JakartaJika ada kemungkinan menemukan penghiburan dari tragedi kehilangan seseorang yang amat dicintai, itu adalah harapan yang perlu ada, bahwa barangkali semua yang terjadi adalah yang terbaik. Itu kalimat untuk orang yang tidak mau mencari jalan keluar seperti teman Jonathan sepuluh tahun lalu, saat temannya kehilangan kekasihnya pada tragedi pembunuhan. Jonathan tidak akan menganggap hilangnya Shira adalah yang terbaik, pria seperti dirinya bukan tipikal orang yang mudah pasrah. Meskipun Shira berada di ujung dunia sekalipun, Jonathan akan tetap mengejarnya penuh langkah pengharapan. Walau jasad yang ditemukan, akan didekapnya penuh ketulusan cinta."Glen?""Frans?""Apa menurutmu Shira akan ditemukan?'' tanya Jonathan pada kedua sahabatnya penuh keresahan.Seperti biasa, kedua sahabatnya itu akan langsung melesat ke rumah Jonathan ketika mendengar hal serius yang perlu didiskusikan. Frans dan Glen sudah menganggap rumah pribadi Jonathan sebagai basecamp untuk mereka bertiga."Ya
Moana menyalakan rekaman suara yang baru saja didapatkannya. Sontak kedua mata Berlin membulat sempurna, tak terima. "Apa yang kamu inginkan dariku, Moana?" Berlin menggemeretukkan gigi. Merasa kesal ternyata adik iparnya bisa berpikiran sampai merekam pembicaraannya. Dasar licik!"Tidak ada, hanya saja kamu tahu sendiri jika sampai rekaman ini sampai di tangan Mas Argo, oh ... atau sampai ke Eyang? yang lebih lagi, kalau sampai ke tangan Jonathan? Bagaimana? Bukankah kamu sangat menjaga image di depan putramu itu?" "Kamu mau apa? Kamu mau pembangunan puncak Blue Sun Company diatasnamakan Adijaya Property sebagaimana permintaanmu dua minggu yang lalu? jangan mimpi Moana! Aku mengembangkan perusahaanku di atas keringatku sendiri!""Walaupun dengan cara haram?" Moana menyinggung. Dia melipatkan tangan di atas perutnya. Tak ingin kalah angkuh dari kakak iparnya yang sudah tertangkap basah."Apa maksudmu, Moana? Jangan berani bermain-main denganku!" Berlin menunjuk tepat di depan wajah
"Kita putus!"Setelah menunggu cukup lama sang kekasih membuka suara, Shira menganga atas penuturan Farel. Dada Shira terasa sesak, seolah ada peluru yang menembus masuk ke dalamnya. Wanita bermata hazel itu hampir saja menitikkan bulir kesedihan. Bagaimana tidak, karena seminggu lagi mereka akan menikah, dan undangan telah tersebar. "K-kenapa? Lalu pernikahan kita bagaimana?" Farel mendesah. Dalam nafasnya, ada rasa berat yang tak bisa diungkapkan dalam satu tarikan nafas. Namun, dia harus mengatakan itu."Batal!"Shira benar-benar tak habis pikir pada lelaki yang sudah menjadi tunangannya selama setahun tersebut. Begitu mudahnya Farel membatalkan pernikahan impiannya. Padahal, Shira tahu betul bagaimana Farel memperjuangkannya sejak di bangku perkuliahan dulu. Yang jelas, untuk sampai di tahap itu, semuanya butuh proses yang tidak mudah. "Katakan! Alasannya kenapa?"Runtuh sudah pertahanan Shira. Tangisnya seketika pecah, bersamaan dengan gemuruh dalam hati yang membuat wajahnya
Seperti hari biasanya, pagi itu Shira sudah rapi dengan outfit kantor, siap berangkat bekerja. Motor warna biru kebanggaannya akan mengantarkannya ke sebuah perusahaan yang sudah satu tahun Shira mengabdi di sana. Hiruk-pikuk ibu kota pun bagai sebuah simfoni yang mengalun indah menemani setengah jam perjalanan.Tiba di lobby, Shira langsung saja menaiki lift. Sesampainya di lantai delapan, seseorang memanggilnya. Dia Della, HRD di perusahaan itu, memberitahukan jikalau Shira harus segera menemui Jonathan di ruangan. "Selamat pagi, Pak," sapa Shira."Pagi, saya ada janji temu apa saja hari ini?" tanya Jonathan tanpa menoleh. Ia sibuk dengan ponsel pintar di tangan."Pak Jonathan ada janji temu dengan Pak Alexo dari Angkasa Group jam sembilan pagi. Lalu, jam satu siang ada kunjungan dari kementrian industri dari pabrik makanan.""Baiklah, kamu sudah mempersiapkan segalanya?""Sudah, Pak."Sebagai sekretaris, Shira memang harus cekatan dan disiplin. Semuanya harus teratur sedemikian r
"Begitu ceritanya, Ayah, Ibu,"Angeline dan David saling menatap saat puterinya menceritakan atasannya siap menggantikan Farel. Shira bisa menangkap gurat di wajah mereka, antara bingung, heran, juga senang karena pernikahan tetap berjalan. Namun, mereka juga tak kalah kaget konsekuensi yang harus diterima jika Shira menolak lamarannya. "Kalau Ibu terserah kamu, karena kamu yang akan menjalani biduk rumah tangga. Cuman saran, kamu harus kenali dulu sifat dan sikap Jonathan lebih dalam lagi. Kenal selama setahun yang hanya di kantor saja tidak akan cukup membuka tabir sifat asli masing-masing.""Iya, Bu." Shira mengangguk paham."Kenali lebih dalam lagi gimana, Angeline? Atasannya cuma memberi waktu sampai besok? Kalau Shira menolak itu artinya dia harus keluar dari perusahaan. Ini kalau menolak, artinya kita dapat bencana dua kali lipat. Shira gagal menikah, dia juga dipecat!" protes David.Perkataan ayahnya memang benar. Tetapi jika Shira menerima lamaran Jonathan, dia akan tetap me
SingaporeSebuah kertas hasil pemeriksaan yang baru saja di dapat dari rumah sakit, dilempar ke atas tempat tidur. Lelaki itu sengaja datang ke luar negeri untuk melakukan pemeriksaan ulang setelah di Jakarta melakukan tiga kali test di rumah sakit yang berbeda-beda. Dia hanya tidak percaya, sekelas dirinya yang hidup bersih dan tidak pernah berbuat macam-macam, bisa terjangkit penyakit HIV. Padahal tidak pernah berhubungan intim dengan siapapun, apa lagi memakai narkoba dengan jarum suntik yang tidak steril seperti yang dokter katakan ketika di Jakarta. Lelaki itu menunduk, meremas rambutnya dengan menggemeretukan gigi. Sungguh, Penyakitnya telah membuatnya bingung dan akhirnya melakukan kesalahan fatal. Ya, dia baru saja membatalkan pernikahan impian dengan wanita yang sangat diperjuangkannya sejak lama.Namun dia juga sadar diri, jika pernikahan tetap berlanjut, dia tidak mau istrinya nanti tertular HIV juga seperti dirinya. Dan yang pasti, kekasihnya itu akan berpikir macam-mac
Tibalah hari di mana Shira akan pergi ke suatu tempat bersama Jonathan. Mereka sepakat untuk bertemu di bandara jam delapan pagi. Sesampainya di sana, Shira dijemput oleh seorang wanita suruhan Jonathan untuk mengantarkannya ke ruang tamu VVIP. Tiga orang bodyguard telah mengelilingi Jonathan di ruang khusus yang begitu mewah, yang hanya ada dia di sana tanpa pengunjung bandara lain. Saat ini bosnya tampil stylish dengan memakai kaos T-shirt berwarna biru, dipadu dengan celana jeans dan sepatu sneakers hitam. Jonathan berdiri saat kedatangan Shira yang juga memakai baju santai tapi tetap sopan menawan. "Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Ke luar negeri?""Bapak lagi?"Spontan Shira menutup mulutnya. "Eh, maaf, Pak. Mmm ... maksudnya kita mau ke mana, Nathan?""Ke suatu tempat." Jonathan langsung saja memakai kaca mata hitam dan menggamit lengan Shira menuju pesawat jet pribadinya yang sudah siap, diikuti oleh tiga orang bodyguard di belakangnya yang tajam memantau sekitar. Siapa pu
"Eyang? Apa Eyang lihat Shira?" tanya Jonathan saat menuruni anak tangga dari kamarnya yang berada di lantai atas. Sementara Eyang sedang mengobrol dengan Argoputra di ruang keluarga, melanjutkan pembahasan pernikaha Jonathan."Tadi memang sama Eyang, dia di samping rumah dekat kolam, susul sana!" "Baik, Eyang." Jonathan mempercepat langkahnya. Namun tiba-tiba dia berhenti tatkala Shira sudah berganti baju dengan rambut basah kuyup. Dia keluar dari kamar Tsania bersama si empunya kamar."Apa yang terjadi denganmu?" "Tadi Shira terpeleset terus jatuh ke kolam," jawab Tsania seraya mengusap bahu Shira. Memperlihatkan raut kasihan, tetapi lain hal dengan isi hati."Ya sudah, ayo masuk!" Jonathan menggamit lengan Shira masuk ke dalam kamar Tsania. "Mau ngapain, Mas? Mau anu di kamarku?" selidik Tsania.Mata Jonathan melotot tajam. "Anu apa? Apa kamu tidak lihat rambut dia basah? Aku hanya ingin mengeringkan rambutnya!" ucap Jonathan ketus, kemudian berlalu masuk ke kamar. Tsania menge