Home / Urban / Ambisi Sang Penguasa / Si Gadis Cookies

Share

Si Gadis Cookies

Author: niandez
last update Last Updated: 2023-07-06 13:22:30

"Luis?" Emma tertegun berkat penampilan baru pria muda itu. Amat memukau matanya dan bisa diakui, Luis tampak jauh lebih baik dari sebelumnya. Selama ini Luis terlihat lusuh seperti gembel, mendadak ia berubah bak pangeran dari negeri langit.

"Hai, Em!" sapa Luis dengan gaya. Sementara murid-murid lain di koridor memusatkan atensi pada mereka berdua. Emma justru minder, kalau situasinya seperti ini dirinya merasa seolah-olah memerankan Beauty and the Beast—Emma beastnya.

"Lu, ma-maaf, aku tidak bawa cookies yang kau minta. Kuenya dihabiskan oleh Daniel." Emma takut ditagih, padahal Luis juga tahu kalau si gadis hanya beralasan buat kue kemarin sore.

"Tidak masalah, Emma. Aku bisa membeli segudang cookies untuk kita berdua, kau tidak perlu capek-capek masak." Luis percaya diri, kantongnya sedang tebal saat ini. "Pulang sekolah nanti tidak ada kegiatan, kan?"

"Tidak ada."

"Mau pergi bersamaku?" Luis menatap Emma dengan penuh pesona. Gadis itu sampai-sampai merona dibuatnya.

"Pe-pergi?" gagap Emma. Dia selalu gagap kalau sedang gugup. "I-iya ... tentu ...."

Hari itu, Luis menjalani aktivitas sekolah dengan tenang. Paling tenang sejak pertama kali masuk ke SMA. Edward dan gengnya segan mengerjai Luis entah sudah berhenti atau memang sedang malas. Pada jam istirahat, dia bisa makan siang dengan tenang tanpa gangguan. Tidak ada yang menyuruh-nyuruh, tidak lagi mengeluarkan uang untuk orang lain, dan jatah makannya aman kali ini. Pula dengan Emma, mereka makan siang asyik berdua tanpa cekikikan tawa menyudutkan dari geng menyebalkan.

Hingga waktunya bel panjang berbunyi, Luis berjalan menuju pintu keluar. Gadisnya tampak berdiri di ambang pintu bagian luar, pasti sedang menanti Luis. Ah, itu dia ... si gadis cookies melempar senyum kepadanya.

"Kita akan pergi ke mana, Luis?"

"Hmm, entahlah. Aku tidak punya tujuan."

Mereka berjalan bersama menuju parkiran, tepat berhenti di sisi sedan merah yang asing bagi Emma.

"Mengapa berhenti di sini?" tanya Emma bingung.

"Menurutmu?" Luis segera membuka pintu bagian pengemudi. Sedang, Emma sibuk memperbaiki ekspresinya yang terkejut. Luis baru saja masuk ke dalam mobil, Emma buru-buru menyusul duduk di kursi kosong sebelah si pemuda.

"I-ini mobil siapa, Lu?" tanyanya.

"Milikku, Em."

"Dari mana kau dapat uang? Astaga! Aku hampir tidak percaya! Kau benar-benar berubah drastis!" Luis mendengarnya sebagai bentuk pujian.

"Kencangkan sabuk pengamanmu. Kita akan segera berangkat."

Chevy dikemudikan tanpa tujuan. Luis mengajak Emma berkeliling kota. Kendati cuma jalan-jalan tidak jelas, tetapi Emma terlihat sangat bahagia dapat menghabiskan waktu berdua bersama teman prianya. Kali ini dengan pengalaman berbeda, biasanya mereka benar-benar berjalan menggunakan kaki. Namun, sekarang ban mobil menggantikan peran kaki-kaki mereka. Berjalan sejauh beberapa kilometer, baru berhenti saat rona langit mulai menguning. Menepi di pinggir jalan yang seperti jurang, dengan pemandangan indah danau besar di bawah. Keduanya lekas keluar dari mobil, menyandarkan diri pada pagar besi pembatas. Luis merasa kekaguman luar biasa terhadap hidupnya. Ia pun berteriak keras, "Akulah raja duniaaa!"

Emma menyaksikan kelakuan Luis sembari terkikik geli. Meski pemuda itu bukan raja dunia, tetapi dia adalah raja di hati Emma. Bisa dipastikan.

"Emma, maukah kau menjadi ratuku?" sontak Luis, terlontar begitu saja dari mulutnya.

"Luis ...," lirih Emma.

"Aku menyukaimu sejak lama, Em. Aku hanya belum berani bilang sampai kemarin, karena hidupku sampai kemarin itu tidak memungkinkan buat seorang gadis masuk ke kehidupanku. Aku ingin menjadikanmu wanita yang kubahagiakan seumur hidup. Sepanjang sisa waktuku. Terima cintaku, Emma."

Ada kelegaan dan sedikit penyesalan usai Luis mengungkapkan isi hatinya. Lega, tidak perlu menahan perasaannya lagi. Menyesal, sebab Emma tidak kunjung merespons. Luis hampir kehilangan harapan seiring warna kuning di cakrawala semakin pekat. Namun, kepesimisannya seketika musnah. Emma memeluk Luis erat-erat, gadis itu melompat ke tubuh sang pemuda. Untung mereka tidak jatuh ke jurang. Terdengar isak tangis bahagia.

"Akhirnya kau mengatakannya, Lu. Aku menunggumu mengatakan ini sejak lama." Emma begitu terharu.

Alhasil, senja itu mereka resmi menjadi sepasang kekasih dan sebagai hadiah, Luis mengajak Emma pergi ke toko perhiasan di kota.

"Kalung ini akan tampak cantik di lehermu." Luis hendak membelikan pacar barunya hadiah kecil istimewa.

"Tidak, Luis. Aku keberatan jika kau membelikanku barang mahal."

"Ini tidak mahal, Emma! Harganya cuma lima ratus dollar."

Emma mendengkus, tidak mengerti lagi jalan pikiran Luis. "Bagiku jumlah itu sangat bernilai, Lu."

"Bagiku tidak, jadi jangan membantah!" paksa Luis. Dia tetap membayar kalung emas berliontin kupu-kupu hijau. Dengan cepat, kalung tersebut telah melingkari leher sang gadis. "Perkiraanku tidak salah. Kalungnya sangat cocok di lehermu."

"Terima kasih, Luis," ujar Emma malu-malu. Ekspresinya tampak sangat menggemaskan buat Luis, rasanya ia hampir ingin menggigit Emma seperti menggigit cookies.

Yah, sejak hari itu Luis mulai mendapat apa yang dia inginkan. Segala hal yang dahulu hanya menjadi bayang-bayang, satu per satu kian terwujud. Menorehkan kisah cinta bersama Emma, menjadi murid terpandang di sekolah, setelan jas baru—bahkan menjadi murid paling fashionable di sekolah, dompet yang selalu terisi penuh dengan lembaran dollar, dan kini saatnya mengucapkan selamat tinggal pada rumah usang yang ditempatinya sejak lahir.

Keluarga kecil Arias pindah rumah. Hunian bobrok mereka telah terjual. Bisnis yang direncanakan George pun telah berhasil dibangun setelah memakan waktu berbulan-bulan. Motel Emerald, dibangun di atas lahan seribu meter persegi, dengan sepuluh kamar, dua lantai. Istimewanya, Luis dan George akan tinggal di sebuah ruangan khusus di rooftop motel, didesain untuk tempat mereka tinggal. Ada dua kamar, dapur kecil dan kamar mandi, ruang keluarganya ada di halaman. Sisa lahan rooftop yang tidak dijadikan ruangan, disulap menjadi pekarangan penuh bunga dan tanaman hias. Ada payung pantai untuk tempat berteduh dari teriknya panas matahari—Luis tidak mau jadi kumal seperti dulu lagi, dia sudah susah-susah merawat diri hingga menjadi glowing. Meja serta kursi lipat disediakan untuk dua orang. Pas buat Luis dan George.

Luis sangat amat senang atas pencapaian keluarganya. Keadaan mereka benar-benar berubah. Yah, meski kerap membanggakan diri berkat kondisi hidup yang tidak susah lagi, Luis masih diharuskan bekerja keras membantu George. Arias senior belum berniat menyewa karyawan. Jadi, bisnis motelnya dikelola berdua saja, olehnya dan juga Luis. George mengurus administrasi, sedangkan Luis bagian bersih-bersih kamar. Meski menjalankan bisnis bersama, George tetap membayar Luis atas pekerjaan yang dilakukannya. Sebenarnya, Luis yang ngotot minta bayaran. Delapan jam kerja juga berlaku. Meski George terasa seperti bos sesungguhnya, tetapi tak menyurutkan kekompakan mereka dalam meraih ambisi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 15

    Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 14

    “Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 13

    Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 12

    Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 11

    “Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.

  • Ambisi Sang Penguasa   S2 Bab 10

    “Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status