakku.” Percuma saja dia memohon pada mertuanya. Wanita tua itu sudah meminta pembantunya membawa Nanda dan Kaila ke ruang dalam. Arum mencoba mencegah, tapi Surya menahan tubuh Arum.
“Lepas, Mas!Aku rela kamu ceraikan, asal jangan kamu pisahkan aku dengan mereka. Lebih baik aku kehilangan kamu dari pada mereka!” teriak Arun dengan tangis
“Lebih baik kamu pergi, Arum!” Naina menunjukan telunjuknya ke arah daun pintu.
Arum tidak terima dengan hinaan mereka. Dia mendorong tubuh Renata hingga tersungkur. “Ini semua ulah kamu! Gara-gara kamu hadir dalam rumah tanggaku, semua kebahagiaanku hancur. Dasar pelakor!”
Arum histeris menarik rambut Renata. Sedangkan Surya berusaha melepaskan tangan Arum dari rambut panjang Renata. Semakin Surya mencoba menarik tubuh Arum, dia semakin kencang menarik rambut Renata.
“Mas, tolong aku!” teriak Renata kesakitan.
Surya berhasil mendorong tubuh Arum. Arum tersungkur di lantai, dia menatap tajam pasangan memalukan itu. Dari sudut ruangan, Naina menggulum senyum melihat perkelahian antara Arum dan Renata. Dia puas melihat kejadian yang tidak dia duga. Arum, yang dia kira lemah malah berbalik menyerang. Arum bangkit lalu, mendorong tubuh Surya dan menarik kembali rambut madunya. Renata kesakitan, kembali Surya merelai mereka.
“Awas, kamu, Arum!” Renata kembali berteriak lalu hendak menghampiri Arum.
“Diam di sana, Renata! Saya tidak mau melihat ada keributan di rumah saya!”
Ibu mertua Arum dengan sengaja menghetikan Renata. Dia mau, Arum pergi, hatinya juga sebenarnya luka. Karena dia juga pernah merasakan berada di posisi Arum. Namun, kisah mereka berbeda, dia tidak sekuat dan setegar Arum.
“Kamu akan menyesal, Mas. Dan kamu, kupastikan karma akan menghampiri.” Dia mengancam dengan emosi yang tersulut itu kian memuncak, merapikan hijabnya dan berlalu. Sungguh kejadian yang sangat memuakkan baginya. Apa yang terjadi kali ini adalah di luar batas kesabaran seorang Arum. Wanita kalem seperti dia bisa emosi menghadapi dua makhluk menjijikan.
**
Arum terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih susu. Wajah nampak cantik sempurna. Namun, beberapa kali ia mengusap embun di kelopak mata. Tak menyangka jika ia akhirnya menikah dengan Bayu. Pria yang sedari dulu mencintainya. Semesta membuat keindahn yang tak terluapkan."Mba, pengantin wanitanya sudah siap?" tanya seorang gadis yang tidak lain adalah EO acara tersebut."Sudah." Perias menggandeng penganti wanita ke tempat di mana dilangsungkan acara akad nikah pagi ini.Tatapan takjub beberapa pasang mata melihat sang pengantin wanita. Terlihat Naina, mantan mertuanya duduk bersama Kaila dan Nanda. Dia menyeka bulir yang memgalir di sudut mata. Senyum tipis terpancar di bibir Arum saat tatapan mereka saling bertemu. Hari ini adalah hari bahagia yang sangat ia tunggu. Setelah sekian banyak penderitaan akhirnya ia merasakan kembali suasana sakral untuk kedua kali.Sang pengantin pria sudah tidak sabar menunggu. Netranya tak henti memandang calon istri yang beberapa menit akan
Bayu duduk memerhatikan Arum yang kini terdiam menatap kolam renang. Pria itu mengajaknya duduk di tepi, agar suasananya kembali tenang. "Jadi, kamu kemarin ketemu klien itu dia?" tanyanya dengan luapan emosi. "I--iya." Bayu menjawab ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arum memalingkan wajah. Hatinya kembali teriris jika mengingat wanita itu. Ia tidak ingin terjadi lagi hal serupa dengan pengalaman yang lalu. "Aku, kan nggal tahu. Tadi juga aku udah batalin kerja samanya." "Tetep aja sakit bayangin kamu kemarin berduaan sama dia!" Ingin rasanya merengkuh tubuh wanitanya. Namun, ia mengurungkan niat, tangannya hanya mencuil hidung pesek Arum. "Kak, kemarin Kak Bayu sama Alia kok. Nggak sendirian ketemu sama Renata. Maaf, ya Kak." Alia mengambil posisi duduk di samping Arum. "Maaf juga aku nggak tahu kalau dia begitu. Sekali lagi minta maaf. " "Iya, Alia." Senyum semringah dari bibir Alia. Gadis itu memeluk erat calon kakak iparnya.Rudi menghampiri mereka. “Saya ak
Semenjak pertengkaran kemarin, Bayu merasa tidak enak hati. Kenapa ia begitu cemburu pada Arum. Ia menyalahkan dirinya, kenapa harus cemburu buta? Gegas dirinya turun ke bawah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya untuk meminta izin untuk melamar dan menikahi Arum.“Tumben kamu ingat dengan rumah ini?” Cibiran penuh penekanan dari Maria, ibu sambungnya. Lalu, berderet pertanyaan darinya.Ia menghembuskan napas berat. “Aku mau menikah.”“Serius, Kak?” Semua aktivitas yang berada di meja makan mendadak terhenti.Mereka serius menatap wajah Bayu yang malah terlihat santai. Alia, adik tiri Bayu bangkit dan menghampiri sang Kakak.“Ka, serius?”“Apa aku kelihatan bercanda?”“Syukurlah, Kakakku ini normal.”“Aish.” Bayu menoyor kepala Alia sampai ia mengaduh.“Sudah, kalian tidak ada behentinya kalau sudah bertemu.”“Siapa dia?” Pria berambut memutih itu kini mengeluarkan suaranya. Sedari tadi ia hanya diam memerhatikan.“Dia seorang wanita yang sangat aku cintai. Enam tahun aku menant
Ada perih yang menjalar di dada. Ia mencoba meraup oksigen, tapi sepertinya sangat sulit. Embun itu sudah mengalir membasahi pipi, entah mengapa Arum merasakan begitu sakit kali ini. Tidak seperti biasanya, ia tak pernah menyesal menolak ayah dari anak-anaknya.“Aku juga sakit, Mas. Semoga, Mas, kembali menemukan wanita yang bisa membuat Mas nyaman. Maaf untuk kali ini, aku sudah memutuskan menikah dengan Bayu.” Ia menjeda ucapannya. Tak sanggup untuk meneruskannya, isak tangis masih membuatnya sulit untuk berbicara.“Mas sadar, Rum. Kamu berhak bahagia, Mas sudah ikhlas. Hanya saja, Mas mencoba siapa tahu Arum berubah pikiran. Kita bisa membesarkan mereka bersama-sama. Maafkan, Mas, ya,” ujar pria itu sembari mengusap pucuk kepala Arum.Bukan hanya Arum yang merasakan sesak di dada. Pria itu yang lebih merasakan betapa nelangsanya dia. Begitu bodohnya melepas kebahagiaan yang dulu ia punya. Kini ia hanya menatap orang yang ia sayang dan mengikhlaskannya untuk bahagia dengan pria lain
“benar nggak bisa datang acara ulang tahun Kaila nanti, Bay?” Arum bertanya pada Bayu lewat sambungan telepon. Wajah wanita yang kini terlihat masam itu mencoba berbicara setenang mungkin.“Iya, Rum. Maaf, ya, soalnya Pak Arga ngajak ketemuan ngomongin masalah kasusnya hari ini jam empat sore, belum lagi temennya adikku minta bantuan juga?”jawab pria itu kemudian.Arum menghela napas. “Nanti dia ngambek kalau kamu nggak hadir.”“Iya, kalau sudah selesai aku langsung kesana. Tapi nggak bisa jemput kamu dulu.”“Iya, aku tahu. Cikarang ke Jakarta, ‘kan jauh.” Kembali Arum menjawab. Namun, orang yang ditelepon di seberang sana tidak tahu jika wanita yang diteleponnya sudah mengerucutkan bibir dan memasang wajah masam.“Aku mau sarapan dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang.”“Iya.” Langsung saja ia menutup saluran telepon, kemudian kembali menatap layar laptop.Aroma kopi menyeruak di ruangan, Arum menatap Rani, wanita yang membawa kopi ke ruangannya. Rani menaruh di meja Arum dan mempers
"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg