"Luis?" Emma tertegun berkat penampilan baru pria muda itu. Amat memukau matanya dan bisa diakui, Luis tampak jauh lebih baik dari sebelumnya. Selama ini Luis terlihat lusuh seperti gembel, mendadak ia berubah bak pangeran dari negeri langit.
"Hai, Em!" sapa Luis dengan gaya. Sementara murid-murid lain di koridor memusatkan atensi pada mereka berdua. Emma justru minder, kalau situasinya seperti ini dirinya merasa seolah-olah memerankan Beauty and the Beast—Emma beastnya."Lu, ma-maaf, aku tidak bawa cookies yang kau minta. Kuenya dihabiskan oleh Daniel." Emma takut ditagih, padahal Luis juga tahu kalau si gadis hanya beralasan buat kue kemarin sore."Tidak masalah, Emma. Aku bisa membeli segudang cookies untuk kita berdua, kau tidak perlu capek-capek masak." Luis percaya diri, kantongnya sedang tebal saat ini. "Pulang sekolah nanti tidak ada kegiatan, kan?""Tidak ada.""Mau pergi bersamaku?" Luis menatap Emma dengan penuh pesona. Gadis itu sampai-sampai merona dibuatnya."Pe-pergi?" gagap Emma. Dia selalu gagap kalau sedang gugup. "I-iya ... tentu ...."Hari itu, Luis menjalani aktivitas sekolah dengan tenang. Paling tenang sejak pertama kali masuk ke SMA. Edward dan gengnya segan mengerjai Luis entah sudah berhenti atau memang sedang malas. Pada jam istirahat, dia bisa makan siang dengan tenang tanpa gangguan. Tidak ada yang menyuruh-nyuruh, tidak lagi mengeluarkan uang untuk orang lain, dan jatah makannya aman kali ini. Pula dengan Emma, mereka makan siang asyik berdua tanpa cekikikan tawa menyudutkan dari geng menyebalkan.Hingga waktunya bel panjang berbunyi, Luis berjalan menuju pintu keluar. Gadisnya tampak berdiri di ambang pintu bagian luar, pasti sedang menanti Luis. Ah, itu dia ... si gadis cookies melempar senyum kepadanya."Kita akan pergi ke mana, Luis?""Hmm, entahlah. Aku tidak punya tujuan."Mereka berjalan bersama menuju parkiran, tepat berhenti di sisi sedan merah yang asing bagi Emma."Mengapa berhenti di sini?" tanya Emma bingung."Menurutmu?" Luis segera membuka pintu bagian pengemudi. Sedang, Emma sibuk memperbaiki ekspresinya yang terkejut. Luis baru saja masuk ke dalam mobil, Emma buru-buru menyusul duduk di kursi kosong sebelah si pemuda."I-ini mobil siapa, Lu?" tanyanya."Milikku, Em.""Dari mana kau dapat uang? Astaga! Aku hampir tidak percaya! Kau benar-benar berubah drastis!" Luis mendengarnya sebagai bentuk pujian."Kencangkan sabuk pengamanmu. Kita akan segera berangkat."Chevy dikemudikan tanpa tujuan. Luis mengajak Emma berkeliling kota. Kendati cuma jalan-jalan tidak jelas, tetapi Emma terlihat sangat bahagia dapat menghabiskan waktu berdua bersama teman prianya. Kali ini dengan pengalaman berbeda, biasanya mereka benar-benar berjalan menggunakan kaki. Namun, sekarang ban mobil menggantikan peran kaki-kaki mereka. Berjalan sejauh beberapa kilometer, baru berhenti saat rona langit mulai menguning. Menepi di pinggir jalan yang seperti jurang, dengan pemandangan indah danau besar di bawah. Keduanya lekas keluar dari mobil, menyandarkan diri pada pagar besi pembatas. Luis merasa kekaguman luar biasa terhadap hidupnya. Ia pun berteriak keras, "Akulah raja duniaaa!"Emma menyaksikan kelakuan Luis sembari terkikik geli. Meski pemuda itu bukan raja dunia, tetapi dia adalah raja di hati Emma. Bisa dipastikan."Emma, maukah kau menjadi ratuku?" sontak Luis, terlontar begitu saja dari mulutnya."Luis ...," lirih Emma."Aku menyukaimu sejak lama, Em. Aku hanya belum berani bilang sampai kemarin, karena hidupku sampai kemarin itu tidak memungkinkan buat seorang gadis masuk ke kehidupanku. Aku ingin menjadikanmu wanita yang kubahagiakan seumur hidup. Sepanjang sisa waktuku. Terima cintaku, Emma."Ada kelegaan dan sedikit penyesalan usai Luis mengungkapkan isi hatinya. Lega, tidak perlu menahan perasaannya lagi. Menyesal, sebab Emma tidak kunjung merespons. Luis hampir kehilangan harapan seiring warna kuning di cakrawala semakin pekat. Namun, kepesimisannya seketika musnah. Emma memeluk Luis erat-erat, gadis itu melompat ke tubuh sang pemuda. Untung mereka tidak jatuh ke jurang. Terdengar isak tangis bahagia."Akhirnya kau mengatakannya, Lu. Aku menunggumu mengatakan ini sejak lama." Emma begitu terharu.Alhasil, senja itu mereka resmi menjadi sepasang kekasih dan sebagai hadiah, Luis mengajak Emma pergi ke toko perhiasan di kota."Kalung ini akan tampak cantik di lehermu." Luis hendak membelikan pacar barunya hadiah kecil istimewa."Tidak, Luis. Aku keberatan jika kau membelikanku barang mahal.""Ini tidak mahal, Emma! Harganya cuma lima ratus dollar."Emma mendengkus, tidak mengerti lagi jalan pikiran Luis. "Bagiku jumlah itu sangat bernilai, Lu.""Bagiku tidak, jadi jangan membantah!" paksa Luis. Dia tetap membayar kalung emas berliontin kupu-kupu hijau. Dengan cepat, kalung tersebut telah melingkari leher sang gadis. "Perkiraanku tidak salah. Kalungnya sangat cocok di lehermu.""Terima kasih, Luis," ujar Emma malu-malu. Ekspresinya tampak sangat menggemaskan buat Luis, rasanya ia hampir ingin menggigit Emma seperti menggigit cookies.Yah, sejak hari itu Luis mulai mendapat apa yang dia inginkan. Segala hal yang dahulu hanya menjadi bayang-bayang, satu per satu kian terwujud. Menorehkan kisah cinta bersama Emma, menjadi murid terpandang di sekolah, setelan jas baru—bahkan menjadi murid paling fashionable di sekolah, dompet yang selalu terisi penuh dengan lembaran dollar, dan kini saatnya mengucapkan selamat tinggal pada rumah usang yang ditempatinya sejak lahir.Keluarga kecil Arias pindah rumah. Hunian bobrok mereka telah terjual. Bisnis yang direncanakan George pun telah berhasil dibangun setelah memakan waktu berbulan-bulan. Motel Emerald, dibangun di atas lahan seribu meter persegi, dengan sepuluh kamar, dua lantai. Istimewanya, Luis dan George akan tinggal di sebuah ruangan khusus di rooftop motel, didesain untuk tempat mereka tinggal. Ada dua kamar, dapur kecil dan kamar mandi, ruang keluarganya ada di halaman. Sisa lahan rooftop yang tidak dijadikan ruangan, disulap menjadi pekarangan penuh bunga dan tanaman hias. Ada payung pantai untuk tempat berteduh dari teriknya panas matahari—Luis tidak mau jadi kumal seperti dulu lagi, dia sudah susah-susah merawat diri hingga menjadi glowing. Meja serta kursi lipat disediakan untuk dua orang. Pas buat Luis dan George.Luis sangat amat senang atas pencapaian keluarganya. Keadaan mereka benar-benar berubah. Yah, meski kerap membanggakan diri berkat kondisi hidup yang tidak susah lagi, Luis masih diharuskan bekerja keras membantu George. Arias senior belum berniat menyewa karyawan. Jadi, bisnis motelnya dikelola berdua saja, olehnya dan juga Luis. George mengurus administrasi, sedangkan Luis bagian bersih-bersih kamar. Meski menjalankan bisnis bersama, George tetap membayar Luis atas pekerjaan yang dilakukannya. Sebenarnya, Luis yang ngotot minta bayaran. Delapan jam kerja juga berlaku. Meski George terasa seperti bos sesungguhnya, tetapi tak menyurutkan kekompakan mereka dalam meraih ambisi.Semenjak keadaan Luis berubah membaik, kepercayaan dirinya pun ikut bertambah. Namun, kepercayaan terhadap orang-orang sekitar kian berkurang. Contohnya siswa-siswi yang berusaha menjalin hubungan pertemanan dengannya selalu ditolak. Alasannya sederhana, tapi kuat. "Di mana kau saat aku masih susah? Seorang teman tidak hanya datang di waktu senang saja. Aku tidak bisa menganggapmu sebagai teman, kecuali orang yang memanfaatkanku."Teman sejati Luis hanyalah Emma. Selain berperan sebagai gadis pemikat hati, dirinya juga setia sebagai teman di kala sepi. Hanya Emma orang yang punya niat menegurnya di hari pertama sekolah, waktu masa orientasi hampir tidak ada yang mau satu tim dengan Luis kecuali sang gadis. Tatkala orang lain mengucilkan, Emma selalu menguatkan. Orang-orang gemar sekali mengolok-olok kemiskinan, hidup susah memang menjengkelkan.Luis tidak peduli dengan anggapan bahwa dirinya adalah pribadi sombong. Ia bukan sombong, hanya selektif memasukkan orang-orang dalam kehidupan
Luis duduk menggunakan kursi lipat, menikmati langit senja di halaman rumah uniknya—di rooftop. Merasakan angin sejuk berembus menerjang dirinya. Rambut Luis sudah agak gondrong, esok dia berniat potong rambut model terkini agar tidak kalah gaya dengan pemuda-pemuda seusianya. Sebatang rokok diapit belah bibirnya dan ada sebotol bir di atas meja bundar kecil di sebelah.George menghampiri, ikut duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa. "Umurmu belum delapan belas, Luis. Belum boleh minum alkohol.""Tidak banyak, Ayah. Aku hanya minum sedikit, tidak bakal sampai mabuk dan tidak akan jadi peminum berat macam dirimu juga," pungkas Luis. "Ngomong-ngomong, bulan depan usiaku genap delapan belas," tambahnya seraya menenggak seteguk minuman. Sensasi soda bercampur pahit dan malt menyeruak di mulut."Luis, setelah lulus SMA, kau harus kuliah. Ambillah jurusan bisnis agar kelak pemikiran cemerlangmu bisa mengembangkan usaha rintisan ini. Aku percaya kau berbakat, kau pasti akan menjadi p
Saat Luis sedang memeriksa kembali selembar cek yang tadi ia masukkan ke saku, takut nominalnya salah tulis. Minta sepuluh ribu dollar, siapa tahu yang ditulis hanya sepuluh tanpa ribu. Sebuah mobil datang lagi tanpa disadari Luis. Ia memasukkan kembali ceknya ke saku usai mengetahui tidak ada error pada cek miliknya. Seorang gadis memeluk wanita penyewa kamar nomor tiga yang seingatnya bernama Mary. Anak gadis itu ternyata adalah Emma.Sontak membuat Luis terkejut. "Emma?""Luis ...." Emma pun tak kalah terkejutnya.Daniel turut hadir di sana, bersama seorang pria dewasa memegang kemudi."Emma, ajak ibumu!" perintahnya."Baik, Paman. Ayo, Bu, kita pulang."Daniel menunggui ibu dan adiknya di dekat pintu kursi belakang yang terbuka. Emma berjalan melewati Luis tanpa sepatah kata. Begitu mudahnya si bos Emerald diabaikan kekasih sendiri. Memang wujudnya tidak nampak di mata Emma?"Wanita selingkuhan itu ... ibunya Emma?"Emma bertindak demikian—mengabaikan Luis, bukan tanpa sebab. Melih
"Apa kabar, Luis? Kau pasti sedang merindukanku. Aku pun sama, aku rindu jalan-jalan berdua denganmu lagi. Aku ingin berkendara sampai malam, melepas penat usai berpikir seharian. Kabarku baik, Lu. Aku sudah mulai bekerja sejak Senin. Jadi, kira-kira sudah seminggu aku tinggal di kampung halaman. Orang-orang di sini menerimaku dengan baik. Bibi mengurusku dengan benar, aku makan tiga kali sehari, dan tetangga di sini ramah-ramah.Aku minta maaf, tapi sepertinya aku merasa nyaman tinggal di sini, Lu. Aku belum berniat pulang ke kota. Selain karena lingkungan yang nyaman, uangku juga belum cukup untuk biaya transportasi ke sana. Hehe, maaf.Pekerjaanku juga menyenangkan. Aku punya teman-teman baik, seperti di sekolah. Oh ya, sampaikan salam pada kawan-kawanku di sana. Sampaikan pada mereka bahwa aku tidak bisa hadir saat pesta kelulusan di rumah Nora nanti. Kami sudah berencana membuat pesta, Lu, biar kau paham. Walau gaji yang kuterima pas-pasan, tapi aku bahagia, Luis. Mungkin terkesan
"Hai, Emma! Sudah buat kue hari ini? Aku rindu mendengar alasanmu yang selalu sama tiap kali kuajak mampir ke rumah. Sekarang kau tidak bisa menggunakan alasan itu lagi, apa lain waktu kau akan bilang jika kau hendak membantu Daniel?Kursi penumpangku sudah lama kosong. Rasanya selalu dingin, Em. Cepatlah pulang, aku menunggumu. Berkendara bersama siaran radio tidak cukup menyenangkan, dia tidak bisa tertawa seperti dirimu.Sial, Em. Ketua Dean mencalonkan diri sebagai walikota. Aku melihat kabarnya di TV baru-baru ini. Jika menurutmu, aku harus mendukungnya karena dia pemilik sekolah, nyatanya tidak, Emma. Meski dia satu-satunya calon yang maju, aku lebih memilih menggiring orang-orang untuk abstain. Kita tidak bisa membiarkan orang yang membuatmu menderita meraih keinginannya. Dan, Ed sudah tidak menggangguku lagi. Jangan cemas, dia tidak berani macam-macam denganku lagi. Aku memberinya pelajaran, Em. Aku tidak takut.Jaga kesehatanmu, jangan terlalu lelah. Tidurlah yang cukup, delap
"Kompensasi untuk pacarmu?!" pekik Dean di sudut tanah lapang dekat panggung deklarasi. Orang-orang di sana sibuk membongkar panggung, sementara rombongan Dean jauh di depan. Jadi, tidak akan ada yang menguping pembicaraan mereka."Kau pikir aku datang untuk mengelu-elukanmu, Pak? Itu hal yang tidak akan pernah aku lakukan.""Pacarmu bukan tanggung jawabku. Buat apa aku mengurusnya, dia punya keluarga. Memangnya aku ini donatur? Kalaupun iya, akan kusalurkan dana ke pihak yang layak menerima.""Hei, Pak! Kau bilang keluarga? Kakaknya masih kuliah, sementara pamannya menderita leukimia. Wanita selingkuhanmu meninggal hari Minggu kemarin. Keluarga mereka hancur! Emma harus mencari nafkah, kakaknya terancam putus kuliah, dan pamannya terancam mati karena tidak mampu berobat! Kau sebut itu tidak layak diberikan donasi?""Apa katamu? M-Mary ... meninggal?" Dean nampak terkejut. "Aku sama sekali tidak tahu kabar itu!""Tepat setelah kau meninggalkannya. Itu efek dari kebejatanmu. Sudah tahu
"Sial!" Luis membasuh muka di wastafel toilet sekolah. Melihat tampangnya ada luka di sudut bibir, ia merasa sangat kesal. Masih saja kalah dari Edward. Andai anak itu tidak main curang, Luis optimis pasti dia yang menang. Kekalahan barusan melukai harga dirinya. Tidak, dia bukan Luis yang dulu lagi—si pasrah dengan keadaan, yang tidak melawan meski ditindas. Luis yang sekarang adalah seorang pemberani, tidak takut, dan tidak suka dikalahkan.Emerald kedatangan tuan rumah dengan kesan masam di wajah. Luis membanting pintu mobil kesayangan yang biasanya diperlakukan halus, sudah seperti kekasih sendiri. Rasa sayangnya terkalahkan oleh tsunami amarah. Kalau sudah kesal, sulit diredam. Begitulah Luis, tak puas kalau penyebab kekesalannya belum menerima akibat. Pembalasan adalah hal wajib.Dari ruang administrasi, George melihat anaknya nampak gusar. Ia pun sengaja meneriaki sang putra, "Hei, Luis! Kemari!"Luis mendengkus, ia sangat ingin rebahan di kamar, tapi panggilan sang ayah tak bis
"Iya, ini aku.""Kau sudah terima suratku?" Luis berubah semangat. Rasa kantuknya seketika lenyap tatkala mendengar Emma berbicara. Akhirnya ia mendengar alunan indah itu lagi usai berhari-hari merindukannya."Sudah kuterima pagi tadi. Kau sudah tidur, ya? Maaf kalau terlalu larut. Aku sengaja menunggu bibiku tertidur, biar dia tidak menguping.""Aku senang kau menelepon. Tidak apa, malam begini justru enak. Aku juga tidak ada yang mengganggu, ayahku sudah tidur di kamar," balas Luis. "Oh ya, kau sudah pakai cincin yang kukirim?""Sudah. Cantik sekali. Ukurannya sangat pas di jari manisku."Luis tengah membayangkan bagaimana cincin itu melingkar di jari Emma. Sekarang ia membayangkan sang kekasih mengenakan gaun pengantin—tidak, tidak, terlalu dini, belum saatnya."Lu? Kau masih di sana?""Uh, hmm, iya, aku masih terjaga.""Kukira kau ketiduran, habisnya diam saja.""Tidak, kok. Aku hanya memikirkanmu terlalu dalam.""Ya ampun, Luis. Kau membuatku tersipu. Bisa-bisa aku tidak bisa tid