“Wah, tidak ada. Berarti kalian belum menikah ya?” Menganggukkan kepalanya.
Lengan si lelaki sudah mengepal, Mawar pun berbalik meski masa bodo tapi ia tidak tahu jika Izzan sepertinya begitu terganggu. Mawar tersenyum tipis pada wanita itu, kemudian ia meraih tangan yang terkepal dan menyeretnya pergi. Izzan melototkan matanya, berani sekali perempuan ini memegang tangannya, menyeretnya juga? “Heh, lepas!” titahnya sambil menghempaskan pegangan Mawar. Mawar menghembuskan napas, ia pasrah jika akan dimarahi oleh lelaki yang tangannya ia seret untuk menjauhkannya dari amarah.“Maaf, tapi marah tidak akan menyelesaikan masalah.” Mawar berkomentar membela diri, meski tahu tidak akan mengurungkan niat Izzan untuk mengeluarkan ledakan amarahnya.
“Apa? Kamu menyindir saya, hah?” Benar saja bukan, Lelaki itu pemarah dan tidak punya hati? Mawar diam.
Melihat santainya Mawar, tentu saja lelaki itu tidak suka dan semakin menganggapnya ejekan. Izzan pun menarik pergelangan tangan Mawar, tidak ada kelembutan di sentuhan tangannya. Hanya dingin dan membuat Mawar sedikit takut pada lelaki ini.
“Duh, minta maaf deh iya. Le-pas,” ucapnya memundurkan ego agar bisa selamat dari segala penyiksaan yang mungkin akan Izzan lakukan seperti halnya di rumah sakit. Enak saja, luka yang ia torehkan saja belum kering. Untungnya, sang ayah tidak menyadari luka di punggung tangan yang ia tutupi dengan lengan bajunya. Izzan tidak peduli. Ia terus menyeret tangan itu, membuat Mawar kesusahan menyamai langkah yang begitu lebar.Terlihat ia mengetik sesuatu sambil berjalan, Mawar tak habis pikir lelaki itu bisa mengetik pesan sambil berjalan.
Selesai dengan ponselnya, Izzan membelokkan arah langkah kakinya ke sebuah lorong yang gelap. Tentu saja hal itu membuat Mawar bergidik ngeri. Sederet pikiran negatif tentu saja bersarang dalam benaknya. Apa, ini akhir hidupnya?Tidak bisa kah, ia meminta maaf terlebih dahulu pada sang ayah?Dua pertanyaan, yang menjadi khawatir itu membuat Mawar merengek. “Aku mohon, jangan akhiri hidupku di tempat ini,” katanya mencoba bernegosiasi dengan Izzan. Izzan melepas pegangannya. Sebuah gudang yang sepertinya tidak terpakai, terlihat debu dan ruangan yang tidak memiliki penerangan. “Tenang saja, kamu tidak akan dibunuh. Hanya saja, kamu harus menginap di gudang ini satu malam.” “Apa? Nggak, jangan bercanda dong. Di sini itu gak ada penerangan apapun, terus kotor.” Mawar menentang dengan mata yang mengedarkan pandangan. “Ya bagus, hitung-hitung kamu sedang latihan dipenjara, ya kan?” Tangan lelaki itu bersedekap dada, wajahnya begitu bahagia melihat Mawar menderita. Mawar langsung memeluk lengan si lelaki kejam itu, ia harus keluar dengan Izzan dan mengurungkan niat lelaki itu untuk mengurungnya satu malam di tempat ini. Izzan terperanjat, langsung melototkan matanya seram tapi Mawar benar-benar ingin keluar bersama lelaki itu. Ia tidak mau ditinggal meski hanya satu jam tanpa siapapun. “Le-pas!” Izzan menggertak, namun hanya pegangan yang semakin kuat ia rasakan. “Pokoknya, aku gak mau ditinggal di sini apalagi semalaman.” Mawar menggelengkan kepalanya dengan bahu yang bergidik ngeri. Izzan berdecak sebal, ia berpikir cara agar Mawar melepaskan rangkulan pada lengannya. Hingga senyum smirknya ia tampilkan tanpa sepengetahuan Mawar. Ia menghela napasnya.“Huh, oke iya. Saya tidak punya waktu lagi untuk menghukum kamu di sini, saya ada rapat.” Perkataan ini sukses membuat Mawar menampilkan binar bahagia di matanya.
“Serius? Jadi, saya gak jadi dikurung di sini kan?” Ia ingin memastikan. Lelaki itu berdecak. “Ck ... Ya udah lepas dong!” titahnya membuat Mawar langsung melepa rangkulannya.Setelah tangan laki-laki itu terbebas, dengan cepat ia mendorong pelan tubuh gadis itu. Kemudian menarik hendel pintu dan menutupnya. Berhasil. Tok ... Tok ... Tok. Mawar langsung terperanjat saat pintu tertutup, langsung saja ia mengetuk pintu itu. Air mata mulai datang dari matanya, ia benar-benar ketakutan berada di ruangan ini. “Sudah, nikmati saja hukuman pertama ini. Eum, tidak satu hari hanya saja menunggu sampai pagi,” ucapnya dengan gelak tawa yang begitu puas. Mawar menangis diam, ia tahu jika hati nurani lelaki itu sudah hilang sejak kekasihnya meninggal. Sungguh, Mawar juga merasa bersalah bahkan terpukul mengetahui ia telah menghilangkan nyawa seseorang. Setiap malam ia berdoa, untuk diampuni. Ini kah hukuman dari Pencipta untuknya? Begitu berat rasanya, mengetahui akan berada di neraka dunia dalam tangan Izzan. “Hiks ... Hiks ....” Ia tak bisa menahan mulutnya agar diam, hukuman ini benar-benar awal yang mengerikan. Suara seseorang datang, sekilas Mawar mendengar dentingan kunci yang saling beradu. “Ini, tuan kunci gudang yang Anda inginkan,” ucap orang itu. “Oke,” ucapnya langsung mengunci pintu dengan kunci aslinya karena sebelumnya ia hanya mengunci menggunakan papan kayu yang ada. Izzan sibuk memainkan ponsel saat berjalan adalah untuk mengabari keluarga dan ayahanda dari Mawar. Ia mengarang ingin menghabiskan waktu berdua mencari pernak-pernik pernikahan. Sungguh ayah mana yang tidak akan menyetujui jika izinnya diminta langsung calon menantu? Ia juga meminta pada sahabatnya yang merupakan, pemilik gedung termasuk restoran tempat mereka makan malam untuk meminjamkan satu tempat terbengkalai ini. Sungguh, cerdas memang lelaki itu menyusun rencana penghukuman bagi Mawar. “To-long buka pintunya,” lirihnya begitu tak bertenaga. “Tidak usah pura-pura lemah, kita baru saja melangsungkan makan malam. Jadi itu cukup untuk kamu bertahan sampai pagi, hanya pagi tenang saja.” Izzan langsung memasukkan kuncinya ke saku celana. “Nanti, ayah mencariku.” Mawar memikirkan ayahnya yang pasti khawatir padanya. “Tenang saja, aku sudah mengurusnya. Dia tahu kalo kamu pergi dengan calon suaminya. Selesai! sampai jumpa besok pagi, calon istri.” Dengan kekehan ia berlalu meninggalkan lantai bawah tanah yang tak jauh dari toilet, tempat yang hampir membuat akalnya tidak berguna. Tok ... Tok ... Mawar hanya bisa mengetuk pintu dengan lemah. “Aku, benci diriku dan kamu.” Mawar pasrah, meratapi hidupnya. Ketika tersakiti oleh pengkhianatan, ia juga harus menderita oleh laki-laki yang baru dikenalnya. Terlalu lama menangis, ternyata membuat mata Mawar tak bisa terbuka dengan baik, alhasil ia pun tertidur sambil memeluk lututnya.Enam jam berlalu, Mawar masih terlelap dalam tidurnya meski terkadang ia mengigau memanggil sang ibu yang sudah pergi menemui Sang Pencipta.
Hingga, sebuah asap datang melalui atap. Masuk memenuhi ruangan kotor dan berdebu tempat Mawar tertidur. “Uhuk ... Uhuk ....”Membuka mata, kemudian mendongak Mawar langsung membulatkan matanya.
“Hah, api?”
Bersambung ...
Ketika kebohongan terucap maka air mata akan terus meluncur dengan derasnya. -Ambivalensi CEO***Izzan mengernyitkan dahi, ia paham siapa lelaki yang membelakangi itu. Ternyata mantan dari Mawar--istrinya. "Bohong," ucapnya tentu tidak percaya. "Aku melihat mata kamu dan kamu juga lihat Danesh, aku tidak berbohong." Berhasil membuat bahunya bebas dari Danesh. "Jadi, ketika kamu menikah dengan Tika aku tidak keberatan. Aku tidak pernah mencoba merebut kamu kembali karena ada Izzan yang menjadi pilihan paling utama." Danesh mengepalkan tangan. Mawar lega sikap Danesh sepertinya mulai terpengaruh akan kebohongan yang ia katakan. "Aku memikirkan berbagai alasan untuk bisa putus sama kamu, ketika itu terjadi maka tidak ada penghalang aku untuk menikah dengan Izzan." Danesh menggeleng pelan tak habis pikir tentang kenyataan yang baru saja ia dengar. "Tega kamu Mawar!" Sedikit berteriak, untung saja acara musik masih berlangsung. "Ya, aku memang sejahat itu. Jadi please jangan ganggu
Di balik pertemuan memang akan selalu ada cerita. *** Mengusap air mata, ia lalu menutup pintu kamar. Izzan tak sadarkan diri ketika tatapan lembut itu datang, mungkin ia bermimpi jika Mawar adalah sang kekasih yang telah tiada. Masuk ke dalam kamar Izzan karena ia tidak mungkin satu kamar dengan lelaki yang selalu saja membencinya. Esoknya ketika matahari belum menyorot, perempuan yang sudah berganti pakaian dengan sebuah kebaya modern itu mulai pergi dari rumah yang semalam begitu ingin ia tinggalkan. Ia ingin terus melanjutkan hidup meski setiap waktu pasti ada saja mungkin hukuman yang akan ia terima karena telah memisahkan dua insan yang begitu saling cinta. Terdengar jahat, namun Mawar pun tak mengelak jika memang ia pelakunya. Ia tak terlalu ingat kejadian itu, namun ia juga melihat bahwa ada seorang perempuan. Perempuan yang mengenakan gaun merah, ya tentu ia sangat hafal warna mencolok itu. Di taksi ia meletakan kepala di kursi penumpang, menatap beberapa rumah ya
Haruskah tangis datang di pagi yang begitu cerah ini? -Mawar Anindhita. *** Cuaca tak bisa mengubah hati yang terluka. Secerah apapun pagi jika tangis ditakdirkan hadir maka dunia seakan mempelihatkan sisi buruknya. "Hei pengantin baru malah ngelamun aja, awas tuh airnya kepenuhan." Peringatan yang menyadarkan Mawar kembali ke dunia nyata. "Ini sengaja kok, biar gak terlalu manis." Mengaduk teh tarik yang menjadi minuman pertama bagi perutnya. "Lo ada masalah apa sih, kita kenal itu bukan sehari dua hari jadi gue tahu pasti ada yang lo pikirin?" sahabatnya itu tentu curiga. "Nggak kok, I am fine." Memegang pundak sang sahabat agar bisa membuatnya percaya. "Oke, lo pasti belum bisa cerita. Kalo lo siap, gue selalu ada ya." Mawar mengangguk. "Gue ke ruangan kerja ya," katanya lalu pergi. Roti sando yang ia beli sebelum pergi ke kantor menjadi sarapan yang menyatu dengan teh tarik panas yang ia seduh. "Anin, lo udah baca kan rangkaian acara yang diminta klien. Yuk, ga
Raga yang tersisa sepertinya tidak bisa bertahan jika jiwanya sudah terkubur bersama sang kekasih . -Izzan Madava *** Izzan bangkit, matanya menyiratkan api. "Kalo boleh gue juga mau!" Mencengkeram kerah baju Tio. "Raga gue di sini, tapi jiwa sudah terkubur bareng Vilia. Gue gak punya alasan buat bertahan, apa gue juga harus mati?" sarkasnya dengan senyum yang tak bisa diartikan oleh Tio. Mendengar itu Tio mendorong Izzan sampai berhasil melepaskan cengkraman di kerah bajunya. "Jangan gila Izzan! Kalo lo mati, kenapa gak dari awal aja hah?" "Lo pun gak harus menghukum Mawar dengan alasan tidak terima dengan takdir yang menimpa Vilia," tegasnya lagi. Izzan mendongak. "Hah, Mawar! Haha ... Dia pantas mendapatkan itu, lo tahu dia aja sepertinya tidak keberatan dengan yang terjadi kemarin." Tio memicingkan mata. "Tidak semua luka itu diperlihatkan, dia sama kaya lo! Kalian itu saling menyembunyikan luka jika bersama, tidak ingin terlihat lemah itu yang kalian lakukan,
Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut p
Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava *** Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati