"Hei, Kumal! Ambilkan soda untukku!" Luis sedang duduk hampir menyantap makan siang saat istirahat. Namun, geng menyebalkan yang kerap membullynya datang. Si ketua—Edward merangkulnya begitu duduk rapat di sebelah, dalam rangka mengintimidasi Luis. Kawan-kawannya duduk mengisi kursi kosong di sekitar meja yang Luis tempati. Padahal ada banyak tempat lain yang kosong, tapi mengapa mereka tertarik sekali dengan kursi dan meja yang Luis tempati.
"Kau punya kaki untuk ambil sendiri, Ed!""Hei, sudah berani membantahku, hah?" Edward menepuk-nepuk pipi Luis. Teman se-gengnya ikut menepuk-nepuk bagian lain dari tubuh si korban penindasan.Tidak ada gunanya melawan. Alasan kuat bagi Luis untuk selalu menuruti keinginan Edward adalah; pertama, Luis bukan siswa yang punya kekuatan di sini, ia hanya murid lemah, miskin, dan selalu jadi sasaran empuk kejahilan murid-murid macam Ed. Kedua, Edward adalah anak pemilik sekolah, jadi mustahil melawan kebejatan anak itu meski sangat ingin. Jika Luis melawan kemungkinannya hanya dua, dikeluarkan atau diberhentikan—keduanya sama saja. Intinya, melawan Edward adalah pilihan merugikan.Luis sudah cukup merugi selama hidupnya. Sejak umur tiga tahun, ia sudah tidak mengenal sang ibu. Ibunya pergi bersama lelaki lain, walau George selalu berkilah. Namun, suatu waktu ia pernah kebetulan melihat ibunya berkendara bersama seorang pria di kursi pengemudi, naik mobil mahal, melewati rumah usang mereka. Entah hanya kebetulan lewat atau memang sengaja, Luis yang saat itu baru masuk sekolah dasar tidak berniat memanggil ibunda. Daripada mengemis kepada sang ibu untuk kembali pada lingkaran keluarga suram, ia gembira dengan kondisinya. Ibu yang dicintainya tidak perlu mengalami kesulitan seperti yang ia dan Thomas rasakan. Dosa George akan semakin bertambah bila kukuh memertahankan sang istri untuk tinggal dan dikurung kemiskinan.Luis meninggalkan kursi serta makan siangnya di meja. Edward cs sedang asyik menyantap makan siang mereka usai memperbudak si murid malang. Sementara itu, Luis telah sampai di depan lemari es berpintu kaca. Sekaleng soda untuk tuan majikan lekas diambilkan—dibayarkan dengan uangnya. Luis sudah tahu ujung-ujungnya uang sakunya menguap begitu saja tanpa pernah ia nikmati. Semuanya selalu buat Edward, padahal katanya pemuda itu anak orang kaya. Namun, malah memanfaatkan uang rakyat jelata.Luis menaruh keras kaleng soda di atas meja. "Boleh kuminta uangku, Ed?""Kau masih saja perhitungan. Sudah miskin, perhitungan pula," cemooh Ed. Bukankah pantasnya Luis yang bilang begitu pada Ed? Dunia memang terbalik.Persis seperti dugaan Luis, dia tidak akan pernah mendapatkan haknya. Makan siangnya sudah diacak-acak oleh gengnya Edward juga. Malang nian nasib Luis, kemiskinan membuatnya selalu sial. Dirinya merasa telah dikutuk.Luis masih termenung di dekat meja, mengepal tangan ingin melampiaskan amarah."Lu!" Terdengar seperti suara malaikat di telinga Luis. Emma memanggilnya dari meja di pojok kafetaria, melambaikan tangan memberi isyarat untuk menghampiri."Pacarmu memanggil, tuh! Pergi sana!" usir Edward.Tidak perlu disuruh, Luis memang hendak pergi menuju Emma."Mereka mengambil makan siangmu lagi?" tanya Emma."Begitulah." Luis nampak pasrah."Kalau begitu, makanlah bersamaku."Luis memandangi porsi makan siang Emma, cukup banyak buat anak gadis sepertinya. Nampaknya ia sudah sengaja mengambil porsi lebih sebagai antisipasi keadaan yang sudah sering terjadi."Ayo, makan, Lu!" Emma memberi sendok plastik kepada Luis. Mereka segera menyantap makan siang bersama.Luis juga diberikan soda, Emma selalu menggantikan apa yang Luis beli untuk Edward.Luis menatap lekat-lekat kaleng soda merah di meja. "Simpan saja uangmu, Em. Kau tidak perlu mentraktirku terus.""Aku ikhlas membelikanmu soda itu. Minumlah, daripada terbuang percuma. Kau tahu kan, aku tidak minum soda."Akhirnya Luis membuka penutup kaleng sembari melirik ke arah bekas mejanya. Geng Edward nampak cekikikan sambil berbisik-bisik, sesekali menengok sekilas ke arah Luis."Sepertinya mereka membicarakan kita," simpul Emma.Luis tidak peduli, mereka memang kerap dijadikan bahan gosip. Sepasang remaja itu memang nampak seperti pasangan kekasih. Mereka terlalu dekat untuk ukuran hubungan pertemanan di antara laki-laki dan perempuan. Namun, memang nyatanya tidak ada deklarasi pacaran di antara mereka. Luis dan Emma saling merasa nyaman satu sama lain."Bagaimana dengan seminar minggu depan?""Aku tidak tahu akan hadir atau tidak," jawab Luis.Mereka sampai di depan kediaman Luis. Yah, rumah itu masih tampak sama, usang dan tua. Seperti rumah kosong yang lama ditinggal."Kau mau mampir?" tawar Luis."Hmm ...." Emma berpikir keras. Jujur saja dia ingin, tetapi mengingat George tidak senang melihatnya berteman dengan sang putra, Emma lebih suka menolak ajakan Luis. "Ibuku butuh bantuan untuk bikin cookies. Aku tidak bisa mampir ke rumahmu sekarang."Emma selalu punya alasan atas ajakan Luis. Paling sering, ya, membuat kue, padahal ibunya sangat jarang pulang ke rumah. Paling-paling hanya ada kakaknya—Daniel, itupun tidak bisa memasak."Bawa cookiesnya ke sekolah besok. Aku ingin coba kue buatanmu.""Eh, um ... iya. Besok akan kubawakan."Luis dan Emma saling melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Luis segera masuk rumah dan George sedang berada di ruang tamu. Di meja ada berkas-berkas di dalam map. Luis menduga itu surat-surat tanah milik kakek-neneknya.Senyum George mengembang lebar. "Lihatlah, Luis! Tidak lama lagi hidup kita akan berubah.""Bagus, Ayah! Aku mengakui kehebatanmu untuk yang satu ini." Luis mengangguk-angguk. "Tidak ada yang tahu kalau kau membunuh orang tuamu demi sejumlah harta itu, kan?" Luis tergelak.George menarik ekspresi senang di wajahnya. Pertanyaan Luis barusan terdengar ada apa-apanya. "Mengapa kau bahas soal itu?""Tentu saja hanya aku yang tahu, kan? Kau tidak berniat membuatku tutup mulut atas kejahatanmu?"George menelan ludah. "Apa yang kau inginkan?"Luis tersenyum sinis. "Belilah mobil agar aku tidak perlu repot-repot mengejar bus sekolah yang tidak pernah berhenti di depan rumah. Ah, jangan lupa setelan jas baru. Jas lamaku sudah pantas dipakai sebagai lap dapur.""Harta ini tidak bisa dipakai untuk foya-foya. Aku akan menggunakannya untuk keperluan bisnis.""Aku paham. Tidak semuanya kau gunakan untuk berbisnis juga, bukan?" Luis tidak ingin ditolak. "Nanti juga kau akan beli minuman mahal dari uang itu. Apa itu termasuk kategori kepentingan bisnismu?"George mengurut kening. "Baiklah! Baiklah ... permintaanmu akan kukabulkan. Tapi ingat, jangan banyak protes saat kubelikan mobil nanti. Paling kubelikan sesuai budget dan bukan mobil mewah."Dan akhirnya Luis mendapatkan apa yang ia inginkan."Keren, Ayah!" Ia berlari menuju Chevy 60an bercat merah yang sangat berkilau, mata Luis ikut bersinar-sinar.Luis segera membuka pintu lantas duduk di kursi pengemudi."Kau mau apa, Luis?""Mengemudi.""Menyetir mobil itu sulit, tidak semudah mengemudikan sepeda.""Tapi aku harus membawa mobil ini ke sekolah!""Tidak. Kau tidak tahu cara mengemudi dan kau juga belum punya SIM. Tindakanmu ilegal.""Perkataan itu tidak pantas terdengar dari mulut orang yang juga bertindak ilegal.""Hei! Berhenti membahas tentang hal itu! Kau mau orang lain mengetahuinya?" keluh George di kursi penumpang sebelah Luis. "Kau ingin mengirimku ke penjara dan terus-menerus hidup susah?"Luis bergeleng cepat. "Kalau begitu ajari aku mengemudi agar aku bisa pamer di sekolah.""Sabar, Nak. Astaga, lagipula siapa yang ingin kau buat tersanjung?""Aku hanya ingin membuat orang-orang iri."Tak butuh waktu lama, besoknya Luis benar-benar membawa mobil barunya ke sekolah. Tidak sampai sehari, ia sudah mahir mengemudi. Luis mengemudi dengan gaya, jaket denim, sepatu kets, rambut disisir rapi, dan kacamata gelap. Klakson dibunyikan panjang membelah keramaian murid-murid di halaman sekolah."Haa! Itu Luis!" Kebanyakan dari mereka terperanjat dan bergumam demikian."Aku sangat keren!" ujar Luis pada diri sendiri.Mobil berhenti di lahan parkir, bertepatan saat Edward memarkir sepeda gunungnya. Luis membuka pintu mobil dan, "Hei!" teriak Edward sebab sepedanya sengaja disenggol pintu hingga terjatuh."Oh, maaf, ternyata ada sepedamu di situ. Astaga, hari gini masih bawa sepeda ke sekolah.""Lu-Lu-Lu-Luis?!"Luis mengayunkan ransel berat, mengenai kepala Edward. Si empunya kepala hanya mampu terdiam, begitu terkejut berkat apa yang barusan dia lihat. Tadi itu benar Luis, bukan? Dalam sekejap, Si Kumal berubah menjadi pemuda berkelas tinggi. Edward sungguh tidak habis pikir dari mana bahan mainannya itu mendapatkan mobil dan penampilan barunya.Sementara itu, murid-murid di sepanjang jalan ikut terpukau. Pakaian lusuh, sepatu butut, dan tas tambalan yang biasa menjadi penghias tubuh Luis kini tergantikan. Luis sungguh luar biasa dengan gaya berjalan yang tampak angkuh, dirinya kini boleh diperhitungkan.Seorang gadis tertangkap pada lensa matanya. Ho-ho, dia pasti akan sangat menyukai ini, pikir Luis."Emma!" seru Luis.Emma berbalik dan hampir mengeluarkan bola matanya. "Luis!"Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it