“Pesan apa?” tanya Sadam karena sejak tadi Luna hanya membolak-balik buku menu, tapi tidak menentukan pilihan. Rasanya Sadam ingin merutuk pada Meli, karena ulahnya sikap Luna pun dingin.Tidak hilang akal, Sadam berpindah duduk di samping Luna. Merangkul bahu wanita itu dan mencium rambut lalu ke pipi. Refleks Luna terkejut lalu menoleh, bahkan mendorong pelan tubuh Sadam.Kalau bukan berada di tempat umum, rasanya Sadam ingin langsung memeluk dan mendekap Luna. Membuat wanita itu berteriak minta dilepaskan.“Pak, sanaan.” Luna kembali mendorong dada Sadam. “Kok mesum sih.”“Gemes sama kamu.”Rasanya ingin marah, bukan pada Luna. Belum berhasil menaklukan sepenuhnya perasaan wanita ini, malah ada masalah.“Mau makan apa, dari tadi Cuma dibolak balik aja. Kalau nggak ada pilihan kita pindah tempat lain.”Luna mencebik lalu menunjuk salah satu menu. Sadam memanggil pelayanan, menyampaikan pesanan Luna juga miliknya. Tangan Luna sudah berada dalam genggaman Sadam bahkan berkali-kali dic
“Aku tunggu di sana. Awas jangan macam-macam.”Ardan terkekeh lalu mengusap kepala Ratna. “Tidak sayang, untuk apa aku macam-macam. Percaya padaku.”“Aku percaya kamu, tapi tidak pada Sherin,” ujar Ratna.Sebenarnya Ratna dan Ardan tidak ada janji temu untuk makan siang, tapi Sherin mengajak Ardan untuk bertemu. Tidak nyaman menemui mantan istrinya sendirian, Ardan pun izin pada Ratna dan mengajak ikut serta meski tidak duduk bersama. Ratna akan menunggu di meja berbeda. Membiarkan Ardan dan Sherin bicara, entah masalah apa.Ratna mencebik melihat Ardan menatapnya sambil tersenyum bahkan menyangga wajah dengan kedua tangan.“Lebay,” ucap Ratna dan Ardan terkekeh sambil memberikan cium jauh dengan bibirnya.Ratna memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan, perutnya sudah lapar sudah waktunya makan siang. Padahal di kantor juga ada masalah, Sadam didatangi mantan istrinya. Nyatanya Ardan pun sama, dihubungi mantan istri untuk bertemu. Meski penasaran apa Sadam bisa membujuk Luna dan hubu
“Harusnya kamu tidak usah ikut campur, aku bisa selesaikan.” Sadam menuju kursi kerja dan menghempaskan tubuhnya di sana. Meli sudah pergi, itu pun terpaksa karena diusir dan disinggung oleh Ratna.“Kelamaan. Ngapain juga dia kemari sih.”Sadam mengedikkan bahu. “Tadi pagi aku dan Luna bertemu dia waktu sarapan.”“Luna ketemu Meli?”Sadam mengangguk.“Udah jelasin siapa Meli?”“Ya … sudah, tapi singkat saja. Mana mungkin aku cerita detail, butuh waktu lama dan itu masa lalu. Aku malas bahas dan ingat kembali.”“Terus mau apa Meli kesini, bilang apa dia?”“Masalah anak,” sahut Sadam tenang dan santai. Meraih tablet di atas meja dan mengaktifkan layarnya. Berbeda dengan Ratna yang gusar karena tahu jelas bagaimana kisah Sadam dan mantan istrinya dulu.“Maksudnya anak siapa, jangan bilang kalian punya anak.”“Entah anak siapa, tapi Meli bilang itu anakku.” Sadam menggeser layar tablet membuka laporan yang masuk melalui email.“Test DNA, lo harus tes DNA dan jangan percaya gitu aja. Gue c
Selama perjalanan ke kantor, tidak ada percakapan terjadi. Sadam bungkam dengan raut wajah tidak terbaca. Perubahan itu setelah bertemu dengan wanita yang dipanggil Meli. Luna penasaran ada hubungan apa Sadam dengan wanita itu. Namun, tidak berani bertanya.Mobil pun sudah memasuki area perusahaan lalu menuju basement terparkir rapi. Saat Luna melepas seatbelt dan hendak membuka pintu mobil. Sadam menahan tangan Luna.“Wanita tadi, dia mantan istriku.” Sadam mengatakan itu dengan pandangan lurus ke depan. Raut wajahnya masih datar dan tidak terbaca. “Sudah bertahun-tahun kami berpisah dan baru tadi bertemu lagi. Maaf kalau sikapku--”“Aku mengerti,” ujar Luna.Sadam pun menoleh. Tangannya masih memegang tangan Luna. Dari tatapan mata Sadam, Luna melihat ada luka di sana. Entah ada masalah apa dengan mereka di masa lalu yang jelas berakhir tidak baik. Mungkin sama seperti yang ia rasakan saat berpisah dengan Irwan.“Sepertinya dia ingin bicara dengan bapak. Kalau aku boleh saran, baikn
“Iya, Pak Sadam,” sapa Luna. Baru selesai bersiap, ada panggilan masuk dari pria itu.Luna menjawab sambil mematut wajahnya di cermin.“Aku hampir sampai. Mau dijemput ke rumah atau di tempat semalam?”“Hah, Pak Sadam jemput aku?”“Hm. Kamu sudah siap?”“Su-sudah sih. Di tempat semalam aja, aku berangkat sekarang.”Luna mengakhiri panggilan, tidak ingin membuat Sadam kelamaan menunggu. Ada untungnya ia tidak membawa semua pakaian dan barang lainnya. Seperti sekarang ia tidak khawatir untuk bekerja meski tidak membawa pakaian ganti.“Bu, aku jalan ya.” Luna menghampiri ibu sedang menyesap teh. Sherin menemani Beni yang sudah siap dengan seragam nya sedang sarapan. “Tidak sarapan dulu?”“Nanti saja di kantor, aku sudah dijemput.” Luna meraih tangan ibunya, mencium dengan takzim dan mendapat usapan di kepala.“Ya sudah, jaga kesehatanmu. Sabar dulu, kita selesaikan semua satu-satu.”Luna mengangguk, paham dengan maksud ibunya.“Tante mau kemana?” tanya Beni menghentikan kunyahnya.“Ker
Luna keluar dari kamar mandi ibunya dan sudah berganti piyama. Sudah malam, ibu tidak mengizinkannya pulang ke kosan. Namun, Luna tidak menempati kamarnya sendiri, melainkan di kamar ibu.“Sudah mau tidur?” tanya Ibu menutup pintu lemari lalu beranjak ke ranjang.“Hm, badan aku pegal bu.”“Mau ibu buatkan susu hangat.” Masih duduk di tepi ranjang dan siap beranjak sambil menatap putrinya.“Nggak usah bu, nanti malah sebah perut aku jadi nggak bisa tidur.” Luna membuka tasnya mengambil kabel charger. Namun, sebelum menghubungkan pada ponsel, ia mengirim pesan pada Sadam kalau malam ini tidak pulang ke kosan.“Ya sudah cepat baring, besok kamu harus kerja.”“Iya,” sahut Luna mencharger ponsel di atas nakas sisi ranjang yang akan ditempati.Hasil pembicaraan bersama Sherin dan Irwan, Ibu putuskan menunggu kedatangan keluarga Irwan untuk melamar dan memuaskan kapan Sherin dan Irwan akan melangsungkan pernikahan.Tidak menuntut bawaan pernikahan yang mewah apalagi resepsi, yang penting res