Beranda / Romansa / Amplop Isi Lima Ribu / Luka dan Harapan Baru

Share

Amplop Isi Lima Ribu
Amplop Isi Lima Ribu
Penulis: Intan Resa

Luka dan Harapan Baru

Penulis: Intan Resa
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-31 13:14:13

"Isi amplopnya cuma lima ribu, tapi bawa sekeluarga makan gratis. Urat malunya mungkin sudah putus," ujar Bu Tejo sinis, mengintip isi amplop harga lima ratusan yang sudah lusuh. Dari sekian banyak yang ngasih amplop di pernikahan putri sulungnya, dia hanya penasaran dengan jumlah nominal uang yang disalamkan Bu Wati sehingga langsung dibuka di tempat. 

Senyum perempuan berusia 40 tahun itu langsung pudar, mengenggam tangan kedua anaknya yang tadi merengek minta ikut ke pesta tetangga mereka. Pakaian yang warnanya memudar karena sering dipakai dan ditimpa matahar serta dipadukan dengan sandal jepit membuat penampilan mereka kontras dengan para tamu yang kebanyakan memamerkan perhiasan dan baju mahal. 

 

Bu Wati menarik tangan kedua anaknya dan melangkah cepat menuju rumah semi permanen mereka yang berjarak sekitar lima rumah. Hatinya berdenyut nyeri, merasa gagal jadi orang tua karena tak bisa memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. 

 

Dia juga malu saat beberapa tamu undangan yang berdiri di dekat mereka tadi tersenyum dan berbisik-bisik. Ia merasa tak punya harga diri, tapi memang kenyataannya tak punya harta sehingga diam menjadi jalan terbaik. Selembar kertas berharga tadi merupakan uang terakhir yang ia punya. 

 

"Bu, maafin Ahmad."

 

"Aisyah juga, Bu."

 

Kedua anak Bu Wati ikutan menangis melihat orang tua satu-satunya menitikkan air mata tanpa suara. 

 

Perempuan dengan gamis merah bata yang sudah berkali-kali dijahit di bagian ketiak karena kesempitan itu mengusap sudut matanya dengan ujung jilbab. 

 

"Kalian tak salah, Nak. Ibu yang salah. Gara-gara Ibu, kalian lahir dari perempuan miskin ini," lirihnya. 

 

Dinding papan yang sudah banyak dimakan rayap menjadi saksi bisu saat ibu dan anak itu menangis pilu. Dinding yang menjadi pelindung dari tatapan iba orang-orang saat mereka sering menahan lapar. 

 

"Jangan pernah bilang begitu, Bu. Andai saja kami bisa dilahirkan kembali, kami akan tetap memilih Ibu menjadi orang tua kami. Ibu yang terbaik. Iya kan, Dek?" tanya Zidan, putra sulung Bu Wati yang sedari tadi mengintip dari balik jendela. Dia melihat sendiri saat ibunya tadi dipermalukan.

 

Remaja berusia 17 tahun itu bersimpuh dan memeluk ibu dan adiknya sekilas. 

 

"Iya, Abang. Kami sayang Ibu," ujar Ahmad yang diangguki si bungsu Aisyah.

 

Zidan tersenyum, melebarkan langkah, lantas merangkul ibu juga adik-adiknya. 

 

Ahmad dan Aisyah hanya berjarak dua tahun. Masing-masing mereka duduk di kelas 1 SMP dan 5 SD. Cukup terpaut jauh dengan Zidan yang sudah tamat SMA tahun ini. 

 

Ekonomi keluarga mereka memang terbilang kurang mampu, tapi entah kenapa tak pernah dapat bantuan dari pemerintah daerah maupun pusat. Tak pernah Bu Wati sesedih ini, ia selalu ceria meskipun uang di tangan tak seberapa. 

 

Namun, sejak meninggalnya sang suami dua tahun yang lalu, dia seperti kehilangan sandaran. Lelaki yang selalu menyemangatinya itu pergi meninggalkan duka mendalam. Bukan hanya soal mencari nafkah, tapi mereka kehilangan sosok panutan. 

 

Yang paling membebani hatinya yang masih rapuh, bulan ini mereka gagal panen. Sawah yang harusnya mencukupi makan mereka untuk beberapa bulan malah digerus banjir dari sungai yang meluap saat panen tinggal menghitung hari. 

 

Hatinya semakin gundah saat beberapa tetangga melakukan hajatan. Jika masih di kampung sebelah, masih bisa tidak datang. Namun, untuk acara pesta anaknya Bu Tejo dan Pak Supri, tak mungkin dia bisa mengurung diri untuk tidak datang. 

 

Teringat rengekan putra-putrinya kemaren, awal mula dia kini seperti mempermalukan diri karena iba. 

 

"Ibu kan, sudah bantu-bantu masak di sana, Ahmad dan Aisyah pengeen sekali makan daging, Bu," rengek putranya yang paling mirip dengan sang Ayah. Tatapannya memelas. 

 

"Iya, Bu. Kami makan bumbunya saja kalau gak boleh pakai daging," bujuk Aisyah. 

 

"Jangan, Nak. Kalian di rumah saja."

 

"Yaah, kita makan pakai kuah sayur lagi," lirih Aisyah. Sudah sering mereka hanya makan pakai sayur yang dipetik dari belakang rumah. Campurannya hanya garam, tanpa apa-apa. Belum lagi nasi yang mereka makan kualitas rendah, beras bantuan kurang mampu milik tetangga. Dijual karena terlalu lama disimpan hingga sedikit berbau. Sebenarnya lebih cocok dijadikan pakan ayam daripada konsumsi manusia. Tapi apa daya, upah sebagai buruh tani tak mencukupi untuk beli beras yang lebih baik. 

 

Terkadang, mereka makan lahap saat sang ibu membeli kepala ikan teri yang lebih murah harganya, menggorengnya lalu dicampur dengan nasi. Namun, itu tidak bisa setiap hari. 

 

Melihat wajah sayu kedua anaknya, Bu Wati akhirnya berjanji akan mengajak mereka siangnya untuk makan di pesta. 

 

Bu Wati pergi ke tempat ibu-ibu memasak, yang harum masakan itu sampai tercium ke rumahnya. Menyingsingkan lengan, melakukan semua pekerjaan yang ia bisa saat yang lain sibuk mengobrol di bawah pohon nangka. Membahas baju yang akan mereka pakai nanti. 

 

"Bu Wati ini rajin banget, ya. Harusnya cuma bantu-bantu saja," ujar seorang juru masak yang sengaja disewa dari kota. Beberapa anggotanya memakai seragam khusus dan lihai memasak berbagai macam makanan yang sudah disiapkan kemarin. 

 

"Gak apa-apa, Bu. Orang lain bawa bantuan, saya cuma punya tenaga," balas Bu Wati tersenyum. 

 

"Orang bikin pesta besar itu karena mampu, bukan mengharap bantuan dari orang lain. Ibu ini memang baik."

 

Tak terasa mereka mengobrol banyak dengan tangan terus bekerja. Begitu akrab bagai sudah lama kenal. 

 

"Jangan pulang dulu! Bawa sedikit makanannya buat anak-anak Bu Wati," ujar Bu Isma, sang kepala masak. 

 

"Tidak usah, Bu. Gak enak kalau dilihat orang," balas perempuan dengan daster lusuh itu. Tinggal dua orang saja yang duduk di pohon nangka, lainnya sudah bubar mau ganti baju. Namun, Bu Wati takut akan jadi bahan gunjingan nantinya. 

 

"Kalau begitu, bawa saja anak-anaknya makan di pesta nanti. Tidak usah sungkan. Bu Tejo itu teman lama saya. Dia itu berasal dari keluarga susah saat kami sekolah. Saya yakin, dia akan senang melihat tetangganya bisa ikut merasakan kebahagiannya sekarang," ujar Bu Isma. Kalimat yang benar-benar memberi keyakinan buat Bu Wati sehingga dengan mantap mengajak dua buah hatinya ikut makan rendang. 

 

Dia begitu bahagia saat melihat Ahmad dan Aisyah lahap menyantap nasi kualitas premium yang dipadukan dengan sepotong rendang ukuran paling jumbo yang pernah mereka makan. Mereka tak mengambil aneka lauk lainnya karena memang hanya tergiur dengan lauk berbahan daging sapi itu. 

 

Namun, siapa sangka, kebahagiaan sesaat itu telah berubah menjadi tangis. Saat semua orang di luar sibuk menikmati hidangan dan hiburan nyanyian dari biduan, keluarga kecil itu saling menguatkan. 

 

Cuaca yang tadi cerah seolah ikut marah melihat kesedihan empat jiwa itu. Petir di siang bolong dan cuaca bagus, suatu kejadian yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pertanda akan ada yang menjadi janda atau duda. Musik terhenti sebentar, lalu kembali berdendang dengan irama yang membuat lutut ingin bergoyang. 

 

Bu Wati mengunci pintu dan jendela, mengajak Ahmad dan Aisyah tidur. Zidan duduk di atas karpet plastik yang sudah robek di beberapa tempat, meremas ujung baju sambil menutup mata. Dia pun merasa bersalah karena belum bisa mengantikan tanggung jawab ayahnya untuk menjadi tulang punggung keluarga. 

 

Sekitar jam empat sore, hujan turun begitu deras, membuat semua tamu undangan panik. Suara ketukan pintu membuat Zidan berdiri dan membuka benda persegi panjang itu. 

 

Matanya sedikit menyipit melihat seorang perempuan paruh baya berdiri di depan rumahnya. Dandanannya sudah memperlihatkan status sosialnya yang menunjukkan orang mampu. 

 

"Ini rumah Bu Wati, kan?" tanyanya. 

 

"I-iya, Bu. Silakan masuk," balas Zidan ragu. Tak merasa punya kerabat orang kaya. 

 

Bu Wati yang kebetulan mau menunaikan salat ashar terkejut melihat tamu. 

 

"Bu Isma? Kok bisa datang kemari, Bu?" tanyanya sungkan. Apalagi melihat sang tamu celingukan melihat rumah yang tidak dipasangi loteng itu. Air hujan pun membasahi beberapa tempat dan sekarang sudah ditampungi dengan baskom oleh Zidan. 

 

"Saya mau mengajak Bu Wati kerja di restoran saya di kota. Apa Ibu mau?" tanya Bu Isma penuh harap.

 

"Sa-saya ...." 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ambar Ekoningsih
kayaknya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Amplop Isi Lima Ribu   Tamat

    Rumah Bu Wati kembali lengang setelah anak, menantu, cucu dan besannya pulang. Hanya celotehan Vania yang tak ada habisnya memberikan warna yang berbeda. Ahmad dan Saripah juga sudah istirahat di kamar karena selama bertamu, mereka paling direpotkan sebagai tuan rumah. "Nenek, Bang Erlang dan Kak Airin sudah sampai rumah mereka?" tanya gadis kecil itu. Bu Wati terkekeh. "Baru satu jam mereka pergi, Van. Masih jauh. Kamu rindu, ya?""Iya, Nek.""Nanti mereka akan telpon kalau sudah istirahat di jalan atau sampai, ya. Sabar, ya, cucu Nenek yang cantik."Vania mengangguk bahagia. Matanya tertuju pada beberapa temannya yang mengintip di dekat pintu, lalu memanggil untuk bermain di luar. "Mainnya jangan jauh-jauh, ya!""Iya, Nek." Kompak anak-anak itu mengiyakan. Sekarang gantian Bu Wati yang tak ada teman mengobrol. Kemaren Bu Tejo yang kesepian, sekarang dia sedang sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Tawanya begitu lepas setelah anaknya Juniarti mau bicara dan duduk dipangkuan sang n

  • Amplop Isi Lima Ribu   Kompak

    "Ibuuuuu! Harusnya Ibu masih tinggal di rumah Kak Najwa dan Bang Zidan agar aku bisa sering berkunjung. Apalagi Kak Najwa sedang hamil."Aisyah melancarkan serangan bujuk rayu. Setelah pesta kemarin, ia dan keluarga suami menginap di hotel di sebuah kabupaten yang baru pemekaran menjadi pemerintahan kota. Tak begitu jauh dari rumah Bu Wati, cuma sekitar sejam perjalanan. Sekalian mereka pergi jalan-jalan dulu sebelum kembali ke kota. Mereka memang berencana balik bersama keluarga kecil Zidan dan Najwa."Tante, gak boleh cengeng. Ini Nenek aku!" Vania berkacak pinggang. Gadis kecil dengan rambut yang dikuncir itu mengerucutkan bibir."Sok berkuasa! Ini Nenek aku juga," cetus Erlang."Nenek aku! Ayaaaah!" seru Vania, mengadu pada Ahmad."Harus akur dong, Sayang. Ini nenek Vania, neneknya Airin, neneknya Erlang juga. Semuanya sama-sama sayang Nenek, kan?" tanya Bu Wati.Ketiga anak itu kompak mengiyakan."Kalau begitu, peluk dan cium Nenek sama-sama!" titah Ahmad.Bu Wati berjongkok, mem

  • Amplop Isi Lima Ribu   Berkumpul dengan Keluarga

    Beberapa tahun kemudian, berketepatan pada bulan syawal, rumah Bu Wati begitu ramai. Akan ada acara bahagia. Anak, menantu dan cucu-cucu serta kerabat sedang makan berbagai olahan khas hari raya. Cucu kembar jandanya Pak Imran itu paling heboh. Karena merasa paling tua di antara anak-anak lainnya, yang perempuan terus mengkoordinasi sepupunya untuk tertib. Namun, yang satu lagi malah bikin ulah, suka menjahili yang lain.Di sana ada Bu Tejo juga, memakai kaca mata karena penglihatannya sedikit mulai terganggu. Berulang kali dia mengusap mata yang menghangat. Tahun ini tidak ada anak menantunya yang menemani. Begitu pulang solat idul fitri, dia langsung diajak Bu Wati ke rumahnya.Rio dan istri sedang pergi liburan beberapa hari yang lalu dan mengabarkan belum bisa pulang. Mungkin beberapa hari lagi. Bu Tejo sangat kesepian dan akhirnya tak menolak tawaran bertandang ke rumah orang yang paling sering membelanya."Nenek! Lihat! Si Erlang nakal!" seru Vania, putra dari Ahmad yang berusia

  • Amplop Isi Lima Ribu   Rengekan Rio

    "Oh, jadi kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi dia memilih yang lain? Gak nyadar gitu kalo kamu sudah suka sama dia sejak duku?"Sheila mengangguk."Kok bisa sama, ya?" tanya Jerikho dengan kening berkerut. Setelah berbagai cara dan alasan dia lakukan, akhirnya gadis bernama Sheila itu mau bicara dengannya. Dia tertarik pada gadis kampung itu sejak pertama berjumpa. Entahlah, apakah karena dia sedang galau setelah gadis yang dulu menolaknya telah menikah dengan rekan bisnisnya. Dunia terkadang sesempit itu. Tak bisa dihindari, padahal sudah mati-matian berusaha menjauh.Awalnya gadis yang sudah konsisten berjilbab itu cuek, lama-kelamaan mau diajak bicara. Sheila hanya menganggap teman karena sadar kalau dia sedang putus asa, merasa tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Zidan di hatinya. "Sama? Maksudnya Bos juga di tinggal kawin sama cewek yang Bos suka?" "Ya, begitulah. Parahnya, aku datang di acara mereka tanpa tahu kalau pengantinnya adalah perempuan yang mematahkan hatiku

  • Amplop Isi Lima Ribu   Nomor Misterius

    Assalamualaikum dan semangat sore, Bestie😍😍Kemesraan iniJanganlah cepat berlaluKemesraan iniIngin kukenang selaluHatiku damaiJiwaku tentram disampingmuHatiku damaiJiwaku tentram bersamamuSuara pengamen itu ternyata cempreng dan tidak nyaman di telinga. Untung saja dia menyanyikan intinya saja. Selembar uang warna biru diberikan Zidan pada lelaki itu. "Makasih, Mas. Semoga umurnya panjang dan rejeki berlimpah."Pemuda itu terlihat senang, bagai mendapat rejeki nomplok. Mengusap dada berkali-kali. Kelihatan kalau uang itu sangat berharga buatnya. "Ngapain dikasih banyak sih, Bang? Lagunya aja gak enak," protes Najwa setelah pemuda bercelana sobek-sobek di lutut dan betis itu pergi. "Gak apa-apa. Dia gak ngemis loh, Sayang. Sekalian biar kamu gak kelamaan malunya sama dia," kekeh Zidan. Najwa mengerucutkan bibir. Wajahnya masih sedikit memerah karena salah paham tadi. "Habisnya itu orang emang ngeselin, kok. Dia bilang tante sambil menatapku."Bu Wati tertawa sekilas. Mena

  • Amplop Isi Lima Ribu   Tante?

    "Astaghfirullah, sampai lupa ngajak kalian masuk. Ayo semuanya, kita ngobrol di dalam!"Bu Isma merangkul bahu perempuan yang seumuran dengannya. Dia sebenarnya lebih muda beberapa bulan dari Bu Tejo, tapi nikah muda dan cepat dipercayai keturunan. Itu sebabnya putra pertama Bu Isma lebih tua dari anak sulung sahabatnya. Namun, karena Bu Tejo pernah cerita dia lebih tua sedikit, jadilah Sheila lebih nyaman menyebut Bu Isma dengan sebutan tante. Terlebih wajah perempuan paruh baya itu kelihatan lebih muda dari ibunya. "Hai, siapa namamu?" Jerikho mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sheila menatap sekilas, lalu mengambil tasnya dan masuk mengikuti yang lain. Rio sudah kebelet mau ke toilet dan tak menunggu kakaknya lagi sehingga tinggal mereka berdua. "Sombong banget, sih? Atau ada perasaan yang harus dijaga? Oh, atau laki-laki tadi calon suamimu?" cerocos Jerikho asal. Dia ingin mendengar suara perempuan itu. "Sembarangan. Dia itu adikku dan … Anda jangan terlalu sok akrab," cetus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status