Home / Romansa / Ambivalensi CEO / Bab 2 : Kehilangan

Share

Bab 2 : Kehilangan

Author: MA Marayna
last update Last Updated: 2021-08-26 12:09:57

“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa pasien.” Pria setengah baya dengan jas putihnya menunduk, mengabarkan berita duka pada keluarga pasien. 

Langsung saja seorang wanita yang telah menjaga putrinya sejak bayi itu jatuh pingsan, tangisan pun menggema di lorong gelap. 

“Nggak! Vilia cuma pingsan, Dokter!” Lelaki yang mengenakan jas pun menyangkal perkataan sang dokter, ia mendekatkan wajahnya pada dokter seakan mengancam karena sudah mengabarkan kebohongan. 

“Anda dengar ya, Vilia itu perempuan kuat, dia tidak mungkin pergi secepat ini!” Mata lelaki itu berkilat marah, ia pun langsung mendorong bahu dokter lalu menerobos masuk ke dalam ruangan. 

Sejenak ia terpaku, ketika wajah sang kekasih begitu pucat. Meski tau apa yang dikatakan dokter adalah kebenaran, tapi hatinya begitu mendamba keajaiban yang membuat calon istrinya itu bangun meski hanya beberapa detik. Ia ingin menyampaikan selamat tinggal, atau jika perlu janji suci harus dilaksanakan sebelum mata itu kembali tertutup selamanya. 

Ia tidak percaya kekasihnya pergi sebelum janji suci diikrarkan. Izzan memegang besi ranjang pasien, ia mengeratkan pegangannya. Selimut putih menutupi tubuh kekasihnya sebatas dada.

“Sa-yang. Bangun, kita mau nikah loh,” lirihnya dengan tangan menyentuh wajah gadisnya. 

Tak ada pergerakan apalagi jawaban yang Izzan harapkan, ia menunduk. Sadar, bahwa ini adalah kenyataan yang terpampang.

Kening dingin itu menyentuh bibirnya, lama. Mencium sang kekasih adalah hal yang paling ia sukai, karena terbit senyum setelahnya. Sayangnya, sekarang senyum itu tidak terukir. Hal yang ia sukai mendadak jadi  kesedihan.

Tak tahan dengan rasa sakit yang menyerang ulu hatinya, ia mengeluarkan air mata. Ini, menjadi yang pertama baginya kehilangan. 

“Vilia ... bangun!” Ia berteriak, sakitnya semakin menyesakkan dada. 

Takut jika Izzan melakukan hal di luar kendali, sang ayah—Hanafi langsung menyeret putranya untuk keluar. 

Meski Izzan memberontak, akhirnya lelaki itu pasrah saat tangannya tak lagi bisa menjangkau kekasihnya. Alhasil ia terduduk dalam rengkuhan Hanafi.

 

“Kamu harus kuat, dia udah bahagia di sana.” Hanafi menepuk-nepuk pundak Izzan, semakin membuat lelaki itu menangis. 

Hanafi berkaca-kaca ketika tangisan putranya menggema, rasa sakit ditinggalkan memang belum pernah ia dapatkan, namun Hanafi tau putranya itu terpukul atas kejadian ini. 

Matahari mulai tergelincir ke arah barat, angin menerbangkan debu yang tak terlihat. Tempat seharusnya ia berbahagia dengan sang kekasih kini begitu sepi, hanya dedaunan yang mengisi tempat itu. 

Pakaian serba mewah dengan nuansa merah yang disukai oleh Vilia kini berubah menjadi hitam pekat tanpa warna lain yang menyelimutinya.

 

Hari pernikahan kini berubah menjadi pemakaman. Bunga yang dipenuhi warna merah harus terganti oleh bendera kuning yang tertancap. 

Setelah dinyatakan meninggal, jasad Vilia langsung dibawa ke kediaman keluarganya untuk segera dimakamkan.

Di sinilah sekarang Izzan Madava terduduk lemah, ia terus mengusap papan nisan calon istrinya. Membawakan bunga yang seharusnya Vilia lempar ke para lajang yang ingin segera menikah. 

Semua keluarga dan teman-teman yang mengantarkan Vilia ke tempat peristirahatan terakhir pun satu persatu melangkah pergi. 

“Zan, gue gak tahu apa yang buat tuhan ambil Vilia ketika dia harusnya bahagia ...,” ucap Alexa—sahabat dekat Vilia.

“Tapi, gue yakin Vilia sanggup menerima ini semua. Sebelum kita lahir ke dunia, kita diperlihatkan jalan kehidupan kita dan ... dia sanggup Zan, dia bahagia sekarang ... Hiks.” Alexa menitikkan air matanya, tersenyum menatap papan nisan yang tertancap. Izzan diam, ia hanya mendengarkan sambil terus mengusap papan nisan. 

Alexa memegang pundak Izzan. “Gue yakin, Vilia sayang banget sama lo.” Ia tersenyum tipis. 

“Kenapa, cara dia pergi buat gue menderita Lex?” tanya Izzan tanpa menoleh, Alexa mengusap pelan bahu lelaki itu. 

“Lo bisa Zan, lo juga sudah menyanggupi ini semua. Gak salah kalo lo sedih kehilangan Vilia, tapi jangan lo sakitin diri sendiri Zan. Itu sama aja lo sakitin sahabat gue yang udah tenang,” ucapnya memberi nasehat. 

Izzan hanya menghela napas mendengar perkataan dari Alexa. Hingga ia merasakan getaran di ponselnya. Setelah merogoh kantung celananya, ia meletakkan benda pipih itu di telinga. 

“Kenapa?” Izzan bertanya pada Tio—sahabatnya yang ia perintahkan untuk mencari tau pelaku yang menabrak Vilia. 

“Gini, sesuai  nomor kendaraan yang lo kasih. Mobil itu dikabarkan menabrak sebuah pohon di dekat pedesaan yang dekat dengan lokasi Vilia tertabrak.” Tio menjelaskan pada sahabatnya sesuai informasi yang ia dapatkan. 

“Pengemudinya?” tanyanya ingin tahu siapa pelaku dari kecelakaan. 

“Dia dilarikan ke UGD terdekat, sekarang kabarnya masih dirawat di sana.” 

“Kirim lokasinya ke gue,” ucapnya tanpa aba-aba langsung mematikan panggilan. 

Alexa yang mendengar apa yang dibicarakan oleh Izzan pun, langsung menghadang lelaki itu.

“Mau, ngapain?” tanyanya. 

“Gue mencoba buat ikhlas tentang kepergian Vilia, tapi gue gak bakal ampuni orang yang udah nabrak calon istri gue!” Nada bicara lelaki itu meninggi, kilatan api di matanya menjadi bukti keseriusannya menghukum si penghilang nyawa. 

Izzan mulai meninggalkan makam kekasih hatinya, diikuti oleh Alexa yang terus memanggil nama lelaki itu. 

“Zan, bentar dulu. Lo jangan emosi!” teriak Alexa tapi tidak menghentikkan langkah Izzan yang begitu lebar. 

Alexa terus mengejar lelaki itu, ia tidak boleh membiarkan Izzan pergi dengan api yang membara, sebab  akan menjadi boomerang untuk laki-laki itu. 

“Izzan, berhenti!” tegas Alexa entah karena teriakan perempuan itu yang keras atau apa yang pasti kali ini berhasil membuat laki-laki itu berhenti melangkah. 

Izzan berhenti, untuk mendengar perkataan orang yang masih waras. Emosinya, sedikit mereda ketika berhenti. “Nyawa dibalas nyawa!” Ternyata emosi laki-laki itu kembali saat melihat gundukan tanah yang masih basah, makam baru.

“Zan, dengerin gue ya. Gak ada kebahagiaan yang didapat dari kesengsaraan!” Alexa tersulut emosi karena perkataan Izzan yang begitu enteng soal nyawa. 

Diam. 

“Menurut lo, Vilia bakal senang kalo seorang Izzan Madava masuk penjara, karena membunuh orang yang menabrak kekasihnya, hah?” tuturnya dengan napas memburu, ia menyesali telah membawa-bawa nama sahabatnya untuk menenangkan laki-laki itu. 

Tangan Izzan mengepal dengan erat, ia mencerna kalimat Alexa yang benar. Ia juga tidak ingin menghabiskan sisa hari di penjara. 

Namun seperti mendapat bisikan, lelaki itu menyeringai. Tangan yang mengepal itu semakin diperkuat, Alexa hanya diam menyaksikannya dengan raut khawatir. 

“Tenang aja, Lexa. Gue bakal main aman, tanpa diketahui siapapun.” Setelah mengucapkan ini, ia mulai melanjutkan langkahnya. 

Mendengar itu, Alexa membulatkan mata. Izzan tanpa Vilia begitu menakutkan, terlebih masalah ini mengenai kematian gadisnya. 

“Duh, Izzan jangan an—“ Namun ia tidak melanjutkan kalimat larangannya, ketika tangan laki-laki itu mengisyaratkan untuk tidak mengejar. 

Alexa hanya bisa diam sambil menggigit bibir bawahnya, ia frustasi jika Izzan kehilangan kewarasan yang berniat balas dendam. 

Di sisi lain, seorang perempuan tengah melamun. Ia memikirkan kejadian yang menimpanya, air mata membasahi ketika mengingat perempuan gaun merah. 

Ia menenggelamkan wajahnya dengan selimut, ia takut perempuan itu kehilangan nyawa karena dirinya. Kejadian beberapa jam yang lalu begitu melekat diingatan, jelas ia melihat perempuan itu terlempar. 

Turunan yang ia lalui, membawanya hampir ke sebuah jurang di mana itu adalah tempat permukiman penduduk desa. 

“Hiks ... Siapapun tolong cari tau tentang perempuan gaun merah,” monolognya dengan tangis yang menggema.

Tap. 

Tap. 

Sura langkah kaki mendekat, membuatnya ketakutan. Takut jika itu adalah aparat kepolisian yang akan menangkapnya. 

Langkah kaki itu semakin mendekat, hingga tidak terdengar tapi ia menangkap siluet dari dalam selimut. 

“Nona ... Mawar Anindita?” panggilnya dengan jeda, melihat nama yang ditulis di telapak tangan. 

Bersambung ... 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ambivalensi CEO   Bab 18 : Kebenaran yang Bohong

    Ketika kebohongan terucap maka air mata akan terus meluncur dengan derasnya. -Ambivalensi CEO***Izzan mengernyitkan dahi, ia paham siapa lelaki yang membelakangi itu. Ternyata mantan dari Mawar--istrinya. "Bohong," ucapnya tentu tidak percaya. "Aku melihat mata kamu dan kamu juga lihat Danesh, aku tidak berbohong." Berhasil membuat bahunya bebas dari Danesh. "Jadi, ketika kamu menikah dengan Tika aku tidak keberatan. Aku tidak pernah mencoba merebut kamu kembali karena ada Izzan yang menjadi pilihan paling utama." Danesh mengepalkan tangan. Mawar lega sikap Danesh sepertinya mulai terpengaruh akan kebohongan yang ia katakan. "Aku memikirkan berbagai alasan untuk bisa putus sama kamu, ketika itu terjadi maka tidak ada penghalang aku untuk menikah dengan Izzan." Danesh menggeleng pelan tak habis pikir tentang kenyataan yang baru saja ia dengar. "Tega kamu Mawar!" Sedikit berteriak, untung saja acara musik masih berlangsung. "Ya, aku memang sejahat itu. Jadi please jangan ganggu

  • Ambivalensi CEO   Bab 17 : Lelaki Masa Lalu

    Di balik pertemuan memang akan selalu ada cerita. *** Mengusap air mata, ia lalu menutup pintu kamar. Izzan tak sadarkan diri ketika tatapan lembut itu datang, mungkin ia bermimpi jika Mawar adalah sang kekasih yang telah tiada. Masuk ke dalam kamar Izzan karena ia tidak mungkin satu kamar dengan lelaki yang selalu saja membencinya. Esoknya ketika matahari belum menyorot, perempuan yang sudah berganti pakaian dengan sebuah kebaya modern itu mulai pergi dari rumah yang semalam begitu ingin ia tinggalkan. Ia ingin terus melanjutkan hidup meski setiap waktu pasti ada saja mungkin hukuman yang akan ia terima karena telah memisahkan dua insan yang begitu saling cinta. Terdengar jahat, namun Mawar pun tak mengelak jika memang ia pelakunya. Ia tak terlalu ingat kejadian itu, namun ia juga melihat bahwa ada seorang perempuan. Perempuan yang mengenakan gaun merah, ya tentu ia sangat hafal warna mencolok itu. Di taksi ia meletakan kepala di kursi penumpang, menatap beberapa rumah ya

  • Ambivalensi CEO   Bab 16 : Sakit yang Baru Dirasa

    Haruskah tangis datang di pagi yang begitu cerah ini? -Mawar Anindhita. *** Cuaca tak bisa mengubah hati yang terluka. Secerah apapun pagi jika tangis ditakdirkan hadir maka dunia seakan mempelihatkan sisi buruknya. "Hei pengantin baru malah ngelamun aja, awas tuh airnya kepenuhan." Peringatan yang menyadarkan Mawar kembali ke dunia nyata. "Ini sengaja kok, biar gak terlalu manis." Mengaduk teh tarik yang menjadi minuman pertama bagi perutnya. "Lo ada masalah apa sih, kita kenal itu bukan sehari dua hari jadi gue tahu pasti ada yang lo pikirin?" sahabatnya itu tentu curiga. "Nggak kok, I am fine." Memegang pundak sang sahabat agar bisa membuatnya percaya. "Oke, lo pasti belum bisa cerita. Kalo lo siap, gue selalu ada ya." Mawar mengangguk. "Gue ke ruangan kerja ya," katanya lalu pergi. Roti sando yang ia beli sebelum pergi ke kantor menjadi sarapan yang menyatu dengan teh tarik panas yang ia seduh. "Anin, lo udah baca kan rangkaian acara yang diminta klien. Yuk, ga

  • Ambivalensi CEO   Bab 15 : Hati Yang Kacau

    Raga yang tersisa sepertinya tidak bisa bertahan jika jiwanya sudah terkubur bersama sang kekasih . -Izzan Madava *** Izzan bangkit, matanya menyiratkan api. "Kalo boleh gue juga mau!" Mencengkeram kerah baju Tio. "Raga gue di sini, tapi jiwa sudah terkubur bareng Vilia. Gue gak punya alasan buat bertahan, apa gue juga harus mati?" sarkasnya dengan senyum yang tak bisa diartikan oleh Tio. Mendengar itu Tio mendorong Izzan sampai berhasil melepaskan cengkraman di kerah bajunya. "Jangan gila Izzan! Kalo lo mati, kenapa gak dari awal aja hah?" "Lo pun gak harus menghukum Mawar dengan alasan tidak terima dengan takdir yang menimpa Vilia," tegasnya lagi. Izzan mendongak. "Hah, Mawar! Haha ... Dia pantas mendapatkan itu, lo tahu dia aja sepertinya tidak keberatan dengan yang terjadi kemarin." Tio memicingkan mata. "Tidak semua luka itu diperlihatkan, dia sama kaya lo! Kalian itu saling menyembunyikan luka jika bersama, tidak ingin terlihat lemah itu yang kalian lakukan,

  • Ambivalensi CEO   Bab 14 Apakah Ini Hukuman?

    Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut p

  • Ambivalensi CEO   Bab 13 : Kebodohan Izzan

    Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava *** Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status