Suara Bu Wati tercekat di tenggorokan, tak sanggup mengatakan apa-apa. Di saat masyarakat sekitar fakir empati, tawaran untuk memperbaiki taraf hidup justru datang dari orang yang baru dikenalnya.
"Bu Isma tak bercanda, kan?" tanya Bu Wati akhirnya untuk memastikan kalau pendengarannya berfungsi dengan baik. Ia ragu kalau salah dengar karena baru bangun. Hujan juga lagi deras beradu dengan atap rumah yang otomatis lumayan bising.
"Saya serius, Bu. Tadi saya perhatikan, Ibu sangat rajin dan lumayan tahu banyak dunia masak-memasak. Bukan maksud saya merendahkan, ya, Bu. Saya menawarkan pekerjaan karena memang lagi butuh anggota," balas Bu Isma seraya tersenyum. Sebenarnya dia tak berniat mencari karyawan baru, tapi melihat kejadian di tempat hajatan membuat hatinya terenyuh. Apalagi kejadian itu jadi bahan lelucon bagi tamu lain setelah Bu Wati pulang.
Lisannya segan untuk menegur yang lain karena dia hanya tamu, tapi telinga juga tak nyaman mendengarnya. Akhirnya, dia duduk di sebuah balai bambu, menanti empunya rumah keluar. Ia tahu rumah perempuan yang murah senyum itu dari seorang ibu-ibu. Tak kunjung pintu itu terbuka, hujan deras memaksanya harus bertamu.
Melihat hunian yang hampir bisa dikatakan tak layak itu, tergerak hati ingin membantu. Namun, tak elok rasanya memberikan uang cuma-cuma, makanya ia mencoba menawarkan kerjaan. Dia terlanjur suka dengan sikap dan tutur bahasa perempuan yang memiliki tiga tanggungan itu saat mereka memasak tadi pagi.
"Maaf, ya, Bu Isma. Apa boleh saya berunding dulu dengan anak saya? Sekarang, dialah teman saya berdiskusi setelah ayahnya meninggal," lirih Bu Wati. Ingin sekali ia mengiyakan, tapi tetap saja ada yang harus dipertimbangkan. Kampung halaman suaminya tak menjanjikan kehidupan yang layak, tapi meninggalkannya juga terasa berat.
"Silakan saja, Bu. Saya tunggu di sini," balas perempuan kota itu.
Zidan mengikuti ibunya ke kamar, satu-satunya ruangan yang tidak ada bocornya sehingga Ahmad dan Aisyah masih bisa tidur nyenyak saat hujan turun deras.
"Zidan tak mau Ibu merantau, Bu. Bagaimana adik-adik tanpa sosok Ibu?"
Remaja laki-laki itu langsung mengungkapkan isi hatinya. Bu Wati menatap pilu anak sulungnya, lalu beralih memandangi kedua anaknya yang masih sangat membutuhkan perhatian. Saat sang suami masih hidup, meskipun dengan kondisi ekonomi pas-pasan, dia masih yakin bisa mengantarkan anak-anak mereka hingga lulus SMA. Namun, lelaki yang berjanji akan berjuang sampai ketiganya tamat sekolah dan menikah telah ingkar janji. Ikrar cinta yang dipisahkan oleh maut, kembali pada pemilik jiwa dan raga.
"Ayahmu hanya menemani Ibu menamatkan sekolahmu, Nak. Bagaimana dengan pendidikan adik-adikmu? Jika Ibu dan Ayah tak bisa mewariskan harta, setidaknya kalian punya ilmu agar bisa berguna di tengah masyarakat."
Bu Wati memejamkan mata, membuat bulir bening yang sedari tadi ditahan langsung meluncur, membasahi pipi yang banyak bercak hitam akibat tertimpa sinar matahari berlebih. "Kalau tetap bertahan di sini, Ibu mungkin tak bisa meneruskan sekolah mereka sampai tamat, Zidan," lirih Bu Wati.
Sang putra menyentuh kedua bahu ibunya hingga mereka berhadapan.
"Apa Ibu lupa sudah punya anak laki-laki yang dewasa? Sudah cukup kewajiban Ibu terhadapku, biarkan Zidan sekarang yang akan berjuang demi Ibu dan adik-adik. Aku akan bicara pada ibu itu agar menerimaku saja. Zidan mau bekerja apa saja, yang penting halal dan berkah buat kita, Bu," ujar remaja yang berpikir lebih dewasa karena keadaan itu.
"Ibu tak ingin terjadi apa-apa denganmu di kota, Nak. Kamu tak pernah keluar dari kampung kita. Pergaulanmu sangat terbatas," cegah sang ibu.
"Aku laki-laki, Bu. Lebih aman bagiku di luaran sana daripada Ibu. Semoga saja Bu Isma itu orang baik yang Allah tuntun untuk membantu kita," balas Zidan mantap.
Menyembunyikan sedikit kecemasan di hatinya mengingat orang kota itu baru dikenal ibunya. Jika seandainya orang jahat, ia masih bisa melarikan diri dan mencari kerjaan apa saja. Tak terbayang olehnya jika sang Ibu yang akan kesusahan di rantau orang yang tidak memiliki siapa-siapa untuk meminta tolong.
Dengan berat hati di antara pilihan yang sulit, Bu Wati akhirnya menyetujui usul putra pertamanya. Mereka keluar, menemui Bu Isma yang betah berdiri di ruang tamu. Tetesan hujan deras itu telah meluber dari baskom, membasahi sebagain besar lantai.
"Maaf, ya, Bu Isma. Rumah kami sudah kayak sungai," ujar Bu Wati tak enak hati.
"Tak apa-apa, Bu. Saat kecil saya suka sekali main air. Ingin sekali bernostalgia, mandi di bawah kucuran air hujan. Sekarang saya malah kedinginan, efek sudah tua," kekeh Bu Isma yang memang lebih tua dari pemilik rumah. Namun, tetap saja ia terlihat lebih muda karena makanan sehat dan tidak kerja berat.
Tak menunggu lama, Bu Wati mengutarakan keputusan mereka. Tak disangka, Bu Isma antusias menerima Zidan untuk kerja dengannya.
Hujan deras telah berhenti, berganti dengan pendar cahaya matahari. Begitu mudahnya Sang Pencipta menganti siang ke malam, begitu juga dengan hujan menjadi panas.
"Kalu begitu saya pamit dulu, mau sholat ashar. Nak Zidan siap-siap, ya. Besok siang kita akan bertolak ke kota. Kamu bakalan dikerubungi para cewek kadaluarsa. Cuma kamu dan Pak supir yang paling ganteng di antara ibu-ibu lainnya nanti," tandas Bu Isma, lalu tertawa renyah. Senyum bahagia pun ikut terbit di bibir ibu dan anak itu. Tak lupa tentunya ucapan terima kasih karena diterima kerja. Sebuah harapan baru untuk memperbaiki taraf hidup yang sekian lama tak ada perubahan.
Bu Wati dan putranya bergotong-royong menyapu dan mengepel lantai, lantas mendirikan sholat wajib 4 rakaat dengan perasaan campur aduk. Rasa sedih akan berpisah tentu lumrah bagi sebuah keluarga yang terbiasa bersama dan saling dukung.
Doa-doa terucap dengan bibir bergetar, memuji kuasa Allah yang datang dari arah yang tak disangka-sangka.
*
Di rumah Bu Tejo, musik kembali terdengar meriah, menghibur sedikit tamu yang masih bertahan. Sebagian besar telah pulang karena hujan deras tadi.
Karena suasana menjadi sunyi dan tak ada lagi tamu yang datang, acara hiburan berjalan sampai menjelang maghrib saja. Acara begitu kacau tadi sore karena orang sibuk menyelamatkan diri dari guyuran hujan yang tiba-tiba. Alhasil, makanan mewah yang masih banyak telah bercampur dengan tanah akibat tersenggol para tamu yang berdesakan.
Bu Tejo mengumpat terus di kamar, menyalahkan suami yang tak becus menyelamatkan meja prasmanan.
"Ini pasti teguran, Bu. Dua potong rendang yang dimakan anak Bu Wati saja membuatmu tega mempermalukan mereka di depan tamu. Lihat, semua makanan itu malah harus terbuang sia-sia," sergah Pak Supri. Tak tahan lagi mendengar ocehan sang istri. Sebagai kepala keluarga yang disegani masyarakat, ia merasa gagal sebagai suami yang tak bisa membimbing istrinya.
"Oo, jadi Bapak gak terima kupermalukan si Wati itu sehingga mendoakan hujan turun deras? Bapak senang karena pesta anak kita berantakan. Ooh, jangan-jangan Bapak pengen kawin sama janda itu?" bentak Bu Tejo.
"Astaghfirullah, Bu. Mana mungkin Bapak punya perasaan seperti itu," sangkal Pak Supri.
Sayangnya, perempuan yang baru punya menantu itu tak peduli. Bagai kesetanan, melempari barang-barang di kamar.
Tinggalkan love dan komentar yuk🥰 jangan lupa subscribe jika belum😁
Rumah Bu Wati kembali lengang setelah anak, menantu, cucu dan besannya pulang. Hanya celotehan Vania yang tak ada habisnya memberikan warna yang berbeda. Ahmad dan Saripah juga sudah istirahat di kamar karena selama bertamu, mereka paling direpotkan sebagai tuan rumah. "Nenek, Bang Erlang dan Kak Airin sudah sampai rumah mereka?" tanya gadis kecil itu. Bu Wati terkekeh. "Baru satu jam mereka pergi, Van. Masih jauh. Kamu rindu, ya?""Iya, Nek.""Nanti mereka akan telpon kalau sudah istirahat di jalan atau sampai, ya. Sabar, ya, cucu Nenek yang cantik."Vania mengangguk bahagia. Matanya tertuju pada beberapa temannya yang mengintip di dekat pintu, lalu memanggil untuk bermain di luar. "Mainnya jangan jauh-jauh, ya!""Iya, Nek." Kompak anak-anak itu mengiyakan. Sekarang gantian Bu Wati yang tak ada teman mengobrol. Kemaren Bu Tejo yang kesepian, sekarang dia sedang sibuk bermain dengan cucu-cucunya. Tawanya begitu lepas setelah anaknya Juniarti mau bicara dan duduk dipangkuan sang n
"Ibuuuuu! Harusnya Ibu masih tinggal di rumah Kak Najwa dan Bang Zidan agar aku bisa sering berkunjung. Apalagi Kak Najwa sedang hamil."Aisyah melancarkan serangan bujuk rayu. Setelah pesta kemarin, ia dan keluarga suami menginap di hotel di sebuah kabupaten yang baru pemekaran menjadi pemerintahan kota. Tak begitu jauh dari rumah Bu Wati, cuma sekitar sejam perjalanan. Sekalian mereka pergi jalan-jalan dulu sebelum kembali ke kota. Mereka memang berencana balik bersama keluarga kecil Zidan dan Najwa."Tante, gak boleh cengeng. Ini Nenek aku!" Vania berkacak pinggang. Gadis kecil dengan rambut yang dikuncir itu mengerucutkan bibir."Sok berkuasa! Ini Nenek aku juga," cetus Erlang."Nenek aku! Ayaaaah!" seru Vania, mengadu pada Ahmad."Harus akur dong, Sayang. Ini nenek Vania, neneknya Airin, neneknya Erlang juga. Semuanya sama-sama sayang Nenek, kan?" tanya Bu Wati.Ketiga anak itu kompak mengiyakan."Kalau begitu, peluk dan cium Nenek sama-sama!" titah Ahmad.Bu Wati berjongkok, mem
Beberapa tahun kemudian, berketepatan pada bulan syawal, rumah Bu Wati begitu ramai. Akan ada acara bahagia. Anak, menantu dan cucu-cucu serta kerabat sedang makan berbagai olahan khas hari raya. Cucu kembar jandanya Pak Imran itu paling heboh. Karena merasa paling tua di antara anak-anak lainnya, yang perempuan terus mengkoordinasi sepupunya untuk tertib. Namun, yang satu lagi malah bikin ulah, suka menjahili yang lain.Di sana ada Bu Tejo juga, memakai kaca mata karena penglihatannya sedikit mulai terganggu. Berulang kali dia mengusap mata yang menghangat. Tahun ini tidak ada anak menantunya yang menemani. Begitu pulang solat idul fitri, dia langsung diajak Bu Wati ke rumahnya.Rio dan istri sedang pergi liburan beberapa hari yang lalu dan mengabarkan belum bisa pulang. Mungkin beberapa hari lagi. Bu Tejo sangat kesepian dan akhirnya tak menolak tawaran bertandang ke rumah orang yang paling sering membelanya."Nenek! Lihat! Si Erlang nakal!" seru Vania, putra dari Ahmad yang berusia
"Oh, jadi kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi dia memilih yang lain? Gak nyadar gitu kalo kamu sudah suka sama dia sejak duku?"Sheila mengangguk."Kok bisa sama, ya?" tanya Jerikho dengan kening berkerut. Setelah berbagai cara dan alasan dia lakukan, akhirnya gadis bernama Sheila itu mau bicara dengannya. Dia tertarik pada gadis kampung itu sejak pertama berjumpa. Entahlah, apakah karena dia sedang galau setelah gadis yang dulu menolaknya telah menikah dengan rekan bisnisnya. Dunia terkadang sesempit itu. Tak bisa dihindari, padahal sudah mati-matian berusaha menjauh.Awalnya gadis yang sudah konsisten berjilbab itu cuek, lama-kelamaan mau diajak bicara. Sheila hanya menganggap teman karena sadar kalau dia sedang putus asa, merasa tak akan ada yang bisa menggantikan posisi Zidan di hatinya. "Sama? Maksudnya Bos juga di tinggal kawin sama cewek yang Bos suka?" "Ya, begitulah. Parahnya, aku datang di acara mereka tanpa tahu kalau pengantinnya adalah perempuan yang mematahkan hatiku
Assalamualaikum dan semangat sore, Bestie😍😍Kemesraan iniJanganlah cepat berlaluKemesraan iniIngin kukenang selaluHatiku damaiJiwaku tentram disampingmuHatiku damaiJiwaku tentram bersamamuSuara pengamen itu ternyata cempreng dan tidak nyaman di telinga. Untung saja dia menyanyikan intinya saja. Selembar uang warna biru diberikan Zidan pada lelaki itu. "Makasih, Mas. Semoga umurnya panjang dan rejeki berlimpah."Pemuda itu terlihat senang, bagai mendapat rejeki nomplok. Mengusap dada berkali-kali. Kelihatan kalau uang itu sangat berharga buatnya. "Ngapain dikasih banyak sih, Bang? Lagunya aja gak enak," protes Najwa setelah pemuda bercelana sobek-sobek di lutut dan betis itu pergi. "Gak apa-apa. Dia gak ngemis loh, Sayang. Sekalian biar kamu gak kelamaan malunya sama dia," kekeh Zidan. Najwa mengerucutkan bibir. Wajahnya masih sedikit memerah karena salah paham tadi. "Habisnya itu orang emang ngeselin, kok. Dia bilang tante sambil menatapku."Bu Wati tertawa sekilas. Mena
"Astaghfirullah, sampai lupa ngajak kalian masuk. Ayo semuanya, kita ngobrol di dalam!"Bu Isma merangkul bahu perempuan yang seumuran dengannya. Dia sebenarnya lebih muda beberapa bulan dari Bu Tejo, tapi nikah muda dan cepat dipercayai keturunan. Itu sebabnya putra pertama Bu Isma lebih tua dari anak sulung sahabatnya. Namun, karena Bu Tejo pernah cerita dia lebih tua sedikit, jadilah Sheila lebih nyaman menyebut Bu Isma dengan sebutan tante. Terlebih wajah perempuan paruh baya itu kelihatan lebih muda dari ibunya. "Hai, siapa namamu?" Jerikho mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sheila menatap sekilas, lalu mengambil tasnya dan masuk mengikuti yang lain. Rio sudah kebelet mau ke toilet dan tak menunggu kakaknya lagi sehingga tinggal mereka berdua. "Sombong banget, sih? Atau ada perasaan yang harus dijaga? Oh, atau laki-laki tadi calon suamimu?" cerocos Jerikho asal. Dia ingin mendengar suara perempuan itu. "Sembarangan. Dia itu adikku dan … Anda jangan terlalu sok akrab," cetus