Share

Bab 4 : Izin Menyatukan Hati yang Tak Satu

 

“Dengan siapa?” Lelaki paruh baya dengan syal kusam melekat di leher, menjadi ciri bahwa lelaki itu tidak sehat. 

Sudah Mawar tebak, jika ayahnya akan mempertanyakan izinnya menikah. 

“Mawar, Ayah tahu kalo Danesh menghamili perempuan lain dan sudah menikah. Jadi, siapa lelaki yang begitu cepat menaklukkan hati kamu?” Kembali Wira—ayah dari Mawar itu memperjelas pertanyaan yang belum terjawab. 

Mawar menghela napasnya, ia sebenarnya ingin berbohong tapi tidak punya bahan untuk kebohongannya. Lagipula, ia butuh wali untuk menikah, bukan?

“Loh, kok gak dijawab-jawab? Nah, ini nih. Sudah, tidak apa-apa. Kamu bisa mendapatkan yang lebih dari Danesh,” ucapnya menyangka bahwa izin yang ia pinta ini hanya untuk memperlihatkan pada Danesh bawa ia juga bahagia. 

Nyatanya, bukan itu. 

Mawar mengambil tangan Wira yang begitu kasar, sebuah tangan yang telah bekerja keras untuk memberi keluarganya makan setiap hari ini terlihat keriput. 

“Ayah ... Mawar memang kecewa berat dengan Danesh tapi ada satu orang yang membuat Mawar mantap untuk menjalani ikatan suci,” ungkapnya dengan mata ke atas, membayangkan.

 

Wira memundurkan wajahnya, tidak menyangka bahwa putrinya itu serius. “Kamu, yakin?” Kembali pertanyaan Wira lontarkan, Mawar pun mengangguk sebagai pembenaran. 

“Mawar, dengar baik-baik. Menikah itu bukan orang pacaran yang kapan saja bisa selesai, bukan hanya—“ 

Mawar langsung menjeda ucapan dari Wira, “Ayah, restui aku kan?” Mata yang indah diturunkan sang ibu, terlihat begitu manis bagi Wira. 

Wira menghela napasnya. “Jika itu membuat anak Ayah bahagia, aku merestui sayang,” ucapnya langsung membuat Mawar menghambur ke pelukan Wira. 

Bibirnya ia gigit untuk tidak mengeluarkan suara tangis. Seandainya sang ayah tahu bahwa pernikahan ini hanya sebuah hukuman, sudah pasti ditolak mentah-mentah olehnya. 

“Dia pasti lelaki yang hebat karena berhasil membuat bunga Ayah, bangun dari rasa kecewanya.” Ia mengusap punggung putri pertama yang ia punya satu-satunya sekarang. 

Mawar mengusap air matanya sebelum, melepas pelukan. Ia pun langsung merebahkan kepalanya di pangkuan sang ayah.  Sudah lama, tidak ia lakukan semenjak bekerja.

“Jadi, siapa lelaki itu?” Pertanyaan yang belum terjawab itu diulangi oleh Wira. 

Mawar tersenyum kecut, tanpa diketahui sang ayah yang mengusap rambutnya perlahan. “Hmm ... Dia Izzan Madava. Seorang Owner dan CEO perusahaan Buana Dama, dia lelaki hebat dan penyayang yang pernah Mawar temui.” Setelahnya ingin Mawar memuntahkan apa yang telah ia ucapkan untuk membuat Wira yakin merestuinya. 

“Loh, hebat kamu dapat lelaki yang mapan. Kalo gitu, Ayah tenang, Nak.” Senyum terukir dari Wira, itu membuat Mawar merasa bersalah. 

Hidup berdua dengan sang ayah ketika harus ikhlas menerima kepergian sang ibu dan adiknya yang masih kecil adalah hal yang membuat Mawar tumbuh menjadi perempuan tangguh. Takdir menyedihkan sudah pernah ia alami, mungkin nanti juga takdir yang tak kalah pedih akan hadir. 

“Uhuk ... Uhuk ... Ka-lo ada ibu dan adik kamu, pasti mereka bahagia banget liat kamu berhasil. Kerja sudah tetap, sekarang akan dinikahi dengan pria mapan dan pasti tampan,” ucapnya sambil terbatuk. 

Mawar hanya tersenyum tipis. 

*** 

Sajian yang begitu menggiurkan telah tertata di meja makan. Keluarga Izzan tak hentinya menatap Mawar dari atas rambut sampai kaki. Ya, lelaki itu menepati janjinya untuk berlaku manis di depan Wira. Meski ia tahu bahwa keluarga Izzan menatapnya tidak suka. 

“Pak Wira, jadi acara makan malam ini adalah acara lamaran keluarga untuk putri Bapak.” Hanafi, menjelaskan maksud dari acara makan malam yang berlangsung ini. 

“Syukurlah, akhirnya saya bisa bertemu dengan calon mertua anak saya. Untuk permasalahan diterima atau tidak, saya serahkan pada putri saya.” 

Seketika tatapan dari Izzan membuat Mawar mengalihkan pandangan. Ia tidak bisa memilih, jadi perkataan dari ayahnya jelas tidak cocok. 

“Jadi, bagaimana Mawar?” Hanafi kembali berbicara, dengan senyum terukir. Entah itu tulus atau palsu, lagi-lagi Mawar tidak bisa membedakannya. 

Merilekskan badan, kemudian menarik napasnya dalam ia mengangguk. “Aku, menerimanya.” Senyum kecut dari beberapa orang yang ada di hadapannya jelas membuat Mawar yakin bahwa keluarga lelaki itu tidak suka padanya. 

Terkecuali Hanafi, mungkin syarat yang ia ajukan pada Izzan mau tak mau memaksa Hanafi menjalankan sandiwara. 

Mawar mengalihkan tatapan pada sang ayah, untuk menghindari tatapan tak suka yang diperlihatkan oleh keluarga si lelaki. Ia mengamati wajah sang ayah yang tengah makan. 

Wajah sang ayah terlihat berseri, sepertinya senyum bertahan begitu lama di wajah yang sudah terlihat garis penuaannya. Mawar tersenyum miris, kembali ia membayangkan betapa hancur hati sang ayah jika tahu kenyataan yang tengah di hadapi putrinya. 

Tidak tahan, ia mulai berkaca-kaca. Untuk menghindari tatapan sang ayah, ia langsung pamit ke toilet. “Maaf, izin ke toilet.” Semua menoleh, seketika itu ia bangkit dari kursi dan berlari kecil meninggalkan meja makan. 

Brak. 

Mawar menutup pintu kamar mandi dengan keras, tak peduli beberapa orang menatapnya aneh. Tisu tengah ia pegang untuk mengusap air mata yang turun begitu saja. 

“Hiks ... Kenapa, harus aku Tuhan?” Ia berkata lirih, sambil memutar keran air agar suaranya tidak terdengar. 

Tak kuasa, ia menyumpal mulutnya dengan tisu agar teriakan yang ingin digaungkan itu tertahan. “Hiks ... Hiks ...,” tangisnya dengan tangan yang menarik rambutnya kuat. 

“Ibu ... bawa aku, pergi. Hiks ....” Pilu begitu mendominasi suara Mawar. 

“Gak usah lebay!” Tiba-tiba suara bariton yang menjadi penyebab tangis itu terdengar. 

Langsung saja Mawar menghentikan tangisnya, sebisa mungkin ia mengusap air mata agar tak terlihat begitu lemah di hadapan sang ayah nantinya. 

Ceklek. 

Mawar membuka pintu kamar mandi, terlihat sosok tinggi dengan jas yang menyampir di lengan. Keren, satu kata yang mungkin terpikirkan dari tampilan Izzan. Sayangnya, ketampanan itu terhalangi oleh sifatnya yang pemarah. Ya, hanya dengan Mawar lelaki itu mengeluarkan apinya. 

“Ngapain ke sini?” dinginnya, melenggang menuju wastafel. 

Lelaki itu menegakkan badan yang semula bersandar di tembok.

“Ya, memastikan bahwa calon istrinya tidak kabur atau bahkan punya pikiran pendek.” Ia menjawab dengan enteng sambil memasukkan tangan ke saku celana. 

Mawar mencoba santai, ia membuka dompet dan mengambil benda yang selalu dibawa oleh para kaum hawa, lipstik.

“Saya, tidak mungkin kabur tanpa ayah. Sebab saya bukan Anda yang tega membiarkan orang lain jadi sasaran kejahatan, terlebih untuk balas dendam!” Sengaja ia menekan kata terakhirnya, lalu tangan lincahnya sebagai perempuan bergerak memoleskan ujung lipstik pada bibirnya. 

Merasa tersinggung, tangannya langsung bergerak mengambil bahu Mawar. Gadis yang tengah mengoleskan lipstik pun terperanjat, membuat lipstiknya melebar ke pipi. Izzan langsung memojokkan gadis itu, sekarang jarak mereka begitu dekat. 

“Jangan, pernah buat saya emosi!” Kilat amarah yang pernah ia lihat dari mata itu, kembali dilihatnya hari ini, ia pun menunduk takut. Mawar memejamkan matanya. 

Melihat gadis itu menunduk, Izzan menyeringai. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada wajah si gadis yang kini matanya tertutup. Namun, merasakan sebuah napas yang menerpa wajahnya Mawar pun membuka mata dan sedikit mendongak. Alhasil, hidung mereka pun bersentuhan.

Jarak yang begitu dekat itu membuat keduanya terdiam sejenak. Niat laki-laki itu adalah meludahinya, tapi sekarang mereka seperti sedang bercumbu. 

Napas keduanya memburu, tidak ada yang ingin menghentikan. Mungkin pengaruh alkohol yang dipesannya sebelum makan malam, membuat kesadarannya berkurang. Lelaki itu semakin memendek jarak, sepertinya Mawar hanya diam tak berkutik bahkan gadis itu seperti terbawa suasana. Ia memejamkan matanya. 

Satu jangkauan lagi ... 

Bersambung ... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status