Home / Romansa / Ambivalensi CEO / Bab 1 : Rasa Sakit yang Merugikan

Share

Ambivalensi CEO
Ambivalensi CEO
Author: MA Marayna

Bab 1 : Rasa Sakit yang Merugikan

Author: MA Marayna
last update Last Updated: 2021-08-26 11:45:58

Plak! 

Satu tamparan ia layangkan pada seorang laki-laki yang telah menghancurkan perasaannya, menghancurkan kepercayaan yang sudah ia bangun dalam hubungan ini. 

“Dasar bajingan! Gak tau malu!” Ia terus memukul-mukul dada cowok itu. 

Lelaki itu terduduk, ia bersimpuh di kaki gadis yang telah ia sakiti.

“A-ku minta maaf Mawar, aku khilaf.” Gadis yang tadi menampar si lelaki itu, enggan di sentuh bahkan di kaki sekalipun. 

Laki-laki itu tak tinggal diam, ia meraih kembali kaki si gadis dan memeluknya untuk mendapatkan pengampunan. 

Gadis bernama Mawar itu berusaha menahan tangis dalam dirinya, tapi tetap saja air mata berhasil membobol pertahanan yang ia bangun.

“Aku gak pernah masalah, kamu gak kabarin aku gara-gara game. Sama sekali gak keberatan ....” Lagi, ia memukul lelaki yang tengah bersimpuh di kakinya. 

“Tapi jangan perempuan lain!” Ia mendorong tubuh lelaki itu dari kakinya, membuat si lelaki terjungkal ke belakang.

“Mungkin boleh, tapi jangan sampai aku tahu dan jangan sampai kamu ....” Ia tidak kuat mengatakan kalimat selanjutnya. 

Ibu dari lelaki yang telah membuatnya hancur itu mendekat, langsung memeluk Mawar dengan permintaan maafnya. Seketika ruang tunggu, menjadi penuh dengan tangis kesedihan. 

Hari ini, adalah hari di mana Mawar mengetahui bahwa kekasihnya bertanggung jawab atas janin yang dikandung perempuan lain. Hancur, semua hidup Mawar mendengar berita itu dan tanpa pikir panjang ia langsung datang ke tempat yang akan memisahkannya dengan sang kekasih. 

“Maafkan anak Ibu, Nak.” Dalam pelukan dan tangis sang ibu memohon maaf atas rasa sakit yang menyerangnya saat ini. 

Perempuan dengan hiasan pengantin mendekat, entah air mata palsu atau memang merasa bersalah. Mawar tidak bisa mengetahuinya. “Maafkan aku. Aku akan pergi, ketika anak ini lahir. Aku janji gak bakal ganggu kalian nantinya,” ucapnya. 

Namun untuk kembali merajut kasih dengan seseorang yang sudah memutus tali kepercayaan, ia tidak bisa. Cukup kesalahan yang satu ini, tidak ada kesempatan kedua. 

Pelukannya melonggar, Mawar memilih menyeka air matanya lalu menghampiri perempuan yang kini tengah tertunduk.

“Nggak, aku gak mau mengulang hubungan yang sudah hancur. “ Setelah mengatakan ini, ia beralih menatap Danesh. 

“Danesh, kita selesai.” Sebuah kalimat yang dengan lancangnya tidak ingin laki-laki itu dengar, setelah apa yang telah ia perbuat pada Mawar. 

Danesh hanya bisa menunduk, baju putih untuk akadnya tidak ia pedulikan. Tangannya mengepal kuat, harus kehilangan orang yang begitu ia cintai.

“Kita tidak ada hubungan apapun, aku mohon pertahankan hubungan kalian sebagai sepasang suami-istri juga seorang ibu dan ayah,” ucapnya menatap ke depan dengan air mata membasahi. 

Seketika suara tangis menggema dari ibu Danesh, bagaimanapun ia berharap menatunya adalah Mawar yang sejak lama ia kenal. Sadar, bahwa Mawar harus mendapatkan kebahagiaan dibanding dengan putranya. 

Lagi, Mawar menyeka air matanya. “Menikahlah, aku akan menyaksikannya.” Keputusan yang membuat gelengan dari Danesh, tapi Mawar tetap pada keputusannya. 

Mawar ingin melihat kenyataan pahit ini disaksikan oleh mata kepalanya sendiri, agar nanti ia tidak berkhayal kejadian ini hanya sebuah mimpi yang akan hilang rasa sakitnya ketika ia terbangun. 

Ini nyata! Dan harus ia lihat sendiri. 

Dua orang berbaju serasi sudah duduk bersisian, hingga sebuah tangan akhirnya berjabat dengan seorang wali nikah. Mulut lelaki itu mengucapkan kalimat pertamanya tapi gagal, hingga pengulangan kedua ia tetap menyebut nama kekasihnya yang dulu. 

Beruntungnya, yang ketiga ia berhasil mengucapkan kalimat pengikat dua insan untuk menjalani kehidupan bersama. 

“SAH.” 

Kalimat yang ia dengar dari beberapa orang yang mengucapkan, menjadi alasan matanya menutup kemudian luruh air matanya membasahi pipi.  

Setelah puas menangis dalam diam, Mawar berdiri. Seketika tatapan dari para tamu yang sebagian besar keluarga dari mempelai pria, menatapnya dengan iba. Sungguh tatapan itu meresahkan, karena keluarga Danesh tahu bahwa ia adalah kekasih yang tersakiti. 

Mantan calon mertuanya berdiri untuk menghampiri, mungkin ingin memberikan pelukan kembali tapi Mawar mencegahnya dengan isyarat tangan. Begitu pun dengan Danesh, tapi dengan gelengan dari Mawar lelaki itu diam menatap mata mantan kekasihnya. 

“Ini, bukan mimpi. Danesh dan Tika selamat menempuh hidup baru, langgeng ya kalian.” Ia mungkin sudah tidak menangis, namun suara seraknya masih terdengar begitu pilu di hadapan semua orang. 

Menatap mata Danesh dan Tika bergantian, ia kemudian menatap ibu dari Danesh dan mulai mengayunkan langkah. Ia tidak boleh dikasihani, seakan ia adalah tokoh paling menderita. Di sini Tika dan bayi itu juga punya hak untuk disayangi.

Untuk terlihat baik-baik saja, ia melebarkan senyum ketika melewati tamu yang berjajar duduk menatapnya pergi. 

“Bye Danesh, ternyata kita tidak berjodoh.” Mawar bergumam. 

Ingin rasanya ia menenggelamkan diri dari dunia yang tak terduga alurnya. Mungkin ia sudah berkata ikhlas dan sabar, tapi tetap saja amarahnya butuh dilampiaskan. 

Mobil berwarna biru sedang dikendarainya, melesat meninggalkan tempat yang sudah meremukkan hatinya.

“Aaaaa!” Ia berteriak di dalam mobil yang ia tutup kaca jendelanya.

Setir pun menjadi pelampiasan. Air yang turun kembali, menjadi hal yang membuktikan bahwa mengikhlaskan tak harus menampilkan wajah datar dan senyum tulus.

“Hiks ... hiks ....” Suara tangis itu menggema di mobil yang tengah ia kendarai, sesekali ia menjambak rambutnya sendiri sampai lupa bahwa ia sedang menyetir. 

Ingatan dan segala perkataan dari Danesh masuk dalam ingatannya tanpa permisi. 

“Bisa gak, kadar gulanya turun dulu? Manis banget senyumnya.” 

“Pokoknya, senyum ini milik aku.” 

Danesh, lelaki romantis yang pernah ada dalam daftar kekasih hatinya. Dengan dia, Mawar merasa jadi ratu yang tak kenal kata jelek. Setiap pujian yang ia dapatkan, begitu melambungkan hatinya. Sayang, kata itu kalah dengan kenyataan yang membuatnya kecewa telah mengenal Danesh.

Semua rayu dan pujian itu harus melebur jadi keburukan, yang harus ia ingat ketika masih mengharapkannya. 

“Aku memang tidak terlalu suka bunga, tapi kalo bunga Mawar aku suka.” 

“Soalnya, Mawar Anindita jadi alasan kebahagiaan.” 

Kembali perkataan itu terngiang di kepalanya. “Argghh!” Ia menarik gas dengan tenaga yang begitu dikerahkan.

 

Ia langsung memutar setir, membelokkannya untuk memasuki gang kecil menuju tempat yang jarang dikunjungi orang karena jalur yang begitu berbahaya. 

Pikirannya, menghilang dari bumi untuk sementara waktu. Mungkin dengan menghilang dari orang-orang yang pasti tengah membicarakan hubungannya, yang kandas menyedihkan.

Untuk menceritakan, itu hanya mengulang rasa sakit. Biar mereka yang sudah tahu jelasnya yang menceritakan. Masa bodoh, tentang apa yang mungkin mereka tambahkan dalam alur ceritanya. 

Jalanan yang menanjak membuat Mawar terus menancap gas, juga melampiaskan rasa sakit yang bersarang di hatinya. Hingga tanjakan itu selesai ia lalui,  mempertemukannya dengan turunan. 

Di depannya terlihat wanita bergaun merah tengah berjalan tanpa melihat ke arah mobil yang melaju cepat. 

“Ayo sini, Zan.” Perempuan itu tidak bisa meluapkan rasa bahagianya, ketika beberapa jam lagi ia akan menjadi pendamping dari Izzan. 

“Duh, kamu tahu nggak sih pantang bagi pengantin itu ketemu sebelum akad?” Ia mengingatkan calon istrinya untuk kembali ke tempat penginapan. 

“Itu pikiran kuno, menurut aku kita harus bertemu untuk menghabiskan kebersamaan sebelum terikat.” Ya, gadis itu yang menemui si laki-laki untuk kabur dari tempat resepsi yang diadakan di pinggiran hutan pinus. 

“Ya, tapi Vil—“

“Shut, udah ayo ke sana.” Ia memotong ucapan dari Izzan dan langsung berlari masuk ke area jalan hutan. 

Izzan mengejar gadis yang berlari menuju jalanan hutan yang seberangnya menyuguhkan danau indah, cowok itu tersenyum, tahu apa yang akan dilakukan kekasihnya ketika memaksanya pergi dan menyuruh membawa kamera.

Meski sempat berdebat, karena pergi beberapa jam sebelum akad tentunya lelaki harus mengalah dan memanjakan kekasihnya. 

Di sisi lain Mawar berusaha menginjak rem mobilnya, tapi ingat bahwa mobil kesayangannya ini memang sedang dalam masa perbaikan. Ia membawa paksa mobil dari bengkel, saat mendengar pemberitaan tentang Danesh. 

“Awas!” Ia berteriak keras, dengan kepala menyembul di jendela mobil. 

Perempuan bergaun merah menoleh, ia kaget ketika mobil dan teriakan dari si pengemudinya mulai mendekat, ia pun menghindari mobil itu dengan melompat ke arah samping, sayangnya perempuan itu tidak bisa cepat karena ia memakai gaun yang mempersulit langkahnya. 

Brak! 

“Aaa,” ucapnya ketika perempuan itu tertabrak, tak sampai di situ mobilnya yang berusaha membanting setir kini masih melaju  hingga sebuah pohon besar membuat mobil itu berhenti dengan kepulan asap memenuhi.  Mawar pun tak sadarkan diri. 

Perempuan gaun merah tak kuasa menahan rasa sakitnya, ia masih sadarkan diri dan memanggil nama kekasihnya. “Iz-zan to-long,” ucapnya dengan terbata-bata. 

Izzan yang baru datang menghampiri karena semula terhalang beberapa rumput liar pun membulatkan matanya, langsung menghampiri. 

“Vilia ... Viliaa!” Ia berteriak dengan lantang, membawa kepala Kekasihnya dalam pangkuan. 

Bersambung... 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambivalensi CEO   Bab 18 : Kebenaran yang Bohong

    Ketika kebohongan terucap maka air mata akan terus meluncur dengan derasnya. -Ambivalensi CEO***Izzan mengernyitkan dahi, ia paham siapa lelaki yang membelakangi itu. Ternyata mantan dari Mawar--istrinya. "Bohong," ucapnya tentu tidak percaya. "Aku melihat mata kamu dan kamu juga lihat Danesh, aku tidak berbohong." Berhasil membuat bahunya bebas dari Danesh. "Jadi, ketika kamu menikah dengan Tika aku tidak keberatan. Aku tidak pernah mencoba merebut kamu kembali karena ada Izzan yang menjadi pilihan paling utama." Danesh mengepalkan tangan. Mawar lega sikap Danesh sepertinya mulai terpengaruh akan kebohongan yang ia katakan. "Aku memikirkan berbagai alasan untuk bisa putus sama kamu, ketika itu terjadi maka tidak ada penghalang aku untuk menikah dengan Izzan." Danesh menggeleng pelan tak habis pikir tentang kenyataan yang baru saja ia dengar. "Tega kamu Mawar!" Sedikit berteriak, untung saja acara musik masih berlangsung. "Ya, aku memang sejahat itu. Jadi please jangan ganggu

  • Ambivalensi CEO   Bab 17 : Lelaki Masa Lalu

    Di balik pertemuan memang akan selalu ada cerita. *** Mengusap air mata, ia lalu menutup pintu kamar. Izzan tak sadarkan diri ketika tatapan lembut itu datang, mungkin ia bermimpi jika Mawar adalah sang kekasih yang telah tiada. Masuk ke dalam kamar Izzan karena ia tidak mungkin satu kamar dengan lelaki yang selalu saja membencinya. Esoknya ketika matahari belum menyorot, perempuan yang sudah berganti pakaian dengan sebuah kebaya modern itu mulai pergi dari rumah yang semalam begitu ingin ia tinggalkan. Ia ingin terus melanjutkan hidup meski setiap waktu pasti ada saja mungkin hukuman yang akan ia terima karena telah memisahkan dua insan yang begitu saling cinta. Terdengar jahat, namun Mawar pun tak mengelak jika memang ia pelakunya. Ia tak terlalu ingat kejadian itu, namun ia juga melihat bahwa ada seorang perempuan. Perempuan yang mengenakan gaun merah, ya tentu ia sangat hafal warna mencolok itu. Di taksi ia meletakan kepala di kursi penumpang, menatap beberapa rumah ya

  • Ambivalensi CEO   Bab 16 : Sakit yang Baru Dirasa

    Haruskah tangis datang di pagi yang begitu cerah ini? -Mawar Anindhita. *** Cuaca tak bisa mengubah hati yang terluka. Secerah apapun pagi jika tangis ditakdirkan hadir maka dunia seakan mempelihatkan sisi buruknya. "Hei pengantin baru malah ngelamun aja, awas tuh airnya kepenuhan." Peringatan yang menyadarkan Mawar kembali ke dunia nyata. "Ini sengaja kok, biar gak terlalu manis." Mengaduk teh tarik yang menjadi minuman pertama bagi perutnya. "Lo ada masalah apa sih, kita kenal itu bukan sehari dua hari jadi gue tahu pasti ada yang lo pikirin?" sahabatnya itu tentu curiga. "Nggak kok, I am fine." Memegang pundak sang sahabat agar bisa membuatnya percaya. "Oke, lo pasti belum bisa cerita. Kalo lo siap, gue selalu ada ya." Mawar mengangguk. "Gue ke ruangan kerja ya," katanya lalu pergi. Roti sando yang ia beli sebelum pergi ke kantor menjadi sarapan yang menyatu dengan teh tarik panas yang ia seduh. "Anin, lo udah baca kan rangkaian acara yang diminta klien. Yuk, ga

  • Ambivalensi CEO   Bab 15 : Hati Yang Kacau

    Raga yang tersisa sepertinya tidak bisa bertahan jika jiwanya sudah terkubur bersama sang kekasih . -Izzan Madava *** Izzan bangkit, matanya menyiratkan api. "Kalo boleh gue juga mau!" Mencengkeram kerah baju Tio. "Raga gue di sini, tapi jiwa sudah terkubur bareng Vilia. Gue gak punya alasan buat bertahan, apa gue juga harus mati?" sarkasnya dengan senyum yang tak bisa diartikan oleh Tio. Mendengar itu Tio mendorong Izzan sampai berhasil melepaskan cengkraman di kerah bajunya. "Jangan gila Izzan! Kalo lo mati, kenapa gak dari awal aja hah?" "Lo pun gak harus menghukum Mawar dengan alasan tidak terima dengan takdir yang menimpa Vilia," tegasnya lagi. Izzan mendongak. "Hah, Mawar! Haha ... Dia pantas mendapatkan itu, lo tahu dia aja sepertinya tidak keberatan dengan yang terjadi kemarin." Tio memicingkan mata. "Tidak semua luka itu diperlihatkan, dia sama kaya lo! Kalian itu saling menyembunyikan luka jika bersama, tidak ingin terlihat lemah itu yang kalian lakukan,

  • Ambivalensi CEO   Bab 14 Apakah Ini Hukuman?

    Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut p

  • Ambivalensi CEO   Bab 13 : Kebodohan Izzan

    Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava *** Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status