Home / Romansa / Ambil Saja Suamiku / 3. Rumput Tetangga

Share

3. Rumput Tetangga

Author: dtyas
last update Last Updated: 2025-02-09 22:04:38

“Gue bilang juga apa, lo cocok jadi wakilnya Sadam,” bisik Ratna saat rapat berakhir.

“Aku jadi nggak enak, kayaknya nggak semua tim setuju dengan keputusan Pak Sadam,” balas Luna yang juga berbisik.

“Nggak usah lo pikirin. Siapa pun yang ada di posisi wakil Sadam mereka selalu kontra.”

Luna menghela nafasnya. “Tapi, kenapa nggak kamu aja ya. Seharusnya, tadi pagi kamu yang serahkan laporan dan ….”

“Nggak akan Lun, Sadam nggak akan tawarkan posisi itu ke gue.”

“Kenapa?” tanya Luna heran dan Ratna hanya mengedikkan bahu.

“Udah ah, kita makan yuk. Laper gue.”

Namun, atensi kedua perempuan itu tertuju setelah mendengar suara Sadam.

“Luna, ikut saya!”

“Sekarang, pak?” tanya Luna setelah saling tatap dengan Ratna. Saat ini sudah jam makan siang, tapi Sadam malah minta dia ikut ke ruangan.

“Menurutmu, kalau aku butuh kamu bulan depan apa harus aku panggil sekarang.” Sadam bicara dengan tangan berada di saku celananya. Ratna sempat terkikik lalu berdeham dan mengulum senyum.

Tidak ingin membuat masalah apalagi mengajak berdebar, Luna langsung berjalan menghampiri Sadam. Tiba di ruang kerja pria itu, ia langsung disuguhi setumpuk dokumen yang harus ditangani mulai hari ini. Sadam juga menjelaskan lagi apa yang harus dia kerjakan sebagai wakil manager. Meski masih ada yang kurang jelas, Luna tetap mengangguk pelan seakan ia mengerti semua yang disampaikan.

“Meja kerja kamu di depan sana, tepat di samping sekretaris saya.”

“Baik, pak.”

“Mungkin akan lebih banyak di ruangan ini, saat membahas anggaran dan proyek yang sudah selesai.”

Diskusi mereka sudah selesai, Luna beranjak sambil membawa dokumen yang tadi diserah terimakan. Saat tangannya menyentuh handle pintu, Sadam kembali bicara.

“Lusa kita akan kunjungi proyek A, paling cepat tiga hari. Siapkan semua dokumen yang diperlukan.”

“Lusa, pak?” Luna bertanya memastikan yang tadi ia dengar.

“Hm. Masalah akomodasi hubungi finance minta mereka urus sekalian karena HRD belum mendapatkan penggantiku.”

Sadam mengernyitkan dahi karena Luna terlihat bingung dengan perintahnya. “Jangan bilang kamu tidak bisa atau tidak siap.”

“Oh, tidak pak. Saya … siap kok.” Gegas Luna mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Meletakan semua dokumen yang dibawa di atas meja kerjanya yang baru.

“Mas Irwan bakal kasih aku izin nggak ya. Aku naik jabatan aja mendadak, belum lagi perjalanan dinas juga dadakan kaya tahu bulat.

***

“Irwan.” Terdengar teriakan dari dalam rumah.

“Iya Bu,” sahut Irwan yang baru saja membakar rokok dan baru dua kali dihis4p. “Aish, ada aja. Baru juga duduk.”

Irwan kembali ke dalam dan mencari ibu mertuanya. “Kenapa Bu?”

“AC di kamar Sherin baru dipasang besok. Untuk sementara bawakan kipas angin yang biasa dipakai Bik Ela nyetrika.”

“Oh, iya bu.”

“Eh, mau kemana kamu?” tanya Ibu karena Irwan tidak menuju ruang belakang, tempat pakaian dicuci dan setrika.

“Ngerokok dulu bu, sayang sudah dibakar.”

“Anterin sekarang, kasihan Beni udah mau tidur. Pasti panas dan banyak nyamuk.”

Meski dongkol Irwan tetap melaksanakan perintah itu. Mengambil kipas dan mengantarkan ke kamar kakak iparnya. Ternyata pintu kamar tertutup.

Tok tok

“Mbak Sherin, ini kipasnya,” ujar Irwan pelan.

Tidak lama pintu pun dibuka.

“Ini kipasnya mbak,” ujar Irwan lagi.

“Oh, tolong bawa masuk ya.” Sherin membuka pintu kamar lebih lebar mempersilahkan Irwan untuk masuk.

Sempat canggung saat melihat Sherin mengenakan daster pendek tanpa lengan, apalagi harus memasuki kamar meski milik kakak iparnya sendiri. Irwan mengangguk saat melewati Sherin.

“Mau dipasang di sebelah mana mbak?”

“Di sana saja.” Sherin menunjuk ujung ranjang agar hembusan angin terasa saat iya dan anaknya berbaring.

“Bunda.” Beni yang sudah tertidur merengek karena tidak nyaman. Sherin gegas naik ke ranjang dan memeluk putranya sambil menepuk bokong bocah itu.

Setelah menyambungkan kabel pada terminal listrik dan menghidupkan kipas dengan putaran sedang, Irwan melirik ke arah ranjang dan langsung menelan saliva mendapati pemandangan yang tidak sengaja tapi rugi untuk diabaikan.

Mengenakan daster pendek dan posisi berbaring, tentu saja ujung dasternya terangkat. Membuat kedua pahanya yang putih terpampang jelas dan terlihat sempurna di mata Irwan. 

“Kurang naik,” gumam Irwan.

“Hah, kenapa?” tanya Sherin tidak menyadari dengan posisinya.

“Ini anginnya cukup atau kurang?” tanya Irwan langsung mengalihkan pandangan, khawatir Sherin menyadari ia sedang mencuri pandang. Tidak ingin dituduh sebagai pria mesum mengintip iparnya sendiri.

“Cukup, sudah cukup. Makasih ya.”

“Sama-sama mbak.” Irwan pun menuju pintu meski sempat melirik lagi. 

Busyet putih amat, mana semok, batin pria itu.

“Luna belum pulang?” tanya Sherin masih berbaring memeluk Beni dan membelakangi pintu.

Irwan yang akan keluar pun menoleh.

“Belum mbak. Mungkin lembur.” Pandangan Irwan tertuju pada bokong Sherin dan leher serta tulang selangka.

“Kasihan banget kamu, jam segini belum bisa meluk istri. Habis lembur Luna pasti capek, belum tentu bisa service enak.”

“Sudah biasa, mbak.” Merasakan bagian bawah tubuhnya mulai bereaksi. Irwan pun gegas pamit dan langsung menuju kamarnya.

“Sialan, pake bangun,” ujar Irwan sambil melihat ke arah bawah tubuhnya. “Mana Luna belum pulang, masa harus main solo,” gumam Irwan lalu menutup pintu kamar.

“Badannya mbak Sherin montok banget, dia sengaja apa gimana sih.” Irwan mengusap kasar wajahnya karena bayangan tubuh Sherin masih saja berseliweran dalam pikiran. “Memang rumput tetangga kadang terlihat lebih indah dari rumput sendiri.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambil Saja Suamiku   55. Keguguran

    Di mobil, Sadam dan Ratna bertukar peran. Sadam yang mengemudi, Ratna menemani Luna dikabin tengah. Tujuan mereka tentu saja rumah sakit terdekat. Jalanan lumayan padat karena jam makan siang banyak yang beraktivitas di luar. Luna masih meringis merasakan sakit di perutnya. Ratna tidak mengerti harus bagaimana menenangkan. Melihat darah yang mengalir sudah jelas ada yang masalah dengan kandungan Luna.“Sabar, sebentar lagi sampai,” ujar Ratna. “Sadam, cepetan!”“Ratna,” panggil Luna. Meski keadaannya darurat, tapi Ratna membentak Sadam yang jelas atasan mereka rasanya tidak pantas.“Sudah dekat. Setelah lampu merah di depan,” sahut Sadam. “Luna, kamu jangan tidur. Ratna jangan biarkan dia tidur.”“Lo nggak ngantuk ‘kan?” tanya Ratna. Luna menggeleng pelan.Mobil berbelok memasuki kawasan rumah sakit dan berhenti tepat di depan UGD. Sadam kembali menggendong Luna, Ratna berteriak memanggil petugas yang segera datang mendorong brankar. Sadam membaringkan tubuh Luna dengan pelan dan hat

  • Ambil Saja Suamiku   54. Penyerangan

    “Mbak Luna, maaf. Saya hubungi ke atas katanya udah keluar istirahat. Orangnya maksa, sudah saya bilang janjian dulu,” jelas salah satu staf resepsionis.“Nggak pa-pa. Di mana ya?” tanya Luna, pandangannya ke arah pintu lobby. Tidak menduga siapa yang datang mencarinya.“Saya minta tunggu di sana!” staf itu menunjuk ke arah sofa area tunggu. “Ah itu dia, kayaknya dari toilet.”Luna menatap ke arah yang ditunjuk lalu mengernyitkan dahi. “Mama,” ucapnya.“Mbak kenal?”“iya, aku temui dulu. Makasih ya,” ujar Luna. Kalau ditanya apa ia mau menemui ibu mertuanya, tentu saja tidak. Saat ini ia tidak ingin bertemu dengan siapapun yang berhubungan dengan Irwan.Namun, sudah terlanjur sudah ada di sini. Di usir pun tidak enak. Kecuali dia sedang tidak ada di tempat. Luna menghampiri, raut wajah mama Irwan terlihat tidak bersahabat saat pandangan mereka bertemu.Sekesal apapun, wanita itu adalah orang tua Irwan. Statusnya masih ibu mertua.“Mah,” sapa Luna lalu meraih tangan wanita itu untuk c

  • Ambil Saja Suamiku   53. Tamu Tak Diundang

    “Makasih ya Ceng,” seru Ibu menerima kunci mobil dari Aceng.“Sama-sama mpok. Aye pulang dulu ya.”“Iya,” sahut Ibu lalu mengantar sampai pagar dan merapatkan pintu.“Ibu dari mana?” tanya Sherin saat Ibu menutup pintu depan.Hampir pukul delapan malam ibunya datang diantar oleh Aceng orang kepercayaannya di toko.“Bertemu Luna,” jawab Ibu.“Kenapa nggak dia aja suruh ke sini, orangtua dikerjain,” gumam Sherin.“Ibu tidak merasa dikerjai oleh anak sendiri. Malah ibu yang minta kami bertemu di luar saja, demi kenyamanan dia. Kamu tunggu, ada yang harus dibicarakan. Ibu ganti baju dulu.”Melihat ibunya sudah ke kamar, Sherin bergumam mengejek kebijakan ibunya. Menurut dia, ibu pilih kasih. Merasa seperti tahanan saja, tidak dibebaskan keluar rumah kecuali atas izin dari sang ibu.Ibu keluar dari kamar sudah berganti daster yang lebih nyaman. Menuju sofa ruang tamu dan memanggil Sherin untuk ikut duduk.“Mana Beni?”“Udah tidur, dari sore ngambek mau ketemu Luna. Aku hubungi tidak aktif,

  • Ambil Saja Suamiku   52. Menyangkal

    “Apa, hamil?”Luna mengangguk pelan menatap sendu ibunya. Salamah pun tidak bisa berkata-kata, ia bingung harus bersikap bagaimana antara senang dan sedih. Hanya bisa mengerjapkan matanya.“Bu,” panggil Luna. “Ibu tidak senang aku hamil?”“Senang, tentu saja ibu senang. Tambah cucu dan ini juga keinginan kamu ‘kan?” tanya Ibu sambil mengusap pipi Luna. “Tapi … kamu bilang mau cerai. Lalu bagaimana dengan anakmu nanti.”“Bukannya aku egois, tapi aku tetap ingin pisah dengan Mas Irwan. Banyak anak-anak yang tetap bahagia meski dilahirkan dari keluarga pasangan yang berpisah. Anakku nanti tidak akan kekurangan kasih sayang, ibu bantu aku dan semangati aku bu,” rengek Luna.“Pasti sayang, pasti ibu bantu. Mana mungkin ibu tidak bantu kamu.” Ibu kembali mengusap punggung tangan putrinya. Kehamilan dijalani Luna pasti akan berat. Harusnya ia didampingi suami tercinta, tapi ada masalah diantara mereka.Cukup berbincang, Luna dan Ibunya memutuskan untuk pulang.“Jaga diri baik-baik, hubung ib

  • Ambil Saja Suamiku   51. Aku Hamil

    “Saya tidak terima, kalian menginjak-injak harga diri Irwan sama saja menghina kami. Kalaupun Irwan belum bekerja, kami masih sanggup membiayai kebutuhan Irwan juga Luna,” teriak Mama Irwan.Perdebatan itu terjadi di beranda rumah, tentu saja didengar oleh tetangga depan dan samping rumah. Belum reda keluarga Luna menjadi omongan tetangga, ditambah dengan kedatangan orang tua Irwan yang langsung mencak-mencak merasa tidak bersalah.“Siapa menghina kalian, seharusnya aku dan Luna yang terhina,” seru Ibu Salamah berusaha tetap tenang.“Mah, sudah, kita bicarakan baik-baik. Jangan begini, malu dilihat tetangga,” ujar Papa Irwan.“Biarkan saja, biar mereka yang malu.”“Aku tidak malu, justru seharusnya kalian yang malu. Bertamu langsung teriak seperti orang kesurupan.”“Wajar kesurupan, di sini banyak setan.”Salamah hanya bisa mengurut dada menanggapi besannya atau calon mantan besan. Sepertinya ia tidak sanggup kalau Irwan dan Luna berbaikan dan kembali berbesanan dengan keluarga itu.“

  • Ambil Saja Suamiku   50. Keputusan Luna

    “Aku … aku tetap ini cerai.” Luna menghela nafas setelah mengatakan itu.Sangat yakin dengan keputusannya. Apa yang dilakukan oleh Irwan sangat fatal, mengingkari janji suci pernikahan mereka. Membiarkan Luna menjadi tulang punggung padahal ia adalah tulang rusuk, sudah tidak masuk akal. Ditambah lagi Irwan berkhianat.Yang paling menjengkelkan, baik Irwan ataupun Sherin tidak terlihat menyesal akan kesalahan mereka. Kalaupun Irwan memohon mohon, terlihat tidak tulus. Jika Irwan meminta maaf, Luna akan maafkan, tapi tidak akan bisa melupakan kejadian itu dan keputusannya akan tetap sama.“Lo yakin?” tanya Ratna lagi dan dijawab Luna dengan anggukan. “Mungkin agak aneh kalau gue kasih saran, karena menikah juga belum. Tapi coba lo bicara lagi sama keluarga lo. Ibu atau dengan Irwan juga.”“Tentu saja, aku akan bicara dengan mereka.”“Apapun keputusan lo nanti, gue selalu dukung lo.”Luna tersenyum. “Terima kasih ya.”Ratna beranjak membereskan peralatan makan mereka, sudah sepakat sebe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status