“Apa? Jangan sampai dia hangus terbakar!” tanpa penjelasan, CEO itu pergi meninggalkan ruang rapat.
Sekretarisnya mencoba menghentikan tapi tidak dihiraukan sama sekali.
“Tuan, rapatnya?” ucapnya tapi tidak membuat sang bos berhenti. Suara sepatu yang beradu dengan lantai menjadi jawaban, membuat para karyawannya menghela napas panjang. Mobil hitam itu melaju dengan cepat, sopir yang biasa menyetir itu ditinggalkan. Satu-satunya yang berada dipikirkan CEO itu adalah Mawar Anindita. Tin ... Bunyi klakson di malam hari menggema di jalan kota menuju sebuah restoran.para pengemudi memaki laki-laki yang mengendarai mobil mewahnya namun, tentu tidak dihiraukan.
Hingga akhirnya mobil hitam sang CEO itu melaju dengan bebas. Tak lama mobil dengan suara daruratnya pun, menerobos dan berhasil mendahului Izzan. Melihat itu, Izzan tidak berusaha menyalip, karena ia tahu itu akan menyelamatkan gedung yang tengah terbakar. Ia pun mengikuti mobil pemadam kebakaran di belakang. Mengambil ponsel, kemudian memasang earphone pada telinga. Ia mulai menghubungi seseorang. “Hallo.” “Iya, Zan kapan Ke sini?” Suara orang itu menggema di telinga si lelaki. “Gimana, bisa cek keadaan Mawar? Sekarang, dia udah keluar kan?” Ingin mengonfirmasi bahwa gadis yang merupakan calon istrinya itu aman. “Duh Izzan, ini yang mau gue kasih tahu. Kita gak bisa turun ke bawah, apinya besar banget,” ucapnya was-was. Laki-laki yang tengah mengemudi itu berdecak menanggapi informasi yang diberikan. Ia pun menutup panggilan yang berlangsung. Restoran Violet. Sebuah nama restoran yang menjadi tujuannya, ketika nama itu terlihat oleh bola matanya Izzan pun membelokkan setir untuk masuk ke area restoran. Citt ... Mobil itu berhenti dengan cepat. Terlihat beberapa orang sudah keluar dari gedung, karena takut api itu naik ke tempat para tamu. Suara air dengan volume besar, menyiram bara api yang sudah terlihat di luar. Suara teriakan komando dari pemimpin, pemadam kebakaran pun menggema. Izzan melihat api yang membesar, tiba-tiba matanya begitu takut. Kejadian yang pernah ia alami harusnya dihindari, sayangnya ia harus membawa gadis yang dikuncinya itu kembali. Tio berlari ke arah Izzan. “Jangan mendekati api,” ucapnya mengetahui ada sedikit trauma pada sahabatnya mengenai api. Entah apa yang dirasakan Izzan. Sekarang, keringat mengucur dari pelipisnya. Matanya juga mulai berair.“Izzan, ikut gue.” Tio membawa tangan sahabatnya tapi dihempaskan langsung oleh si empunya. “Mawar bro, harus diselamatkan!” Setelah mengatakan ini, lelaki yang memakai jas kerjanya berlari ke arah ruangan, di mana ia mengunci calon istrinya. Tio berteriak, tapi tentunya tidak menghentikan laki-laki itu. “Izzan!” Tio langsung menyusul dengan beberapa pemadam agar tetap aman dari kawalan. Masuk ke sebuah dapur, sekarang ia sudah berada di tempat parkiran. Izzan menghela napasnya sedikit lega ketika area parkir masih aman dari api. Berjalan sedikit ke arah utara, laki-laki itu terkejut karena api yang ada di dalam gedung tempatnya menyekap Mawar itu sudah menumbangkan satu kayu, yang beberapa jam lalu ia gunakan untuk menutup. Napas laki-laki itu memburu ketika api mulai menguasai matanya. Tak kuat, ia pun mulai terduduk karena kakinya begitu lemas. Kejadian yang membuatnya sedikit trauma pada api pun berputar kembali. “Huh ... Arghh!” Matanya memerah, tatapan dengan napas yang menggebu itu terarah pada bangunan yang kini mulai terdengar suara. Tok ... Tok ... “To-long! Hiks ... Ada api,” ucapnya sambil menangis berharap masih ada yang menyelamatkannya. “Ayah, to-long Mawar.” Ia menyerah, selama beberapa menit ia menggedor pintu tapi hasilnya tidak ada yang mendengarnya. Air mata terus membanjiri wajah, tangannya menggenggam kedua bahu karena takut api semakin mendekat. Namun, panas mulai terasa di wajahnya. Api mulai menjalar memakan kayu dari kursi yang sudah tidak layak pakai. Bugh. “Akhh!” Sontak saja Mawar berteriak ketika kayu yang sudah terbakar api jatuh di hadapannya, semakin luruh air mata gadis itu. “Mawar ....” Mendengar itu, lelaki yang tengah merasakan pusing akibat api yang dilihatnya pun langsung berdiri dan menghampiri pintu yang ia kunci.
Dengan keringat yang membasahi tubuh si lelaki diikuti dengan urat kepala dan lehernya yang mengeras. Ia mengambil kunci di saku celananya, tapi ia tidak menemukan kunci itu. Tak ambil pusing, ia menjaga jarak degan pintu. Berancang-ancang, ia langsung menghantamkan badannya ke pintu dengan keras. Brak! Pintu itu terbuka, tubuh Izzan sedikit terdorong ke dalam. Langsung saja ia mencari sosok yang ia kunci. Menoleh, akhirnya ia menemukan gadis yang tengah menatap matanya dengan air bening yang mengumpul. Mawar syok, bahkan ketika ada seseorang yang membuka pintu. Ia malah termangu memandang si lelaki. Langsung, Izzan memeluk Mawar sebagai responsnya ketika melihat gadis itu masih baik-baik saja. Entah kenapa, Izzan tidak memikirkan balas dendam, mungkin fokusnya ada untuk menyelamatkan gadis yang ia kunci di gudang ini.
Meski dingin, sikap yang tercipta ketika kepergian sang kekasih. Izzan tetaplah manusia yang masih memiliki naluri hati.
Ia juga tidak ingin membunuh seseorang. Tersadar, bahwa ia sudah aman. Mawar langsung membalas pelukan itu, menenggelamkan wajahnya untuk menangis lebih dalam meski ia tahu jika sosok yang tengah memeluknya adalah lelaki yang membenci dirinya. Mengurai pelukan. Tanpa kata, Izzan mengangkat tubuh gadis itu ala bridal style. Meski sedikit terkejut karena sikap si lelaki yang begitu kembut, Mawar juga merespons baik dengan mengalungkan lengannya di leher sang calon suami. Membawa Mawar keluar dari ruangan tentu bukan hal yang mudah. Sesekali beberapa kayu yang rapuh oleh api, hampir menghantam kepala keduanya. Bugh! Sebuah benda menghantam kepala gadis dalam gendongan. Meski masih membuka matanya, Mawar memegangi kepalanya yang sedikit berdenyut.“Akhh.” Mawar meringis, membuat Izzan menoleh.
“Tahan, sebentar lagi kita keluar.” Izzan berlari sambil menggendong Mawar dengan cepat, sebab pintu hampir terhalang oleh asap dan api yang begitu besar. Tidak kuat, Izzan tersungkur sambil memeluk gadis dalam gendongannya. Mereka sudah berada di luar gedung, sehingga banyak yang kemudian menghampiri. “Pusing ...,” lirihnya membuat Izzan memperhatikan wajah si gadis. Matanya menutup kemudian membuka lagi, sampai akhirnya mata yang memiliki bulu mata yang indah itu terpejam. “Mawar ... Mawar!” Izzan berteriak, menepuk-nepuk pipi si gadis.Beberapa petugas kesehatan pun mulai mendatangi, mencoba memberikan pemeriksaan pada gadis yang hampir mati terpanggang. “Cepat, dia tidak boleh mati!” Bersambung ...Hallo, terima kasih sudah berkenan membaca. Jangan lupa beri komentarnya ya, supaya jejak kalian ada. See you next part!
Ketika kebohongan terucap maka air mata akan terus meluncur dengan derasnya. -Ambivalensi CEO***Izzan mengernyitkan dahi, ia paham siapa lelaki yang membelakangi itu. Ternyata mantan dari Mawar--istrinya. "Bohong," ucapnya tentu tidak percaya. "Aku melihat mata kamu dan kamu juga lihat Danesh, aku tidak berbohong." Berhasil membuat bahunya bebas dari Danesh. "Jadi, ketika kamu menikah dengan Tika aku tidak keberatan. Aku tidak pernah mencoba merebut kamu kembali karena ada Izzan yang menjadi pilihan paling utama." Danesh mengepalkan tangan. Mawar lega sikap Danesh sepertinya mulai terpengaruh akan kebohongan yang ia katakan. "Aku memikirkan berbagai alasan untuk bisa putus sama kamu, ketika itu terjadi maka tidak ada penghalang aku untuk menikah dengan Izzan." Danesh menggeleng pelan tak habis pikir tentang kenyataan yang baru saja ia dengar. "Tega kamu Mawar!" Sedikit berteriak, untung saja acara musik masih berlangsung. "Ya, aku memang sejahat itu. Jadi please jangan ganggu
Di balik pertemuan memang akan selalu ada cerita. *** Mengusap air mata, ia lalu menutup pintu kamar. Izzan tak sadarkan diri ketika tatapan lembut itu datang, mungkin ia bermimpi jika Mawar adalah sang kekasih yang telah tiada. Masuk ke dalam kamar Izzan karena ia tidak mungkin satu kamar dengan lelaki yang selalu saja membencinya. Esoknya ketika matahari belum menyorot, perempuan yang sudah berganti pakaian dengan sebuah kebaya modern itu mulai pergi dari rumah yang semalam begitu ingin ia tinggalkan. Ia ingin terus melanjutkan hidup meski setiap waktu pasti ada saja mungkin hukuman yang akan ia terima karena telah memisahkan dua insan yang begitu saling cinta. Terdengar jahat, namun Mawar pun tak mengelak jika memang ia pelakunya. Ia tak terlalu ingat kejadian itu, namun ia juga melihat bahwa ada seorang perempuan. Perempuan yang mengenakan gaun merah, ya tentu ia sangat hafal warna mencolok itu. Di taksi ia meletakan kepala di kursi penumpang, menatap beberapa rumah ya
Haruskah tangis datang di pagi yang begitu cerah ini? -Mawar Anindhita. *** Cuaca tak bisa mengubah hati yang terluka. Secerah apapun pagi jika tangis ditakdirkan hadir maka dunia seakan mempelihatkan sisi buruknya. "Hei pengantin baru malah ngelamun aja, awas tuh airnya kepenuhan." Peringatan yang menyadarkan Mawar kembali ke dunia nyata. "Ini sengaja kok, biar gak terlalu manis." Mengaduk teh tarik yang menjadi minuman pertama bagi perutnya. "Lo ada masalah apa sih, kita kenal itu bukan sehari dua hari jadi gue tahu pasti ada yang lo pikirin?" sahabatnya itu tentu curiga. "Nggak kok, I am fine." Memegang pundak sang sahabat agar bisa membuatnya percaya. "Oke, lo pasti belum bisa cerita. Kalo lo siap, gue selalu ada ya." Mawar mengangguk. "Gue ke ruangan kerja ya," katanya lalu pergi. Roti sando yang ia beli sebelum pergi ke kantor menjadi sarapan yang menyatu dengan teh tarik panas yang ia seduh. "Anin, lo udah baca kan rangkaian acara yang diminta klien. Yuk, ga
Raga yang tersisa sepertinya tidak bisa bertahan jika jiwanya sudah terkubur bersama sang kekasih . -Izzan Madava *** Izzan bangkit, matanya menyiratkan api. "Kalo boleh gue juga mau!" Mencengkeram kerah baju Tio. "Raga gue di sini, tapi jiwa sudah terkubur bareng Vilia. Gue gak punya alasan buat bertahan, apa gue juga harus mati?" sarkasnya dengan senyum yang tak bisa diartikan oleh Tio. Mendengar itu Tio mendorong Izzan sampai berhasil melepaskan cengkraman di kerah bajunya. "Jangan gila Izzan! Kalo lo mati, kenapa gak dari awal aja hah?" "Lo pun gak harus menghukum Mawar dengan alasan tidak terima dengan takdir yang menimpa Vilia," tegasnya lagi. Izzan mendongak. "Hah, Mawar! Haha ... Dia pantas mendapatkan itu, lo tahu dia aja sepertinya tidak keberatan dengan yang terjadi kemarin." Tio memicingkan mata. "Tidak semua luka itu diperlihatkan, dia sama kaya lo! Kalian itu saling menyembunyikan luka jika bersama, tidak ingin terlihat lemah itu yang kalian lakukan,
Jika harus menghukum dengan cara seperti ini, maka cukup dengan kamu saja yang lebih pantas bukan orang lain. -Mawar *** "Please, keluarkan saya dari sini. Hiks!" Tangisnya, tapi tidak membuat langkah Gena berhenti. Mawar sudah terpojok, ia pasrah. Jaket denimnya sudah tergeletak di atas lantai. "Hiks ...." Sekelebat bayangan ibunya menghampiri, sang ibu pernah mengatakan, "Jangan pernah kalah oleh keadaan, cari terus jalan ya." Entah kekuatan dari mana, Mawar mendorong lelaki yang jaraknya semakin dekat dengannya. Meski lolos, tapi ia bingung mencari jalan keluar. Pintu yang ia gedor untuk meminta bantuan tiba-tiba terdengar suara kunci yang membuka. Mengambil jaket denim Mawar berancang untuk keluar, hingga sosok yang tak disangka itu datang membuatnya lega. Izzan. Mawar menghambur ke pelukan Izzan meski ia tahu lelaki itu hanya diam. "Hiks ... Izzan please, tolong." Dengan air mata yang masih membasahi wajahnya, Mawar begitu erat memeluk seakan takut p
Meski tidak punya rasa, bukan permainan seperti ini yang dirancang. -Izzan Madava *** Aroma bumbu dan rempah-rempah menyeruak di dalam dapur, membuat siapa saja merasa lapar. Ketiga penghuni lama di rumah megah ini memang sering membagi tugas namun terkadang mereka mengerjakan tugas itu secara bersamaan. Mawar bukan seorang perempuan yang buta akan memasak, namun ia terkadang hanya memanfaatkan bahan yang ada lalu mengolahnya tanpa resep. Kali ini ia belajar masakan berat seperti pepes ikan, sayur lodeh dan beberapa masakan lainnya. "Gimana Mbok Yun, enak?" Mawar bertanya ketika Mbok Yun mencicipi sayur lodeh yang dibuatnya atas instruksi Yuhasanah. Wajah yang sudah mulai kendor itu sedikit mengernyitkan alis tanda yang membuat Mawar berdegup takut jika ia mengacaukan masakan. "So delicious!" Dengan logat khas sunda yang berpadu dengan bahasa asing. "Tuan Izzan pasti suka!" Uli langsung menimpali. Menarik senyum Mawar tahu harapan ini bisa saja hancur, tapi ia menikmati