Share

Bab 2 : Kehilangan

“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa pasien.” Pria setengah baya dengan jas putihnya menunduk, mengabarkan berita duka pada keluarga pasien. 

Langsung saja seorang wanita yang telah menjaga putrinya sejak bayi itu jatuh pingsan, tangisan pun menggema di lorong gelap. 

“Nggak! Vilia cuma pingsan, Dokter!” Lelaki yang mengenakan jas pun menyangkal perkataan sang dokter, ia mendekatkan wajahnya pada dokter seakan mengancam karena sudah mengabarkan kebohongan. 

“Anda dengar ya, Vilia itu perempuan kuat, dia tidak mungkin pergi secepat ini!” Mata lelaki itu berkilat marah, ia pun langsung mendorong bahu dokter lalu menerobos masuk ke dalam ruangan. 

Sejenak ia terpaku, ketika wajah sang kekasih begitu pucat. Meski tau apa yang dikatakan dokter adalah kebenaran, tapi hatinya begitu mendamba keajaiban yang membuat calon istrinya itu bangun meski hanya beberapa detik. Ia ingin menyampaikan selamat tinggal, atau jika perlu janji suci harus dilaksanakan sebelum mata itu kembali tertutup selamanya. 

Ia tidak percaya kekasihnya pergi sebelum janji suci diikrarkan. Izzan memegang besi ranjang pasien, ia mengeratkan pegangannya. Selimut putih menutupi tubuh kekasihnya sebatas dada.

“Sa-yang. Bangun, kita mau nikah loh,” lirihnya dengan tangan menyentuh wajah gadisnya. 

Tak ada pergerakan apalagi jawaban yang Izzan harapkan, ia menunduk. Sadar, bahwa ini adalah kenyataan yang terpampang.

Kening dingin itu menyentuh bibirnya, lama. Mencium sang kekasih adalah hal yang paling ia sukai, karena terbit senyum setelahnya. Sayangnya, sekarang senyum itu tidak terukir. Hal yang ia sukai mendadak jadi  kesedihan.

Tak tahan dengan rasa sakit yang menyerang ulu hatinya, ia mengeluarkan air mata. Ini, menjadi yang pertama baginya kehilangan. 

“Vilia ... bangun!” Ia berteriak, sakitnya semakin menyesakkan dada. 

Takut jika Izzan melakukan hal di luar kendali, sang ayah—Hanafi langsung menyeret putranya untuk keluar. 

Meski Izzan memberontak, akhirnya lelaki itu pasrah saat tangannya tak lagi bisa menjangkau kekasihnya. Alhasil ia terduduk dalam rengkuhan Hanafi.

 

“Kamu harus kuat, dia udah bahagia di sana.” Hanafi menepuk-nepuk pundak Izzan, semakin membuat lelaki itu menangis. 

Hanafi berkaca-kaca ketika tangisan putranya menggema, rasa sakit ditinggalkan memang belum pernah ia dapatkan, namun Hanafi tau putranya itu terpukul atas kejadian ini. 

Matahari mulai tergelincir ke arah barat, angin menerbangkan debu yang tak terlihat. Tempat seharusnya ia berbahagia dengan sang kekasih kini begitu sepi, hanya dedaunan yang mengisi tempat itu. 

Pakaian serba mewah dengan nuansa merah yang disukai oleh Vilia kini berubah menjadi hitam pekat tanpa warna lain yang menyelimutinya.

 

Hari pernikahan kini berubah menjadi pemakaman. Bunga yang dipenuhi warna merah harus terganti oleh bendera kuning yang tertancap. 

Setelah dinyatakan meninggal, jasad Vilia langsung dibawa ke kediaman keluarganya untuk segera dimakamkan.

Di sinilah sekarang Izzan Madava terduduk lemah, ia terus mengusap papan nisan calon istrinya. Membawakan bunga yang seharusnya Vilia lempar ke para lajang yang ingin segera menikah. 

Semua keluarga dan teman-teman yang mengantarkan Vilia ke tempat peristirahatan terakhir pun satu persatu melangkah pergi. 

“Zan, gue gak tahu apa yang buat tuhan ambil Vilia ketika dia harusnya bahagia ...,” ucap Alexa—sahabat dekat Vilia.

“Tapi, gue yakin Vilia sanggup menerima ini semua. Sebelum kita lahir ke dunia, kita diperlihatkan jalan kehidupan kita dan ... dia sanggup Zan, dia bahagia sekarang ... Hiks.” Alexa menitikkan air matanya, tersenyum menatap papan nisan yang tertancap. Izzan diam, ia hanya mendengarkan sambil terus mengusap papan nisan. 

Alexa memegang pundak Izzan. “Gue yakin, Vilia sayang banget sama lo.” Ia tersenyum tipis. 

“Kenapa, cara dia pergi buat gue menderita Lex?” tanya Izzan tanpa menoleh, Alexa mengusap pelan bahu lelaki itu. 

“Lo bisa Zan, lo juga sudah menyanggupi ini semua. Gak salah kalo lo sedih kehilangan Vilia, tapi jangan lo sakitin diri sendiri Zan. Itu sama aja lo sakitin sahabat gue yang udah tenang,” ucapnya memberi nasehat. 

Izzan hanya menghela napas mendengar perkataan dari Alexa. Hingga ia merasakan getaran di ponselnya. Setelah merogoh kantung celananya, ia meletakkan benda pipih itu di telinga. 

“Kenapa?” Izzan bertanya pada Tio—sahabatnya yang ia perintahkan untuk mencari tau pelaku yang menabrak Vilia. 

“Gini, sesuai  nomor kendaraan yang lo kasih. Mobil itu dikabarkan menabrak sebuah pohon di dekat pedesaan yang dekat dengan lokasi Vilia tertabrak.” Tio menjelaskan pada sahabatnya sesuai informasi yang ia dapatkan. 

“Pengemudinya?” tanyanya ingin tahu siapa pelaku dari kecelakaan. 

“Dia dilarikan ke UGD terdekat, sekarang kabarnya masih dirawat di sana.” 

“Kirim lokasinya ke gue,” ucapnya tanpa aba-aba langsung mematikan panggilan. 

Alexa yang mendengar apa yang dibicarakan oleh Izzan pun, langsung menghadang lelaki itu.

“Mau, ngapain?” tanyanya. 

“Gue mencoba buat ikhlas tentang kepergian Vilia, tapi gue gak bakal ampuni orang yang udah nabrak calon istri gue!” Nada bicara lelaki itu meninggi, kilatan api di matanya menjadi bukti keseriusannya menghukum si penghilang nyawa. 

Izzan mulai meninggalkan makam kekasih hatinya, diikuti oleh Alexa yang terus memanggil nama lelaki itu. 

“Zan, bentar dulu. Lo jangan emosi!” teriak Alexa tapi tidak menghentikkan langkah Izzan yang begitu lebar. 

Alexa terus mengejar lelaki itu, ia tidak boleh membiarkan Izzan pergi dengan api yang membara, sebab  akan menjadi boomerang untuk laki-laki itu. 

“Izzan, berhenti!” tegas Alexa entah karena teriakan perempuan itu yang keras atau apa yang pasti kali ini berhasil membuat laki-laki itu berhenti melangkah. 

Izzan berhenti, untuk mendengar perkataan orang yang masih waras. Emosinya, sedikit mereda ketika berhenti. “Nyawa dibalas nyawa!” Ternyata emosi laki-laki itu kembali saat melihat gundukan tanah yang masih basah, makam baru.

“Zan, dengerin gue ya. Gak ada kebahagiaan yang didapat dari kesengsaraan!” Alexa tersulut emosi karena perkataan Izzan yang begitu enteng soal nyawa. 

Diam. 

“Menurut lo, Vilia bakal senang kalo seorang Izzan Madava masuk penjara, karena membunuh orang yang menabrak kekasihnya, hah?” tuturnya dengan napas memburu, ia menyesali telah membawa-bawa nama sahabatnya untuk menenangkan laki-laki itu. 

Tangan Izzan mengepal dengan erat, ia mencerna kalimat Alexa yang benar. Ia juga tidak ingin menghabiskan sisa hari di penjara. 

Namun seperti mendapat bisikan, lelaki itu menyeringai. Tangan yang mengepal itu semakin diperkuat, Alexa hanya diam menyaksikannya dengan raut khawatir. 

“Tenang aja, Lexa. Gue bakal main aman, tanpa diketahui siapapun.” Setelah mengucapkan ini, ia mulai melanjutkan langkahnya. 

Mendengar itu, Alexa membulatkan mata. Izzan tanpa Vilia begitu menakutkan, terlebih masalah ini mengenai kematian gadisnya. 

“Duh, Izzan jangan an—“ Namun ia tidak melanjutkan kalimat larangannya, ketika tangan laki-laki itu mengisyaratkan untuk tidak mengejar. 

Alexa hanya bisa diam sambil menggigit bibir bawahnya, ia frustasi jika Izzan kehilangan kewarasan yang berniat balas dendam. 

Di sisi lain, seorang perempuan tengah melamun. Ia memikirkan kejadian yang menimpanya, air mata membasahi ketika mengingat perempuan gaun merah. 

Ia menenggelamkan wajahnya dengan selimut, ia takut perempuan itu kehilangan nyawa karena dirinya. Kejadian beberapa jam yang lalu begitu melekat diingatan, jelas ia melihat perempuan itu terlempar. 

Turunan yang ia lalui, membawanya hampir ke sebuah jurang di mana itu adalah tempat permukiman penduduk desa. 

“Hiks ... Siapapun tolong cari tau tentang perempuan gaun merah,” monolognya dengan tangis yang menggema.

Tap. 

Tap. 

Sura langkah kaki mendekat, membuatnya ketakutan. Takut jika itu adalah aparat kepolisian yang akan menangkapnya. 

Langkah kaki itu semakin mendekat, hingga tidak terdengar tapi ia menangkap siluet dari dalam selimut. 

“Nona ... Mawar Anindita?” panggilnya dengan jeda, melihat nama yang ditulis di telapak tangan. 

Bersambung ... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status