"Halo! Halo, Zidan."
Bu Wati memanggil-manggil karena sejak tadi tak ada yang menyahut.
"Maaf, Bu. Tadi jaringan kurang bagus," dusta Zidan.
"Oh, kamu baik-baik di sana, ya, Nak. Makasih banyak karena berkat kamu, adik-adikmu bisa makan enak hari ini. Ibu juga sudah memesan tukang buat betulin atap rumah kita yang bocor. Makasih sekali lagi, ya, Nak."
"Ya Allah, Bu. Tak pantas Zidan mendengar terimakasih dari Ibu. Sampai kapan pun, Zidan tak akan mampu membayar semua jasa Ibu," lirih lelaki yang baru lulus SMA itu.
"Ibu tak pernah meminta balasan, Nak. Ya sudah, kamu baik-baik di sana. Batre hape Ibu udah mau habis," ujar Bu Wati.
Obrolan pun berakhir, lumayan bisa mengobati sedikit kerinduan. Zidan mengembalikan ponsel Bi Ina dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Entah kenapa, dia tak ingin memejamkan mata. Rasa lelahnya tak sebanding dengan semangatnya sehingga memutuskan keluar, memandangi bunga-bunga nan indah yang tersusun rapi menghiasi rumah bak istana.
"Heh, siapa kamu? Mau mencuri, ya?" sergah seseorang. Zidan terkejut dan langsung menoleh.
Seorang gadis dengan jilbab merah muda menatapnya tajam. Sebuah ponsel di tangan kanan dan ransel bertengger di punggung.
"Satpaaaam!" teriaknya.
Penjaga keamanan rumah itu berlari, tergopoh menghampiri anak majikannya.
"Kenapa gembel dibiarkan masuk ke pekarangan rumah ini, Pak? Dia pasti mau mencuri bunga-bunga mahal ini," cerocosnya.
"Ma-af, Neng. Dia ini Zidan, datang sama Bu Isma dari kampung," jelas Pak Satpam.
"Apa? Buat apa? Mama ada-ada saja. Ngapain bawa gembel ke rumah ini? Mau melihara pencuri?" gerutunya.
Zidan menelan ludah, tak menyangka kalau orang tua sebaik dan selembut majikan barunya memiliki putri yang tak pandai menjaga omongan. Bahkan semua pekerja Bu Isma bertutur lembut padanya, sama seperti majikan mereka
"Sabar, ya, Zid. Neng Najwa memang begitu orangnya, suka asal ceplos," ujar Pak Arman, menepuk pundak anak muda itu. Jangankan Zidan yang masih orang baru, dirinya saja yang lebih tua dan lama bekerja di sana, tak jarang mendapat omelan dari anak bungsu pemilik rumah yang terkenal kedermawanannya.
"Saya gak apa-apa kok, Pak. Cuma kaget saja. Saya sudah biasa dihina, bahkan pernah digebuki karena lewat dari samping rumah orang," kenang Zidan.
"Loh, kok bisa?" tanya Pak Arman, tertarik dengan kisah anak muda itu.
"Ya, begitulah terkadang, Pak. Sebagian orang sinis dan benci melihat kemiskinan. Padahal, saya pun tak ingin hidup kekurangan. Orang tua saya orang yang rajin bekerja, tapi memang rejekinya cuma pas makan saja. Saat saya lewat di samping rumah tetangga yang terbuka pintu dapurnya, langsung dikira mau maling beras," lirih Zidan. Entah kenapa, masih sesak rasanya di dalam hati mengingat tuduhan Bu Tejo padanya dua tahun lalu.
Perempuan kaya itu sering mencari gara-gara dengannya dan keluarga, salah satu penyebabnya adalah desas-desus yang berembus kalau Zidan menyukai anak kedua Bu Tejo karena mereka lumayan akrab di sekolah. Sheila namanya, gadis berambut panjang, idola para siswa di kelasnya, tapi memilih selalu berdekatan dengan anak paling miskin di kampungnya.
Takut benih cinta tumbuh di hati putrinya, Bu Tejo memutuskan agar Sheila pindah sekolah. Banyak drama yang terjadi, tapi akhirnya dia senang karena gadis itu telah berubah. Jangankan untuk bertemu atau menyapa Zidan, menoleh saja tidak mau. Sheila lebih sering mengurung diri, bahkan saat pesta kakak perempuannya. Gadis itu telah malas bergaul dengan orang kampungnya hingga ada atau tidak ada, keberadannya tak begitu dirindukan.
"Yang sabar, ya, Nak. Tidak semua orang seperti itu. Badai pasti berlalu. Anak muda harus semangat," balas Pak Arman. Dia pun kembali ke pos jaga, sementara Zidan masuk ke dalam rumah.
Suara Najwa terdengar samar dari lantai atas, lantas turun bersama mamanya yang terlihat masih mengantuk.
"Aku gak suka, Ma, kalau ada orang asing di rumah ini. Jangan-jangan dia mau memanfaatkan kebaikan Mama saja. Lihat, tampangnya aja seram, penampilannya kucel," cerca Najwa.
"Jaga bicaramu, Najwa!" bentak Bu Isma.
"Mama membentakku untuk membela laki-laki asing itu? Luar biasa. Jangan-jangan, nanti aku malah tak dianggap siapa-siapa karena Mama sibuk berbuat baik pada semua orang," cetus gadis berusia 20 tahun itu.
Bu Isma duduk di sofa, memijit pelipis yang berdenyut nyeri. Di samping masih ngantuk dan lelah, ucapan putrinya semakin membuatnya pusing. Sudah sering dinasehati, tetap saja belum berubah.
Zidan berdiri dengan kepala tertunduk, tak jauh dari sofa. Baru saja dia berharap kalau jalan rejekinya memang melalui Bu Isma, ujian telah datang kembali melalui anak perempuan itu.
"Ma, Mama kenapa?" tanya Najwa khawatir melihat mamanya meringis.
"Mama pusing melihat kelakuan kamu. Mama selalu mengajarkan agar menghormati orang lain, tapi tetap saja ucapanmu menghina. Kamu mau Mama jatuh sakit?" cecar Bu Isma. Putrimya langsung menggeleng, lalu memeluk mamanya. Namun, tetap saja matanya menatap tak suka pada Zidan.
"Maafin Najwa, Ma. Lalu, buat apa Mama bawa dia kemari? Kita kan, tak butuh pekerja baru," ujar Najwa dengan suara melunak.
"Dia akan bantu-bantu di restoran kita."
"Apa? Mama gak salah ngomong? Yang ada pelanggan kabur karena melihat manusia gosong," cibir gadis itu karena melihat warna kulit Zidan yang agak hitam karena sering ditimpa sinar matahari.
Sebagai anak petani, Zidan sering membantu ibunya di sawah sepulang sekolah. Dia juga sering menjadi buruh tanam padi sepulang sekolah, atau pun saat hari libur. Wajar saja, kulit yang lumayan bersih itu telah menghitam.
"Baru saja kamu meminta maaf, tapi sudah menghina lagi," tegur Bu Isma kecewa. "Ini keputusan Mama dan kamu tak bisa menganggu gugat. Kalau sekali lagi Mama dengar kamu menghina Zidan, Mama tak segan mengirimmu agar tinggal sama abangmu."
Najwa mengerucutkan bibir, tak berdaya untuk membantah. Biar bagaimana pun, mamanya tetap jadi teman paling nyaman.
"Ih, Mama cantik banget sih. Najwa udah kangen loh. Ayo istirahat lagi, Ma, biar Najwa pijitin," rayu gadis yang memakai stelan celana itu. Menciumi pipi mamanya dengan lembut, lalu mengajaknya ke lantai atas.
Senyum Zidan terbit melihat kelakuan anak majikannya. Memang ucapan gadis itu agak kasar padanya, tapi tetap saja bisa mengembalikan senyum Bu Isma yang sempat marah.
*
Ini hari pertama Zidan akan bekerja di restoran Bu Isma. Pemuda itu mematut diri di cermin, memperhatikan penampilan dengan kemeja batik lengan pendek satu-satunya yang ia punya, dipadukan dengan celana hitam warisan mendiang ayahnya.
"Zidan? Kamu mau kerja dengan penampilan kucel begini? Astaga, kamu berniat membuat usaha Mamaku bangkrut?" cecar Najwa, tersenyum mengejek Zidan yang sudah menunggunya.
Bu Isma sudah duluan berangkat dan dia disuruh berangkat dengan Zidan. Kebetulan dia sedang libur, sehingga diwajibkan ikut membantu.
"Kalau mau kerja melayani banyak orang, jangan kayak pemulung dong. Apa gak ada bajumu yang lebih bagus?"
"Gak ada, Kak," balas Zidan.
"Kak, kak, kak. Emangnya aku kakakmu? Pangil aku Non Najwa," cetus gadis yang hari ini mengenakan gamis motif bunga tulip.
"I-iya, Non."
"Ayo cepat ikut aku. Orang kayak kamu ini harus dipermak biar bisa ditampilkan di depan umum," cerca Najwa, berniat membawa pemuda kampung itu untuk membeli pakaian baru.
Sebuah awal yang akan membuat suasana hatinya berubah.
Zidan tak banyak tanya saat anak majikannya menyuruh Pak Alatas, membawa mereka ke sebuah tempat. Dua orang laki-laki menyambut dan mengacungkan jempol saat Najwa memberikan perintah. "Hmm, apa dia calon pacar lo?" bisik salah satu lelaki itu, melirik Zidan yang sudah masuk ke dalam gedung barbershop dan merangkap salon khusus laki itu. Gedung berwarna abu-abu itu selalu ramai pengunjung, apalagi Surya dan temannya join usaha itu. Di sampingnya, ada juga toko khusus pakaian laki-laki yang membuat tempat usaha mereka selalu ramai. "Enak saja lo. Seenak jidat ngatain gue. Emang lo pikir, gue gak laku sampai pasrah macarin anak kampungan gitu," cibir Najwa, memukul bahu teman SMA-nya itu. "Dia sepupu jauh gue dari kampung," imbuhnya, enggan diledek terlalu perhatian kalau mengatakan Zidan adalah pegawai baru restoran mereka. Lelaki bernama Surya itu membulatkan bibir, mengangguk paham. "Gue duluan, Gaes. Biayanya nanti gue transfer. See you," pamit Najwa. "Saya duluan ke resto, Pak
"Istighfar, Tejo. Apa kamu gak malu di depan jenazah suamimu?" tegur Nek Iyut, sang guru ngaji yang juga dihormati. Sebagian menghormati karena memang beliau orang yang ikhlas mengajari anak-anak mengaji tanpa dipungut bayaran, tapi ada juga yang segan sebab Nek Iyut masih tergolong salah satu orang terpandang. Bu Tejo tak menggubris, kembali meraung, memeluk tubuh tak berdaya itu. Bu Wati keluar pelan-pelan, duduk bergabung dengan para pelayat lainnya di teras. Tenda biru dan teratak didirikan para remaja dan bapak-bapak secara gotong royong. Menata kursi plastik di bawahnya karena orang-orang yang hendak bertakziah sudah ramai. Pergaulan Pak Supri sangat luas, didukung dengan ekonomi yang memadai sehingga bebas mau kemana saja. Rajin melayat maupun menghadiri pesta membuatnya banyak dikenal orang. Belum lagi sawahnya yang lumayan luas dan sebagian digarap warga kampung sebelah. Bertolak belakang dengan suami Bu Wati dulu. Hampir tak ada yang kenal, kecuali sudah disebutkan nama
“Non, apa kamu marah sama saya?” tanya Zidan saat berpapasan dengan putri majikannya yang beberapa hari terlihat cuek. Dia merindukan omelan perempuan muda itu. Lebih baik diomeli daripada didiamkan seperti itu.“Kenapa kamu berpikir kalau aku marah, hah?” bentak Najwa, duduk di sofa dan menyilangkan kaki. Ia mengambil toples yang berisi kacang sangrai, membuang kulitnya sembarangan.“Cepat bersihkan itu!” perintahnya.Zidan tersenyum, mengambil sapu dan mengumpulkan sampah kulit kacang itu. Kata ayahnya dulu, kalau perempuan cerewet mendiamkan lelaki, itu tandanya sedang marah besar. Namun, kalau sudah bisa cerewet lagi, berarti marahnya telah hilang.Entah teori itu benar atau tidak, tapi Zidan percaya saja karena melihat ibunya juga seperti itu. Tidak mau menegur lagi kalau diantara tiga anaknya ada yang nakal setelah berkali-kali dinasehati.“Kenapa kamu malah senyam-senyum?” sergah Najwa, merasa aneh dengan sikap pemuda itu. Dimarahi, tapi dia memilih tersenyum, seolah tidak ad
Seorang laki-laki berkemeja lengan panjang warna putih bersimpuh di hadapan gadis bertubuh tinggi semampai. Menyodorkan setangkai mawar merah ke hadapan gadis manis berkerudung warna yang sama dengan bunga di tangan pemuda itu. "Maukah Non Najwa jadi nyonya di hatiku, menjadi menantu ibuku, ipar yang baik bagi adik-adikku, serta bundanya anak-anakku kelak?" lirih pemuda itu sambil memamerkan senyuman seperti biasa, tapi sanggup melelehkan es di hati gadis itu. Najwa memutar badan agar tidak tepat berhadapan dengan lelaki muda bernama Zidan itu. Mengulum senyum malu-malu, lalu berdehem. "Aku mau," balasnya cuek. "Alhamdulillah.""Eits, jangan senang dulu! Buatin aku mesjid dengan sepuluh menara dalam satu malam. Kamu sanggup?" tanyanya dengan angkuh. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum meremehkan. Gemetar laki-laki itu dan menundukkan kepala. "Aku tak bisa memerintah jin membantuku seperti Bandung Bondowoso. Dan … kamu bukanlah Roro Jongrang yang berakhir menjadi arca. Aku cuma
"Kamu kenapa, Najwa? Sakit?" cecar Bu Isma, cemas melihat putrinya yang keringatan. Telapak tangan anak gadisnya juga pucat dan dingin. Namun, saat diraba keningnya, tidak menunjukkan tanda-tanda kalau sedang sakit. "Mungkin kelelahan, Bu," timpal Bu Wati."Iya, Bu. Dia memang kurang bisa kalau perjalanan jauh. Saya juga gak ngajak sebenarnya, tapi dia ngotot mau ikut, sampai bela-belain minum obat biar gak muntah-muntah di jalan," jelas Bu Isma yang membuat Najwa tersenyum malu."Kalau mau istirahat, ayo ke kamar, Nak. Tapi mohon maklum, pasti tidak seempuk kamar Nak Najwa."Gadis itu menggeleng pelan mendengar tawaran ibunya Zidan. Dia memang lelah, tapi masuk kamar bukanlah solusi yang baik. Dirinya sudah terlahir sebagai orang kaya sejak kecil dan tak pernah merasakan yang namanya kasur lapuk dan apek. Ya, dia membayangkan kalau kamar dari rumah sederhana itu pastinya tidak akan seimbang dengan empuknya ranjang yang selama ini ditempatinya. Apalagi melihat dua anak kecil yang mer
"Jangan bercanda, Sheila! Gak lucu, tahu. Uh, untung saja aku kenal kamu udah lama. Sudah paham dengan candaan kamu. Eh, tapi akting kamu bagus loh, kayak natural gitu," kekeh Zidan. "Oh iya, kamu kuliah di mana sekarang?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. "Aku serius. Bawa aku lari, Zidan. Sebenarnya aku sudah suka sama kamu sejak dulu, tapi Ibu selalu membatasi pergaulanku, sampai memaksaku pindah sekolah gara-gara dekat sama kamu," beber gadis yang mengenakan baju terusan sebetis itu. Zidan membeliakkan mata, terkejut mendengar pengakuan anak kedua Bu Tejo yang tak terduga. Dia mulai gelisah, takut kalau tiba-tiba ibu dari gadis itu muncul seperti tadi. Mau menyuruh Sheila pulang, tapi kelihatan kalau wajah gadis itu sedang tertekan. "Itu hanya cinta monyet kalau kata orang-orang. Jangan bercanda lagi, She. Wajar kalau ibu kamu membatasi pergaulan anaknya, beliau pasti menginginkan yang terbaik buatmu. Itu semua bukti kalau beliau menyayangimu, Sheila," balas Zidan. Matanya te
"Siapa dia, Zidan? Aku takut," lirih Najwa, menarik-narik lengan pemuda yang sedang duduk di bangku samping sopir. Kesombongan yang sering ia tampakkan menguap karena rasa takut yang mendera. Dua adik Zidan yang duduk di samping kiri dan kanan Najwa pun mulai menangis. Senyum ceria yang baru tersungging langsung berganti dengan hawa ketakutan. "Biar saya lihat dulu, Neng. Jangan panik!" ujar Pak Alatas. Dia mendorong pintu mobil dan bersiaga, mengambil analcang-ancang untuk memukul pengendara motor misterius itu. "Siapa kamu? Jangan cari masalah!" bentak Zidan, ikutan keluar. Berdiri lebih dekat kepada orang yang memakai pakaian serba hitam itu. Dia meminta Pak Alatas agar tidak menyerang jika memang tak membahayakan. Mata Zidan membeliak saat orang itu membuka helmnya. Ternyata bukan laki-laki, melainkan perempuan dan dia adalah Sheila. "Ini aku, Zidan. Maaf membuat kalian kaget dan takut," kekeh gadis berambut lurus itu. "Aku suntuk di rumah. Aku boleh ikut sama kalian, ya?" re
Bu Isma menghela napas panjang, menyaksikan empat tamu itu keluar sambil mengumpat. Dirinya ikutan kesal melihat kelakuan Bu Tejo, sudah ditatar sejak tadi siang untuk mengatakan apa yang harus dibicarakan, tapi malah mengucapkan hal lain. Bu Isma ditinggalkan sang suami setahun lalu karena kecelakan. Kebetulan dirinya dan sang mendiang suami adalah anak tunggal sehingga tak punya keluarga lain lagi, kecuali saudara jauh. Jika punya masalah, dia tak punya teman berembuk. Hanya teman jauh yang terkadang bisa jadi tempat bercerita. Meskipun terkadang tak memberikan solusi, tapi dirinya merasa lega kalau sudah meluapkan keluhannya. Salah satu yang paling rajin mendengar keluh kesahnya pasca ditinggal pergi suami selamanya adalah Bu Tejo. Rata-rata temannya sukses dan tak tak punya waktu luang untuk sekedar sharing. Bu Tejo yang tidak bekerja punya banyak waktu senggang untuk berbagi cerita suka dan duka. Sisi baik yang dikenang dan dihargai perempuan kota itu sehingga sekarang menyempa