Dunia Saira runtuh saat mengetahui calon suaminya, Anwar, menghamili sahabatnya sendiri. Pernikahan mereka batal, dan ibunya jatuh sakit hingga membutuhkan biaya besar. Demi pengobatan sang ibu, Saira menerima tawaran keluarga Anwar untuk menikah dengan Alvaro, seorang Presdir dengan status duda beranak satu yang dikenal dingin dan tak tersentuh. Saira hanya diminta satu hal yaitu merawat anak Alvaro yang membutuhkan sosok ibu. Ia pun menikah tanpa cinta, dengan hati yang telah mati karena pengkhianatan. Namun, siapa sangka, di balik sikap dingin Alvaro, tersembunyi sisi yang mampu menghidupkan kembali rasa dalam diri Saira. Sayangnya, Alvaro hanya melihatnya sebagai pengasuh dan tanpa cinta. Mampukah Saira mengungkapkan isi hatinya?
View More“Aku … Aku mengandung anak Anwar, Sa.”
Satu kalimat yang berhasil meruntuhkan dunia Saira dan memburamkan penglihatannya, terlebih setelah melihat testpack yang Dea tunjukkan.
Dea sendiri merupakan sahabat Saira semasa kuliah. Lama tidak berjumpa dan tidak bertukar kabar, tahu-tahu sahabat Saira itu datang membawa kejutan yang berdampak besar pada rencana pernikahannya dengan Anwar, tunangannya.
Saira tidak ingin memercayainya, tetapi Dea tidak mungkin membohonginya. Terlebih … kebingungan jelas terlihat dari wajah sahabatnya itu.
“Maafin aku Sa … Maafin aku.” Dea yang sebelumnya duduk diseberangnya, kini sudah berjongkok sambil menggenggam tangan Saira. “Aku tidak memiliki pilihan, selain mengungkapkannya padamu.”
“Anwar sudah tahu?” Hanya pertanyaan itu yang terbsit dalam benak Saira.
“Sudah.” Dea menjawab sambil menyusut kasar air matanya. “Tapi dia gak mau bertanggung jawab. Dia menyuruhku untuk menggugurkannya. Dia terlalu mencintaimu Sa. Daripada membatalkan pernikahannya dia lebih baik memintaku untuk menggugurkan anak ini. Aku harus bagaiamana, Sa? Aku gak mungkin membesarkan anak ini tanpa seorang Ayah.”
“Tenang saja, anakmu tidak akan pernah kehilangan Ayahnya.” Saira tersenyum miris, menatap Dea dengan tak kalah hancur. “Aku akan mundur dari pernikahan itu,” lanjutnya seraya bangkit untuk segera menjauh dari Dea.
Saira sudah tidak sudi berdekatan dengan sahabatnya itu. Bahkan untuk menganggap Dea sebagai sahabat, rasanya sakit sekali. Bagaimana mungkin seorang sahabat mengkhianatinya sampai seperti ini?
“Saira!” Entah sejak kapan, tahu-tahu Ibu Saira sudah ada disana, mengguncang bahu anak sulungnya dengan sangat keras. “Mana Anwar? Suruh ia temui Ibu. Kenapa tega sekali mengkhianati anak Ibu?”
Namun Saira tidak memedulikan dan lebih memilih berbicara kembali pada Dea. “Gak usah peduliin Ibuku De. Aku benar-benar tidak akan melanjutkan pernikahannya.” Lagipula ia tidak mungkin menikah dengan Laki-laki yang tidak cukup sama satu wanita.
“Sebaiknya kamu segera keluar dari sini. Ayo….” Yang ini suara Bimo.
Ayah Saira itu sudah menyeret Dea, sampai keluar rumah.
Saira hanya bisa menatap nanar kepergian Dea. Dirinya masih tak menyangka hal seperti ini akan menimpanya.
“Apa perlu Bapak pergi menemui keluarga Anwar, untuk membatalkan pernikahan kalian?”
Saira menoleh, menatap Bimo yang sudah kembali. Dia pun tersenyum lemah. Ah, Bapaknya ini memang orang yang paling mengerti akan perasaan anaknya.
Belum sempat Saira menjawab, keduanya langsung menoleh cepat saat mendengar suara keras dari arah sofa.
“Ibu benar-benar kecewa dengan Anwar,” ujarnya lemah, terkulai lemah di atas sofa. “Bisa-bisanya dia menghamili perempuan lain.”
“Bu—Ibu … Ibu kenapa?!”
****
Berkat bantuan tetangga, Anita berhasil dibawa ke Rumah Sakit. Kondisinya cukup serius, itulah yang Dokter jelaskan. Kemungkinan besar memerlukan perawatan lebih lama dari yang diperkirakan.
Sekarang apa yang bisa Saira lakukan selain menatap nanar ruang rawat Ibunya?
“Masih mau egois membatalkan pernikahan itu, eh?” Anwar bertanya setengah mencibir.
Laki-laki itu datang 15menit setelahnya bersama Bimo. Karena, ketika memberitahukan kondisi sang Ibu, posisi Ayah Saira memang masih di rumah keluarga Anwar.
“Kamu terlalu tergesa-gera mengambil keputusan, Sa,” masih Anwar yang bersuara. “Lihat, nyawa Ibumu yang jadi taruhannya.”
“Lanjutkan saja pernikahannya dengan Dea. Bagaimanapun juga, dia yang lebih membutuhkan pernikahan itu.” Saira melepas cincin pertunangannya untuk kemudian diserahkan pada Anwar. “Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu, An. Setidaknya kamu harus berkorban demi masa depan anakmu.”
Saira sendiri tidak percaya kalau ia mampu mengungkapkan kata-kata seperti itu. Rasanya … perih. Mengiris hati. Namun setidaknya ganjalan dalam hatinya sedikit berkurang.
“Tapi aku cuma mau kamu, Sa. Aku mau kamu yang jadi Ibu dari anak-anakku nanti.”
“Gak usah percaya sama kata-katanya. Bohong semua itu,” ujar seorang Lelaki berpenampilan formal yang tiba-tiba duduk di sebelah Saira.
Siapa Dia?
“Paman? Ngapain disini? Siapa yang sakit?” Anwar bertanya sambil celingukan.
‘Paman?’
‘Dia Pamannya Anwar?’
Saira sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Yang sakit Ibu wanita ini ‘kan?” tunjuk Paman Anwar pada Saira.
“Iya, tau. Maksudku, tujuannya untuk apa? Paman gak mungkin repot-repot datang hanya untuk masalah seperti ini kan?”
Lelaki yang memakai setelan serba hitam itu mengedikan bahu. “Coba tanya Mamamu. Kenapa meminta Paman untuk menemui orangtuanya?” diakhir penjelasan ia menatap pada Saira.
“Mama nyuruh Alva untuk menikahi Saira.”
“Apa?!”
Tidak hanya Anwar, tetapi Saira pun ikut terkejut dengan penuturan Susi–Ibunya Anwar.
“Mama becanda?” Anwar yang pertama mendekat. Menatap Susi, mencari kebohongan.
“Pamanmu butuh Istri, Cecilia butuh Ibu. Mama pikir kedua alasan tersebut cukup untuk menikahkan Pamanmu pada Saira. Dan jika Saira bersedia, maka Pamanmu akan melunasi seluruh biaya pengobatan Ibunya. Kalau perlu, Ibu Anita akan mendapatkan pengobatan paling bagus,” Susi menjawab pertanyaan Anwar, namun penjelasannya lebih condong diarahkan pada Saira dan Bimo yang kini saling melempar pandang.
“Gak bisa gitu dong, Ma. Mama tahu sendiri aku sangat mencintai—“
“Kalau benar-benar cinta, terus kenapa kamu malah menghamili anak orang?” Susi sudah memegang kerah kemeja anaknya. “Coba katakan, apa yang bisa Mama perbuat untuk menebus kesalahanmu pada Saira—Apa Anwar?” kemudian dihentaknya tubuh sang Anak sampai terhuyung beberapa langkah.
“Kalau kamu tidak melakukan kesalahan, Mama juga gak akan membuat keputusan seperti ini.” Wanita itu menunduk dengan bahu bergetar. “Bahkan untuk meminta maaf pada Saira saja, rasanya Mama tidak sanggup.”
Mendengar seorang Ibu berbicara seperti itu, membuat Saira mendekat untuk memberikan usapan pelan, sedikit menenangkannya. “Aku baik-baik saja Ma—maaf, maksudku Tante. Aku baik-baik saja, Tante. Gak perlu khawatir.” Saira hampir keceplosan memanggilnya Mama, seperti panggilannya selama ini.
“Enggak sayang, mana mungkin kamu baik-baik saja.” Susi mengusap pipi Saira, kemudian turun untuk menggenggam salah satu tangannya. “Maka dari itu, tolong terima Alvaro untuk menjadi suamimu ya? Anggap saja sebagai bentuk permintaan maaf dari Mama.”
***
Anwar sudah tidak bermain game, ponselnya pun sudah tidak terlihat dalam genggaman. Saat ini Laki-laki itu menatap Saira dengan pandangan berbinar—setengah tidak percaya.“Hey. Ayo jawab. Kamu beneran hamil, Ra?” Anwar seakan mencari jawaban dari setiap pergerakan Saira. Dan satu anggukan kecil dari perempuan itu berhasil membuatnya tersenyum lebar.“Seriusan?” tanyanya lagi kali ini dengan mengguncang bahu lawan bicaranya.“Iya Anwar. Aku serius.”“Kalau begitu, selamat dong atas kehamilanmu ... Semoga semuanya lancar sampai persalinan. Pasti anakmu nanti sangat beruntung memiliki Ibu sepertimu.”Saira mendongak, mencari kepura-puraan dalam serangkaian kalimat baik yang diucap Anwar tersebut. Tetapi tidak ada. Wajah mantan kekasihnya itu terlihat tulus, belum lagi tangannya sudah terulur dihadapan Saira.Kenapa Reaksi Alvaro tidak seantusias Anwar dalam menanggapi kehamilannya? Tanpa sadar Perempuan itu menatap pintu ruang rawat Cecilia yang sudah tertutup rapat dengan perasaan tak m
Saira tidak mungkin meninggalkan Cecilia begitu saja dengan orang asing. Meski Agnesia Ibu kandungnya, tatap saja sebutannya asing karena bukan bagian dari keluarga Alvaro lagi.Ngomong-ngomong tentang Alvaro. Semoga saja Suaminya itu tidak datang ke sini, supaya tidak bertemu dengan Agnesia. Karena Saira tidak sanggup membayangkannya. Bagaimana jika pertemuan tersebut, dapat mempengaruhi nasib pernikahannya?Toh, ia belum tahu apa yang membuat kedua pasangan tersebut bercerai. Dan sampai saat inipun Alvaro tidak sempat membahasnya. Pernah sekali, Alvaro mendapat informasi tentang mantan Istrinya. Itupun ia langsung menjauh dari Saira. Seakan ia tidak boleh mengetahui apapun mengenai Agnesia ini.Yang lebih jelas lagi, sikap Alvaro dalam menghadapi kehamilan Saira. Kenapa kasih sayang Laki-laki itu seakan berbeda terhadap kedua anaknya?“Jangan salah paham. Saya memintamu pulang, karena Cecilia sempat bercerita, kalau kamu akan merasa mual kalau berada di luar rumah.” Agnesia sudah me
Ponsel Saira berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk dari seseorang. Nama ‘Pak Mamat’ terbaca jelas, dari layarnya yang berkedip.Saira mengernyit, tidak biasanya Sopir yang selalu mengantar Cecilia sekolah tersebut, menghubungi pada jam-jam seperti ini.“Ada apa pak?” tanyanya begitu mengangkat panggilan seraya melirik Rossa yang duduk di seberangnya.Kebetulan siang ini Saira tengah menemani Ibu mertuanya tersebut berbincang kecil di taman belakang rumah.“Non Cecilia mengalami kecelakaan, Bu…”Penjelasan dari Pak Mamat membuat Saira bangkit dari duduknya. “Kecelakaan bagaimana?” tanyanya lagi, dengan mengeraskan suara panggilan, supaya Rossa tururt mendengarnya juga.“Untuk jelasnya saya belum tahu, Bu. Saya hanya diberi tahu saat Non Lia sudah dibawa ke Rumah Sakit. Saya sudah coba menghubungi Bapak, tetapi ponselnya tidak aktif-aktif.”“Sepertinya Alva masih meeting. Dia jarang mengaktifkan ponsel, kalau dalam situasi serius,” Rossa turut memberi penjelasan. “Sini. Biar Oma y
Saira benar-benar merealisasikan niatnya. Ia mengurung diri di kamar tamu dan menggunakan hormon kehamilan sebagai alasan. “Sepertinya Mama kalau ketemu orang akan mual-mual, jadi sebaiknya Mama menyendiri dulu,” begitulah yang Saira jelaskan pada Cecilia.Sebelum itu, ia menyempatkan mengambil beberapa barang yang sekiranya di perlukan dari kamar Alvaro. Seperti handphone dan pakaian ganti. Untuk keperluan mandi dan alat kebersihan lainnya, Saira tidak khawatir. Karena dalam toilet di kamar mandi ini sudah tersedia fasilitas yang lengkap.“Seenggaknya kalau kamu gak mau ketemu sama Mas, jangan biarkan dirimu kelaparan,” suara Alvaro berhasil mengembalikan kesadaran Saira pada saat ini.Suaminya itu sudah sedari tadi mengetuk pintu kamar, untuk menawarkan makan dengan memanggil nama Saira berulang kali. Benar-benar nama, bukan panggilan Sayang seperti biasanya. Hal tersebut membuat perasaan Saira semakin hancur.Apakah kehamilannya ini benar-benar berpengaruh buruk bagi perasaan Alvar
“Lia?” Alvaro memanggil seraya mengetuk pintu kamar Putrinya.“Iya, Papa?”“Ada Mama di dalam?”“Ada. Tapi… Mamanya tidul.” Cecilia sendiri tidak mengerti apa yang terjadi dengan Mamanya. Yang jelas, ketika masuk, Perempuan itu langsung memintanya untuk mengunci pintu kamar.“Mama ingin istirahat tanpa diganggu orang lain,” begitulah tuturnya.Benar saja, setelahnya Saira langsung naik ke atas ranjang dan menutupi sebagian tubuhnya dengan bedcover. Cecilia ingin bertanya, tapi tidak tega. Karena sepertinya Mamanya itu benar-benar tengah kelelahan. Terlihat dari wajahnya yang sayu dan pucat.“Bisa buka pintunya sebentar? Papa ingin melihat kalian.” Lagi-lagi Alvaro mengakhiri perkataan dengan mengetuk pintu.Hening untuk sesaat sampai kemudian pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan Cecilia di baliknya. Anak itu berujar, “Hanya lihat saja kan? Papa gak akan belisik kan?”Namun Alvaro tidak menimpali, karena lebih memilih mengutarakan pertanyaan lain. “Lia sedang apa?”“Main lumah-
“Iya, Mas. Sepertinya… aku hamil.” Saira refleks menyentuh perut ratanya, dengan tersenyum kecil. Tetapi hanya sesaat karena senyumnya kembali memudar begitu menyadari bahwa Alvaro tidak bereaksi sama sekali. Laki-laki itu hanya menatap Saira dengan mimik yang tidak terbaca. Ada apa? Apakah Suaminya itu tidak bahagia dengan kabar kehamilannya ini? “Kenapa Mas?” Alvaro gelagapan sebelum menimpalinya. “Ah… Gak apa-apa. Mas hanya sedikit terkejut saja. Mas lupa kalau kita selalu melakukannya tanpa pengaman ya?” Saira mengernyit, menatap sang Suami yang tertawa hambar. “Mas gak bahagia?” tanyanya kemudian. “Bukan gak bahagia Sayang. Hanya saja, ini diluar prediksi Mas. Harusnya kita merencanakannya dahulu kan? Paling enggak setidaknya sampai kamu benar-benar siap.” ‘Aku sudah siap, Mas. Dan aku sangat bahagia dengan kehamilan ini.’ Harusnya Saira mengatakan kalimat tersebut, tetapi kenapa ia justru mundur beberapa langkah—seakan menjauh, padahal Alvaro tidak bergerak sama sekali.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments