Share

Ambivalensi CEO
Ambivalensi CEO
Author: MA Marayna

Bab 1 : Rasa Sakit yang Merugikan

Plak! 

Satu tamparan ia layangkan pada seorang laki-laki yang telah menghancurkan perasaannya, menghancurkan kepercayaan yang sudah ia bangun dalam hubungan ini. 

“Dasar bajingan! Gak tau malu!” Ia terus memukul-mukul dada cowok itu. 

Lelaki itu terduduk, ia bersimpuh di kaki gadis yang telah ia sakiti.

“A-ku minta maaf Mawar, aku khilaf.” Gadis yang tadi menampar si lelaki itu, enggan di sentuh bahkan di kaki sekalipun. 

Laki-laki itu tak tinggal diam, ia meraih kembali kaki si gadis dan memeluknya untuk mendapatkan pengampunan. 

Gadis bernama Mawar itu berusaha menahan tangis dalam dirinya, tapi tetap saja air mata berhasil membobol pertahanan yang ia bangun.

“Aku gak pernah masalah, kamu gak kabarin aku gara-gara game. Sama sekali gak keberatan ....” Lagi, ia memukul lelaki yang tengah bersimpuh di kakinya. 

“Tapi jangan perempuan lain!” Ia mendorong tubuh lelaki itu dari kakinya, membuat si lelaki terjungkal ke belakang.

“Mungkin boleh, tapi jangan sampai aku tahu dan jangan sampai kamu ....” Ia tidak kuat mengatakan kalimat selanjutnya. 

Ibu dari lelaki yang telah membuatnya hancur itu mendekat, langsung memeluk Mawar dengan permintaan maafnya. Seketika ruang tunggu, menjadi penuh dengan tangis kesedihan. 

Hari ini, adalah hari di mana Mawar mengetahui bahwa kekasihnya bertanggung jawab atas janin yang dikandung perempuan lain. Hancur, semua hidup Mawar mendengar berita itu dan tanpa pikir panjang ia langsung datang ke tempat yang akan memisahkannya dengan sang kekasih. 

“Maafkan anak Ibu, Nak.” Dalam pelukan dan tangis sang ibu memohon maaf atas rasa sakit yang menyerangnya saat ini. 

Perempuan dengan hiasan pengantin mendekat, entah air mata palsu atau memang merasa bersalah. Mawar tidak bisa mengetahuinya. “Maafkan aku. Aku akan pergi, ketika anak ini lahir. Aku janji gak bakal ganggu kalian nantinya,” ucapnya. 

Namun untuk kembali merajut kasih dengan seseorang yang sudah memutus tali kepercayaan, ia tidak bisa. Cukup kesalahan yang satu ini, tidak ada kesempatan kedua. 

Pelukannya melonggar, Mawar memilih menyeka air matanya lalu menghampiri perempuan yang kini tengah tertunduk.

“Nggak, aku gak mau mengulang hubungan yang sudah hancur. “ Setelah mengatakan ini, ia beralih menatap Danesh. 

“Danesh, kita selesai.” Sebuah kalimat yang dengan lancangnya tidak ingin laki-laki itu dengar, setelah apa yang telah ia perbuat pada Mawar. 

Danesh hanya bisa menunduk, baju putih untuk akadnya tidak ia pedulikan. Tangannya mengepal kuat, harus kehilangan orang yang begitu ia cintai.

“Kita tidak ada hubungan apapun, aku mohon pertahankan hubungan kalian sebagai sepasang suami-istri juga seorang ibu dan ayah,” ucapnya menatap ke depan dengan air mata membasahi. 

Seketika suara tangis menggema dari ibu Danesh, bagaimanapun ia berharap menatunya adalah Mawar yang sejak lama ia kenal. Sadar, bahwa Mawar harus mendapatkan kebahagiaan dibanding dengan putranya. 

Lagi, Mawar menyeka air matanya. “Menikahlah, aku akan menyaksikannya.” Keputusan yang membuat gelengan dari Danesh, tapi Mawar tetap pada keputusannya. 

Mawar ingin melihat kenyataan pahit ini disaksikan oleh mata kepalanya sendiri, agar nanti ia tidak berkhayal kejadian ini hanya sebuah mimpi yang akan hilang rasa sakitnya ketika ia terbangun. 

Ini nyata! Dan harus ia lihat sendiri. 

Dua orang berbaju serasi sudah duduk bersisian, hingga sebuah tangan akhirnya berjabat dengan seorang wali nikah. Mulut lelaki itu mengucapkan kalimat pertamanya tapi gagal, hingga pengulangan kedua ia tetap menyebut nama kekasihnya yang dulu. 

Beruntungnya, yang ketiga ia berhasil mengucapkan kalimat pengikat dua insan untuk menjalani kehidupan bersama. 

“SAH.” 

Kalimat yang ia dengar dari beberapa orang yang mengucapkan, menjadi alasan matanya menutup kemudian luruh air matanya membasahi pipi.  

Setelah puas menangis dalam diam, Mawar berdiri. Seketika tatapan dari para tamu yang sebagian besar keluarga dari mempelai pria, menatapnya dengan iba. Sungguh tatapan itu meresahkan, karena keluarga Danesh tahu bahwa ia adalah kekasih yang tersakiti. 

Mantan calon mertuanya berdiri untuk menghampiri, mungkin ingin memberikan pelukan kembali tapi Mawar mencegahnya dengan isyarat tangan. Begitu pun dengan Danesh, tapi dengan gelengan dari Mawar lelaki itu diam menatap mata mantan kekasihnya. 

“Ini, bukan mimpi. Danesh dan Tika selamat menempuh hidup baru, langgeng ya kalian.” Ia mungkin sudah tidak menangis, namun suara seraknya masih terdengar begitu pilu di hadapan semua orang. 

Menatap mata Danesh dan Tika bergantian, ia kemudian menatap ibu dari Danesh dan mulai mengayunkan langkah. Ia tidak boleh dikasihani, seakan ia adalah tokoh paling menderita. Di sini Tika dan bayi itu juga punya hak untuk disayangi.

Untuk terlihat baik-baik saja, ia melebarkan senyum ketika melewati tamu yang berjajar duduk menatapnya pergi. 

“Bye Danesh, ternyata kita tidak berjodoh.” Mawar bergumam. 

Ingin rasanya ia menenggelamkan diri dari dunia yang tak terduga alurnya. Mungkin ia sudah berkata ikhlas dan sabar, tapi tetap saja amarahnya butuh dilampiaskan. 

Mobil berwarna biru sedang dikendarainya, melesat meninggalkan tempat yang sudah meremukkan hatinya.

“Aaaaa!” Ia berteriak di dalam mobil yang ia tutup kaca jendelanya.

Setir pun menjadi pelampiasan. Air yang turun kembali, menjadi hal yang membuktikan bahwa mengikhlaskan tak harus menampilkan wajah datar dan senyum tulus.

“Hiks ... hiks ....” Suara tangis itu menggema di mobil yang tengah ia kendarai, sesekali ia menjambak rambutnya sendiri sampai lupa bahwa ia sedang menyetir. 

Ingatan dan segala perkataan dari Danesh masuk dalam ingatannya tanpa permisi. 

“Bisa gak, kadar gulanya turun dulu? Manis banget senyumnya.” 

“Pokoknya, senyum ini milik aku.” 

Danesh, lelaki romantis yang pernah ada dalam daftar kekasih hatinya. Dengan dia, Mawar merasa jadi ratu yang tak kenal kata jelek. Setiap pujian yang ia dapatkan, begitu melambungkan hatinya. Sayang, kata itu kalah dengan kenyataan yang membuatnya kecewa telah mengenal Danesh.

Semua rayu dan pujian itu harus melebur jadi keburukan, yang harus ia ingat ketika masih mengharapkannya. 

“Aku memang tidak terlalu suka bunga, tapi kalo bunga Mawar aku suka.” 

“Soalnya, Mawar Anindita jadi alasan kebahagiaan.” 

Kembali perkataan itu terngiang di kepalanya. “Argghh!” Ia menarik gas dengan tenaga yang begitu dikerahkan.

 

Ia langsung memutar setir, membelokkannya untuk memasuki gang kecil menuju tempat yang jarang dikunjungi orang karena jalur yang begitu berbahaya. 

Pikirannya, menghilang dari bumi untuk sementara waktu. Mungkin dengan menghilang dari orang-orang yang pasti tengah membicarakan hubungannya, yang kandas menyedihkan.

Untuk menceritakan, itu hanya mengulang rasa sakit. Biar mereka yang sudah tahu jelasnya yang menceritakan. Masa bodoh, tentang apa yang mungkin mereka tambahkan dalam alur ceritanya. 

Jalanan yang menanjak membuat Mawar terus menancap gas, juga melampiaskan rasa sakit yang bersarang di hatinya. Hingga tanjakan itu selesai ia lalui,  mempertemukannya dengan turunan. 

Di depannya terlihat wanita bergaun merah tengah berjalan tanpa melihat ke arah mobil yang melaju cepat. 

“Ayo sini, Zan.” Perempuan itu tidak bisa meluapkan rasa bahagianya, ketika beberapa jam lagi ia akan menjadi pendamping dari Izzan. 

“Duh, kamu tahu nggak sih pantang bagi pengantin itu ketemu sebelum akad?” Ia mengingatkan calon istrinya untuk kembali ke tempat penginapan. 

“Itu pikiran kuno, menurut aku kita harus bertemu untuk menghabiskan kebersamaan sebelum terikat.” Ya, gadis itu yang menemui si laki-laki untuk kabur dari tempat resepsi yang diadakan di pinggiran hutan pinus. 

“Ya, tapi Vil—“

“Shut, udah ayo ke sana.” Ia memotong ucapan dari Izzan dan langsung berlari masuk ke area jalan hutan. 

Izzan mengejar gadis yang berlari menuju jalanan hutan yang seberangnya menyuguhkan danau indah, cowok itu tersenyum, tahu apa yang akan dilakukan kekasihnya ketika memaksanya pergi dan menyuruh membawa kamera.

Meski sempat berdebat, karena pergi beberapa jam sebelum akad tentunya lelaki harus mengalah dan memanjakan kekasihnya. 

Di sisi lain Mawar berusaha menginjak rem mobilnya, tapi ingat bahwa mobil kesayangannya ini memang sedang dalam masa perbaikan. Ia membawa paksa mobil dari bengkel, saat mendengar pemberitaan tentang Danesh. 

“Awas!” Ia berteriak keras, dengan kepala menyembul di jendela mobil. 

Perempuan bergaun merah menoleh, ia kaget ketika mobil dan teriakan dari si pengemudinya mulai mendekat, ia pun menghindari mobil itu dengan melompat ke arah samping, sayangnya perempuan itu tidak bisa cepat karena ia memakai gaun yang mempersulit langkahnya. 

Brak! 

“Aaa,” ucapnya ketika perempuan itu tertabrak, tak sampai di situ mobilnya yang berusaha membanting setir kini masih melaju  hingga sebuah pohon besar membuat mobil itu berhenti dengan kepulan asap memenuhi.  Mawar pun tak sadarkan diri. 

Perempuan gaun merah tak kuasa menahan rasa sakitnya, ia masih sadarkan diri dan memanggil nama kekasihnya. “Iz-zan to-long,” ucapnya dengan terbata-bata. 

Izzan yang baru datang menghampiri karena semula terhalang beberapa rumput liar pun membulatkan matanya, langsung menghampiri. 

“Vilia ... Viliaa!” Ia berteriak dengan lantang, membawa kepala Kekasihnya dalam pangkuan. 

Bersambung... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status