Share

Masih Kasar Saat Berduka

Zidan tak banyak tanya saat anak majikannya menyuruh Pak Alatas, membawa mereka ke sebuah tempat. Dua orang laki-laki menyambut dan mengacungkan jempol saat Najwa memberikan perintah. 

"Hmm, apa dia calon pacar lo?" bisik salah satu lelaki itu, melirik Zidan yang sudah masuk ke dalam gedung barbershop dan merangkap salon khusus laki itu. Gedung berwarna abu-abu itu selalu ramai pengunjung, apalagi Surya dan temannya join usaha itu. Di sampingnya, ada juga toko khusus pakaian laki-laki yang membuat tempat usaha mereka selalu ramai. 

"Enak saja lo. Seenak jidat ngatain gue. Emang lo pikir, gue gak laku sampai pasrah macarin anak kampungan gitu," cibir Najwa, memukul bahu teman SMA-nya itu. 

"Dia sepupu jauh gue dari kampung," imbuhnya, enggan diledek terlalu perhatian kalau mengatakan Zidan adalah pegawai baru restoran mereka. 

Lelaki bernama Surya itu membulatkan bibir, mengangguk paham. 

"Gue duluan, Gaes. Biayanya nanti gue transfer. See you," pamit Najwa. 

"Saya duluan ke resto, Pak. Malas kalau nungguin. Setelah siap, langsung ke resto saja," titahnya pada Pak Alatas. 

Sesampainya di restoran, Bu Isma mengernyitkan kening melihat putrinya malah naik gojek, tak kelihatan Zidan dan sang sopir. Hatinya jadi merasa tak enak, takut kalau Najwa melakukan hal buruk pada pemuda kampung itu mengingat sikapnya yang tak bersahabat kemarin. 

"Kamu tinggalin dimana Zidan, Nak? Dia masih baru pertama kali ke kota ini. Kalau dia hilang gimana? Apa yang Mama harus katakan pada ibunya?" cecar perempuan bergamis warna senada dengan putrinya. 

Najwa berdecak kesal, lantas duduk di salah satu kursi. 

"Mama ini langsung nuduh macam-macam. Mana ada sih orang yang mau nyulik dia, Ma. Tampang pas-pasan, penampilan gak mendukung, apalagi uang, minus," balas Najwa dengan enteng. 

"Mama serius, Najwa," sentak Bu Isma, semakin cemas mengingat Zidan tak punya ponsel. Pikirannya langsung tertuju pada supir kepercayaannya. Mengambil benda pipih dan canggih dari tas, lalu menelpon Pak Alatas. 

"Udah di jalan, Bu. Aman semuanya, Zidan sama saya. Neng Najwa yang menyuruh kami ke barbershop milik temannya, membelikan beberapa stel pakaian juga," jelas Pak Alatas, terdengar senang di seberang sana. Bu Isma mengusap dada, menyunggingkan senyum seraya menatap putrinya yang sedang memainkan ponsel. 

Najwa-ku memang baik, tapi bibirnya sering berucap sebaliknya.

"Makasih, ya, Nak. Mama bahkan tak sempat menanyakan apakah Zidan punya baju yang layak. Padahal, Mama sendiri lihat betapa memprihatinkan kehidupan mereka," lirihnya. 

"Mama gak usah salah paham. Aku cuma tak ingin usaha kita bangkrut gara-gara penampilan dia bikin sepat mata. Kalau Mama bangkrut, aku juga kan, yang kena imbasnya," kilah gadis yang memiliki lesung pipi itu. 

"Iya, iya. Apapun alasanmu, yang jelas Mama bangga dan berterima kasih. Mama periksa yang lain dulu."

Bu Isma bergegas memeriksa kinerja karyawannya yang memang rata-rata cekatan dan bertanggung jawab. Sepuluh orang yang ikut ke kampung Bu Tejo, tidak ada yang kerja di situ. Mereka di bagian catering yang biasa dipesan untuk makan siang karyawan kantor. Mereka juga melayani jika ada pesanan untuk pesta kecil maupun besar. 

"Kayaknya itu karyawan baru yang dibilang Bu Isma. Cakep juga, ya."

"Iya, kelihatan dewasa dan bertanggungjawab. Kulitnya eksotis, pertanda dia pekerja keras."

Bu Isma  celingukan saat mendengar suara bisik-bisik karyawannya, tersenyum sambil saling menyenggol. Para pegawainya hampir semua masih lajang, kecuali kepala masak kepercayaannya yang sudah berusia kepala empat. 

Matanya tertuju pada pemuda yang berjalan di samping Pak Alatas. Hampir saja tak mengenali karena penampilan yang yang berubah drastis. Tatanan rambut ala anak muda, kumis dan jenggot tipis yang membuatnya kemarin terlihat kurang rapi telah dicukur habis. 

Celana bahan warna hitam yang masih baru, sepatu dan baju warna biru langit membuatnya berbeda. memang belum memiliki seragam khusus karena biasanya dipesan pada penjahit langganan Bu Isma. 

"Hmmm, ternyata Nak Zidan rupawan juga. Pakai ini biar samaan dengan yang lain, ya," ujar Bu Isma, menyerahkan apron warna coklat tua. 

"Jangan suka muji, Ma. Nanti telinganya  melebar, besar kepala," desis Najwa. Padahal dia sendiri sempat terpaku memandang pemuda yang masih lebih muda dari usianya itu. 

"Hmm, bilang aja kamu iri kalau Mama memuji orang lain."

"Yang dikatakan Non Najwa itu benar, Bu. Pujian memang tak layak disematkan pada manusia, rawan ditumbuhi bibit kesombongan. Kalau sampai itu terjadi, sama saja Ibu mendorong saya pelan-pelan ke jurang neraka, layaknya Iblis yang sombong melihat Nabi Adam yang menurutnya lebih rendah," ujar Zidan seraya tersenyum. 

Tiada niatnya mau menggurui ataupun menyindir siapa-siapa, tapi wajah Najwa jadi gusar. Dia bangkit dari duduk, lantas melenggang ke ruangan Mamanya. 

Zidan menggaruk kepala, heran melihat tingkah Najwa yang menurutnya susah ditebak. Menurut cerita Pak Alatas saat menuju restoran tadi, anak bungsu Bu isma itu sebenarnya baik, tapi memang suka bicara ceplas-ceplos. 

Apa dia tersinggung? Memangnya, orang yang suka menyinggung orang lain, mudah tersinggung juga?

"Udah, gak usah dipikirin. Ayo sini, Ibu kenalkan sama yang lain," ujar Bu Isma, disambut hangat yang lain. Perempuan paruh baya itu pun menjelaskan apa yang harus dikerjakan karyawan barunya. 

*

Pagi yang dingin di kampung Mamirpir, angin berhembus lumayan kencang, seperti menusuk ke tulang-belulang. Sebagian orang memilih bersembunyi di balik selimut, menunggu mentari menyampaikan rindu pada dedaunan yang ingin berfotosintetis.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Telah berpulang ke rahmatullah, Bapak Supriyadi, suami dari Bu Tejo Nikmatul Wardiah, tadi pagi sekitar pukul lima tiga puluh. Jenazah ada di rumah duka dan akan dikebumikan hari ini, ba'da zuhur."

Suara pemberitahuan dari mesjid membuat sebagian orang langsung menuju kediaman Bu Tejo. Tiga hari yang lalu masih terlihat baik-baik saja sepulang dari puskesmas.  Banyak yang kaget, sedih dan ada juga yang bersyukur. Bermacam rupa tabiat warga kampung Mamirpir. 

Suara tangis Bu Tejo terdengar memilukan, diiringi kata-kata yang menyalahkan diri sendiri. 

"Ooh, ternyata anaknya Bu Tejo hamidun toh. Pantas saja Pak Supri serangan jantung," bisik seorang ibu muda bertubuh bongsor. 

"Iya, padahal, si Sheila itu sebenarnya cantik loh. Banyak yang antri mau melamarnya, eh dia malah kasih gratis tubuhnya sama laki-laki bejad," bisik yang lain. 

"Kita lihat saja, si Bu Tejo masih berani sombong gak, ya?"

Seorang yang dituakan dia kampung itu menatap tajam dua orang yang sibuk ngerumpi, membicarakan aib anggota keluarga yang sedang berduka. 

"Keluar kalian!" tegasnya. 

Dua ibu muda itu langsung lari terbirit-birit, segan pada perempuan yang merupakan guru ngaji itu. Beberapa tamu datang melayat, tak terkecuali Bu Wati. Berkali-kali ia mengusap mata dengan ujung jilbab melihat kondisi Bu Tejo yang sudah tiga kali pingsan. Seperti masih belum percaya dengan apa yang ia lihat, bahwa tubuh yang terbujur kaku itu  sudah terpisah dengan ruh. 

Beberapa saat, tangis itu akhirnya reda. Orang-orang pun silih berganti masuk, menyalami dan mengucapkan kata-kata takziah. 

"Yang sabar, ya, Bu. Kita senasib, menjanda di saat tanggungan masih ada. Saja yakin, Bu Tejo pasti kuat," lirih Bu Wati. Masih segar di ingatan saat suaminya berpulang ke Rahmatullah, bahkan di saat beras di karung tinggal sekali masak lagi. Bebannya jauh berlipat lebih berat. 

"Ini pasti karena doa Bu Wati yang jelek, ya. Pergi dari rumah saya!" bentak Bu Tejo, mendorong bahu perempuan yang dibencinya. Perempuan yang sudah resmi berstatus janda itu emosi, merasa kalau Bu Wati datang hanya untuk menertawakannya. 

Duh, Bu Tejo. Tobat, Bu.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Dian Surya Atmaja
oke bye. bayarnya gak ngotak
goodnovel comment avatar
Melisa
Ceritanya kyak sinentron di i******r
goodnovel comment avatar
Liliek Yudiati
kirain nggk bayar kan dibilang hadiah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status