“Aku … aku tetap ini cerai.” Luna menghela nafas setelah mengatakan itu.Sangat yakin dengan keputusannya. Apa yang dilakukan oleh Irwan sangat fatal, mengingkari janji suci pernikahan mereka. Membiarkan Luna menjadi tulang punggung padahal ia adalah tulang rusuk, sudah tidak masuk akal. Ditambah lagi Irwan berkhianat.Yang paling menjengkelkan, baik Irwan ataupun Sherin tidak terlihat menyesal akan kesalahan mereka. Kalaupun Irwan memohon mohon, terlihat tidak tulus. Jika Irwan meminta maaf, Luna akan maafkan, tapi tidak akan bisa melupakan kejadian itu dan keputusannya akan tetap sama.“Lo yakin?” tanya Ratna lagi dan dijawab Luna dengan anggukan. “Mungkin agak aneh kalau gue kasih saran, karena menikah juga belum. Tapi coba lo bicara lagi sama keluarga lo. Ibu atau dengan Irwan juga.”“Tentu saja, aku akan bicara dengan mereka.”“Apapun keputusan lo nanti, gue selalu dukung lo.”Luna tersenyum. “Terima kasih ya.”Ratna beranjak membereskan peralatan makan mereka, sudah sepakat sebe
“Jangan diam saja, kamu serius diusir?”“Aku … mana barang-barangku?”“Di depan. Jadi kamu beneran diusir Luna? Beraninya dia, sudah merasa hebat bisa cari uang sendiri. Coba hubungi dia, mama mau bicara.”Irwan keluar dari kamar melewati ibunya yang masih geram dengan ulah Luna. Mengambil koper dan tas yang ada di beranda lalu di bawa ke kamar.“Irwan, mama serius. Ayo hubungi Luna, mama mau bicara.”“Sudahlah mah. Nanti saja, tunggu keadaan lebih tenang. Saat ini mereka sedang emosi,” jelas Irwan. Menutupi kenyataan yang sebenarnya.“Sekarang mama juga emosi. Apa maksudnya barang-barang kamu diantar begini, apa Luna ingin pisah dari kamu.”Irwan mengusap kasar wajahnya. Ia belum memikirkan masalah itu, Luna juga tidak mengatakan apa-apa saat ia hengkang dari rumah. Paling buruk memang mereka bercerai, tapi Irwan yakin Luna akan luluh. Untuk saat ini ia hanya perlu mengalah dan menjauh, ada masanya amarah Luna mereda.‘Dia terlalu cinta, nggak mungkin bisa pisah denganku,’ batin Irwa
Hari ini Luna masih izin tidak bekerja. Sadam tidak keberatan dan memahami kondisi wanita itu. Apalagi mendengar kabar semalam masuk UGD meski sekarang sudah pulang. Sejak tadi ia menunggu kedatangan Ratna, tidak sabar untuk mendengarkan masalah sebenarnya dan kondisi Luna sekarang.Akhirnya yang ditunggu pun datang. Ratna membuka pintu ruangan, langsung masuk dan duduk di depan meja Sadam.“Kenapa sih, gue lagi kerja tahu.”Sadam berdecak, ia menutup laptop dan bersandar sambil bersedekap.“Gimana kondisi Luna?”“Hm, ya begitu. Masih terpuruk sih dan lebih parahnya kemarin kita ketemu sama mantan kakak iparnya. Ternyata konfliknya lebih berat,” seru Ratna. “Pasti pengen ketemu ya,” ejek Ratna lalu terbahak.“Suaminya beneran selingkuh?”“Iya, sama kakaknya, jadi suaminya selingkuh dengan kakak ipar. Gila nggak tuh."“Ada kemungkinan mereka rujuk?” tanya Sadam lagi.Ratna terdiam, mengingat kondisi Luna ternyata sedang hamil. Pasti sangat dilema dengan keputusan bercerai yang pernah d
“Apa alasan kalian bercerai?” tanya Luna. Ia perlu tahu kejadian yang sebenarnya dari pernikahan sang kakak, bukan dari sisi Sheirn saja.“Kami ….” Ardan menjeda kalimatnya lalu melirik Ratna.“Ah iya, saya tunggu di luar saja.”“Jangan, kamu tetap di sini. Aku tidak mau membahas apapun kalau dia tidak di sini,” seru Luna.“Oke, tidak masalah.”Ardan paham dengan kondisi Luna, melihat wajah wanita itu dengan kedua mata yang sembab dan bengkak sepertinya ada masalah yang menyebabkannya menangis cukup lama. Sebenarnya ia tidak tega, tapi belum tentu ada kesempatan lagi.Luna dan Ratna mendengarkan secara garis besar pernikahan Sherin dan Ardan, sesekali Luna menelan saliva dan menghela nafasnya. Sangat bertolak belakang dengan yang dia dengarkan dari sang kakak.“Saya tidak tahu Sherin cerita apa, tapi saya ada buktinya.” Ardan mengeluarkan ponsel dan membuka galeri lalu menunjukan beberapa foto juga memutar video di mana ia menggerebek Sherin bersama seorang pria di penginapan.“Demi B
“I-bu.”“Cari apa?” tanya Ibu lagi. Sherin langsung menurunkan ponsel dan memasukan ke dalam kantong.“Tadi ….”“Kamu masih komunikasi dengan Irwan?”Sherin diam saja, bingung harus beralasan apa. Sudah kepergok akan melakukan sesuatu di kamar adiknya.“Pakaiannya besok ibu kirim dengan ojek, kalaupun ada perhiasan yang tersisa biar Luna yang urus. Kamu tidak perlu ikut campur.”“Aku hanya bantu saja bu, dia minta tolong.”“Bagaimana dengan Luna, dia adikmu yang juga harus kamu tolong. Khawatir pun tidak, masih saja peduli dengan pria itu. Sebaiknya kamu masuk kamar, renungi kesalahan kamu dan jangan pernah berniat kabur dari rumah ini.”Sherin menghela nafas lalu menuju kamarnya meninggalkan ibu yang masih menatap tidak percaya kalau putri sulungnya itu ternyata bebal juga. Hatinya sakit mendapati sang putri bisa melakukan hal kotor berhubungan dengan pria beristri, iparnya sendiri.“Bapak kamu pasti sedang menangis di dalam kubur, karena kelakuan putrinya macam binatang.”Ibu kembal
Ratna membiarkan Luna menangis di sofa sambil memeluk bantal. Ia mengambil air mineral dan tisu. Meletakan di meja sofa. Menatap sahabatnya yang sesenggukan.“Minum dulu, nanti kekurangan cairan lo.”Luna mengambil beberapa helai tisu dan mengusap wajahnya. Ratna mengulurkan botol air mineral, ia terima dan langsung diteguk bahkan habis setengahnya.“Udah bisa cerita atau mau istirahat?” tanya Ratna. Baru kali ini ia melihat Luna sampai begitu, biasa ceria dan selalu bersemangat.“Aku boleh tidur di sini sampai dapat kosan.” Luna bicara lirih sambil kembali menyusut matanya.“Boleh, gue tadi udah bilang boleh. Nggak usah cari kosan, tinggal aja di sini nggak usah cari kosan. Ada dua kamar, lo bisa pakai yang satunya. Nggak tiap malam gue tidur di sini,” seru Ratna. Ia beranjak dan membawa koper serta tas milik Luna ke dalam salah satu kamar.“Udah makan belum?” tanya Ratna keluar dari kamar menuju dapur. “Cuma ada mie instan, sosis sama telur.”Ratna kembali ke sofa, kali ini duduk di
Irwan terlihat panik, dia mengusap kasar wajahnya. Sherin menghela pelan dan terlihat masih tenang. Entah terbuat dari apa hatinya, padahal sudah ke gap berbuat asusila. Seakan tanpa beban, tidak menunjukan rasa bersalah dan penyesalan.“Jawab bu," pinta Sherin.Ibu menatap Sherin dan Irwan bergantian.“Ibu salah karena sudah menutupi kesalahan mereka, ibu lakukan untuk kamu Luna. Aku ingin pernikahan kamu tidak gagal. Hampir satu minggu aku awasi mereka dan membatasi interaksi mereka. Sampai kemarin pun Sherin tidak lepas dari pengawasanku.”“Apa kesalahan mereka? Ibu lihat apa?” cecar Luna, air matanya masih saja menganak sungai.“Kesalahan apa sih, kamu jangan berlebihan deh,” sungut Sherin pada adiknya.“Diam kamu Sherin. Kamu yang berlebihan dan menjijikan. Aku menyaksikan sendiri kalian bersetubuh di ruang binatu, saat Luna sedang tidur.”Tangis Luna semakin pecah, tubuhnya merosot ke lantai membuatnya bersimpuh karena lemas seakan tidak ada daya.“Sayang, maafkan aku,” ujar Irw
“Hahh.”Luna menghela nafasnya pelan, lalu menyandarkan kepalanya di atas meja. Perasaan dan tubuhnya sangat tidak nyaman. Antara lelah dan kurang sehat. Benaknya dipenuhi dengan masalah dirinya dan Irwan. Ia ingin hubungannya lebih baik dan ide Ibu sepertinya tidak buruk. Malas untuk keluar makan siang, ia sudah titip makanan pada OB.“Woy, kenapa lo?” tanya Ratna. “Makan yuk,” ajaknya.“Aku malas keluar, sudah titip sama OB,” sahut Luna masih bergeming dengan posisinya.“Sakit apalagi ada masalah?”Terlihat Luna hanya mengedikan bahu.“Terus gimana kasus si Sherin, jadi siapa pacar gelap dia?”“Nggak tahu.” Luna akhirnya mengangkat kepala, tapi tidak menatap Ratna. Melainkan menunduk dengan dahi mengernyit.“Muka lo kusut amat, kayak duit lecek. Padahal baru aja gajian.”“Hah, serius udah masuk?” tanya Luna penuh semangat.“Udah, makanya cek ponsel. Kerja apa robot, sih. Gue WA nggak dibaca, diajak keluar malah nggak bisa move on dari kursi panas lo.”Luna mengabaikan Ratna, ia meme
“Jam segini baru pulang, lembur lagi?”Luna menghela nafasnya. Baru saja masuk kamar langsung ditanya hal yang tidak perlu ditanyakan. Tentu saja ia baru lembur, bukan ngamen di jalanan. Jiwa dan raganya lelah, tidak ingin berdebat dengan sang suami. Apalagi masih ada hal yang perlu mereka bicarakan.“Iya,” jawab Luna.Meletakan tas di tempatnya, jam tangan dan menguncir rambut siap untuk mandi.“Aku paham kamu kerja untuk kita berdua, tapi kamu harus ingat kewajiban kamu dong. Setiap hari lembur, belum lagi harus keluar kota. Mana waktu untuk aku.”Irwan meluap-luap, menyampaikan uneg-unegnya. Bukan karena kesal dengan Luna, tapi hanya pelarian saja karena gagal pergi dengan Sherin. Beberapa hari ini ibu mertuanya sudah seperti satpam, giliran sudah ada peluang masih juga gagal.“Mas, please. Aku capek.”“Aku juga capek. Kamu kira aku menghadapi keluarga kamu nggak capek.”“Mas, please. Aku lelah dan kamu sedang emosi.” Entah ada masalah apa di rumah itu, sampai semua orang membuat L