Bab 3
"Awas ya kalau sampai nanti kalian gak bisa bayar, jangan harap aku mau memberikan uang untuk bayar belanja!" Teriak Mas Dirga yang membuat aku seketika menghentikan langkah. Memutar tubuh dan aku lihat Mas Dirga tersenyum mengejek. "Takut kan, kalian pikir barang-barang di mall itu murah hingga PD bener mau beli ke sana! Heh, mall itu sepatu mahal, kalaupun ada yang murah itu juga sejuta, terus kalian dapat daripada uang segitu. Mau minta aku?" Mas Dirga menaikkan sebelah bibirnya," jangan harap!" Aku menarik nafas lalu mencoba tersenyum walaupun rasanya getir dan hati sakit. "Jangan kuatir aku gak akan minta uang kok sama Mas Dirga karena aku tahu prioritas mas itu bukan kami tapi keluarga mas dan aku juga mau memberikan peringatan sama mas, nanti malam kamu kalau dingin jangan minta peluk istrimu lagi, kalau sakit dan gak bisa jalan juga jangan minta kami untuk ambil minum, mas suruh saja ibu sama kakak mas, termasuk kalau mas pingin, mas kelonin saja mereka," ucapku sengit. Aku lihat wajah suamiku memerah karena menahan amarah, dadanya bergelombang tapi aku tidak peduli segera aku memutar tubuh dan menarik lengan anakku. "Awas kamu ya! Kalau pulang nanti, jangan harap aku mau buka pintu!" Terus berjalan dan menggandeng tangan anakku, berjalan menuju taxi yang sudah menunggu. Aku segera masuk ke dalam taksi lalu menyebutkan nama salah satu mol yang sangat terkenal di kota ini. Di sepanjang perjalanan aku lihat ada tampak Diam dia tidak menunjukkan kalau dia bahagia membuat hatiku bertanya. "Sayang kok kamu murung Memangnya kenapa?"tanyaku lembut sambil membelai rambutnya. "Bu kalau nanti kita nggak dapat pintu kita mau tidur dimana?" tanya anakku sambil menatapku membuat aku menarik nafas dalam, ternyata dari tadi dia termenung karena memikirkan ini. Sekarang aku baru keringat bahwa beberapa tahun yang lalu Mas Dirga pernah melakukan ini kepada kami . Saat itu kami sedang ke pasar dan pulangnya kemalaman Mas Dirga yang marah tidak mau membukakan pintu untuk kami sehingga kami terpaksa tidur di luar dan paginya Aida mengalami sakit asma hingga beberapa hari dia demam, mungkin karena inilah Aida merasa trauma. "Kamu nggak perlu kuatir Sayang nanti kita tidur di hotel,"jawabku yang membuat senyum Aida merekah seketika. Senang? Tentu saja ini pertama kalinya Aida akan menginap dihotel, ayahnya sering menginap tapi, tak pernah ada jatah untuk kami. "Serius Bu?"tanya Aida dengan mata yang berbinar, mungkin tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan sementara aku mengangguk sambil mencium pipinya. "Yipi.."teriak anakku girang. Taksi terus melaju membelan jalan raya dan sepanjang jalan itu Aida terus saja bercerita tentang apa saja yang nanti akan dibelinya hingga tak terasa sampailah kami di sebuah bangunan gedung bertingkat yang sangat megah dia sih dengan lampu-lampu yang mewah. "Wah akhirnya Aida pergi juga ke mall,"ucap anakku dengan gembira. Sementara aku hanya tersenyum memperhatikan tingkah anakku. "Berapa semua pak?"tanyaku pada sopir taksi untuk menanyakan ongkos dan setelah sopir itu menyebutkan berapa rupiah yang harus aku bayar aku pun segera membayarnya dan aku bersama Aida segera masuk ke dalam mall. Aida berlari ke sana dan kemari seperti anak yang baru saja keluar dari hutan Dia sangat bahagia sekali, karena memang ini pertama kalinya Aida diajak pergi ke mall apalagi mall sebesar ini. "Ibu, dingin banget di sini," ucap anakku yang kemudian menjadi pusat perhatian beberapa orang tapi bukannya malu aku justru merasa iba dengan nasib anakku. Kasihan sekali anakku padahal kami dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan, tapi untuk sekedar jalan ke mall saja mas Dirga tidak pernah mengajak kami paling banter kami hanya diajak pergi ke pasar malam itu pun bisa dihitung dengan jari. "Ibu aku naik itu,"ujar Aida sambil menunjukkan mainan yang ada di mall. "Iya sana nanti Ibu temani Kita main berdua ya," ucapku sambil tersenyum. "Memangnya Ibu bisa main itu?" Aku hanya tersenyum sambil mengusap kepala anakku tentu saja aku bisa memainkan permainan Itu karena dari kecil aku selalu diajak papaku untuk main di mall ini. "Nanti kita belajar sambil main, ayo!" Aku segera menggandeng anakku lalu memainkan seluruh permainan yang ada di mall tersebut tanpa memperdulikan berapa koin yang aku habiskan yang terpenting adalah aku bisa melihat senyum di wajah anakku. "Ibu nanti habis ini naik itu ya!"Aida menunjuk permainan lain dan tentu saja aku menyanggupinya hari ini pokoknya aku peruntukan untuk Aida Aku ingin melihat anakku senang. Selesai main kami pun belanja apa saja yang diminta oleh Aida aku langsung membelikannya, aku juga tidak peduli walaupun Mas Dirga menelpon entah berapa kali di hp-ku bahkan aku mematikan ponselku agar tidak terganggu oleh mereka. "Sepatunya mau yang itu ya Bu,"ucap Aida sambil menunjuk sepatu ya sangat bagus mungkin harganya jutaan tapi tanpa fikir panjang aku segera mengambil sepatu itu dan mencari ukuran yang pas untuk kaki anakku. Bukan hanya sepatu Aida juga minta tas dan juga perlengkapan sekolah lainnya aku juga membelikan beberapa baju untuk Aida. Anakku itu dari beberapa tahun yang lalu belum pernah diberikan baju baru oleh ayahnya. "Belanja udah sekarang kita makan ya Kamu mau makan apa?"tanyaku, sementara Aida menyapu pandangannya ke seluruh ruangan mall mungkin mencari makanan apa yang dia sukai. "Boleh nggak makan sushi?" Dengan tanpa berpikir panjang lagi aku langsung menyanggupi apa yang diinginkan oleh anakku pokoknya hari ini betul-betul hari yang aku khususkan untuk membahagiakan anakku aku tidak peduli berapapun uangnya aku habiskan yang terpenting aku bisa melihat Aida senang karena terlalu banyak penderitaan yang dilalui oleh anakku itu. Sesudah dari mall aku segera menuju ke hotel, aku sengaja menyewa hotel bintang lima. "Horee." Aida berlari naik ke atas ranjang lalu berjingkrak-jingkrak di atasnya. "Ibu empuk sekali ini," ucap Aida yang membuat aku tersenyum. Aku teringat ponsel yang aku matikan hingga akupun menghidupkan ponsel itu. Gila Mas Dirga menelpon puluhan kali. [Gak usah pulang! Tidur aja kalian di jalan!] Pesan itu dikirim sepertinya beberapa menit setelah aku keluar dari rumah. [Heh kamu jangan lupa ya, kamu belum masak malam ini] [Awas kamu kalau gak pulang, aku gak akan terima kamu lagi] Pesan itu terus berderet dan aku tak tertarik untuk membalasnya. Hingga timbul sebuah ide dikepalaku. Kususun semua barang belanjaan dan mencari view yang paling menarik lalu aku mulai memfoto barang-barangku, kamar hotel dan juga Aida yang menonton TV besar di kamar hotel. Foto itu segera aku pasang di status W******p yang sengaja aku tunjukkan pada mertua dan iparku. Lalu ku tulis caption. [My time, makasih ya ayah duit dan paket menginap hotelnya] Sent ke status, aku ingin tahu seperti apa hebohnya mereka setelah melihat statusku ini!Dirga menatap anaknya," apa setelah keluar dari rumah Papa, ibu kamu selalu mengajarkan kamu untuk masak sendiri atau ibu kamu terlalu sibuk bekerja sampai kamu harus masak sendiri?" Bocah itu menggeleng," pas keluar dari rumah Papa Aida ketemu sama Om Dave, tiap hari diajak main. Bahkan Aida pernah mau diajak main ke Singapura mau lihat patung singa. Tapi, sayang waktu itu Ibu nggak mau, padahal Aida kepingin banget ke sana." Mata anak kecil itu terlihat terus minar bahagia ketika bercerita tentang Dave membuat Dirga hanya mampu menelan salivanya jujur dia merasa cemburu karena melihat anaknya justru memuji orang lain yang bukan apa-apanya."Ya sudah kalau begitu Papa pergi dulu. Nanti papa pulang, Papa bawakan kamu makanan tapi kamu jangan masak makanan sendiri ya nanti tangan kamu kena minyak," pesan Dirga yang kemudian berjalan meninggalkan rumah. ________"Dirga, besok kamu mau mangkal nggak?" Dirga menoleh ke arah temannya. "Ya kan biasa kita mangkal di sini, memangnya ada ap
Aida," panggil Dirga," kenapa diam saja Nak?" tanya Dirga lembut sambil mengelus pucuk kepala putrinya."Ayo makan, ini rasanya pasti wangi," ucap Dirga mengambilkan sepotong martabak lalu hendak menyuapi Aida. Sungguh sampai umur anaknya hampir delapan tahun, inilah kali pertama dia hendak menyuapi anaknya."Nggak usah, Aida bisa makan sendiri kok," ucap anak kecil itu lalu kemudian mengambil sepotong martabak dan memakannya. Tak ada senyum di wajah anak itu seperti harapan Dirga."Ini, sate yang dulu selalu kamu minta. Ini juga enak loh, yang jualan masih sama kok nggak ada yang berubah," ucap.Dirga berharap mendapatkan senyuman Aida. Namun, tetap sama anak kecil itu tetap dingin. "Apa kamu rindu Ibu kamu, besok kita cari ibumu. Papa akan keliling kota untuk mencari keberadaan ibu kamu kalau perlu papa akan lapor polisi. Supaya kamu bisa bertemu dengan ibumu."Aida menggelengkan kepalanya," Aida mau pulang ke rumah Papa Dave," jawabnya membuat Dirga terdiam. Dia ingin protes bahwa
Dave: baik, kali ini aku ikuti permainan kamu. Tapi kamu harus ingat aku bukan orang yang mudah dipermainkan Jika kamu kembali mengancamku lagi maka Aku pastikan anak buahku akan mencarimu dan aku pasti kan kamu tidak akan bisa bernafas lagi!Pengacau: Baik. Kamu bisa pegang janjiku.Dave terpaksa mengikuti permainan si pengacau itu walaupun dia tahu ini sebenarnya adalah hal bodoh yang sepatutnya tidak dia lakukan. Tapi dia tidak memiliki pilihan lain. Pria itu segera turun lalu meletakkan amplop di tempat yang telah ditentukan oleh si pengacau dan setelahnya dia pun melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu. Di tempat yang agak gelap Dave sengaja turun dari mobilnya lalu berusaha mengintai siapa gerangan si pengacau itu. Namun, sudah beberapa saat menunggu tidak ada satu orang pun yang datang. "Sial, kemana dia?" gumam Dave.Beberapa saat kemudian ponsel laki-laki itu berbunyi. Pengacau: Kamu pikir aku bodoh. Cepat pergi dari sini atau aku akan berubah pikiran. Jika bukti ini aku
Dave meletakkan jemari tengah ke bibir Murni," Tuhan tahu mana yang terbaik bagi kita walaupun terkadang itu rasanya sakit tetapi setiap apa yang diputuskan Tuhan untuk kita itulah yang terbaik."Cukup lama Murni termenung dihadapan makam itu bersama dengan Dave. Dia mengirimkan doa yang panjang kepada anaknya tanpa dia tahu sebenarnya Aida masih hidup dan sedang bersama dengan Dirga. Selesai berdoa dan memohon kepada Tuhan agar Aida diterima di sisinya Murni pun berdiri dibantu dengan Dev lalu mereka berdua melangkah bergandengan menuju mobil dan selanjutnya pergi meninggalkan pemakaman umum tersebut. "Kita berhenti dulu ya, makan di Cafe kebetulan ada menu favorit kamu di sana. Cah kangkung, sambal terasi, udang dan cumi crispy."Murni seketika menoleh ke arah lelaki tampan yang sedang asyik memandangi jalanan itu."Kamu masih ingat makanan kesukaan aku Dave?"tanya wanita itu sambil mengulas senyum. Dia tidak menyangka setelah bertahun-tahun berpisah lelaki itu masih mengingat mak
"Orang tua gak tau malu! Harusnya kamu itu tahu diri Mas sebentar lagi kamu itu akan punya cucu masih mikir mau nikah lagi." Wanita itu kelihatan geram apalagi ketika melihat wanita yang kemungkinan akan menjadi calon madunya.Dave menarik tangan Murni menjauh dari tempat itu. Mereka melanjutkan acara fitting baju mereka. "Jadi bagaimana, kamu mau pakai baju yang ada ini atau kamu mau pesan?"tanya Dave kepada Murni dengan suara lembut."Aku nggak masalah sih soalnya di pernikahan aku terdahulu..." Murni tidak melanjutkan ucapannya karena Dave meletakkan jarinya tepat di bibir Murni. Lelaki itu menggelengkan kepalanya," jangan samakan pernikahan kita dengan pernikahan kamu terdahulu, ini beda. Jika dulu kamu menikah secara koboi bersama dengan Dirga dan akhirnya tidak bahagia tapi di pernikahan ini kita menikah secara terang-terangan. Kita akan pamerkan kepada semua orang tentang kebahagiaan kita biar mereka mendoakan kita supaya kita bisa menjalani rumah tangga kita sampai akhir hay
Beberapa saat kemudian makanan yang dipesan oleh Dirga pun datang dan Aida pun makan dengan lahap. "Habiskan, Nak! Kamu pasti lapar," ucap Dirga. Untuk pertama kalinya tangan kekar laki-laki itu mengelus rambut anaknya. Aida bahkan sampai berhenti mengunyah, dia terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Dirga."Maafkan papa ya nak. Papa sadar Papa telah salah, sekarang setelah kamu dan ibumu pergi Papa merasa kesepian dan papa sadar ternyata kalian sangat berarti bagi Papa." Mata Dirga berkaca-kaca bahkan kemudian air matanya menetes sehingga membuat laki-laki itu buru-buru untuk menghapusnya. "Nak, boleh Papa tanya sama kamu?" tanya Dirga pelan setelah Aida selesai makan. "Mau tanya apa?" tanya gadis kecil itu. Walaupun berusaha bersikap baik padanya akhirnya tampak masih canggung dengan Dirga. "Kenapa kamu sendirian, ibu kamu ke mana?" Dirga menatap Aida dengan pertanyaan penuh di kepala. Sementara Aida menarik nafas dalam lalu dengan terbata-bata anak itu menceritakan semua yang