Share

Amplop Isi Lima Ribu
Amplop Isi Lima Ribu
Author: Intan Resa

Luka dan Harapan Baru

"Isi amplopnya cuma lima ribu, tapi bawa sekeluarga makan gratis. Urat malunya mungkin sudah putus," ujar Bu Tejo sinis, mengintip isi amplop harga lima ratusan yang sudah lusuh. Dari sekian banyak yang ngasih amplop di pernikahan putri sulungnya, dia hanya penasaran dengan jumlah nominal uang yang disalamkan Bu Wati sehingga langsung dibuka di tempat. 

Senyum perempuan berusia 40 tahun itu langsung pudar, mengenggam tangan kedua anaknya yang tadi merengek minta ikut ke pesta tetangga mereka. Pakaian yang warnanya memudar karena sering dipakai dan ditimpa matahar serta dipadukan dengan sandal jepit membuat penampilan mereka kontras dengan para tamu yang kebanyakan memamerkan perhiasan dan baju mahal. 

 

Bu Wati menarik tangan kedua anaknya dan melangkah cepat menuju rumah semi permanen mereka yang berjarak sekitar lima rumah. Hatinya berdenyut nyeri, merasa gagal jadi orang tua karena tak bisa memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. 

 

Dia juga malu saat beberapa tamu undangan yang berdiri di dekat mereka tadi tersenyum dan berbisik-bisik. Ia merasa tak punya harga diri, tapi memang kenyataannya tak punya harta sehingga diam menjadi jalan terbaik. Selembar kertas berharga tadi merupakan uang terakhir yang ia punya. 

 

"Bu, maafin Ahmad."

 

"Aisyah juga, Bu."

 

Kedua anak Bu Wati ikutan menangis melihat orang tua satu-satunya menitikkan air mata tanpa suara. 

 

Perempuan dengan gamis merah bata yang sudah berkali-kali dijahit di bagian ketiak karena kesempitan itu mengusap sudut matanya dengan ujung jilbab. 

 

"Kalian tak salah, Nak. Ibu yang salah. Gara-gara Ibu, kalian lahir dari perempuan miskin ini," lirihnya. 

 

Dinding papan yang sudah banyak dimakan rayap menjadi saksi bisu saat ibu dan anak itu menangis pilu. Dinding yang menjadi pelindung dari tatapan iba orang-orang saat mereka sering menahan lapar. 

 

"Jangan pernah bilang begitu, Bu. Andai saja kami bisa dilahirkan kembali, kami akan tetap memilih Ibu menjadi orang tua kami. Ibu yang terbaik. Iya kan, Dek?" tanya Zidan, putra sulung Bu Wati yang sedari tadi mengintip dari balik jendela. Dia melihat sendiri saat ibunya tadi dipermalukan.

 

Remaja berusia 17 tahun itu bersimpuh dan memeluk ibu dan adiknya sekilas. 

 

"Iya, Abang. Kami sayang Ibu," ujar Ahmad yang diangguki si bungsu Aisyah.

 

Zidan tersenyum, melebarkan langkah, lantas merangkul ibu juga adik-adiknya. 

 

Ahmad dan Aisyah hanya berjarak dua tahun. Masing-masing mereka duduk di kelas 1 SMP dan 5 SD. Cukup terpaut jauh dengan Zidan yang sudah tamat SMA tahun ini. 

 

Ekonomi keluarga mereka memang terbilang kurang mampu, tapi entah kenapa tak pernah dapat bantuan dari pemerintah daerah maupun pusat. Tak pernah Bu Wati sesedih ini, ia selalu ceria meskipun uang di tangan tak seberapa. 

 

Namun, sejak meninggalnya sang suami dua tahun yang lalu, dia seperti kehilangan sandaran. Lelaki yang selalu menyemangatinya itu pergi meninggalkan duka mendalam. Bukan hanya soal mencari nafkah, tapi mereka kehilangan sosok panutan. 

 

Yang paling membebani hatinya yang masih rapuh, bulan ini mereka gagal panen. Sawah yang harusnya mencukupi makan mereka untuk beberapa bulan malah digerus banjir dari sungai yang meluap saat panen tinggal menghitung hari. 

 

Hatinya semakin gundah saat beberapa tetangga melakukan hajatan. Jika masih di kampung sebelah, masih bisa tidak datang. Namun, untuk acara pesta anaknya Bu Tejo dan Pak Supri, tak mungkin dia bisa mengurung diri untuk tidak datang. 

 

Teringat rengekan putra-putrinya kemaren, awal mula dia kini seperti mempermalukan diri karena iba. 

 

"Ibu kan, sudah bantu-bantu masak di sana, Ahmad dan Aisyah pengeen sekali makan daging, Bu," rengek putranya yang paling mirip dengan sang Ayah. Tatapannya memelas. 

 

"Iya, Bu. Kami makan bumbunya saja kalau gak boleh pakai daging," bujuk Aisyah. 

 

"Jangan, Nak. Kalian di rumah saja."

 

"Yaah, kita makan pakai kuah sayur lagi," lirih Aisyah. Sudah sering mereka hanya makan pakai sayur yang dipetik dari belakang rumah. Campurannya hanya garam, tanpa apa-apa. Belum lagi nasi yang mereka makan kualitas rendah, beras bantuan kurang mampu milik tetangga. Dijual karena terlalu lama disimpan hingga sedikit berbau. Sebenarnya lebih cocok dijadikan pakan ayam daripada konsumsi manusia. Tapi apa daya, upah sebagai buruh tani tak mencukupi untuk beli beras yang lebih baik. 

 

Terkadang, mereka makan lahap saat sang ibu membeli kepala ikan teri yang lebih murah harganya, menggorengnya lalu dicampur dengan nasi. Namun, itu tidak bisa setiap hari. 

 

Melihat wajah sayu kedua anaknya, Bu Wati akhirnya berjanji akan mengajak mereka siangnya untuk makan di pesta. 

 

Bu Wati pergi ke tempat ibu-ibu memasak, yang harum masakan itu sampai tercium ke rumahnya. Menyingsingkan lengan, melakukan semua pekerjaan yang ia bisa saat yang lain sibuk mengobrol di bawah pohon nangka. Membahas baju yang akan mereka pakai nanti. 

 

"Bu Wati ini rajin banget, ya. Harusnya cuma bantu-bantu saja," ujar seorang juru masak yang sengaja disewa dari kota. Beberapa anggotanya memakai seragam khusus dan lihai memasak berbagai macam makanan yang sudah disiapkan kemarin. 

 

"Gak apa-apa, Bu. Orang lain bawa bantuan, saya cuma punya tenaga," balas Bu Wati tersenyum. 

 

"Orang bikin pesta besar itu karena mampu, bukan mengharap bantuan dari orang lain. Ibu ini memang baik."

 

Tak terasa mereka mengobrol banyak dengan tangan terus bekerja. Begitu akrab bagai sudah lama kenal. 

 

"Jangan pulang dulu! Bawa sedikit makanannya buat anak-anak Bu Wati," ujar Bu Isma, sang kepala masak. 

 

"Tidak usah, Bu. Gak enak kalau dilihat orang," balas perempuan dengan daster lusuh itu. Tinggal dua orang saja yang duduk di pohon nangka, lainnya sudah bubar mau ganti baju. Namun, Bu Wati takut akan jadi bahan gunjingan nantinya. 

 

"Kalau begitu, bawa saja anak-anaknya makan di pesta nanti. Tidak usah sungkan. Bu Tejo itu teman lama saya. Dia itu berasal dari keluarga susah saat kami sekolah. Saya yakin, dia akan senang melihat tetangganya bisa ikut merasakan kebahagiannya sekarang," ujar Bu Isma. Kalimat yang benar-benar memberi keyakinan buat Bu Wati sehingga dengan mantap mengajak dua buah hatinya ikut makan rendang. 

 

Dia begitu bahagia saat melihat Ahmad dan Aisyah lahap menyantap nasi kualitas premium yang dipadukan dengan sepotong rendang ukuran paling jumbo yang pernah mereka makan. Mereka tak mengambil aneka lauk lainnya karena memang hanya tergiur dengan lauk berbahan daging sapi itu. 

 

Namun, siapa sangka, kebahagiaan sesaat itu telah berubah menjadi tangis. Saat semua orang di luar sibuk menikmati hidangan dan hiburan nyanyian dari biduan, keluarga kecil itu saling menguatkan. 

 

Cuaca yang tadi cerah seolah ikut marah melihat kesedihan empat jiwa itu. Petir di siang bolong dan cuaca bagus, suatu kejadian yang dianggap sebagian masyarakat sebagai pertanda akan ada yang menjadi janda atau duda. Musik terhenti sebentar, lalu kembali berdendang dengan irama yang membuat lutut ingin bergoyang. 

 

Bu Wati mengunci pintu dan jendela, mengajak Ahmad dan Aisyah tidur. Zidan duduk di atas karpet plastik yang sudah robek di beberapa tempat, meremas ujung baju sambil menutup mata. Dia pun merasa bersalah karena belum bisa mengantikan tanggung jawab ayahnya untuk menjadi tulang punggung keluarga. 

 

Sekitar jam empat sore, hujan turun begitu deras, membuat semua tamu undangan panik. Suara ketukan pintu membuat Zidan berdiri dan membuka benda persegi panjang itu. 

 

Matanya sedikit menyipit melihat seorang perempuan paruh baya berdiri di depan rumahnya. Dandanannya sudah memperlihatkan status sosialnya yang menunjukkan orang mampu. 

 

"Ini rumah Bu Wati, kan?" tanyanya. 

 

"I-iya, Bu. Silakan masuk," balas Zidan ragu. Tak merasa punya kerabat orang kaya. 

 

Bu Wati yang kebetulan mau menunaikan salat ashar terkejut melihat tamu. 

 

"Bu Isma? Kok bisa datang kemari, Bu?" tanyanya sungkan. Apalagi melihat sang tamu celingukan melihat rumah yang tidak dipasangi loteng itu. Air hujan pun membasahi beberapa tempat dan sekarang sudah ditampungi dengan baskom oleh Zidan. 

 

"Saya mau mengajak Bu Wati kerja di restoran saya di kota. Apa Ibu mau?" tanya Bu Isma penuh harap.

 

"Sa-saya ...." 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ambar Ekoningsih
kayaknya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status