“Gue bilang juga apa, lo cocok jadi wakilnya Sadam,” bisik Ratna saat rapat berakhir.
“Aku jadi nggak enak, kayaknya nggak semua tim setuju dengan keputusan Pak Sadam,” balas Luna yang juga berbisik.
“Nggak usah lo pikirin. Siapa pun yang ada di posisi wakil Sadam mereka selalu kontra.”
Luna menghela nafasnya. “Tapi, kenapa nggak kamu aja ya. Seharusnya, tadi pagi kamu yang serahkan laporan dan ….”
“Nggak akan Lun, Sadam nggak akan tawarkan posisi itu ke gue.”
“Kenapa?” tanya Luna heran dan Ratna hanya mengedikkan bahu.
“Udah ah, kita makan yuk. Laper gue.”
Namun, atensi kedua perempuan itu tertuju setelah mendengar suara Sadam.
“Luna, ikut saya!”
“Sekarang, pak?” tanya Luna setelah saling tatap dengan Ratna. Saat ini sudah jam makan siang, tapi Sadam malah minta dia ikut ke ruangan.
“Menurutmu, kalau aku butuh kamu bulan depan apa harus aku panggil sekarang.” Sadam bicara dengan tangan berada di saku celananya. Ratna sempat terkikik lalu berdeham dan mengulum senyum.
Tidak ingin membuat masalah apalagi mengajak berdebar, Luna langsung berjalan menghampiri Sadam. Tiba di ruang kerja pria itu, ia langsung disuguhi setumpuk dokumen yang harus ditangani mulai hari ini. Sadam juga menjelaskan lagi apa yang harus dia kerjakan sebagai wakil manager. Meski masih ada yang kurang jelas, Luna tetap mengangguk pelan seakan ia mengerti semua yang disampaikan.
“Meja kerja kamu di depan sana, tepat di samping sekretaris saya.”
“Baik, pak.”
“Mungkin akan lebih banyak di ruangan ini, saat membahas anggaran dan proyek yang sudah selesai.”
Diskusi mereka sudah selesai, Luna beranjak sambil membawa dokumen yang tadi diserah terimakan. Saat tangannya menyentuh handle pintu, Sadam kembali bicara.
“Lusa kita akan kunjungi proyek A, paling cepat tiga hari. Siapkan semua dokumen yang diperlukan.”
“Lusa, pak?” Luna bertanya memastikan yang tadi ia dengar.
“Hm. Masalah akomodasi hubungi finance minta mereka urus sekalian karena HRD belum mendapatkan penggantiku.”
Sadam mengernyitkan dahi karena Luna terlihat bingung dengan perintahnya. “Jangan bilang kamu tidak bisa atau tidak siap.”
“Oh, tidak pak. Saya … siap kok.” Gegas Luna mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Meletakan semua dokumen yang dibawa di atas meja kerjanya yang baru.
“Mas Irwan bakal kasih aku izin nggak ya. Aku naik jabatan aja mendadak, belum lagi perjalanan dinas juga dadakan kaya tahu bulat.
***
“Irwan.” Terdengar teriakan dari dalam rumah.
“Iya Bu,” sahut Irwan yang baru saja membakar rokok dan baru dua kali dihis4p. “Aish, ada aja. Baru juga duduk.”
Irwan kembali ke dalam dan mencari ibu mertuanya. “Kenapa Bu?”
“AC di kamar Sherin baru dipasang besok. Untuk sementara bawakan kipas angin yang biasa dipakai Bik Ela nyetrika.”
“Oh, iya bu.”
“Eh, mau kemana kamu?” tanya Ibu karena Irwan tidak menuju ruang belakang, tempat pakaian dicuci dan setrika.
“Ngerokok dulu bu, sayang sudah dibakar.”
“Anterin sekarang, kasihan Beni udah mau tidur. Pasti panas dan banyak nyamuk.”
Meski dongkol Irwan tetap melaksanakan perintah itu. Mengambil kipas dan mengantarkan ke kamar kakak iparnya. Ternyata pintu kamar tertutup.
Tok tok
“Mbak Sherin, ini kipasnya,” ujar Irwan pelan.
Tidak lama pintu pun dibuka.
“Ini kipasnya mbak,” ujar Irwan lagi.
“Oh, tolong bawa masuk ya.” Sherin membuka pintu kamar lebih lebar mempersilahkan Irwan untuk masuk.
Sempat canggung saat melihat Sherin mengenakan daster pendek tanpa lengan, apalagi harus memasuki kamar meski milik kakak iparnya sendiri. Irwan mengangguk saat melewati Sherin.
“Mau dipasang di sebelah mana mbak?”
“Di sana saja.” Sherin menunjuk ujung ranjang agar hembusan angin terasa saat iya dan anaknya berbaring.
“Bunda.” Beni yang sudah tertidur merengek karena tidak nyaman. Sherin gegas naik ke ranjang dan memeluk putranya sambil menepuk bokong bocah itu.
Setelah menyambungkan kabel pada terminal listrik dan menghidupkan kipas dengan putaran sedang, Irwan melirik ke arah ranjang dan langsung menelan saliva mendapati pemandangan yang tidak sengaja tapi rugi untuk diabaikan.
Mengenakan daster pendek dan posisi berbaring, tentu saja ujung dasternya terangkat. Membuat kedua pahanya yang putih terpampang jelas dan terlihat sempurna di mata Irwan.
“Kurang naik,” gumam Irwan.
“Hah, kenapa?” tanya Sherin tidak menyadari dengan posisinya.
“Ini anginnya cukup atau kurang?” tanya Irwan langsung mengalihkan pandangan, khawatir Sherin menyadari ia sedang mencuri pandang. Tidak ingin dituduh sebagai pria mesum mengintip iparnya sendiri.
“Cukup, sudah cukup. Makasih ya.”
“Sama-sama mbak.” Irwan pun menuju pintu meski sempat melirik lagi.
Busyet putih amat, mana semok, batin pria itu.
“Luna belum pulang?” tanya Sherin masih berbaring memeluk Beni dan membelakangi pintu.
Irwan yang akan keluar pun menoleh.
“Belum mbak. Mungkin lembur.” Pandangan Irwan tertuju pada bokong Sherin dan leher serta tulang selangka.
“Kasihan banget kamu, jam segini belum bisa meluk istri. Habis lembur Luna pasti capek, belum tentu bisa service enak.”
“Sudah biasa, mbak.” Merasakan bagian bawah tubuhnya mulai bereaksi. Irwan pun gegas pamit dan langsung menuju kamarnya.
“Sialan, pake bangun,” ujar Irwan sambil melihat ke arah bawah tubuhnya. “Mana Luna belum pulang, masa harus main solo,” gumam Irwan lalu menutup pintu kamar.
“Badannya mbak Sherin montok banget, dia sengaja apa gimana sih.” Irwan mengusap kasar wajahnya karena bayangan tubuh Sherin masih saja berseliweran dalam pikiran. “Memang rumput tetangga kadang terlihat lebih indah dari rumput sendiri.”
Selama perjalanan ke kantor, tidak ada percakapan terjadi. Sadam bungkam dengan raut wajah tidak terbaca. Perubahan itu setelah bertemu dengan wanita yang dipanggil Meli. Luna penasaran ada hubungan apa Sadam dengan wanita itu. Namun, tidak berani bertanya.Mobil pun sudah memasuki area perusahaan lalu menuju basement terparkir rapi. Saat Luna melepas seatbelt dan hendak membuka pintu mobil. Sadam menahan tangan Luna.“Wanita tadi, dia mantan istriku.” Sadam mengatakan itu dengan pandangan lurus ke depan. Raut wajahnya masih datar dan tidak terbaca. “Sudah bertahun-tahun kami berpisah dan baru tadi bertemu lagi. Maaf kalau sikapku--”“Aku mengerti,” ujar Luna.Sadam pun menoleh. Tangannya masih memegang tangan Luna. Dari tatapan mata Sadam, Luna melihat ada luka di sana. Entah ada masalah apa dengan mereka di masa lalu yang jelas berakhir tidak baik. Mungkin sama seperti yang ia rasakan saat berpisah dengan Irwan.“Sepertinya dia ingin bicara dengan bapak. Kalau aku boleh saran, baikn
“Iya, Pak Sadam,” sapa Luna. Baru selesai bersiap, ada panggilan masuk dari pria itu.Luna menjawab sambil mematut wajahnya di cermin.“Aku hampir sampai. Mau dijemput ke rumah atau di tempat semalam?”“Hah, Pak Sadam jemput aku?”“Hm. Kamu sudah siap?”“Su-sudah sih. Di tempat semalam aja, aku berangkat sekarang.”Luna mengakhiri panggilan, tidak ingin membuat Sadam kelamaan menunggu. Ada untungnya ia tidak membawa semua pakaian dan barang lainnya. Seperti sekarang ia tidak khawatir untuk bekerja meski tidak membawa pakaian ganti.“Bu, aku jalan ya.” Luna menghampiri ibu sedang menyesap teh. Sherin menemani Beni yang sudah siap dengan seragam nya sedang sarapan. “Tidak sarapan dulu?”“Nanti saja di kantor, aku sudah dijemput.” Luna meraih tangan ibunya, mencium dengan takzim dan mendapat usapan di kepala.“Ya sudah, jaga kesehatanmu. Sabar dulu, kita selesaikan semua satu-satu.”Luna mengangguk, paham dengan maksud ibunya.“Tante mau kemana?” tanya Beni menghentikan kunyahnya.“Ker
Luna keluar dari kamar mandi ibunya dan sudah berganti piyama. Sudah malam, ibu tidak mengizinkannya pulang ke kosan. Namun, Luna tidak menempati kamarnya sendiri, melainkan di kamar ibu.“Sudah mau tidur?” tanya Ibu menutup pintu lemari lalu beranjak ke ranjang.“Hm, badan aku pegal bu.”“Mau ibu buatkan susu hangat.” Masih duduk di tepi ranjang dan siap beranjak sambil menatap putrinya.“Nggak usah bu, nanti malah sebah perut aku jadi nggak bisa tidur.” Luna membuka tasnya mengambil kabel charger. Namun, sebelum menghubungkan pada ponsel, ia mengirim pesan pada Sadam kalau malam ini tidak pulang ke kosan.“Ya sudah cepat baring, besok kamu harus kerja.”“Iya,” sahut Luna mencharger ponsel di atas nakas sisi ranjang yang akan ditempati.Hasil pembicaraan bersama Sherin dan Irwan, Ibu putuskan menunggu kedatangan keluarga Irwan untuk melamar dan memuaskan kapan Sherin dan Irwan akan melangsungkan pernikahan.Tidak menuntut bawaan pernikahan yang mewah apalagi resepsi, yang penting res
“Kalian?” Luna menatap Sherin dan Irwan bergantian dengan tatapan kesal dan marah. Bukan karena masih ada perasaan pada Irwan dan rasa cemburu. Namun, marah mendengar ide gila Sherin.“Kamu bilang ke Luna kita mau bertemu?” tanya Sherin lalu memukul lengan Irwan.Irwan mengusap lengannya menatap Luna. Wajah cantik dan imut dari wanita itu, ada rasa sesal menyelinap dalam dada. Namun, Irwan gegas menggeleng pelan. Luna sudah bukan miliknya lagi. Tidak boleh ada penyesalan karena semua salahnya. Saat ini ia harus perjuangkan Sherin.“Nggak, aku nggak hubungi Luna. Ini pertama kali kami bertemu setelah putusan pengadilan,” tutur Irwan.“Jadi benar kamu hamil mbak?”“Kamu, tahu dari mana?” Sherin malah balik tanya. Ia sudah berusaha menutupi dan baru Irwan yang tahu masalah ini.“Tidak perlu tahu dari mana. Lalu apa maksud kamu mau buang janin. Sadar mbak,” cecar Luna.“Justru karena aku sadar makanya aku akan buang. Nggak mungkin aku nikah sama dia.” Sherin menunjuk Irwan. “Aku tidak ma
“Aku bisa pergi sendiri.” Luna tidak enak karena Sadam akan mengantar dia pulang. Sudah janji pada ibu kalau sore ini akan pulang ke rumah.“Dan aku bisa antar kamu. Lalu masalahnya di mana?”“Akunya nggak enak.”“Enakin saja. Salah satu kelebihan menjadi kekasihku, ya ini,” seru Sadam lalu menekan sensor kunci dan membuka pintu mobil. “Silahkan, sayang,” ujar Sadam.Luna tidak bisa menolak apa yang ada di depan mata. Cinta dan perhatian Sadam yang terlihat tulus. Pria itu selalu memperlakukan Luna dengan sopan, tidak pernah menjurus pada hal yang aneh apalagi mesum.Dalam perjalanan tidak banyak percakapan yang terjadi karena Sadam fokus dengan kemudi dan jalanan di depan. Jam pulang kantor membuat jalanan macet dan padat di beberapa titik.Sejak tadi Luna selalu mencuri pandang pada Sadam. Saat mobil berhenti karena lampu lalu lintas, pria itu pun menoleh dan tersenyum.“Lirik-lirik nanti makin cinta loh.”“Ish, siapa yang lirik kamu.” Luna membuat pandangannya ke luar jendela sambi
Luna tidak bisa memberikan solusi dari masalah Sherin. Bagaimanapun wanita itu sudah dewasa. Tidak mungkin dipaksa atau diseret ke dokter memastikan hamil atau tidak hamil.Saran yang disampaikan Luna agar Ibu mengajak Sherin bicara dan menyampaikan kecurigaan itu dengan hati-hati. Semoga saja Sherin luluh dan mau mengaku atau bersedia melakukan pemeriksaan.Tidak ingin terlibat lebih jauh, walaupun Sherin benar hamil kemungkinan besar bayi itu milik Irwan. Hubungan mereka bertiga agak kembali canggung dan berjarak karena masalah ini.“Ck, kenapa jadi kacau begini,” gumam Luna.Ia harus menurunkan ego untuk menangani masalah Sherin. Tidak ingin kesehatan ibunya kembali drop karena masalah ini.“Sepertinya besok aku harus pulang.”Baru akan meletakan ponsel di atas nakas, nyatanya ponsel itu bergetar. ada pesan dari Sadam.[Aku sudah sampai apartemen][Tapi sudah kangen lagi]Luna tersenyum dan mengetik balasan. [Gombal][Aku serius, sayang. Kamu istirahat ya. Good night and sleep tigh