“Non, apa kamu marah sama saya?” tanya Zidan saat berpapasan dengan putri majikannya yang beberapa hari terlihat cuek. Dia merindukan omelan perempuan muda itu. Lebih baik diomeli daripada didiamkan seperti itu.“Kenapa kamu berpikir kalau aku marah, hah?” bentak Najwa, duduk di sofa dan menyilangkan kaki. Ia mengambil toples yang berisi kacang sangrai, membuang kulitnya sembarangan.“Cepat bersihkan itu!” perintahnya.Zidan tersenyum, mengambil sapu dan mengumpulkan sampah kulit kacang itu. Kata ayahnya dulu, kalau perempuan cerewet mendiamkan lelaki, itu tandanya sedang marah besar. Namun, kalau sudah bisa cerewet lagi, berarti marahnya telah hilang.Entah teori itu benar atau tidak, tapi Zidan percaya saja karena melihat ibunya juga seperti itu. Tidak mau menegur lagi kalau diantara tiga anaknya ada yang nakal setelah berkali-kali dinasehati.“Kenapa kamu malah senyam-senyum?” sergah Najwa, merasa aneh dengan sikap pemuda itu. Dimarahi, tapi dia memilih tersenyum, seolah tidak ad
Seorang laki-laki berkemeja lengan panjang warna putih bersimpuh di hadapan gadis bertubuh tinggi semampai. Menyodorkan setangkai mawar merah ke hadapan gadis manis berkerudung warna yang sama dengan bunga di tangan pemuda itu. "Maukah Non Najwa jadi nyonya di hatiku, menjadi menantu ibuku, ipar yang baik bagi adik-adikku, serta bundanya anak-anakku kelak?" lirih pemuda itu sambil memamerkan senyuman seperti biasa, tapi sanggup melelehkan es di hati gadis itu. Najwa memutar badan agar tidak tepat berhadapan dengan lelaki muda bernama Zidan itu. Mengulum senyum malu-malu, lalu berdehem. "Aku mau," balasnya cuek. "Alhamdulillah.""Eits, jangan senang dulu! Buatin aku mesjid dengan sepuluh menara dalam satu malam. Kamu sanggup?" tanyanya dengan angkuh. Sudut bibirnya terangkat, tersenyum meremehkan. Gemetar laki-laki itu dan menundukkan kepala. "Aku tak bisa memerintah jin membantuku seperti Bandung Bondowoso. Dan … kamu bukanlah Roro Jongrang yang berakhir menjadi arca. Aku cuma
"Kamu kenapa, Najwa? Sakit?" cecar Bu Isma, cemas melihat putrinya yang keringatan. Telapak tangan anak gadisnya juga pucat dan dingin. Namun, saat diraba keningnya, tidak menunjukkan tanda-tanda kalau sedang sakit. "Mungkin kelelahan, Bu," timpal Bu Wati."Iya, Bu. Dia memang kurang bisa kalau perjalanan jauh. Saya juga gak ngajak sebenarnya, tapi dia ngotot mau ikut, sampai bela-belain minum obat biar gak muntah-muntah di jalan," jelas Bu Isma yang membuat Najwa tersenyum malu."Kalau mau istirahat, ayo ke kamar, Nak. Tapi mohon maklum, pasti tidak seempuk kamar Nak Najwa."Gadis itu menggeleng pelan mendengar tawaran ibunya Zidan. Dia memang lelah, tapi masuk kamar bukanlah solusi yang baik. Dirinya sudah terlahir sebagai orang kaya sejak kecil dan tak pernah merasakan yang namanya kasur lapuk dan apek. Ya, dia membayangkan kalau kamar dari rumah sederhana itu pastinya tidak akan seimbang dengan empuknya ranjang yang selama ini ditempatinya. Apalagi melihat dua anak kecil yang mer
"Jangan bercanda, Sheila! Gak lucu, tahu. Uh, untung saja aku kenal kamu udah lama. Sudah paham dengan candaan kamu. Eh, tapi akting kamu bagus loh, kayak natural gitu," kekeh Zidan. "Oh iya, kamu kuliah di mana sekarang?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. "Aku serius. Bawa aku lari, Zidan. Sebenarnya aku sudah suka sama kamu sejak dulu, tapi Ibu selalu membatasi pergaulanku, sampai memaksaku pindah sekolah gara-gara dekat sama kamu," beber gadis yang mengenakan baju terusan sebetis itu. Zidan membeliakkan mata, terkejut mendengar pengakuan anak kedua Bu Tejo yang tak terduga. Dia mulai gelisah, takut kalau tiba-tiba ibu dari gadis itu muncul seperti tadi. Mau menyuruh Sheila pulang, tapi kelihatan kalau wajah gadis itu sedang tertekan. "Itu hanya cinta monyet kalau kata orang-orang. Jangan bercanda lagi, She. Wajar kalau ibu kamu membatasi pergaulan anaknya, beliau pasti menginginkan yang terbaik buatmu. Itu semua bukti kalau beliau menyayangimu, Sheila," balas Zidan. Matanya te
"Siapa dia, Zidan? Aku takut," lirih Najwa, menarik-narik lengan pemuda yang sedang duduk di bangku samping sopir. Kesombongan yang sering ia tampakkan menguap karena rasa takut yang mendera. Dua adik Zidan yang duduk di samping kiri dan kanan Najwa pun mulai menangis. Senyum ceria yang baru tersungging langsung berganti dengan hawa ketakutan. "Biar saya lihat dulu, Neng. Jangan panik!" ujar Pak Alatas. Dia mendorong pintu mobil dan bersiaga, mengambil analcang-ancang untuk memukul pengendara motor misterius itu. "Siapa kamu? Jangan cari masalah!" bentak Zidan, ikutan keluar. Berdiri lebih dekat kepada orang yang memakai pakaian serba hitam itu. Dia meminta Pak Alatas agar tidak menyerang jika memang tak membahayakan. Mata Zidan membeliak saat orang itu membuka helmnya. Ternyata bukan laki-laki, melainkan perempuan dan dia adalah Sheila. "Ini aku, Zidan. Maaf membuat kalian kaget dan takut," kekeh gadis berambut lurus itu. "Aku suntuk di rumah. Aku boleh ikut sama kalian, ya?" re
Bu Isma menghela napas panjang, menyaksikan empat tamu itu keluar sambil mengumpat. Dirinya ikutan kesal melihat kelakuan Bu Tejo, sudah ditatar sejak tadi siang untuk mengatakan apa yang harus dibicarakan, tapi malah mengucapkan hal lain. Bu Isma ditinggalkan sang suami setahun lalu karena kecelakan. Kebetulan dirinya dan sang mendiang suami adalah anak tunggal sehingga tak punya keluarga lain lagi, kecuali saudara jauh. Jika punya masalah, dia tak punya teman berembuk. Hanya teman jauh yang terkadang bisa jadi tempat bercerita. Meskipun terkadang tak memberikan solusi, tapi dirinya merasa lega kalau sudah meluapkan keluhannya. Salah satu yang paling rajin mendengar keluh kesahnya pasca ditinggal pergi suami selamanya adalah Bu Tejo. Rata-rata temannya sukses dan tak tak punya waktu luang untuk sekedar sharing. Bu Tejo yang tidak bekerja punya banyak waktu senggang untuk berbagi cerita suka dan duka. Sisi baik yang dikenang dan dihargai perempuan kota itu sehingga sekarang menyempa
"Mamaaa! Ih, bikin kesal sih."Najwa berlari pulang ke rumah Bu Tejo, menghempaskan badan di atas ranjang. Dia kira, penampilannya akan dipuji, tapi ternyata ditertawakan mamanya sendiri. Masih bisa dilihatnya kalau Bu Wati dan Zidan pun mengulum senyum. Dia semakin malu. Niat hati agar tampil sempurna, tapi ternyata salah kostum. Mau gimana lagi, baju yang dibawanya tinggal dua dan baginya itu yang paling bagus. "Kenapa cara berpakaian kamu mendadak aneh, Sayang? Kalian mau ke pasar, loh. Pasar di sini bukan supermarket. Masih becek-becek, apalagi kemarin sore sempat hujan," ujar Bu Isma, yang langsung menyusul dan duduk di sisi ranjang, di samping putrinya. Dia merasa bersalah karena telah menertawakan anak gadisnya di depan orang lain. Suatu hal yang sangat jarang dia lakukan, karena menjaga perasaan anak juga penting. Namun, tadi dia tak bisa mengontrol diri, apalagi sudah merasa dekat dengan Zidan dan Bu Wati. "Maafin Mama, ya, Sayang. Mama gak berniat mau menertawakanmu, ko
"Astaghfirullah, apa ini, Zid? Kok banyak banget?" cecar Bu Wati, menyongsong putranya yang sedang menjinjing dua plastik besar. "Kerjaan Non Najwa nih, Bu. Katanya malu beli seperempat, jadi dibelinya segini banyak," jelas pemuda yang memiliki tahi lalat kecil di atas bibirnya. "Dia gak bisa disuruh, Bu. Gak pernah disuruh belanja sendiri."Bu Wati terlihat cemas. Mau protes pada anak gadis yang sudah masuk ke dalam mobil itu juga rasanya tak mungkin. Segan lebih tepatnya. Mau dikembalikan ke penjualnya, mereka juga gak tahu yang mana lapaknya. "Pasti ini mahal, Zid. Kalau harus mengganti uangnya sekarang tidak akan cukup. Duh, gimana, ya?""Biar aku aja yang bilang sama Bu Isma nanti, Bu, agar gajiku dipotong saja sebagian per bulan seperti biasa," ujar Zidan, tersenyum tipis. "Tapi, Nak, kamu juga butuh uang untuk menabung. Ibu tidak mau kalau semua hasil keringatmu habis tak bersisa.""Aku kerja kan, buat Ibu dan adik-adik juga. Jika memang habis, insya Allah aku ikhlas, Bu. Ua